Sunday, December 28, 2008

Konstelasi Puitika

Sajak Dian Hartati

kata lahir
menguntai hidup sendiri
mengurai napas bersama waktu

kata lahir
memecah batu ambigu
mencipta simpulan sahaja

kata lahir
mengabadikan kenangan
usaikan zaman

SudutBumi, 2006


-------------------
Dian Hartati, lahir di Bandung, 13 Desember 1983. Alumnus Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) ini bergiat di dunia kepenulisan sejak tahun 2002. Menjuarai berbagai lomba kepenulisan dan mendapatkan Anugerah Sastra Jurdiksatrasia 2006. Buku puisinya, Nyalindung (2005) dan Cerita Tentang Daun (2007).

Kedran

Sajak Dian Hartati

seolah pasundan yang damai
membawa kawih menenangkan

rasa di hatimu tak akan hambar
melahirkan mojang jajaka
kirana jauh dari nestapa

rindu di hatimu tak akan susut
menernak bias kebajikan
parahyangan dirindu setiap insan

keajaiban mengobati luka
lemah cai bergiwang kemakmuran
kau ibu bagi dalem kaum

kedran,
waktu akan kekalkan kenang
baitbait asmarandana selalu mengalir

SudutBumi, 2006

Kisah Lelatu

Sajak Dian Hartati

ia lahir berkat kesucian seorang hawa
ditiupkan ruh pada tubuh besi
diberi kehidupan menjelang usia purnama

langit bersepakat mencipta kilat
gemuruh datang hembuskan aura magenta
jejak napas tercium sudah
angin menambah keangkuhan jiwa
sembada digusar wajah elok

ia bernama petaram
mengubah denyut nadi jadi cahaya
ia pantulkan harapan
bersama mantramantra temani majikan

SudutBumi, 2006

Mencatat Akhir Tahun

Sajak Dian Hartati

empat hari lagi tahun baru
aku tak mau meninggalkan
banyak kerja belum tuntas
selaksa harap tertunda
masih belum bersiap

ingin rasanya membunuh ego
menghardik waktu percuma

adakah peristiwa tersisa
selain hujan yang terus menderas
lonceng di gereja mengabarkan natal
takbir idul adha tanda pengorbanan

ingin rasanya rampungkan tugas akhir
melepaskan semua beban
bersiap meretas hari baru

satu hari lagi
yang terdengar hanya berita kematian
mahal harga beras, hukuman gantung
bencana di akhir tahun

haruskan nanti malam kutiup
terompet pergantian hari
menghitung detik per detik

siapa mau berjanji
bahwa esok takkan ada bencana
bersepakat menemukan hari baru
menyusun rencana setahun mendatang

SudutBumi, 2006

Nasib Sastra di Sekolah pada Era KTSP

Esai Achmad Bashori

SEJAK 2006, pemerintah menggulirkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) untuk SD hingga SMA. Kurikulum baru ini akan direalisasikan secara bertahap. Tahap awal akan dilaksanakan selama 3 tahun sampai 2009.Hadirnya KTSP sangat diharapkan bisa menyempurnakan dan mengukuhkan pelajaran sastra sebagaimana kurikulum 2004. Namun, yang terjadi justru sebaliknya, nasib pelajaran sastra belum jelas. Berbagai rekomendasi dari berbagai forum sastra, seminar sastra, dan saran akademisi sastra serta para sastrawan agar pelajaran sastra dipisahkan dari pelajaran bahasa, bagai angin lalu saja.

Secara materi ajar, sastra memang mendapatkan porsi yang sama dengan aspek kebahasaan yang meliputi membaca, menulis, berbicara, dan mendengarkan. Tetapi ada dua hal dalam KTSP yang justru mengaburkan posisi pelajaran sastra Indonesia.

Pertama, pelajaran sastra tidak secara ekplisit disebutkan dalam standar isi KTSP 2006. Sejak pertama membaca standar isi yang jelas terbaca adalah standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran bahasa Indonesia. Bahkan untuk penyebutan guru pun sudah tidak ada embel-embel guru sastra, yang ada adalah guru bahasa Indonesia. Padahal, dalam KBK 2004 secara jelas tercantum pelajaran (apresiasi) sastra, walaupun masih melekat pada pelajaran bahasa Indonesia.

Kedua, KTSP tidak memunculkan nilai sastra (dalam rapor) untuk menghargai prestasi siswa dalam pelajaran sastra. Dari berbagai pertemuan dengan para guru bahasa Indonesia hampir semuanya bingung untuk memberikan nilai evaluasi sastra. Karena nilai sastra menjadi satu (terintegrasi) dengan nilai bahasa Indonesia. Apalagi sampai saat ini belum ada panduan sistem penilaian dan evaluasi KTSP, sebagian besar masih mengacu pada KBK 2004.

Penghambat
Pergantian penguasa, kekuasaan, dan kurikulum tidak akan mengangkat sastra ke tempat yang lebih baik bila beberapa penghambat pengajaran sastra tidak mendapatkan solusi yang serius.

Pertama, masih melekatnya pelajaran sastra dengan bahasa Indonesia. Pelajaran sastra yang masih 'ikut' pelajaran bahasa Indonesia pada pelaksanaannya akan bergantung pada guru-guru bahasa. Kalau guru bahasa mempunyai apresiasi sastra yang tinggi, maka pelajaran sastra akan mendapatkan perhatian yang lebih. Namun sebaliknya, jika guru tidak memiliki minat terhadap sastra atau apresiasi sastranya rendah, maka pembelajaran sastra cenderung akan dilaksanakan apa adanya sesuai tuntutan 'pemenuhan' kurikulum. Apalagi selama ini pelajaran sastra hanya menyumbang tidak lebih dari 20 persen nilai Bahasa Indonesia pada rapor, persentase nilai lainnya lebih banyak pada kebahasaan.

Kedua, rendahnya budaya baca di kalangan guru dan siswa. Faktor ini disebabkan banyak hal: terbatasnya kemampuan guru untuk membeli buku atau majalah sastra, budaya baca belum tercipta, dan arus konsumerisme akibat kapitalisme menjadikan buku sebagai kebutuhan yang kesekian kali. Salah satu indikasinya, banyaknya keluhan dari para sastrawan disebabkan enggannya penerbit mencetak buku-buku sastra karena tidak laku jual. Penelitian Taufiq Ismail tahun 1997 yang menyebutkan bahwa siswa di Indonesia yang membaca sastra 0% dibanding negara lain saat ini pun masih relevan. Bagaimana mungkin budaya baca tumbuh di kalangan siswa bila para gurunya juga enggan membaca?

Ketiga, minimnya kemampuan guru dalam mengajar sastra. Penyebabnya antara lain, masih kuatnya pola pengajaran lama walaupun tuntutan perubahan begitu kuat. Rutinitas membaca buku paket, menggarisbawahi apa yang disampaikan guru, membuat ringkasan, dan menghafal teori, nama sastrawan, dan karyanya dengan orientasi persiapan ulangan atau ujian.

Pelajaran apresiasi puisi mungkin salah satu materi ajar yang menarik. Namun dapat membosankan karena guru tidak memiliki wawasan yang luas, keterampilan yang memadai, dan fasilitator yang proporsional. Tidak seperti pengajaran teori sastra atau sejarah sastra yang lebih menekankan aspek kognitif. Apresiasi puisi membutuhkan persiapan khusus, karena semua pihak yaitu guru, siswa, dan puisi itu sendiri berposisi sebagai objek. Alur komunikasi dalam kegiatan tersebut tidak mungkin satu arah untuk mendapatkan pemahaman, tetapi melalui proses diskusi atau dialog.

Kurangnya kecintaan guru kepada sastra selain malasnya guru untuk membaca juga diperparah dengan tidak adanya pembinaan secara merata untuk meningkatkan kualitas guru dalam pengajaran sastra. Padahal, guru sastra profesional selalu berusaha melakukan berbagai improvisasi agar pelajaran sastra menyenangkan. Guru dapat memberikan kebebasan kepada siswa untuk membaca dan mengapresiasi beragam karya sastra (termasuk karya pop) dengan pandangan mereka sendiri. Guru hanya berperan sebagai narasumber dan fasilitator.

Idealisme pada kurikulum 2004 dan KTSP 2006 yang memberikan ruang kreativitas kadang terkendala dengan target mengejar nilai (angka) ujian yang tinggi sehingga kreativitas sastra 'tergusur' demi tuntasnya materi pelajaran agar sesuai dengan SKL ujian. Bisa dilihat soal-soal dalam Ujian Nasional (UN) yang lebih mengedepankan sisi kognitif daripada apresiatif. Akibatnya, pelajaran sastra yang seharusnya memberi pencerahan bagi komunitas sosialnya, menjadikan siswa sebagai 'manusia' bagi dirinya.

Kesulitan juga muncul saat praktik penulisan sastra, karena para guru belum biasa terlibat dalam kegiatan tulis menulis. Memang pelajaran sastra di sekolah bukan untuk mencetak siswa menjadi sastrawan. Sastra diajarkan di sekolah dan dimasukkan kurikulum karena masih diyakini bahwa sastra memberi manfaat, mengasah kepekaan siswa terhadap berbagai masalah kehidupan beserta alternatif solusinya.

Keempat, kurangnya sarana dan prasarana. Hal ini dapat dicermati dari langkanya perpustakaan sekolah yang menyediakan berbagai referensi yang up to date (novel, cerpen, puisi, naskah drama, dan penunjang apresiasi sastra), lebih banyak buku-buku lama. Kondisi hampir sama pun dialami perpustakaan yang dikelola oleh pemerintah. Akses informasi untuk mencerahkan (majalah, intrnet, dan alat komunikasi) bagi guru terbatas. Kondisi tersebut semakin memprihatinkan dengan tidak adanya tempat untuk berekspresi (sanggar sastra, gedung/aula teater) yang representatif. Bandingkan dengan pelajaran yang lain seperti sains yang mempunyai laboratorium cukup lengkap.

Kelima, kurangnya perhatian pemerintah dan masyarakat. Penghargaan kepada sastrawan yang nyaris tidak terdengar. Justru penghargaan yang diperoleh sastrawan Indonesia bersal dari negara lain. Berbeda dengan profesi di bidang lain (olahraga, ekonomi, IPTEK, dan politik) yang begitu meriah, dielu-elukan, dan mendapat berbagai fasilitas. Jangan kaget apabila sebagian besar siswa di sekolah enggan menggeluti sastra sebagai profesi yang tidak begitu menjanjikan untuk jaminan masa depan.

Mencermati berbagai kondisi dan realitas saat ini sastra yang kurang mendapat tempat di masyarakat dan pemerintah, rasanya cukup sulit untuk mewujudkan bahasa dan khususnya Sastra Indonesia menjadi pelajaran yang menarik dan favorit. Kiranya perlu memperoleh perhatian yang cukup dari berbagai pihak untuk mengangkat sastra ke tempat yang lebih terhormat. Jangan sampai ada anggapan bahwa belajar sastra membuang waktu sia-sia. Karena tidak satu dua rekan guru bahasa dan sastra Indonesia yang berkeluh kesah bahwa pelajaran sastra kurang menarik atau diminati para siswa.

* Achmad Bashori, Guru bahasa dan sastra Indonesia

Sumber: Republika, Minggu, 28 Desember 2008

Kesusastraan bagi Anak-anak

Esai Kurnia JR

APA yang kita dapati di Indonesia sekarang mungkin agak mirip abad yang dihayati Charles Dickens dulu. Kita masih menyaksikan anak-anak berkeliaran di jalan-jalan hingga larut malam. Mereka mengelap kaca mobil yang berhenti saat lampu lalu lintas menyala merah, melompat ke dalam bus kota untuk mengamen, mengemis di jembatan penyeberangan, menjadi korban sodomi dan pemerkosaan, bergaul dengan pencopet, dan sebagainya. Tak sedikit anak-anak di bawah umur terpaksa bekerja membantu orangtua atau diperdagangkan menjadi pelacur.

Kasus penyiksaan orangtua terhadap anak sering mengisi halaman surat kabar. Inilah sisi dunia rapuh anak-anak. Tampaknya kesusastraan kontemporer kita kurang menaruh perhatian pada kenyataan ini. Saya ingat sebuah cerita yang menarik tentang anak-anak jalanan: Burung-burung Kecil. Kisah ini dimuat sebagai cerita bersambung di majalah Femina pada 1991. Pengarangnya lebih suka dikenal dengan nama Kembangmanggis. Dia melakukan riset dan menuangkan hasilnya dalam bentuk novelette tentang anak jalanan di kawasan Senen, Jakarta Pusat. Kisah terbaru yang sedang digandrungi adalah Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Betapapun, setiap orang mendambakan harapan atas dunia yang tak selalu memenuhi kebutuhan. Secara umum, Laskar Pelangi menanggapi harapan itu, menggugah kesadaran tentang perubahan yang bisa diupayakan.

Kenyataan boyak pada suatu generasi hanya bisa ditanggulangi oleh generasi yang bersangkutan dengan ketangguhan diri hasil pendidikan yang wajib disediakan oleh generasi pendahulu. Empati terbesar tentu dimiliki oleh yang terlibat.

Anak-anak yang beruntung di segala zaman menikmati pendidikan melalui kesusastraan. Para penutur dongeng, penulis, serta penyanyi lagu ninabobo dari masa ke masa menaruh perhatian besar pada anak-anak. Bahkan, bagi orang dewasa, kesusastraan menyapa lewat naluri kanak-kanak. Sastrawan menulis dan bertutur lewat imajinasi kanak-kanak yang bersemayam dalam jiwa mereka.

