Wednesday, May 7, 2008

Menciptakan Komunitas Sastra di Sekolah

Oleh Wilson Nadeak

UPAYA memasyarakatkan sastra di sekolah-sekolah dan kampus perguruan tinggi patut dihargai. Kegiatan-kegiatan yang bersifat spontan atau yang bersifat tematis (misalnya memperingati Chairil Anwar, Hari Kartini, dsb) pun merupakan kejadian yang patut ditradisikan. Sementara kehadiran sastrawan di tengah-tengah mnereka dengan membacakan karya-karya mereka sendiri, atau terlibat di dalam diskusi dengan siswa dan mahasiswa, juga patut dibanggakan. Tetapi, jika peristiwa itu hanya berhenti di situ, maka upaya yang demikianlah adalah bagaikan embun di pagi hari atau semacam secangkir air ketika berada di gurun pasir!

Kita memerlukan strategi pengajaran apresiasi sastra di halaman-halaman lembaga pendidikan kita. Guru atau pengajar diharapkan mampu menciptakan iklim yang kondusif bagi penikmatan karya sastra, tidak berhenti pada teori seperti lazimnya di ruang kelas. Tidak berhenti pada tugas PR membuat ringkasan sebuah novel atau penyebutan nama sastrawan dengan judul-judul karya mereka, maka pengetahuan yang demikian tidak melebihi pengetahuan seorang penjaja buku sastra di toko-toko buku atau di ruang-ruang dan situs-situs komputer. Para pengajar memerlukan strategi yang “alamiah” di luar jam-jam belajar.

Strategi “alamiah” itu misalnya, dengan memperhatikan siswa atau mahasiswa yang berminat kepada sastra. Mereka itu dicatat di dalam setiap kelas dan kemudian dikumpulkam, diarahkan, dan diberi serba sedikit penjelasan tentang pentingnya komunitas sastra di kampus/sekolah. Jumlah mereka tidak perlu terlalu banyak, berkisar pada 25-50 orang saja. Mereka ini dapat mengatur jadwal pertemuan mereka sendiri, tetapi guru atau pengajar sastra paling sedikit, sekali seminggu barada di tengah-tengah mereka, melontarkan isu-isu kebudayaan atau sastra ke tengah-tengah mereka. Bentuklah kelompok diskusi ini ke dalam sebuah kelompok yang kreatif, menularkan apresiasi mereka kepada yang lain, melalui acara-acara tertentu yang sesuai dengan lingkungan mereka.

Mereka dapat membuat pertemuan untuk membedah buku yang baru di bawah pengamatan guru mereka, atau mengundang pengarangnya untuk membicarakan proses kreatif. Mereka dapat mengadakan baca puisi bersama disertai sedikit pembahasan proses lahirnya sebuah puisi dan unsur-unsur apa yang terdapat pada sebuah puisi. Mungkin di dalam kelompok seperti itulah secara implisit seorang pengajar sastra mengemukakan apa yang dimaksud dengan “rima” “larik” “tone” dan “intention” atau hakikat puisi yang sebenarnya tanpa harus merumuskan prinsip itu ke dalam suatu
kerangka sistematika. Cukuplah dengan menunjukkan contoh puisi yang “indah” karena berirama, memiliki tujuan dan nada yang tersendiri.

Pendekatan yang “alamiah” jauh lebih mengesankan ketimbang pengajaran yang kaku dan “baku” di ruang kelas. Pemahaman yang mendalam akan diperoleh melalui jumpa pengarang dan pemerolehan informasi dari “dalam” lubuk hati pencipta hasil karya sastra itu. Di situ pulalah kesempatan bagi pengajar sastra mengungkap sedikit demi sedikit tujuan karya sastra itu diciptakan dan apa maknanya bagi kehidupan batin dan intelektual manusia.

Selain itu, siswa dan mahasiswa dapat mengemukakan pendapat dengan bebas atau mengajukan pertanyaan tanpa beban, tanpa takut salah atau berbeda dengan pendapat umum pengajar. Ia langsung melibatkan diri ke dalam dunia apresiasi sastra dari waktu ke waktu.

Kunjungan sastrawan ke kampus tidak mempunyai makna yang banyak dan mendalam. Kehadiran mereka yang hanya sekali menimbulkan rasa kagum dan memuaskan pandangan mata mereka dalam peerkenalan yang sekejap, tidak akan meninggalkan kesan apresiasi yang mendalam. Perkenalan fisik memang penting, tetapi lebih penting lagi jika perkenalan itu membuat siswa atau mahasiswa tertarik dan terus mencari dan menikmati karya pengarang yang menimbulkan rasa kagum itu. Adalah lebih baik rasa kagum karena perjumpaan itu dilanjutkan dengan “kagum” yang sebenarnya terhadap karya-karya mereka.