Contoh yang klasik adalah Alice in the Wonderland (1865) karya Lewis Carroll yang masyhur. Kisah itu sangat digemari anak-anak di berbagai negeri. Melintasi masa hampir satu setengah abad, kisah petualangan Alice terus diterjemahkan ke dalam banyak bahasa dan direproduksi ke dalam berbagai bentuk, dari prosa ke komik, terus ke film dan sebagainya. Lewis Carroll alias Charles Lutwidge Dodgson adalah seorang ahli matematika dan logika. Fakta ini menegaskan bahwa sastra bagi anak-anak menuntut integritas yang berdisiplin tinggi. Para redaktur majalah anak-anak pastilah memahami hal itu sehubungan dengan cerita-cerita yang mereka terbitkan. Selayaknya, kita pun patut menyadari konteks budaya dan ekonomi dari karya yang diciptakan di suatu tempat pada suatu masa.

Dunia anak-anak dari sudut pandang literer bukan miniatur dunia orang dewasa. Dunia mereka adalah wilayah otonom yang menuntut disiplin logika tersendiri. Wilayah anak-anak bukanlah tempat bagi penulis yang sembrono dan menganggap publiknya sekadar tong sampah tempat segala kebohongan ditumpahkan.

Sebagian penulis kadang-kadang terjerumus pada anggapan bahwa dongeng untuk anak-anak cukup berisi ajaran moral yang sumir: kejahatan dikalahkan kebaikan. Prinsip simpel semacam ini umumnya dianut oleh penulis komersial, yang memandang anak-anak sebagai target pasar semata. Mereka lupa bahwa pengolahan imajinasi adalah aspek yang tak boleh diabaikan, disertai aspek moral khas yang lentur. Keluwesan adalah fondasi penting supaya anak-anak tidak dipukau oleh jarak tak terjembatani antara apa yang mereka baca dan apa yang mereka saksikan di dunia nyata.

Dongeng-dongeng HC Andersen menjadi klasik bahkan bagi pembaca dewasa. Kisah-kisahnya tak sekadar menyajikan moral kebaikan dan ketabahan, tetapi juga keindahan yang menyentuh hati. Setelah menempuh perjuangan disertai kejujuran dan ketabahan, kisah ditutup dengan pola yang masyhur dan kita hafal: ”Mereka pun selanjutnya hidup bahagia selama-lamanya.” Dongeng-dongeng Andersen atau Jacob Grimm membuat masa kanak-kanak berjuta-juta orang terasa indah dalam kenangan. Pola cerita yang mereka terapkan tetap berlaku hingga sekarang. JK Rowling dan JRR Tolkien bertolak dari sistem moral yang baku dalam karya-karya mereka yang sukses besar secara komersial dan boleh dibilang menjadi dongeng abad ini. Tokoh baik mengalahkan tokoh jahat. Betapapun angker dan perkasa si tokoh jahat, ia pasti lebih lemah di hadapan tokoh baik. Kita tunggu, setangguh apa Harry Potter dan The Lords of the Ring menghadapi ujian waktu.

Andersen menulis dari lubuk hati dan empati karena ia kenal penderitaan sejak masa kecilnya. Ia tuturkan imajinasinya yang hebat dengan gaya yang memukau: tentang bunga lili yang tumbuh di atap rumah, dekat jendela kamar loteng, atau tentang anak miskin yang, karena ketabahan dan kejujuran, berhasil mempersunting putri raja. Dongeng-dongeng Andersen menanamkan pengertian ke dalam benak anak-anak bahwa hidup ini patut diperjuangkan dan karena itu indah. Hidup yang diisi dengan kebajikan pasti akan berbuah keberuntungan. Dalam dongengnya, dunia terasa mengharukan. Andersen seakan membawa misi mengungkap dunia lembut dan welas asih yang acap terbenam di bawah permukaan dunia keras.

Charles Dickens, pengarang Inggris abad ke-19, dengan karya-karyanya memupuk cinta dan dorongan untuk memperbaiki realitas sosial. David Copperfield, Oliver Twist, Dombey and Son, dan lain-lain melukiskan kehidupan yang keras, dangkal, tapi juga mengharukan. Perhatian utama Dickens adalah nasib anak-anak yang tragis sebagai dampak Revolusi Industri.

Dickens menjalani masa kanak-kanak yang menyedihkan. Hidup melarat dengan ayah dipenjara gara-gara utang. Dua hari setelah ulang tahunnya yang ke-12, ia harus bekerja di pabrik Warren’s yang membuat dia menderita. Trauma itu membekaskan luka jiwa yang tak pernah sembuh seumur hidupnya. Pengalaman masa kecil yang pahit sangat berperan sepanjang kariernya sebagai sastrawan. Dickens melukiskan anak-anak Inggris pada abad ke-19 yang dipaksa bekerja di pabrik-pabrik hingga jauh malam dengan upah sangat rendah atau tanpa bayaran sama sekali, juga anak-anak jalanan dalam Oliver Twist.

Dari Amerika, pada paruh kedua abad ke-19 Mark Twain menghadiahkan kisah tentang dunia anak-anak yang polos, tetapi sarat dengan ajaran hidup. Tom Sawyer dan Huckleberry Finn layak diperkenalkan kepada anak-anak kita. Buku-buku itu menyuguhkan kisah petualangan yang seru dan jenaka sambil memperkenalkan kearifan hidup dalam konteks kemajemukan sosial.

Dari kesusastraan masa Balai Poestaka, ada kisah Si Jamin dan Si Johan karya Jan Smees yang disadur Merari Siregar. Buku itu menggambarkan nasib anak-anak yang pahit. Mereka yang pernah membaca buku itu selalu terkenang akan tragedi yang dilukiskan. Tentu saja, bukan hanya cerita sedih yang masuk catatan. Si Doel Anak Betawi karya Aman yang jenaka sekaligus mengharukan telah menjadi legenda dalam kesusastraan Indonesia.

Buku adalah satu hal, sedangkan sarana untuk mempertemukan sastra dengan anak-anak adalah hal lain. Di sinilah pemerintah dan orangtua berperan. Dalam kesusastraan, buku hanya salah satu media. Anak-anak di usia dini pastilah beruntung jika memiliki orangtua yang sudi mendongeng di ranjang mereka menjelang tidur, walau tidak setiap malam. Sementara itu, pemerintah selalu diharapkan mengatur harga kertas agar penerbit dapat menyediakan buku murah. Lebih dari semua itu, fondasi utama adalah pendidikan dasar: melek huruf, diiringi pemenuhan hak dasar hidup anak-anak selaku warga negara. Kita masih menanti pemerintah yang mampu menunaikan amanat konstitusi: anak telantar dipelihara oleh negara.

Sastra pun dapat diakses melalui internet. Di sinilah pemerintah, lembaga nonpemerintah, dan orangtua secara bersama-sama dituntut berperan aktif membantu anak-anak sehingga mendapatkan apa yang patut bagi mereka. Yang diperlukan bukanlah blokade atau berbagai larangan sebab internet adalah fenomena dunia yang bocor. Cukuplah kita renungkan kutipan berikut ini dari Han Suyin (A Many-Splendoured Thing), ”Betapa senangnya menjadi anak Cina,” kata Pater Low. ”Mereka selalu diajak ke mana-mana. Mungkin itulah sebabnya mereka selalu mudah diurus dan tidak mempunyai banyak kesulitan. Mereka tidak dipisahkan dan dilindungi dari kehidupan nyata sehingga tidak shock saat terjun ke dunia nyata. Kami mendidik orang-orang yang keliru, tapi kalian mendidik pria-pria dan wanita-wanita untuk hidup di dunia orang dewasa. Anak-anak itu tidak ikut-ikutan berbicara atau meniru kelakuan orang dewasa sebab tak banyak yang disembunyikan dari mereka, dan mereka tak percaya orang dewasa lebih banyak tahu daripada mereka.”

* Kurnia JR, Pengarang

Sumber: Kompas, Minggu, 28 Desember 2008

Tuesday, December 2, 2008

Borneonews kembali Raih Penghargaan

HARIAN Umum Borneonews (melalui reportase Andri Saputra, anggota Kantong Sastra, red) menjadi media massa daerah terbaik di Indonesia dalam journalist writing contest (JWC) yang diselenggarakan Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan.

Juara nasional pertama direbut majalah Gatra (Jakarta), Seputar Indonesia (Jakarta) posisi kedua, dan Media Indonesia (Jakarta) di posisi ketiga. Sedangkan Borneonews (Kalteng) jadi harapan I, diikuti Tabloid Maritim harapan II (Jakarta), dan Koran Kurson (Kupang) harapan III.

Bagi Borneonews ini adalah kali keempat mendapatkan penghargaan sepanjang 2008. Sebelumnya, artistik, editorial, dan hasil percetakan Borneonews dinilai terbaik di Kalimantan.

Baru-baru ini Borneonews juga menjadi yang terbaik se-Kalimantan dalam penggunaan bahasa Indonesia tingkat nasional atau koran daerah terbaik kedua di Indonesia setelah Tribun Timur (Makassar).

Tidak hanya itu, Zulkarnain Zubairi (dengan nama pena Udo Z Karzi) juga mendapatkan Hadiah Sastra Rancage 2008 untuk buku puisinya, Mak Dawah Mak Dibingi/Tak Siang Tak Malam (BE Press, 2007).

Beberapa penghargaan itu menjadi kado manis bagi Borneonews yang akan merayakan HUT kedua 23 Desember nanti.

Pada journalist writing contest (JWC) itu, wartawan Borneonews Andri Saputra mengambil tema Peran Program Small-Scala Natural Resources Management Scheme (SNRMS) Marine and Coastal Resources Manangement Program (MCRMP) dalam menjaga keberlanjutan sumber daya pesisir dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Dalam lomba kali ini, Andri Saputra menampilkan karya tulis dengan judul Fajar Baru dari Pesisir yang mengupas penerapan program SNRMS MCMRP pada sepanjang desa yang ada di kawasan pesisir pantai Kobar mulai dari Desa Kubu, Sungai Bakau, Teluk Bogam, Keraya, hingga Desa Sabuai.

"Bagi saya, prestasi ini merupakan kemenangan tim. Terima kasih atas dukungan rekan-rekan kerja yang sudah membantu. Tak lupa, terima kasih juga untuk Pak Hepy dari DKP Kobar yang banyak membantu dalam observasi data lapangan" kata Andri. (Dri/B-1)


Juara Journalist Writing Contest

1. Gatra (Jakarta)
2. Seputar Indonesia (Jakarta)
3. Media Indonesia (Jakarta)
4. Borneonews (Kalteng)
5. Tabloid Maritim (Jakarta)
6. Koran Kursom (Kupang)

Sumber: Departeman Kelautan Perikanan

Dari: Borneonews, Selasa, 2 Desember 2008

Wednesday, November 26, 2008

Gelisah

Sajak Erna Rasyid


Biarkan aku menyibak rindu sejenak
Yang semakin hari semakin senja
Aku takut ia menua dalam dekapan malam yang runtuh oleh matari…
Biarkan aku menampik gelisah sesaat
Yang semakin mengikis irama tawa
Biarkan aku mengais waktu agar bisa bersua denganmu dalam kenangan
Mungkinkah aku menemukan seraut wajah
di balik redupnya matari?
Mungkinkah aku menari dengan bulan yang menampakkan cahaya gemulainya?

Aku gelisah tatkala kutampik rona merah membumi
Aku gelisah ketika ku ukir senyuman di dedaunan kering
Aku gelisah tatkala ku lihat banyak wajah tanpa mulut melumat bumi
Tanah haus akan belaian manusia
Langit bagai kertas yang terbentang tanpa ujung, kelak akan runtuh
Tentang rindunya kepada tanah untuk bercumbu…

Makassar, 24 November 2008

Lukisan Tak Berwajah

Cerpen Erna Rasyid


PEKERJAAN sebagai pelukis di kota kecil ini telah lama kugeluti. Aku menyukainya. Setiap bayi yang lahir di kota kecil ini aku tahu. Saat bayi itu berumur lima tahun, akan aku torehkan wajah itu di atas kanvas yang beraneka warna. Saat berumur 17 tahun pun demikian halnya. Wajah mereka dalam lukisan terpampang disetiap sudut kota. Penuh dengan bingkai berwarna warni.

Lima tahun yang lalu, ada dua bayi yang lahir. Seorang laki-laki dan perempuan. Hari ini aku harus melukis wajah mereka. Yang laki-laki telah selesai aku lukis wajahnya. Sungguh tampan wajah anak ini. Kulitnya halus. Putih seperti pualam. Wajahnya bulat. Yang lebih menarik adalah sorotan matanya yang begitu tajam. Aku yakin, jika anak ini telah tumbuh dewasa ia bisa memikat hati banyak perempuan dengan tatapannya.

Hanya membutuhkan waktu setengah jam untuk menyelesaikan tugas ini. Sudah biasa aku melihat paras setiap anak seperti ini. Setelah anak laki-laki tersebut, tibalah giliran si anak perempuan. Ia datang ke tempatku bersama dengan seorang nenek . Baju kebaya si nenek mulai lusuh. Begitupun dengan sarung kotak-kotak yang ia kenakan. Nenek itu lalu tersenyum kepadaku. Mengingatkanku kepada ibuku.

Anak perempuan itu lalu duduk di kursi. Tepatnya dihadapanku. Sesaat aku memperhatikannya. Wajahnya biasa-biasa saja tetapi ada pancaran lain dari wajah itu. Aku merasakan ada sesuatu yang beda. Seumur hidup pekerjaan ini aku lakukan baru kali ini mendapati seorang anak yang berbeda. Sulit aku menebak sesuatu yang beda itu. Anak itu selalu saja tersenyum kepadaku. Seperti senyuman nenek yang mengantarnya. Tanpa membuang waktu, aku mulai melukis wajah itu di atas kanvas kesayanganku. Coretan demi coretan aku oleskan di atas kertas putih itu. Aku heran mengapa keringat dingin menyerangku. Tangan ini terasa bergetar. Pensil yang aku gunakan selalu saja terjatuh di lantai. Aku gugup. Siapa gerangan anak perempuan yang aku lukis ini. Begitu misteriusnya ia sampai-sampai tanganku gemetaran. Senyuman yang ia pasang di bibir tipisnya mulai menakutkanku. Telah satu jam aku habiskan waktu tetapi sketsa lukisan itu belum selesai. Aku mulai khawatir dengan diriku. Mengapa aku sulit melukis anak ini. Mungkin karena aku gugup jadi tidak bisa konsentrasi. Pikirku menghibur.

Tidak terasa senja akan segera berlalu. Dari seberang barat awan mulai kemerah-merahan. Sedang matahari hanya sepotong kisah. Malam akan segera hadir. Nenek dan anak perempuan itu mungkin cucunya, baru saja pulang. Bukan hendak mengusirnya. Aku menyuruhnya untuk datang lagi besok pagi ke rumahku. Hari ini lukisan anak perempuan itu belum selesai. Seharian aku tidak bisa melukisnya. Entah mengapa. Padahal ia masih seperti anak-anak kebanyakan. Mungkin aku yang tidak fit sehingga tidak bisa konsentrasi melukis. Besok pagi akan aku lukis lagi anak perempuan itu. Saat ia pamit kepadaku, senyuman itu masih menakutkan bagiku. Semoga saja ia tidak memasang senyumannya lagi esok. Harapku.

Aku rebahkan tubuh lelah ini di tempat tidur. Sejenak menerawang kisah-kisah pagi tadi. Kertas yang ada di genggamanku hanya bisa kutatap. Tidak ada coretannya sedikit pun. Masih kosong. Aku ragu kertas ini masih kosong esok pagi. Aku tidak habis pikir. Mengapa aku tidak bisa melukis anak perempuan tadi. Tidak ada yang istimewa darinya. Ia masih seperti anak-anak yang lain di luar sana. Aku semakin penasaran dengan anak perempuan itu. Hari ini ada banyak kejadian aneh menimpaku.

Esok pun tiba. Aku bangun pagi-pagi sekali mempersiapkan segalanya. Hari ini anak perempuan itu harus aku lukis. Kursi yang ia duduki kemarin telah aku bersihkan. Peralatan lukisku pun telah aku persiapkan dari tadi. Aku tidak ingin ada yang ketinggalan. Setelah bertahun-tahun menggeluti pekerjaan ini, baru kali ini ada kejadian seperti ini. Aku bisa malu jika hal ini diketahui oleh orang banyak.

Setelah agak lama menunggu, anak itu pun datang. Ia masih saja didampingi oleh nenek yang kemarin. Segera aku mempersilahkan mereka duduk. Tanpa basa basi, aku pun menyuruh si anak duduk di kursi yang tadi aku bersihkan. Jantungku langsung berdegup kencang saat ia menatapku dengan senyumannya yang kemarin. Segera mata ini aku sibukkan dengan peralatan lukisku. Tanpa membuang banyak waktu, aku segera memulai melukisnya. Tangan ini gemetar memegang pensil yang semalam tadi telah aku persiapkan. Keringat di dahiku lalu aku usap dengan sapu tangan yang ada di sampingku. Saat aku menoleh, tatapanku bertemu pada satu titik dengan mata nenek itu. Aku berikan saja senyuman yang aku miliki. Ia pun membalas senyumanku.

Satu jam telah berlalu. Kertas itu masih kosong. Dua jam telah berlalu. Kertas itu masih juga kosong. Hingga senja menyapa kertas itu masih kosong juga. Anak dan nenek itu pun aku suruh pulang. Minggu depan lukisannya baru jadi. Nenek itu lalu mengucapkan terima kasih dan memberiku upah. Mereka lalu berlalu. Sedang aku hanya bisa menatap kepergian mereka dengan perasaan cemas.

Seminggu telah berlalu. Nenek itu belum muncul ke rumah mengambil lukisan anak perempuan itu. Sebulan telah berlalu. Nenk itu belum muncul juga. Tanpa terasa setahun telah berlalu. Nenek itu tidak pernah datang ke rumah mengambil lukisan anak perempuan itu. Walaupun begitu, Aku masih saja menunggu hingga nenek itu datang mengambilnya.

***

Hujan pagi ini turun dengan derasnya. Suara Guntur selalu saja membuatku takut. Sepertinya aku harus menunggu hujan reda untuk keluar. Hari ini ada sebuah lukisan yang harus aku antarkan kesebuah rumah. Pemilikinya tidak bisa datang ke rumah mengambilnya karena sibuk. Tidak ada salahnya juga aku yang mengantarnya. Apalagi upah telah aku terima dua hari yang lalu.

Tepat pukul 12 siang hujan pun reda. Segera lukisan itu aku bawa keluar. Lukisan ini harus sampai ke sebuah rumah hari ini juga. Jalanan sangat becek membuat celanaku agak kotor. Tetapi itu tidak menajdi soal yang penting lukisan ini sampai ke alamat yang ditujuh.

Di tengah jalan aku melihat seorang nenek ingin menyeberang. Ia kelihatannya agak kesulitan. Tongkat yang ia gunakan tidak bisa lagi menyanggah tubuhnya yang renta. Aku berlari menuju kearahnya. Segera nenek itu aku papah dan membantunya menyeberang. Sejenak aku perhatikan wajahnya. Sepertinya aku pernah melihat nenek ini. Pakaian kebaya yang ia kenakan pun aku pernah melihatnya. Begitupun dengan sarung yang ia pakai. Saat nenek itu berbalik menatapku, jantungku berdegup kencang tak karuan. Aku hampir saja terjatuh ke belakang karena kaget. Aku ingat. Nenek ini yang pernah datang ke rumah bersama dengan seorang anak perempuan. Aku lalu teringat lukisan anak perempuan itu. Aku semakin kaget saat nenek itu tersenyum kepadaku. Senyuman setahun yang lalu.

Kami lalu mencari tempat duduk. Aku lalu bertanya kepada nenek itu, mengapa ia tidak pernah datang ke rumahku mengambil lukisan itu. Padahal aku selalu saja menunggu. Ia malah memperlihatkan wajah yang sedih. Ada butiran-butiran kaca dalam kelopak matanya. Ia mulai terisak. Ia lalu bercerita kepadaku. Anak perempuan yang ia bawa ke rumahku setahun yang lalu adalah cucunya. Ia tidak mempunyai orang tua. Lebih tepatnya kedua orang tuanya tidak mau megakuinyas ebagai anak. Ia lahir ke dunia ini sebelum ayah dan ibunya menikah. Tida ada anak-anak tetangga yang mau bermain dengannya. Para tetangga pun tidak suka kepadanya. Katanya, anak perempuan itu anak haram. Walaupun demikian, anak perempuan itu tetap dianggapnya cucu oleh nenek ini.

Setengah tahun yang lalu, sebuah kecelakaan menimpa anak perempuan itu. Saat hendak menyeberang jalan, sebuah mobil melaju dengan kencangnya. Ia tidak melihat mobil itu. Saat itu juga, kecelakaan itu merenggut nyawanya. Yang lebih membuatku kecewa, kedua orangtuanya tidak datang pada saat pemakamannya.

***

Kini aku berdiri disebuah nisan berwarna cokelat tua. Ada sebatang bunga kamboja yang tumbuh di samping makam itu. Bunganya mulai bermekaran. Mungkin merasakan kehadiranku. Hanya sebuah lukisan yang bisa aku persembahkan untuk anak perempuan ini. Lukisan setahun yang lalu. Yah. Sebuah lukisan tanpa wajah. Wajah yang tidak bisa membuatku melukisnya di atas kertas putih. Wajah yang ternyata selama ini tidak dianggap oleh orang-orang yang ada disekitarnya. Sekarang wajah itu terbaring di bawah sebuah nisan yang bertuliskan sebuah nama. Maya. Sebuah ketidakpastian.

Pinrang, 26 September 2008

Gerimis dan Ayah

Cerpen Erna Rasyid


AKU tahu akan menjadi seorang yang akan dikenal dimana-mana. Dipelosok kota hingga ke desa-desa. Semua orang menghormatiku. Kehormatan yang sangat diinginkan oleh semua orang, pikirku. Panggil saja aku Abdullah. Maaf. Bukan Abdullah tetapi Joan. Panggil aku Joan. Itulah namaku. Kepada siapa saja kamu bertanya mengenai nama itu, pasti semua orang tahu. Tidak ada kesulitan bagimu untuk tahu mengenai aku. Diumur yang menginjak 35 tahun ini, aku merasa telah mencapai segalanya. Meraih segalanya bersama dengan semua angan-anganku dahulu.

Pagi ini ada sebuah harapan untukku. Yah, harapan itu akan selalu ada. Masih mengenakan piyama, aku meneguk segelas kopi di meja. Kopi pahit dan kental yang telah disiapkan oleh pembantu sedari tadi. Mataku tertuju pada sebuah koran pagi ini. Segera aku duduk tak sabar menikmati suguhan koran itu. Baru saja halaman pertama yang aku buka, bibirku tersenyum pertanda kemenangan. Mata ini memancarkan sorotan bahagia. Koran itu lalu aku akhiri dengan tegukan terakhir kopi pahit dan kental itu. Kurasakan perutku telah kenyang oleh suguhan koran itu. Bukan dengan kopi.

Hari ini libur bagi pegawai. Aku menggunakan waktu luang ini untuk mencari angin segar atau mungkin ada bisnis baru yang bisa mendatangkan keuntungan yang besar. Istriku aku biarkan ke rumah temannya. Katanya ada arisan. Mungkin sore baru kembali bahkan bisa saja malam. Aku memutuskan ke rumah sahabat lamaku. Pandi. Hanya untuk silaturrahmi. Sudah lama aku tidak bertemu dengannya.

Pagar rumahnya tidak terkunci. Pagar besi yang mulai karatan karena masa. Aku lalu masuk. Segera pintu ku ketuk. Agak lama juga. Kemudian seorang membuka pintu rumah itu. Aku terkejut melihat penampilannya. Rambut yang awut-awutan, wajah kusut tidak pernah diseterika, dan masih mengenakan piyama.. Sahabatku. Pagi ini disambutnya aku dengan penampilan seperti itu. Bagaimana mungkin seseorang itu mau maju kalau penampilannya saja tidak bisa diurusnya. Dengan langkah malas ia mempersilahkanku masuk.

“Mau minum apa?” tanyanya sesaat

“Kopi.” jawabku datar

“Tunggu sebentar aku buatkan.”

Aku hanya mengangguk mendengar kalimatnya yang terakhir.

Sudah hampir 2 tahun aku tidak berkunjung ke rumah ini. Masih seperti dulu. Tidak banyak yang berubah. Hanya saja di dinding ruang tamu terdapat sebuah lukisan pemandangan gunung Bawakaraeng. Bagiku itu tidak menarik. Hanya gunung yang bertumpuk-tumpuk dengan warnanya yang hijau seperti karpet yang dijual di emperan toko. Dekat sofa ada sebuah buffet. Di atasnya terdapat dua buah foto terpajang dengan anggunnya. Yang satu fotoku dengan sahabatku sewaktu kami masih menyandang gelar mahasiswa. Yang kedua foto sahabatku dengan keluarganya. Ternyata ia masih menyimpan foto-foto ini. Aku melangkah menuju sebuah jendela di ruang tamu ini. Jendela yang menghadap ke timur. Segera jendela itu aku buka dan membiarkan udara pagi merasuki rumah ini. Berharap ilmu yang mengawang di udara hinggap di kepalaku. Aku melempar pandangan ke luar. Ada banyak petani yang sedang memikul cangkulnya di luar sana. Sedang ibu tani membawa bakul. Mereka hendak ke sawah. Aku melihat senyuman dan tawa di bibir petani-petani itu. Alangkah bahagianya mereka. Tetapi hidup mereka tetap tidak berubah. Aku ingat teman kuliahku dahulu. Namanya Anwar. Ia anak seorang petani. Orangnya sangat rajin dan ramah. Ia bercita-cita menjadi seorang pengusaha dan bekerja di kota besar. Sehingga bisa menghasilkan banyak uang dan menghidupi keluarganya. Ia tidak mau lagi melihat ayahnya bekerja banting tulang di sawah. Tetapi semua keinginannya itu hanya impian belaka. Lulus kuliah bukan pengusaha yang ia kerjakan melainkan menjadi petani seperti ayahnya. Aku tidak tahu persis mengapa itu bisa terjadi. Seharusnya memang seperti itu. Benarlah ada pepatah mengatakan, buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Memang pantas ia seperti itu.

Suara sahabatku mengagetkanku. Dua gelas kopi telah berada di atas meja. Kepulan asapnya menggoda untuk segera meneguk kopi itu. Aku beranjak mengambil cangkir sebelah kanan. Sejenak kuperhatikan cangkir itu. Warnanya putih dengan gambar sebuah rumah. Mungkin cangkir ini baru, pikirku. Waktu aku tinggal di rumah ini, aku tidak pernah melihat cangkir ini.

“Nggak usah heran. Itu cangkir baru,” sela sahabatku saat melihat tingkahku

Aku baru sadar telah diperhatikannya tingkahku sedari tadi. Aku baru sadar, ternyata ia telah mengenakan kaos oblong kesukaannya. Piyama itu tidak melekat lagi di tubuhnya. Ternyata ia mengganti pakaiannya. Pantas saja aku menunggu begitu lama.

“Makin maju kamu sekarang. Selain menjadi dosen di salah satu universitas ternama di kota ini, kamu juga aktif menulis diberbagai media. Apalagi tesismu sekarang ini telah mengguncang dunia pendidikan. Bahkan tulisan-tulisanmu selalu menggetarkan pembaca,” kata sahabatku memecahkan kesunyian.