Daya kritis mereka sewaktu-waktu dapat muncul berkat pembacaan yang terus menerus. Seorang siswa atau mahasiswa yang pernah membaca sebuah karya pengarang yang baru dijumpainya, kemudian mencari karyanya yang lain dan menikmatinya, kemudian dapat memberikan timbangan mutu atas karya yang satu dengan yang lain - dalam konteks pengarang yang sama - bila ia mampu mengatakan bahwa karya yang ini lebih menarik dan berbobot daripada karyanya yang anu - itu berarti daya nalarnya sudah mulai berkembang dan daya apresiasinya meningkat.

Sesuatu yang perlu diperhatikan oleh komunitas sastra seperti ini, bahwa banyak pengarang muda yang masuk ke kampus mereka membacakan sajak-sajaknya dengan cara yang aneh-aneh, bahkan dengan suara hiruk-pikuk segala. Pendengar menjadi bingung. Sayangnya, penikmat pemula ini akan menyangka bahwa begitulah cara pengapresiasian puisi yang baik. Padahal, apresiasi puisi yang baik bukanlah yang demikian, itu hanya sebuah cara pengarang mengekspresikan karyanya! Itu sebuah cara!

Para pengajar harus tetap kepada hakikat sastra, menekankan makna penikmatan sebuah karya sastra, dengan unsur-unsur yang terdapat di dalamnya. Bagaimana sebuah larik mengandung bobot melalui kata yang bernas dan berirama, padat dan merasuk dalam hati, tanpa tenggelam kepada “teriakan-teriakan” pembacaan di panggung.

Jadi, pemimpin komunitas sastra di kampus sebaiknya mendalami makna sebuah puisi dan mambacakannya sesuai dengan tekanan yang terdapat di dalam puisi itu sendiri. Sajak-sajak kontemplatif sebaiknya dibacakan di dalam suasana hening, melibatkan pendengar kepada keheningan yang terkuak dari dalamnya. Sajak-sajak “mimbar” yang bertumpu pada suara vokal dapat dinikmati tanpa harus berteriak-teriak, karena teriakan yang kurang tepat justru mengaburkan makna puisi itu sendiri. Padahal kita tahu, bahwa puisi mengandung makna kehidupan yang menginti, yang berbobot dari kehidupan itu ditampilkan dalam irama yang tepat dan mengharukan.

Sekitar tahun enam puluhan dan tujuh puluhan, penikmatan puisi umumnya dilakukan dengan deklamasi, artinya, penikmat menghapal puisi luar kepala dan menampilkannya dari mimbar. Proses penghapalan ini adalah bagian dari peningkatan apresiasi, karena dengan mengulang-ngulanginya, penghapal menyerap intisari dari puisi itu sendiri. Ia melakukan proses penafsiran dan itu diungkapkan di dalam intonasi, ekspresi atau penghayatan yang intens. Sementara gerak hanya sekadar menekankan makna, bukan menghamburkan makna!

Hal-hal seperti itulah yang mungkin dilakukan oleh seorang pengajar sastra untuk meningkatkan apresiasi mereka. Komunitas sastra yang diciptakan di dalam kampus dapat digunakan untuk meningkatkan apresiasi siswa dan mahasiswa lain, dalam lingkungan yang dibatasi pula. Kelompok itu dapat berkumpul atau mengumpulkan massa di luar komunitas itu, sekitar 50 orang dan membentuk lingkaran yang tidak begitu formal dan melakukan kegiatan seperti yang dilakukan di dalam kelompok atau komunitas inti!

Dengan demikian, komunitas sastra akan terus menerus ditemukan di dalam kampus, dengan tradisi yang dapat diperkaya dari waktu ke waktu. Biarkanlah komunitas itu bertumbuh secara kreatif, tanpa harus diarah arahkan, melainkan dirangsang dengan upaya-upaya yang beragam.

Di dalam komunitas inilah pengayaan jumlah buku dapat dilakukan, jika setiap anggota komunitas berpartisipasi menyumbangkan satu buku saja dari pengarang yang berbeda, sehingga dalam sekejap 50 buku berada di tengah-tengah mereka, yang digilir dan diputarkan di antara mereka sekaligus menciptakan suasana saling memiliki. Beberapa bulan berikutnya mereka membeli buku kedua dan akhirnya secara “alamiah” perpustakaan mereka yang hidup tercipta secara “tidak sengaja”.

Dari Suara Pembaruan, 24 Januari 2003