“Memang seharusnya seperti itu. Ilmu pengetahuan adalah segalanya. Jika kamu tidak mempunyai ilmu itu, yakinlah kamua akan ketinggalan dan tidak akan maju.”

“Bagiku ilmu memang penting. Yang bisa membuat kita melakukan apa saja. Yah, apa saja. Tetapi alangkah ruginya seseorang jika mengagung-agungkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya tetapi lupa kepada yang menghidupinya.”

Mendengar kalimat terakhir sahabatku itu, tiba-tiba hatiku tersayat. Tidak ada lagi nafsu untuk meneguk kopi yang masih tersisa di cangkir itu. Aku terbakar amarah sendiri. Kurasakan api menyala-nyala di tubuhku. Apa sahabatku ini ingin menyerangku juga seperti teman-teman yang lain. Teman-teman yang selalu menganggapku budak ilmu pengetahuan. Tetapi bagiku mereka hanya iri melihat kesuksesanku sekarang ini. Tidak seperti mereka yang hanya bekerja sebagai petani, pedagang,dan lain-lain. Bagiku pekerjaan itu memang pantas mereka dapatkan. Tetapi hari ini sahabatku sendiri menyerangku sampai menusuk ke tulang-tulangku. Bibirku gemetar. Aku lalu melihat sorotan matanya mengarah kepadaku. Seperti badik yang siap-siap menikam tepat di jantungku. Tetapi aku melihat masih ada sahabat di sana bukan musuh yang kurasakan. Sebisa mungkin bibir ini aku paksa tersenyum kepadanya.

“ Kamu adalah sahabatku. Orang yang masih aku punya selama ini. Aku tidak ingin menganggapmu musuh seperti yang lainnya,” kataku coba menenangkan hati.

“Kamu tersinggung. Padahal aku tidak menuduhmu seperti itu. Aku hanya mengatakan seandainya saja....”

“Cukup. Cukup. Tidak usah diteruskan.” Segera perkataan sahabatku kupotong. Aku tahu ia menjebakku. Aku semakin terbakar . Kepalaku serasa ingin meledak seperti magma yang ingin keluar dari gunung berapi. Aku lalu menghadapkan wajah ini ke jendela. Berharap mendapat kesejukan dari angin yang berhembus. Tetapi sepertinya angin berpihak kepada sahabatku.

“Joan. Sahabatku.” Pandi mendekatiku dan melempar pandangan ke luar jendela. Seperti yang aku lakukan. Tangannya menyentuh bahuku. Sentuhan seorang sahabat. Lalu melanjutkan kata-katanya.

“Kita hidup di dunia ini bukan untuk selama-lamanya. Kita diberi kesempatan untuk berbuat apa saja. Apa saja. Selama perbuatan itu baik untuk diri kita sendiri dan untuk orang lain. Ada banyak cara untuk melakukannya. Misalnya saja mencari ilmu pengetahuan dan menggunakannya untuk suatu hal yang baik. Banyak orang di dunia ini mempunyai ilmu yang tinggi tetapi ada pula yang sama sekali tidak memilikinya. Atau lebih kasar dikatakan bodoh. Seperti kau sekarang ini. Ilmu pengetahuan yang kau miliki telah memperbudakmu. Kamu menjadi angkuh, sombong, merasa diri paling benar dan menganggap semua orang bodoh. Bagiku bodoh itu bukan berarti seperti yang kau maksud. Bisa saja orang bodoh itu pintar dalam sebuah hal tetapi justru kau yang tidak tahu. Bodoh itu relative sahabatku.”

Entahlah mimpi apa aku semalam. Pagi-pagi begini aku mendengarkan ceramah pagi dari sahabatku. Seandainya ia bukan sahabatku, sedari tadi aku sudah melawan serangannya. Hatiku tambah panas mendengar semua ocehan-ocehannya. Tidak sepatutnya ia mengguruiku seperti ini. Aku lebih tinggi daripada dia. Aku seorang dosen di salah satu universitas terbaik di kota ini, tulisanku selalu dimuat di media, dan terakhir beberapa buku telah aku terbitkan. Sekarang ini aku membangun sebuah rumah pengetahuan yang aku miliki. Tetapi hari ini serasa bangunan itu akan runtuh ke tanah karena sahabatku.

Aku heran mengapa aku tidak bisa menangkis semua ocehannya. Mulutku terasa selalu mengatup. Padahal ada jutaan kata yang ingin aku muntahkan segera. Aku seperti murid yang mendengarkan petuah gurunya. Padahal derajatku lebih tinggi daripada ia. Walaupun ia sahabatku.

“Aku heran kepadamu. Kebesaran nama, ilmu pengetahun yang kau miliki membuatmu lupa terhadap asalmu. Masa yang telah merubahmu. Aku hanya ingin melihat sahabatku seperti dulu. Temuilah ayahmu secepat mungkin.” lanjutnya.

***

Malam ini aku tidak bisa tidur. Gusar karena mengingat kata-kata sahabatku pagi tadi. Sudah lama aku tidak menemui ayahku di desa. Yah, sudah 5 tahun aku tidak menemuinya. Bagaimana raut wajahnya sekarang. Apakah keriput mulai menjalarinya. Ayah. Ayah. Mengapa mendengar kata itu hatiku selalu gemetar. Apa benar yang dikatakan oleh semua orang. Bahwa aku telah melupakan tanahku sendiri, melupakan orangtuaku sendiri. Apa yang telah aku inginkan telah tercapai. Semuanya berawal dari kematian ibu sejak aku masih SMP. Orang yang sangat kusayangi telah meninggalkanku di dunia ini. Sejak itu pandanganku berubah kesemua orang. Termasuk ayah. Usaha dan kerja keras yang aku lakukan selama ini membuahkan hasil. Yah, seperti sekarang ini. Semua orang menghormatiku dan tunduk kepadaku. Ilmu pengetahuan yang kumiliki telah merubah segalanya. Aku tidak diremehkan lagi seperti dulu. Seperti ayah. Yang selalu menganggap aku tidak bisa berbuat apa-apa kelak. Kata-kata ayah dulu terbantahkan sekarang. Buat apa aku kembali ke desa. Kembali kepada orang-orang bodoh dan tidak tahu zaman dan teknologi. Aku jadi teringat kata sahabatku. Bodoh itu relatif. Mendengar semua petuhnya tadi pagi membuatku meninggalkan rumahnya tanpa pamit. Aku terbakar amarahku sendiri. Meninggalkan sesal datang ke rumahnya. Ternyata itu pertemuan terakhirku dengannya. Esok ia akan berangkat ke Yogyakarta melanjutkan pendidikannya di sana. Tetapi sebelumnya ia akan kembali ke desanya bertemu dengan kedua orangtuanya terlebih dahulu. Yah, bertemu dengan orangtuanya.

Telah tiga bulan pertemuan terakhirku dengan sahabatku. Aku menjalani hari-hariku seperti biasanya. Rasa rindu kepadanya terobati saat ia menelpon pagi tadi. Sekarang ia berada di Yogyakarta. Ada banyak kisah yang ia ceritakan kepadaku. Tetapi tiba-tiba ia bertanya kepadaku, apakah aku telah menemui ayahku di desa. Aku diam seribu bahasa. Tidak tahu apa yang mesti aku katakana kepadanya. Ada kebisuan yang tercipta diantara kami. Sebelum ia menutup teleponnya, ia mengatakan bahwa saat ia berada di desa, ia bertemu dengan ayahku. Wajahnya sudah keriput. Tubuh renta dan tertopang oleh sebuah tongkat. Badannya kurus seperti kulit membalut tulang. Rambutnya telah memutih. Tetapi ia masih mempunyai senyuman harapan. Harapan dan rindu ingin bertemu dengan anaknya. Apa benar ayah merindukanku. Seumur hidup ia tidak pernah mengatakan itu kepadaku. Apa mungkin sahabatku berbohong kepadaku agar aku pulang menemui ayahku. Aku percaya ia. Tidak mungkin ia berkhianat. Ada getar gelisah dan sedih saat ia berkisah mengenai ayahku. Ada sesuatu yang disembunyikannya kepadaku. Tanpa sadar pipiku hangat karena tetesan airmata.. Mengapa aku menangis. Apa benar aku merindukannya. Apa benar ayah merindukanku. Aku merasa jiwaku telah berada di sampingnya sedangkan ragaku masih berada di sini.

Aku memutuskan untuk kembali ke desa. Sejak perkataan sahabatku tempo hari membuatku tidak tenang. Wajah ayah selalu terbayang. Memang aku telah meraih segalanya. Tetapi ternyata hati ini masih hampa. Kosong. Semakin hari rindu untuk bertemu semakin besar. Selama ini kemegahan telah membuatku lupa kepada tanah yang menghidupiku.

***

Hari ini aku akan menemui ayah. Bersama istriku. Bersama menantunya. Setelah semua barang telah siap, mobil segera melaju. Meninggalkan segala kemegahan. Meninggalkan mulut kekuasaan dan keangkuhan.

Dalam perjalanan pun hatiku tidak tenang. Entah mengapa. Sejak semalam kurasakan seperti ini. Istriku pun tidak tahu. Ia hanya tersenyum kepadaku seolah-olah mengatakan ia akan bertemu dengan mertuanya. Mertua yang selama ini baru sekali ditemuinya karena keegoisanku. Hari ini aku bangunan itu telah runtuh. Aku merasakan dentuman dan retakan-retakan dindingnya.. Mulai berjatuhan ke tanah. Tetapi bukan itu yang membuatku gusar.

Gerimis datang tiba-tiba menyertai perjalanan kami. Perasaanku tambah tidak tenang. Gerimis. Yah, gerimis. Mengapa tiba-tiba gerimis datang. Padahal cuaca sangat cerah barusan. Aku ingat ayah tidak menyukai gerimis. Katanya gerimis mengingatkannya kepada ibu. Ibu pergi disertai oleh guyuran gerimis waktu itu. Sehari semalam hanya gerimis yang menemani kepergian ibu meninggalkan kami. Aku jadi khawatir. Bagaimana perasaan ayah sekarang melihat gerimis.

Sudah hampir sampai di tempat tujuan. Kataku menghibur diri sendiri. Tetapi gerimis masih berjatuhan dari awan-awan yang menggantung di langit. Hatiku semakin gelisah dan tidak tenang. Saat mobil memasuki pedesaan, gerimis masih saja mengguyur. Saat mendekati rumah, aku melihat banyak orang. Mungkin ayah mengadakan pesta untuk menyambutku karena tahu anaknya akan datang.Tetapi wajah semua orang yang dulu kuanggap bodoh terlihat gamang. Semuanya melirik kepadaku. Sorotan mata langsung menikam hatiku. Seperti belati yang telah diasah berhari-hari. Aku alihkan pandangan ke depan. Pura-pura tidak memperhatikan mereka. Sedang istriku berada di sampingku. Kulihat ia masih memasang senyumannya kepada semua orang.

Saat memasuki mulut rumah, aku disambut oleh manusia yang telah terbungkus kain kafan. Yah, ayah. Ia yang berada di balik kain putih itu. Hari ini gerimis telah membawanya pergi. Seperti ibuku beberapa tahun yang lalu. Belum sempat telinga ini mendengar kata rindu dari mulutnya, belum sempat mulut ini mencium punggung tangannya, belum sempat raga ini bersimpuh di hadapannya gerimis telah mengiringi kepergian ayah. Yah, gerimis. Lagi-lagi gerimis.

Parangtambung, Oktober 2008

Untuk manusia bumi yang sejenak melupakan ayah dan ibunya, melupakan kerinduannya di rumah kesenangannya, kebahagiaannya, dan kesuksesannya.

Sunday, November 23, 2008

Tanpa Batas: Bangga dan lebih PeDe

Mona Chaliesta

ACARA ini bisa bikin kita jadi lebih kreatif dan yang pasti memperluas wawasan kita biar kita berpikiran lebih maju. Di acara ini kita boleh berkreasi dan memang diharuskan untuk berkreasi, mengubah sesuatu yang tadinya dianggap membosankan menjadi lebih menarik.

Secara nggak langsung kita juga berlatih berorganisasi, bekerja sama, dan berani tampil, agar kelak kita siap terjun ke masyarakat.

Selain berorganisasi, acara ini menjadi ajang meningkatkan apresiasi sastra kita-kita. Dengan musikalisasi puisi, sastra bisa dinikmati dengan enjoy dan pesan lebih mudah sampai.


Farsya

MUSIKALISASI puisi dan pentas drama ini memang asik banget. Di sini gue bebas berekspresi sesuai keinginan gue dan menyalurkan bakat tanpa dibatasi.

Bebas berekspresi tanpa perlu ragu-ragu dengan aturan yang kaku. Pokoknya acara kaya gini wajib diadain, dan perlu banget lho digelar buat anak muda zaman sekarang.

Biar anak muda punya ajang untuk berkreasi sebebas-bebasnya dan bisa menyalurkan hasil kreasi mereka.

Jadi anak muda memang harus kreatif dan menunjukkan karya yang positif bagi diri sendiri dan orang lain.


Ricka

RASANYA bangga banget deh waktu kita tampil di hadapan banyak orang. Senengnya nggak bisa diukur waktu kita bisa menghibur orang lain.

Trus, yang pastinya berguna buat mengembangkan rasa percaya diri kita lho, karena kita kan tampil di depan publik.

Kita jadi lebih percaya diri alias PD, nggak canggung en nggak malu-malu lagi.

Tadinya kita nggak ngerti apa itu puisi, apalagi mesti dinyanyiin. Kayaknya susah benget gitu. Tapi, setelah berusaha keras, hasilnya bagus.

Pokoknya anak-anak MTsN Kumai is the best dech....


Tika

WAUW... kegiatan musikalisasi puisi yang seru kaya gini bikin kita jadi kompak dan semangat banget.

Kita mesti semangat berlatih, rajin-rajin menggali ide biar bisa menghasilkan karya yang oke.

Kita juga harus kerja sama yang kompak biar bisa nampilin yang terbaik.
Nah, gue acungin jempol dehh buat kerja sama temen-temen kelas IX ini.

Dan, syukur deh, hasilnya tidak mengecewakan. Nggak malu-maluin dan malah bikin kita semua bisa bangga.


Liya

MENURUT aq sih, puisi dan musik itu sebenarnya berbeda tapi saling melengkapi dan nggak bisa dipisahkan.

Buat aku, puisi dan musik memang bakal jadi lebih asik kalo ditampilin bareng, bukan sendiri-sendiri, misalnya puisi yang diiringi musik, atawa puisi yang dinyanyikan jadi sebuah lagu.

Yang pastinya kegiatan ini bikin kita tambah kreatif.

Mengombinasikakan dua cabang seni, puisi dan musik dalam sebuah komposisi yang harmonis jelas nggak gampang. Tapi, bagusnya kita bisa.


Evhit

GUE bangga banget lho karena hasil karya kita ditonton banyak orang, bisa menghibur dan bikin orang tersenyum.

Rasanya ada kepuasan di dalam hati yang nggak bisa dilukiskan dengan kata-kata.

Kita juga jadi lebih pede karena hasil karya kita diakui oleh orang lain.

Acara kaya gini bikin kita belajar jadi lebih kreatif untuk menghasilkan karya-karya lain.

Buat anak-anak MTsN Kumai kelas IX, oke banget dech.

Tahun depan harus ada lagi dong acara kayak gini.

Sumber: Borneonews, Minggu, 23 November 2008

Tanpa Batas: Sastra itu bukan Karya Seni yang cuma Bikin Mumet, Tauu

PRENS, sastra itu ternyata asik banget lho, bisa dinikmati dengan banyak cara.


Sastra itu enggak hanya berupa karya seni yang kaku seperti puisi, drama, dan karya tulis yang nge-BeTe-in, yang bikin bosen en ngantuk pas dibaca.

Mau bukti? Kemarin kita baru aja nyoba nggelar acara yang seru banget lho 'pementasan drama dan musikalisasi puisi'.

Di situ, puisi digubah jadi lagu, dinyanyiin dan diiringin musik.

Acara ini bikin kita jadi tau, ternyata puisi bisa dinikmati dengan cara yang oke banget.

Karena di situ kita bisa mengekspresikan puisi dengan musik, misalnya musik rock, pop, jazz, dangdut dan lainnya.

Jadi, salah banget kalo anak muda zaman sekarang menganggap puisi tuh
jadul, kaku, dan ngebosenin.

Masih nggak percaya? Coba nih ya, dengan digubah jadi sebuah lagu, makna puisi jadi kena banget, lebih nendang dech.

Kita jadi lebih gampang mencerna isi puisi, en so pasti jadi lebih nancep di hati....

Nah, bandingin aja penyampaian puisi dengan cara dibacakan aja, pasti beda bet dehhh..!!

Nah, percaya kan kalo sastra, terutama puisi juga bisa jadi hal yang mengasyikkan?

Itu tergantung kreativitas kita aja kok, gimana cara kita biar karya seni bisa jadi sesuatu yang menyegarkan dan menghibur.

Yuuukk kita bikin sastra jadi pelajaran yang asik dan seru!!

Udah jadi kewajiban kita para remaja untuk mencintai sastra dan menjadi generasi muda yang kreatif.

Biar kita bisa menggali, memahami, dan memaknai karya sastra dengan lebih baik. Banyak lho ilmu yang bisa kita petik dari karya sastra.

Siapa tau, dari milyaran karya sastra yang ada, bisa ngasih inspirasi dan motivasi buat kita, buat kehidupan kita.

Tapi, biar bisa memahami sastra dengan baik, kita mesti mencintai sastra dulu dong, kan 'tak kenal makanya tak sayang', ya nggak seeh??

Pokoknya, buat semuanya, coba dehh berekspresi dengan sastra ‘n ekspresikan karya sastra dengan gayamu.

Tunjukkin kreativitasmu, n bikin karya sastra jadi enggak ngebosenin, gettooo..

Percayalah Prens, kita udah ngebuktiin koq..! (Liya, Dina, Farsya)

Sumber: Borneonews, Minggu, 23 November 2008

Tanpa Batas: Musikalisasi Puisi, Cara Asyik Menikmati Sastra

Oleh Tira Puspitasari, Dina, Mona, Redha, Makki

SASTRA sering kali dianggap sebagai karya seni yang kaku, susah dicerna, susah dinikmati, dan bikin kening berkerut, terutama di kalangan anak muda. Hayoo... ngaku nggak?


Tapi, benar nggak sih kayak gitu? Eitss, tunggu dulu doong.

Sekelompok remaja kreatif dari MTs Negeri Kumai punya inisiatif buat memoles sastra jadi lebih cantik. Mereka mengutak-atik puisi jadi karya sastra sekaligus karya seni yang asik dinikmati.

Nah, jangan buru-buru menganggap sastra itu membosankan sebelum kalian simak ulasan mereka.

Pada Sabtu (15/11) lalu, teman-teman kalian dari MTsN Kumai menggelar pentas yang dibanderol dengan nama 'Pementasan Drama dan Musikalisasi Puisi 2008'.

Kalian pasti heran, apa sih musikalisasi puisi itu?

Musikalisasi itu penggabungan antara puisi dengan musik zaman sekarang.
Itu lho, syair puisi itu dinyanyiin dengan nada dan irama, sambil diiringi musik. Keren kan?

Menurut Ketua Panitia Dina, acara ini sebenarnya representasi dari pelajaran Bahasa Indonesia di kelas, yakni musikalisasi puisi.

"Kita pengen nunjukkin acara ini asik, bahwa puisi juga bisa dinyanyikan," kata gadis manis ini.

Yupp! Pak Willy Ediyanto, Guru Bahasa Indonesia mereka yang mengajarkan bahwa puisi tidak hanya dibaca, tapi juga bisa disatukan dengan aliran-aliran musik zaman sekarang.

"Nah, Pak Willy ngasih tugas agar kami membuat puisi sendiri, lalu digabungkan dengan lagu-lagu band zaman sekarang," ujarnya.

Saat penampilan, mereka tidak boleh mengambil irama dari band-band yang sudah ada, tapi harus bikin aransemen sendiri, dan juga dengan puisi ciptaan sendiri. Hmmm...berat juga yach..

Ternyata acara ini bukan hanya menggemparkan siswa-siswi MTsN Kumai aja, melainkan sekolah lain juga ikut gempar, karena pentas ini terbuka untuk umum.

Acara ini udah dua kali lho digelar di MTsN Kumai, tapi taun ini jauh lebih seru n lebih kreatif.

Taun lalu mereka hanya menggelar penampilan drama aja n hanya buat dinikmatin anak-anak MTSN Kumai aja.

Sedangkan taun ini bukan cuma drama, tapi juga ada musikalisasi puisi, en yang pasti terbuka buat umum lho.., dengan pas masuk yang terjangkau banget, hanya Rp1.000.

Pentas ini menampilkan 6 aksi kreatif hasil utak atik sastra, mulai dari drama seru, musikalisasi puisi, sampai cipta lagu.

Musikalisasi puisi kali ini diusung oleh teman-teman dari kelas IX A. Puisi itu menceritakan doa yang dipanjatkan seorang hamba kepada Tuhannya.

Dengan diiringi petikan gitar dan keyboard, puisi ini digubah menjadi lagu yang menyentuh hati banget.

Para penonton pun seperti tersihir untuk menyimak penampilan ini dari awal sampai selesai.

Hmm, sempat merinding juga lho waktu denger lengkingan puisi yang mereka nyanyikan itu...soalnya maknanya jadi kenaaaaa banget.

Dan...plokk...plokk...plokk...tepuk tangan pun segera memenuhi aula MTsN Kumai ketika pementasan puisi berakhir.

Mona, yang juga siswa kelas IX A mengaku bangga dengan penampilan kelompok mereka, bahkan ia menganggap ini merupakan penampilan terbaik di pentas kali ini.

"Grup vokal di Indonesia yang terkenal, misalnya Bimbo, juga menggunakan puisi di setiap syair mereka. Seninya juga tinggi sih, karena menurut saya musiknya enak dinikmati," ucap Mona.

Penampilan drama dari siswa kelas VIII juga nggak kalah seru lho, ceritanya terinspirasi dari momen eksekusi terpidana mati Bom Bali II Amrozi cs.

Drama ini mengisahkan tentang dua orang polisi yang ditugasi mengeksekusi seorang pembunuh, tapi ternyata mereka nggak tega melakukan tugas itu.

Mereka pun bingung cari cara yang aman buat mengekseskusi.

Seorang polisi akhirnya membuat minuman yang telah dicampur racun, kemudian disuguhkan ke si pembunuh.

Si pembunuh akhirnya mati karena minuman itu.

Tapi apa yang terjadi?

Ternyata salah seorang polisi juga ikut mati, karena turut meminum racun yang dibuat oleh temannya. Seru kan ceritanya?

Oh iya, sebelum pentas, mereka juga diaudisi dulu lho, hihihi..mirip kaya pergelaran band-band papan atas yahhh.

Yang ikut memang hanya kelas IX aja sih, nah dalam audisi ini, setiap kelas dibagi jadi 5 kelompok. Lalu setiap kelas menunjuk kelompok andalan mereka.

Akhirnya dipilih beberapa kelompok untuk menampilkan karya terbaik mereka di pentas ini.

Kelompok ini adalah hasil dari penggabungan dari semua bagian di setiap kelas.

Tapiii..yang nggak terpilih nggak perlu sedih atawa kecewa, karena masih bisa jadi panitia, so adil kan??

Wahh, ternyata banyak banget ya yang bisa dipetik dari suatu kegiatan, mulai dari belajar mengorganisasi aktivitas, belajar bernegosiasi dnegan orang lain, belajar mengeluarkan ide dan kreativitas, berlatih disiplin dalam latihan, dan yang paling penting belajar bertanggung jawab terhadap tugas yang dipercayakan kepada kita.

Dan terutama, pementasan musikalisasi puisi ini dapat memberikan inspirasi pada remaja untuk bisa menghidupkan karya sastra di lingkungan kita, di sekolah maupun di masyarakat luas.

Hidup karya sastra Indonesia!

Sumber: Borneonews, Minggu, 23 November 2008

Berpuisi dengan Gembira

Oleh Ilham Khoiri

Pak Dul sirahe gundul
Tuku rokok neng Pasar Sentul
Arepo silul kudu wani cucul
Ora cucul ora ngebul
Akale wong lanang nek dolan ning Pasar Kembang
Gawe alasan golek aman ben ra konangan
Politik saiki cen seneng maen belakang
Njabane resik jebul jerone selingkuhan
Lumpur Lapindo metune soko Sidoarjo
Bojo loro kabeh kok seneng nggodha
Wis merdeka sih ono kumpeni Londo
Nembaki rakyat, rakyat neng alas Tlogo


Kill the DJ. (KOMPAS/ARBAIN RAMBEY / Kompas Images)

Puisi berjudul ”Ora Cucul Ora Ngebul” karya Sindhunata itu dinyanyikan dengan gaya rap oleh kelompok Rotra asal Yogyakarta dalam pertunjukan ”Poetry Battle 02” di halaman Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, Jumat (21/11) malam. Teks yang biasa dideklamasikan atau dibaca sendirian dalam suasana tenang itu menjelma sebagai jalinan bunyi berulang yang mengentak-entak. Rima pada akhiran kata-kata berbahasa Jawa itu membentuk irama yang rancak.

Para penonton yang berdiri di depan panggung pun spontan bergoyang. Pada malam yang gerimis itu, mereka tersedot dalam suasana musik hip-hop yang bebas, dinamis, penuh kegembiraan. Kata-kata puisi yang diucapkan dalam gaya lagu bercakap alias talking song itu seperti hanyut dalam luapan ekspresi seni bergaya jalanan.

Rotra hanyalah salah satu dari 17 kelompok rap dari Yogyakarta dan Jakarta yang turut meramaikan ”Poetry Battle 02” yang diselenggarakan Jogja Hip Hop Foundation. Ada kelompok Jahanam, Kill the DJ, Dub Youth, Kontra, Gatholoco, DPMB, Zapatista, Gangsta Lovin, dan Robot Goblok. Mereka menyanyikan berbagai teks puisi Indonesia dengan gaya rap, gaya yang tumbuh dari budaya musik hip-hop di Amerika dan Eropa.

Sebagian kelompok membawakan sajak-sajak bermuatan sosial yang dipenuhi kata-kata lantang, seperti puisi Widji Tukul dan Sindhunata. Kelompok lain mencoba mengolah puisi liris yang punya gaya bahasa yang halus dan rumit, seumpama karya Goenawan Mohamad, Joko Pinurbo, atau Cecep Syamsul Hari. Ada juga yang mengulik sastra klasik, seperti Kill The DJ yang ”meng-hip-hop-kan” Serat Centini karya pujangga Keraton Surakarta awal abad ke-19.

Begitulah, beragam teks puisi karya sastrawan Indonesia itu mengalir di atas panggung sebagai nyanyian yang hidup. Puisi keluar dari habitatnya sebagai teks yang konvensional dengan pakem pembacaan tertentu, lalu bermetamorfosis menjadi pertunjukan seni yang sama sekali baru. Peralihan ini kerap memunculkan sensasi mengejutkan.

Kreasi

”Poetry Battle 02” ini merupakan kegiatan lanjutan dari kegiatan serupa di Yogyakarta dan Jakarta sejak tahun 2006. Perhelatan itu menandaskan, betapa kreativitas untuk mempertemukan berbagai aliran seni sangat dimungkinkan dan pertemuan ini potensial melahirkan bentuk-bentuk yang segar.

Dalam konteks ini, dunia sastra dan puisi dileburkan. Pada satu sisi, teks-teks sastra—yang umumnya berjarak dari lingkungan khalayak—melebur dalam budaya jalanan anak muda. Pada sisi lain, anak-anak muda itu bersentuhan, bahkan mempelajari bahasa dan gagasan puisi yang dilantunkan.

”Dengan begini, kami terdorong untuk membaca buku-buku sastra,” kata Iwa K, perintis musik rap Indonesia yang menjadi pembawa acara dalam acara itu.

Lebih dari itu, ”Poetry Battle” juga menerabas sekat-sekat seni, agama, ras, kelompok, atau etnis. Bahasa seni yang universal dimanfaatkan untuk membuka ruang dialog dan menyatukan kelompok-kelompok yang berbeda.

”Nyawiji siji ing guyub lan rukun. Mboten sah mikir werna kulit lan agama. Menika hip-hop kang adedasar budi pekerti, kamanungsan, lan toleransi. (Kita bersatu dalam guyub dan rukun. Tidak usah memikirkan warna kulit dan agama. Hip-hop ini didasari budi pekerti, kemanusiaan, dan toleransi)”. Begitu penuturan Zooki a.k.a Kill The DJ, pendiri dan produser Jogja Hip Hop Foundation, saat membuka pentas.

Bagaimana pandangan kalangan sastra? Pengamat sastra dari Universitas Indonesia (UI), Maman S Mahayana, mengapresiasi usaha kaum muda itu sebagai kreativitas yang yang sah. ”Puisi itu lapangan tafsir. Puisi dapat diterima dan diterjemahkan siapa pun dengan tingkat apresiasi bagaimana pun,” katanya.

Kreativitas anak-anak muda akhirnya menawarkan alternatif bagi tradisi musikalisasi puisi di Tanah Air. Jika selama ini kita akrab dengan gaya Reda Gaudiamo dan Ari Malibu yang melantunkan sajak-sajak Sapardi Djoko Damono dalam suasana sendu, kini kita boleh mencoba menikmati gaya anak muda yang meneriakkan puisi dengan lebih bebas, gembira, dan dengan irama musik yang merangsang goyang.

Sumber: Kompas, Minggu, 23 November 2008

Wednesday, October 29, 2008

Menggugah Sastra Indonesia Melalui Remaja

KENDATI karya sastra dewasa ini disebut-sebut sedang dalam posisi terpuruk, Pusat Bahasa masih gigih menggugah minat kaum muda untuk mendalaminya, antara lain dengan menyelenggarakan lomba penulisan cerita pendek untuk pelajar SMP dan SMA.

"Tahun 2008 adalah tahun bahasa dan dalam peringatan 60 tahun Bahasa Indonesia, kami juga mengingatkan kembali bahasa sastra adalah bagian dari Bahasa Indonesia. Jadi, peringatannya adalah bahasa dan sastra," ujar Kepala Pusat Bahasa Dr Dendy Sugono.

Penilaian terhadap cerpen karya peserta dari seluruh Indonesia sudah dilakukan dan hasilnya akan diumumkan pada puncak peringatan Tahun Bahasa yaitu pada 28 Oktober 2008 bertepatan dengan pembukaan Kongres IX Bahasa Indonesia di Jakarta.

Dari naskah-naskah cerpen yang masuk, terlihat minat remaja terhadap karya sastra cukup tinggi. Tema yang masuk juga sangat beragam, khususnya menyangkut kehidupan keseharian para penulisnya, tutur Emma Sitahang Nababan dari Pusat Bahasa yang menjadi salah seorang panitia lomba menulis cerpen.

Selain tema yang beragam, pemakaian bahasa juga bervariasi termasuk memakai bahasa "gaul." Tetapi agak disayangkan, naskah dari daerah atau kota-kota kecil masih sedikit yang masuk dan beberapa naskah dari seluruh peserta diketahui ada yang menyontek karya-karya penulis terkemuka bahkan termasuk karya Hamsad Rangkoeti, salah seorang juri.

Naskah para peserta lomba cerpen itu dijaring melalui kota-kota yang memiliki Balai Bahasa yang seluruhnya berjumlah 22 dan dari Jakarta, masing-masing diwakili oleh sepuluh naskah terbaik yang terjaring dalam seleksi di tingkat balai.

Keprihatinan mengenai tingkat pelajaran sastra yang sangat kecil di tiap sekolah juga diungkapkan penyair Taufiq Ismail yang pernah menyelenggarakan program khusus untuk memberikan pelajaran sastra keliling sekolah.

Pusat Bahasa pun menyelenggarakan kegiatan serupa dengan menghadirkan Putu Wijaya ke daerah-daerah.

"Anak-anak sebenarnya haus akan bacaan, tetapi seringkali orang dewasa di sekitarnya tidak menyadari hal itu," kata Julius Felicianus, Direktur Penerbit Galang Press.

Ketika Galang Press memelopori pengiriman parsel lebaran berisi paket buku untuk seluruh anggota keluarga, ada penerima parsel yang menyampaikan catatan bahwa ia merasa tersindir karena anaknya berujar: "Ayah, kalau memberi hadiah yang seperti ini, buku-buku ini aku suka," sementara si ayah mengaku selama ini tidak pernah menghadiahi anaknya dengan buku, kata Julius.

Munculnya sejumlah penulis berusia muda, terutama anak-anak yang terinspirasi "manga" Jepang dan kisah Harry Potter, tidak dapat dipungkiri merupakan persemaian yang subur untuk menumbuhkan penulis-penulis muda Indonesia.

"Anak-anak biasanya akan mulai dengan bacaan yang ringan, komik, lalu meningkat menjadi yang lebih berat. Tetapi lembaga pendidikan dan orang tua perlu menyediakan dukungan untuk memotivasi mereka," kata Julius.

Meskipun karya-karya penulis muda masih dangkal, Sastrawan F Rahardi menilai positif munculnya bibit-bibit muda itu karena kondisi ini dapat ditingkatkan melalui peran serta berbagai pihak mulai dari lingkungan di rumah, sekolah, penerbit hingga toko buku.

Menurutnya, kurikulum di sekolah tertinggal jauh dibanding gejala yang ada di masyarakat. Sekolah dan guru mempunyai "kekuasaan" untuk memberikan pelajaran dengan mengembangkan kreativitas.

Rahardi mengambil contoh sistem pendidikan yang dilakukan oleh lembaga Pendidikan Alternatif Qaryah Thayyibah di Salatiga yang mengedepankan kreativitas, sehingga menguatkan bukti bahwa keterbatasan modal (uang) bukan menjadi penghalang bagi kreativitas.

Ruang-ruang untuk memancing kreativitas bidang sastra baik itu puisi dan prosa semakin sempit, paling tersedia pada beberapa koran dan majalah yang masih peduli dan menyediakan rubrik khusus.

Tak mengherankan jika kemudian penulis-penulis muda berkiblat ke karya sastra dunia seperti Ataka Awwalur Rizqi yang melahirkan Misteri Pedang Skinheld karena terinspirasi cerita Lord Of The Ring dan Harry Potter, kendati ia juga melahap karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Demikian pula penulis Fathia yang terilhami kisah Naruto (Jepang).

Indonesia pernah memiliki karya-karya sastra Melayu atau karya sastra asli, tetapi jika tidak dicetak ulang, para pembaca muda akan kesulitan mendapatkannya karena toko buku tidak menyediakan buku-buku lama, kata Rahardi.

Sementara Julius mempertegas bahwa perpustakaan sekolah pun sekarang kebanyakan berbelanja buku panduan praktis, bukan karya sastra seperti masa-masa 1950-an hingga 1980-an.

"Guru atau petugas perpustakaan berbelanja buku dengan melihat selera pribadi, bukan kepentingan umum dan menjangkau ke depan," katanya menegaskan. (Maria D. Andriana/Ant)

Sumber: Borneonews, Senin, 27 Oktober 2008

Friday, October 24, 2008

Kunci

Cerpen Erna Rasyid

MALAM semakin larut. Hening. Bisu. Raga mulai terbuai oleh mimpi. Aku rebahkan tubuh ini di penghujung rinduku pada sebuah kisah. Langit-langit kamarku terlihat seperti langit malam hari. Penuh bintang yang berhamburan disegala penjuru sudut kamar. Semuanya berkilauan. Memberikan cahaya untuk mimpi. Jiwaku telah melayang entah kemana. Mungkin bertamu ke rumah Tuhan atau ke surganya. Memberikan kesenangan buatnya sebelum fajar itu kembali menyinari bumi.

Benar. Fajar itu telah datang. Ia menyusup di celah-celah jendela kamar. Menerpa wajah dan ragaku. Aku terjaga olehnya. Ketika aku bangun dari buah tidur malam, ada banyak bunga yang berserakan di kamarku. Di tempat tidur, kursi, meja, lantai, bahkan di kamar mandi. Bunga-bunga itu dari surga. Tuhan selalu memberiku ketika fajar telah tiba. Aku disambutnya dengan aroma bunga. Setiap hari bunga-bunga itu menghiasi kamarku. Wanginya bahkan tercium ke tetangga rumahku. Kadang mereka bertanya, dari mana aku mendapatkan bunga seharum itu. Aku katakan kalau bunga-bunga itu dari surga. Tuhan yang telah mengirimkannya kepadaku. Setiap pagi. Tetapi mereka selalu saja menertawakanku. Katanya aku sudah gila. Tidak mungkin Tuhan mengirimkan bunga untukku. Tetapi itulah kenyataannya. Bunga-bunga itu selalu hadir setiap fajar mengetuk pintu rumahku.

Aku termenung menatap embun pagi. Mengapa ia menghilang jika matahari mulai hadir untuk melaksanakan tugas hariannya di bumi ini. Hanya sejenak menyapa embun itu lalu beranjak pergi. Setiap hari aku selalu saja bertemu wajah ibuku. Aku mulai bosan. Aku ingin bertemu dengan wajah yang lain. Wajah ibu mulai keriput. Tua dan tidak ada semangat lagi untuk hidup. Kadang aku berpikir, mengapa ia lenyap saja di muka bumi ini. Bagiku itu mudah saja. Aku hanya meminta kepada Tuhan jika aku bertemu dengannya setiap malam.. Itu soal mudah bagiku. Tetapi entah waktu itu kapan.

***

"Apakah ibu melihat kunci yang aku simpan di laci mejaku?" tanyaku kepada ibuku suatu pagi.

"Tidak," katanya datar.

"Kunci apa?" lanjutnya.

"Kunci surga."

"ha...ha...ha..... Kamu ini ada-ada aja," sela ibuku sambil tertawa.

"Betul. Itu kunci surga," ujarku lebih serius

"Kunci surga? Dari mana kamu mendapatkannya? Siapa yang memberikannya padamu?"

"Tuhan," jawabku singkat

Aku lalu meninggalkan ibu yang bingung dan melongo memperhatikan punggungku. Yah. Memang benar. Kunci surga. Semalam aku diberikan kunci surga oleh Tuhan. Katanya, aku harus menjaganya baik-baik. Kalau tidak, aku tidak bisa memasuki surganya. Jadi wajar kalau pagi itu aku bingung, gelisah, dan selalu saja marah-marah. Aku kehilangan kunci itu. Pasti Tuhan marah kepadaku. Aku telah mencarinya disemua tempat tetapi tidak ada. Kamarku telah terobrak-abrik mencari kunci itu. Usahaku mencarinya sia-sia.

Lelah raga ini mencarinya. Tidak terasa aku habiskan waktuku seharian mencari kunci itu. Senja akan segera berlalu tetapi belum aku temukan kunci itu. Aku takut malam segera tiba. Apa yang akan aku katakan kepada Tuhan mengenai kunci itu. Keringat menjalari sekujur tubuhku. Rasa dingin mulai menyerangku.


"Bangun. Sudah pagi. Matahari semakin tinggi."

Ternyata aku ketiduran di depan kamarku. Ibuku yang membangunkanku pagi itu. Aku ragu apa masih bisa dikatakan pagi. Matahari telah berada di tengah-tengah. Aku lalu masuk kamar. Tidak ada bunga yang aku temukan. Setangkai pun tidak ada. Bahkan aroma pun tidak ada. Aku buka kamar mandi, ternyata tidak ada bunga. Dugaanku benar, Tuhan marah kepadaku gara-gara aku menghilangkan kunci pemberiannya. Semalam, aku tidak bertemu dengannya. Segera kunci itu kucari. Harus kutemukan. Semalaman aku habiskan waktuku mencari kunci itu. Hasilnya nihil. Aku curiga kepada ibu. Jangan-jangan ia yang mengambil kunci itu.. Melihat ibu sibuk di dapur, aku masuk ke kamarnya. Tidak ada tempat yang aku lewatkan. Mulai dari laci meja, lemari, baju, bahkan di kamar mandi.. Aku habiskan waktuku mencari kunci itu di kamar ibu tetapi hasilnya sama saja. Nihil. Aku berpikir, pasti ada yang mencuri kunci itu.

Malam itu aku ke luar rumah mencari kunci itu. Aku curiga kepada tetangga-tetanggaku. Selama ini mereka selalu menganggapku gila. Mungkin mereka iri kepadaku karena aku diberikan kunci oleh Tuhan. Mereka juga ingin masuk surga jadi kunci itu diambilnya dari rumahku. Rumah demi rumah aku masuki. Tetapi kunci itu tidak aku temukan. Telah berpuluh-puluh rumah aku periksa tetapi hasilnya sia-sia saja. Aku semakin bingung kemana kunci itu. Aku mulai putus asa. Lebih baik aku pulang ke rumah. Apalagi hari sudah pagi.

Betapa kagetnya aku saat berdiri di ambang pintu rumah. Kunci yang aku cari selama ini tergeletak di depan pintu rumahku. Aku tidak bermimpi. Kunci itu benar-benar ada. Di sampingnya terdapat sepucuk surat. Segera aku buka surat itu. Isinya hanya mengucapkan terima kasih atas kuncinya. Tidak ada pengirimnya. Aku jadi penasaran, siapa gerangan yang mengambil kunci ini dan mengembalikannya pagi ini dengan ucapan terima kasih. Bagiku, asalkan kunci itu telah kembali. Tuhan tidak akan marah kepadaku. Aku merindukan bunga-bunga yang Tuhan kirimkan kepadaku setiap fajar. Aku yakin, Tuhan akan mengirimkannya kepadaku lagi.

***

Baru kali ini aku terjaga sepagi ini. Awan seberang timur masih kemerah-merahan. Matahari belum sempurna lahir ke bumi. Perlahan mata kubuka. Langit-langit kamarku terlihat kosong. Ketika aku bangun, tidak ada bunga-bunga yang aku lihat. Aromanya pun tidak ada. Mungkin ibu telah mengambilnya semua, pikirku. Aku teringat kunci. Sebuah kunci yang diberikan Tuhan kepadaku.. Kunci yang sempat hilang dan membuatku putus asa. Laci meja segera kutarik. Tidak ada. Kunci itu tidak ada. Hilang. Mungkin dicuri lagi oleh yang pernah mengambilnya. Aku lalu menanyakannya kepada ibu yang masih melek di tempat tidurnya.

"Ibu, bangun. Apa ibu melihat kunci yang aku simpan di laci mejaku?" tanyaku sambil mengguncang-guncang tubuhnya.

"Kunci apa?" tanyanya agak malas.

"Kunci itu Bu. Aku menyimpannya di laci kemarin. Sekarang tidak ada. Apakah ibu melihatnya?" tanyaku lebih keras dan kesal.

Ibu lalu bangun dan memperbaiki posisinya. Bersandar di tempat tidurnya. Mengingatkanku pada pasien di rumah sakit. Wajahnya masih kusut seperti baju yang belum diseterika. Saat ia mulai berbicara, nafasnya bau sekali. Aku yang mondar-mandir di depan tempat tidurnya jengkel dan entah marah kepada siapa. Rasa takut mulai menyerangku. Tuhan pasti marah kepadaku.

"Ibu tidak tahu kunci itu. Memangnya itu kunci apa. Sampai-sampai kamu pusing seperti ini?" tanyanya lagi.

"Itu kunci sangat penting bu. Itu kunci surga. Beberapa hari yang lalu aku bertemu dengan Tuhan.. Ia memberikan kunci itu kepadaku. Katanya, aku harus menjaganya baik-baik. Lagi pula, pasti ibu yang mengambil semua bunga-bunga yang ada di kamarku. Semua bunga itu juga pemberian Tuhan. Aku takut. Tuhan pasti marah kepadaku."

Aku semakin bingung dan gelisah. Ibu hanya menatapku penuh keheranan. Lama ia menatapku sampai-sampai aku sendiri takut melihat tatapannya. Apalagi dengan wajah yang masih setengah hidup.. Ia lalu beranjak dari tempat pembaringannya. Melangkah ke lemari. Aku mengira kunci itu yang diambilnya. Ternyata sebuah handuk kecil. Warnanya putih. Ibu lalu berjalan kearahku. Sejenak menatapku. Aku semakin takut. Ia lalu menampar wajahku yang sebelah kiri. Aku kaget dan heran. Tangannya lalu menampar pipiku yang sebelah kanan. Aku mengerang kesakitan dikedua pipiku. Di kepalaku bertumpuk ribuan pertanyaan. Ada apa dengan ibuku. Mengapa ia menamparku. Tanpa banyak gerakan, ia lalu memberiku handuk itu dan menyuruhku pergi mandi. Katanya, aku akan dibawanya ke dokter jiwa pagi itu. Ibu lalu pergi meninggalkanku sendiri di kamarnya dengan penuh tanya sambil menatap handuk yang ada di tanganku.

Makassar (Daeng Tata), 18 September 2008

----------

Erna Rasyid, mahasiswi Jurusan Sastra Indonesia 2006 Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Makassar. Telah menghasilkan dua buah antologi cerpen dan sebuah novel. Selain itu telah menghasilkan beberapa naskah drama dan salah satunya telah dipentaskan. Cerpen dan puisinya sering diterbitkan di media kampus.

Panggil Aku Diana

Cerpen Erna Rasyid

APA yang mesti aku lakukan ketika telinga ini mendengar batuk-batuk ayah yang tak kunjung sembuh. Melihatnya terbaring lemah di kasur yang mulai kusut, membuatku teringat almarhum ibu. Adikku yang masih berumur 11 tahun tertidur dengan pulasnya. Ia tidak mendengar sedikitpun suara batuk-batuk ayah yang mengiris hatiku. Segera kuseka keringat di dahi ayah. Ia tergolek lemas di tempat pembaringannya. Segera kuselimuti ia karena badannya terasa dingin. Setelah ia tertidur, aku baru beranjak ke kamarku. Walaupun aku tahu ayah hanya pura-pura memejamkan matanya agar aku tidak khawatir terhadapnya. Hanya kegelapan dan kesunyian yang menemaniku malam ini. Melihat ayah seperti itu setiap hari membuat hatiku tersayat-sayat. Entahlah penyakitnya tak kunjung sembuh. Aku sudah membawanya ke puskesmas terdekat tetapi katanya ayah harus dirujuk ke rumah sakit agar mendapat perawatan yang lebih intensif. Tidak mungkin aku membawanya ke rumah sakit. Aku tidak punya uang. Pekerjaanku sehari-hari hanyalah buruh cuci.

Aku hanyalah gadis berumur 17 tahun. Adikku yang masih duduk di bangku sekolah dasar belum bisa bekerja. Sejak ayah sakit-sakitan, aku tidak terlalu memperhatikan lagi sekolahku. Aku mencari pekerjaan untuk biaya pengobatan ayah. Mulai dari penjual kue keliling desa, buruh cuci, terkadang aku juga membantu ibu Diana menjual barang dagangannya di pasar jika ia membutuhkan tenaga tambahan. Gajinya lumayan. Ia sudah tahu keadaan keluargaku. Tidak heran kalau ia sering memberiku uang tambahan. Katanya karena aku ulet bekerja padahal aku tahu ia hanya kasihan padaku. Ibu Diana sangat disegani di desaku. Dia sangat dihormati oleh masyarakat. Kebaikan dan keramahannya sangat dipuji-puji oleh masyarakat. Ia termasuk golongan orang yang kaya di desa. Tokonya banyak tersebar di pelosok pedesaan. Dialah yang sering membantuku jika aku mendapat kesulitan dalam hal keuangan.

Pagi itu, ketika aku keliling kampung berjualan kue, aku bertemu dengan seorang wanita. Umurnya kira-kira 40-an tahun. Sepertinya ia orang baru disini. Ia sempat membeli kue yang aku dagangkan. Keesokannyapun seperti itu. Dia sering-sering membeli kue yang aku jual. Katanya kue buatanku enak. Telah dua bulan aku keliling kampung ini berjualan kue, baru kali ini ada orang yang memuji kue hasil buatanku. Terkadang ia memesan dalam jumlah banyak. Ia juga menanyakan namaku, dimana aku tinggal, dimana orangtuaku, bagaimana dengan sekolahku. Ia sangat perhatian padaku. Selain itu, dia sangat ramah dan baik padaku. Kebaikannya mengingatkanku kepada ibu Diana. Pernah juga aku membawa serta adikku untuk membantuku berjualan, sekaligus memperkenalkannya pada wanita itu. Akan tetapi sepertinya ia tidak menyukai adikku. Ia tidak terlalu peduli kepada adikku. Ia hanya menganggapnya seperti orang asing. Aku baru ingat, nama wanita itu adalah ibu Rahma.

Keadaan ayah semakin memburuk. Batuk yang ia derita semakin parah. Ia mulai mengeluarkan darah. Kata ayah badannya semakin lemas. Ia menyuruhku menjauh darinya jika batuknya kambuh lagi. Hanya sapu tangan usang yang selalu menemani jika ia batuk. Ingin kuseka sisa-sisa darah dan ludah yang menempel di bibir ayah tetapi ia melarangku. Katanya ia dapat melakukannya sendiri. Aku mendengar desahan nafas ayah yang tak tentu. Tubuhnya semakin kurus, hanya kulit membalut tulang. Perutnya kembang kempis seperti balon yang ditiup oleh anak berusia 5 tahun. Matanya yang sayu, mengingatkanku pada awan yang mendung. Aku ingat, ada lingkaran hitam di sekeliling matanya. Aku tidak tahan lagi melihat keadaan ayah seperti ini. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku ingin ayah sembuh dari penyakit TBC yang ia derita selama 8 bulan ini. Aku merasa anak yang tidak bertanggung jawab, hanya melihat keadaan ayah seperti ini setiap hari. Ayah tidak bisa lagi memanggil namaku. Ia tidak bisa lagi berucap dengan jelasnya. Jika dia menginginkan sesuatu, segera telingaku kudekatkan dengan mulutnya. Sedekat mungkin agar aku bisa mendengar apa yang diinginkan oleh ayah.

Malam itu, ia ingin makan bubur ayam kesukaannya. Di kamar aku hanya merenung menatap sejumlah uang dihadapanku. Uang tinggal seberapa. Kemarin telah aku habiskan sebagian untuk membeli obat. Setengahnya aku bayar utang di warung sebelah rumah. Sisanya ada dihadapnku. Jika aku menuruti keinginan ayah, esok aku tidak makan dengan adikku. Aku malu meminjam uang kepada ibu Diana karena sudah sering aku meminjam uang darinya. Tak terasa, kedua pipiku basah merenungi uang yang ada dihadapanku. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Telah tiga kali adikku menanyakan bubur ayam yang aku beli karena ayah tak sabar ingin memakannya. Tetapi aku masih duduk merenungi uang itu, tidak bergerak sekalipun. Aku jadi bingung harus melakukan apa. Segera kuberlari menembus dinginnya malam. Entahlah kaki ini melangkah kearah mana kuturuti saja. Tiba-tiba aku berhenti di depan rumah yang sangat besar bagiku. Ada keraguan mengetuk pintunya. Apakah pintu itu sudi diketuk oleh tangan-tangan orang miskin seperti aku? Wajah ayah terlintas dibenakku mendorongku mengetuk pintu itu. Dari balik pintu, aku melihat seorang wanita yang memakai baju daster dengan rambut agak awut-awutan. Ya. Itu adalah ibu Rahma. Dia kaget melihatku datang ke rumahnya tengah malam begini. Ibu Rahma tak sempat mengenaliku awalnya. Malam itu aku lupa memakai sandal, rambutku kubiarkan terurai, dengan baju yang sangat lusuh. Aku tidak sadar kalau mataku sembab. Aku baru menyadarinya ketika pulang ke rumah membawa semangkuk bubur ayam kepada ayah. Rasa bahagia menyelimutiku malam itu ketika melihat ayah memakan makanan kesukaannya walau hati ini tertusuk belati yang telah karatan.

***

Adikku meronta-ronta ingin ikut bersamaku. Tangisnya semakin menjadi-jadi. Aku melarangnya. Kalau ia pergi tidak akan ada lagi yang menjaga ayah. Ibu Rahma pernah menawariku pekerjaan di kota. Katanya ia mempunyai kenalan yang bisa memberiku pekerjaan. Awalnya aku ragu karena harus meninggalkan ayah yang sakit. Tetapi karena aku ingin ayah sembuh, malam itu aku menerima tawaran ibu Rahma. Hari ini aku berangkat bersamanya.. Ayah tidak setuju akan keputusanku. Katanya aku tidak boleh sembarang mempercayai orang. Apalagi ayah dalam keadaan sakit dan aku masih mempunyai adik. Tetapi aku bersikeras ingin pergi. Aku ingin mendapatkan uang banyak agar ayah bisa sembuh. Sedangkan ayah tak bisa berkata-kata lagi.

Sudah tiga bulan aku bekerja di tempat ini. Aku bekerja sebagai pembantu di rumah ini. Nama pemilikya adalah nyonya Dewi. Dia adalah teman lama ibu Rahma. Gaji pertamaku telah kukirimkan kepada ayah di kampung. Tak disangka begitu besar jumlahnya. Aku sangat senang, terbayang olehku ayah sangat gembira menerima gaji pertamaku itu. Ibu Rahma yang membawanya kepada ayah beserta sepucuk surat dariku. Uang yang aku kirim selama dua bulan ini digunakan adikku untuk pengobatan ayah dan kebutuhan sehari-hari. Aku dengar kabar kalau keadaan ayahku semakin baik.

***

Malam itu nyonya Dewi membawaku kesuatu tempat setelah aku dibawanya dari salon. Aku menuruti saja apa maunya karena ia majikanku. Aku melihat diriku dicermin dengan pakaian yang dibelikan oleh nyonya Dewi untukku dua hari yang lalu. Pokoknya semua yang aku kenakan malam itu adalah pemberian nyonya dewi. Mulai dari sepatu, tas, assesoris, bahkan ia membawaku ke salon. Katanya aku harus tampil cantik malam ini.. Tibalah kami disuatu tempat. Aku tidak tahu tempat itu apa. Yang kulihat hanyalah sekumpulan orang-orang yang sedang menikmati music. Suara musiknya pun sangat keras seakan memecahkan telingaku. Lampu-lampu yang warna-warni membuat kepalaku pusing melihatnya. Suasananya agak gelap tidak seterang lampu di rumahku di kampung. Banyak lelaki yang menggodaku, ada juga yang memegang-megang tanganku. Aku jadi risih dan ingin pulang. Tetapi majikanku melarangku pulang sebelum bertemu dengan temannya. Disekitar aku melihat banyak wanita yang sedang asyik bersama dengan pria, entahlah apa yang mereka lakukan. Bau minuman yang sangat tidak mengenakkan membuatku pusing. Ketika majikanku meninggalkanku sendirian, tiga orang wanita mendekatiku.

“Heh..orang baru yah..?kata wanita yang memakai gaun merah. Ia memandangku dari bawah hingga atas. Seakan mencari sesuatu dariku. Minuman yang ada digelasnya sewarna dengan gaunnya.

“Pasti orang baru?” kata wanita dua yang sempat mengelilingiku seakan aku ini barang antik.

“Berapa?” kata wanita tiga.

“Pasti jutaan?” lanjut wanita dua.

Aku semakin bingung dan takut. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Mereka bertiga langsung saja menanyaiku ini dan itu. Seperti seorang polisi yang menginterogasi tersangkanya. Aku menolah ke kiri dan ke kanan mencari Ibu Dewi tetapi usahaku gagal. Aku berlari meninggalkan ke tiga wanita itu. Tidak tahu tujuan kemana. Aku hanya ingin menghindari wanita-wanita itu. Saat belari, aku menabrak seorang pria. Kira-kira umurnya 40-an tahun. Pakaian lelaki itu sangat rapi. Memakai jas warna hitam dengan sepatunya yang mengkilat. Wajahnya yang mulai keriput, warna kulitnya coklat. Ia lalu membantuku berdiri dan memberikan senyuman kepadaku. Ia lalu memperkenalkan diri kepadaku. Orangnya sangat ramah. Kami lalu berbincang-bincang seperti sahabat lama yang baru kali ini bertemu. Namanya Pak Ridwan. Tetapi ia lebih senang dipanggil dengan Ridwan, katanya supaya ia kelihatan lebih muda. Telah berjam-jam aku menunggu nyonya Dewi tetapi ia tak kunjung datang. Pak Ridwan mulai melihat keresahan di wajahku. Ia lalu menawarkan diri mengantarku pulang. Aku iyakan saja. Tetapi sebelumnya ia mengajakku ke suatu tempat.

***

Rasanya aku ingin mengakhiri hidupku saja pagi itu. Bumi seakan-akan tidak mengakuiku lagi sebagai manusia. Terbayang olehku ayah dan adikku. Aku ingin mengakhiri hidup ini segera. Tubuh ini sangat kotor. Walaupun aku telah membersihkan tubuh ini dengan air selautan. Aku teringat ayah, entahlah ayah yang selalu ada di benakku. Aku baru tahu, nyonya Dewi yang tak lain adalah majikanku telah menjualku ke seorang rekannya. Aku juga baru tahu bahwa aku berada di tempat yang tak seharusnya aku berada. Aku telah melanggar amanat ayah. Apa yang mesti aku katakan pada ayah jika tubuh ini telah kotor. Ternyata minuman yang diberikan oleh Pak Ridwan semalam telah membuatku tak sadarkan diri. Dan sekarang aku mendapati diriku tidak memakai benang sehelai pun. Air mata ku tidak akan menyelesaikan masalah. Pagi itu Pak Ridwan meninggalkanku dengan melempariku sejumlah uang. Katanya pelayananku sangat memuaskan baginya. Lain kali ia akan berkunjung dan menemuiku lagi. Aku hanya meratapi nasibku walaupun aku meronta, menangis dengan kencangnya tidak akan ada yang menolongku. Aku terselingkup menatap lantai yang ada bayangan ayah dan adikku. Aku ingin pulang. Aku rindu mereka.

Aku telah terperanjat di tempat ini. Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Apalagi mencoba untuk kabur. Aku menjalani hari-hariku di tempat ini seperti yang lain. Melayani nafsu bejat para langganan. Terkadang aku mendapat perlakuan kasar, bahkan tidak pernah dibayar oleh mereka. Hasilnya aku kirimkan kepada ayah. Aku tahu ayah tidak tahu menahu yang aku kerjakan di kota ini. Aku tidak ingin dia tahu. Kabar terakhir kudengar, ayah semakin membaik. Kini ia mulai kerja lagi. Membajak sawah orang lain, hasilnya untuk kebutuhan hidupnya dan adikku di kampung. Uang yang aku kirim selama ini dari hasil pekerjaan kotorku, mereka gunakan untuk memperbaiki rumah yang mulai reyot termakan usia.

Setiap malam, dengan tubuh yang gemulai, pakaian yang kukenakan harus menarik perhatian pelangganku. Diantara wanita se profesiku, akulah yang termuda. Tak heran jika banyak pengunjung beralih kepadaku. Aku baru sadar ternyata aku cantik juga jika berdandan. Bekerja di tempat itu (club malam atau tempat-tempat hiburan) membuatku banyak berkenalan dengan orang-orang penting. Mulai dari polisi bahkan pejabat sekalipun. Mungkin mereka telah bosan dengan istrinya di rumah atau sekedar menghilangkan strees mereka.

Aku telah mengenal dunia hiburan sejak aku berkenalan dengan nyonya Dewi, mantan majikanku dulu. Dia yang membuatku terjerumus di tempat seperti ini. Bahkan aku tidak pernah lagi mendengar kabar ibu Rahma. Ternyata ia telah menipuku. Aku dengar dari kawanku di tempat ini, ia adalah seorang germo. Ia ke kampungku mencari tenaga baru. Awalnya kita akan terbius oleh keramahannya, menjanjikan kita pekerjaan di kota dengan gaji yang sangat besar. Apalagi waktu itu aku terdesak oleh kebutuhan ekonomi. Ibu Rahma tidak melewatkan kesempatan itu, ia tahu kondisi ayahku. Ia selalu merayuku agar ikut dengannya bekerja. Ia lalu menyerahkanku kepada nyonya Dewi. Hingga aku sampai disini. Melayani nafsu setan para lelaki hidung belang.. Aku juga baru tahu ternyata Pak Ridwan itu adalah seorang pejabat di pemerintahan. Aku juga baru tahu kalau ibu Rahma tidak menyukai adikku karena dia seorang laki-laki.

Sekarang aku berada di tempat ini. Walaupun aku tahu apa yang aku lakukan adalah salah. Aku tidak berani menampakkan wajahku di depan ayah dan adikku. Apalagi warga kampung. Terakhir aku dengar, Wati teman se profesiku telah meninggal. Seminggu yang lalu ia pulang ke kampung halamannya menjenguk orangtuanya. Ia bertemu dengan pejabat dan polisi yang pernah membelinya. Pejabat dan polisi itu takut ketahuan kelakuannya, maka disebarlah isu bahwa Wati adalah seorang pelacur. Kerjanya di kota hanyalah melayani nafsu seks para lelaki hidung belang. Otomatis masyarakat emosi dan tidak mau ada seorang warga yang mengotori kampungnya. Mereka lalu menangkap Wati dan beramai-ramai membakarnya hidup-hidup di depan semua warga kampung..

Aku takut mengalami kejadian seperti itu. Untuk menutupi masa laluku, aku mengganti namaku. Sekarang aku menyandang nama Diana. Nama itu adalah nama seorang ibu yang sangat baik padaku di kampung. Ia sangat disegani oleh masyarakat. Aku memakai namanya agar aku disegani oleh orang. Orang-orang disini memanggilku Diana. Aku malu menyandang nama yang diberikan oleh ayah. Dulu ayah memberiku nama Fatimah. Agar kelak aku mejadi wanita seperti anak Nabi itu. Tetapi apa yang diharapkan ayah malah sebaliknya yang terjadi. Fatimah adalah masa laluku. Sekarang orang-orang memanggilku Diana.

Aku mempunyai seorang teman bernama Aminah. Di tempat ini ia telah mengganti namanya menjadi Dewi. Ia telah menjalani profesinya sebagai PSK (Pekerja Seks Komersial) selama dua tahun. Awalnya ia sering ke tempat-tempat hiburan bersama dengan kekasihnya. Sekedar ingin mendapatkan hiburan. Suatu malam kekasihnya memaksanya melakukan hubungan seks. Ia tidak kuasa menolak karena dipaksa dan takut mengecewakan kekasihnya itu. Selang beberapa bulan ia hamil. Resah dan rasa takut selalu menghantuinya. Wajah kedua orangtuanya selalu terbayang. Sang kekasih malah menganjurkan ia menggugurkan kandungannya. Baginya tidak ada jalan lain selain menuruti saran kekasihnya itu.

Ia merasa tidak berharga lagi dan tidak berhak lagi hidup di dunia ini. Tubuhnya telah kotor. Karena merasa telah kotor, ia mengikuti saran seorang temannya untuk bekerja saja menjadi PSK. Dewi mengiyakan saja. Sejak saat itu hingga sekarang profesi itu dijalani. Kadang pula ia bekerja sebagai penari telanjang disebuah club malam di kota ini. Tidak ada yang tahu mengenai pekerjaannya. Sedangkan kekasihnya telah pergi meninggalkannya tanpa sebab. Status mahasiswi yang pernah disandangnya sering ia rindukan.

***

Raga lelah menyelimutiku pagi ini. Aku baringkan saja tubuh ini di sofa. Rasanya sangat nyaman. Segelas air putih ku teguk mengairi tenggorokan ini. Saat mimpi hendak memasuki ruang tidurku, suara lelaki tua mengagetkanku. Kakiku terasa berat melangkah menuju pintu rumah. Pakaian yang aku kenakan semalam masih melekat erat di tubuhku. Aku segera membuka pintu. Seorang lelaki tua denga motor bututnya berdiri di samping pagar rumahku. Pagi ini ia melemparkan senyuman untukku seakan mengucapkan selamat pagi kepadaku. Aku pun tersenyum. Kaki ini lalu melangkah menuju lelaki tua itu. Ada beberapa pucuk surat berada di tangannnya. Ia lalu memberiku sepucuk surat lalu pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Bisu. Hening. Senyuman itu kini menghilang.

Surat itu lalu aku buka. Ternyata dari seorang ayah yang merindukan anaknya. Menginginkan anaknya pulang ke rumahnya. Raut wajah kertas itu begitu pilu. Surat itu lalu aku lipat dan menyimpannya di laci mejaku. Kadang aku melipat surat itu menjadi sebuah perahu. Sebuah perahu yang akan aku bawa ke pantai. Entah kapan waktu itu tiba. Kelak akan membawa kabar untuk ayah bahwa anaknya disini juga merindukannya. Surat itu tidak sendiri. Telah banyak temannya yang telah menunggunya beberapa waktu yang telah silam. Tak satu pun surat-surat itu aku balas. Di seberang sana, seorang ayah mengharapkan anak merindukannya dan pulang berkumpul dengannya. Aku duduk menatap sekumpulan surat itu. Aku ragu tidak bisa membalasnya dengan tinta air mata.

***

Hembusan angin mammiri menyentuh ragaku tetapi tidak menyapaku. Entahlah, ia tidak mau lagi memberiku kabar mengenai ayah dan adikku. Mungkin ia enggan melihat wajah ini. Seperti malam-malam sebelumnya. Dengan genitnya aku berjalan menarik perhatian para lelaki hidung belang. Dengan rok mini dan baju yang sangat ketat, kacamata berwarna putih yang aku kenakan. Aku biarkan angin mempermainkan ujung rambutku. Sekali-kali senyum kecut kulemparkan kearah sekumpulan pria. Inilah yang aku lakukan setiap malam. Sedangkan ayah dan adikku tidak tahu menahu apa yang aku kerjakan sampai sekarang.

Setiap malam kota Makassar menyaksikan kehidupan yang aku jalani. Entah sampai kapan akan berakhir. Masihkah ayah merindukanku di sana sampai sekarang atau ia telah melupakan aku, anaknya yang hina dan kotor ini. Waktu selalu berkisah kepadaku ketika senja akan segera berlalu. Ada banyak wajah dan wajah yang aku temui. Di pantai ini aku sering berkisah kepada riak ombak dan hembusan angin. Entah telah berapa banyak perahu kertas yang aku buat untuk ayah. Waktu selalu bertanya kepadaku, kapan aku mengirimkannya kepada ayah dan adikku. Aku ragu menatap cakrawala. Aku takut menatap surya dipagi hari. Tetapi aku lebih takut menatap dunia ini.

Akankah embun akan selalu menyapaku dipagi hari. Menemaniku menanti gemerlapnya malam. Menanti senja segera berlalu, mengetuk pintu langit untuk menghadirkan malam bagiku. Kadang aku berharap tidak akan ada malam. Aku selalu ingin bertemu dengan malaikat bersayap membawakan sekotak maut untukku di pagi hari. Biarkan ia mendengdangkan nyanyian mautnya kepadaku setiap hari.

***

Aku bermimpi bertemu dengan seorang gadis. Entahlah, aku lupa menanyakan namanya. Rambutnya panjang, ia biarkan terurai dipermainkan oleh angin malam. Berdiri seorang diri di tepi kerinduan menanti maut menjemput di pelupuk mata. Senja telah berlalu dihadapannya tanpa ia sadari. Mutiara mata tak henti mengaliri hatinya yang dipenuhi kabut gamang. Ketika aku bertanya, “Siapakah engkau?" Ia lalu berbalik menatapku lalu berkata, "Aku adalah masa lalumu."

Makassar, 17 November 2007


* Naskah cerpen ini pernah dipentaskan oleh mahasiswa sastra Indonesia 2006, Fakultas Bahasa dan Sastra, Universitas Negeri Makassar pada bulan Mei 2008 di Gd. Saopanrita UNM


-------

Erna Rasyid, mahasiswi Jurusan Sastra Indonesia 2006 Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Makassar. Telah menghasilkan dua buah antologi cerpen dan sebuah novel. Selain itu telah menghasilkan beberapa naskah drama dan salah satunya telah dipentaskan. Cerpen dan puisinya sering diterbitkan di media kampus.