Monday, September 8, 2008

Sekian

Sajak Oei K. Lendi

sekian mata mulai cerdik. memandang
hamparan rumputan yang luas membentang lemah
tak subur. dikikis polusi tak berhati. hembuskan belai
dekap dan sentuh, hangat seolah

sekian mulut mulai riuh memeperhatikannya
mengucap kata prihatin. ungkapkan penyesalan
sebarkan janji-janji canggih. mengirim niat keberpihakan
terbungkus kidung-kidung salam yang disulam

sekian akal pikiran mulai jeli pengaruhi batang-batang
yang meradang terpanggang. mereka was-was bila rerumputan
jadi diam tak bernyanyi. tak membuka suara. karena imbasnya
pasti rugi meremukkan mimpi-mimpi sendiri

sekian celoteh. sekian perbincangan. sekian perdebatan
mengungkit-ungkit. menyodor-nyodorkan kebaikan biar cuma
sedebu di tengah gelap. mengakui. bangga tanpa malu
tak peduli meski mungkin tersangkut atas penilaan susu sebelanga

sekian tahun. sekian masa. sekian era. sekian metamorfosa
sekian pergantian. yang terbukti serangkaian elegi. menanamkan
kemuakan. mengasah kebencian. sejahterakan kecurigaan,
pada diri rerumputan yang senantiasa merasa diancam permainan

menjengkelkan. berkesinambungan!


-----

Oei K. Lendi
, lahir dan tinggal di Madura. Aktivis di beberapa sanggar dan kajian sastra.

Perkembangan Sastra di Kalimantan Tengah*

Oleh Makmur Anwar M.H.**

SASTRA adalah cabang seni yang bergerak dan sekaligus menggunakan bahasa. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dinyatakan bahwa sastra adalah (1) bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai dalam kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari); (2) kesusastraan; (3) kitab suci Hindu; kitab ilmu pengetahuan; (4) kitab; pustaka; primbon (berisi ramalan, hitungan, dsb); (5) tulisan; huruf. Dari penjelasan tersebut, arti yang pertama adalah bahasa, dan arti kedua adalah kesusastraan. Ketika saya menjadi siswa kelas satu di SMA Negeri 1 Jurusan Sastra, di Yogyakarta, saya mendapat penjelasan dari guru, bahwa kesusastraan berasal dari susastra yang mendapat imbuhan ke-an; su adalah imbuhan yang berarti indah, sastra berarti tulisan. Jadi, kesusastraan adalah perihal tulisan yang indah.

Kesusastraan mempunyai arti yang lebih sempit dari kesastraan. Yang mempersempit arti tersebut adalah su-, yang berarti indah. Tentang keindahan dari kesusastraan itu sendiri sulit dijelaskan karena indah pada prinsipnya adalah suatu yang bersifat relatif. Masing-masing orang mempunyai pandangan tentang keindahan. Karya sastra bertemakan kritik atau pengkritisan meski tetap mempunyai keindahan. Namun, barangkali orang yang terkena kritikan akan mengatakan bahwa karya yang dimaksud tidak indah. Kritik sendiri ditulis atau diungkapkan sebagai sesuatu yang mengandung maksud, yang bagi masyarakat umum baik atau indah.

Arti sastra yang pertama diberikan oleh KBBI adalah bahasa, ini berarti bahwa sastra dan bahasa tidak dapat dipisahkan, sebab sastra adalah tulisan yang menggunakan bahasa. Bahasa adalah alat atau sarana untuk berpikir. Orang yang tidak mengenal satu bahasa pun ia tidak akan dapat berpikir. Bahasa juga merupakan alat untuk mengkspresikan pikiran atau ide yang tersimpan. Orang yang belum mempunyai bahasa yang dikuasai belum dapat mengungkapkan isi hatinya. Ini pernah saya alami waktu anak pertama saya baru belajar berbicara. Hampir tiga tahun ia belum dapat berbicara. Saya konsultasikan kepada seorang dokter apakah anak saya tersebut bisu. Dokter mengatakan bahwa anak itu tidak bisu, sebab bisu itu disebabkan karena tidak dapat mendengar dan tentunya tidak dapat menirukan apa yang diucapkan oleh seseorang. Pendengaran anak saya baik dan tidak ada gangguan.

Akhirnya, saya konsultasi dan mohon petunjuk kepada Prof. KMA.M. Usop, M.A. Beliau menanyakan kepada saya apa bahasa yang saya gunakan di rumah, apa bahasa yang dipakai istri saya, dan bahasa apa pula yang dipakai oleh teman-teman bermainnya. Saya mengatakan kepada beliau bahwa bahasa sehari-hari saya berbeda dengan istri saya dan berbeda pula dengan bahasa yang dipakai teman-temannnya. Akhirnya, beliau menjelaskan kepada saya bahwa anak saya tersebut tidak mengalami kesulitan dalam menyerap bahasa, karena bahasa yang bermacam-macam yang dialami oleh anak tersebut dalam kehidupan sehari-harinya. Beliau mengatakan agar saya tidak perlu cemas karena anak tersebut hanya sedang mencari dan memilih bahasa yang akan dijadikan pegangan.

Ternyata apa yang beliau katakan adalah benar, karena begitu anak saya dapat berkata-kata, ia langsung dapat membedakan bahasa apa yang harus disampaikan kepada ibunya, kepada saya, dan kepada teman-teman bermain-mainnya dalam waktu yang bersamaan. Ini adalah pengalaman saya yang sangat berharga dan penjelasan Pak Usop tersebut adalah sesuatu yang sangat berharga dan tidak pernah saya lupakan. Pak Usop adalah dosen saya yang banyak membantu saya baik dalam studi saya maupun dalam penulisan skripsi dan bahkan hal-hal lain seperti organisasi.

Saya menyukai sastra, terutama puisi sejak saat masih duduk di SMP Jurusan A (Sastra Budaya) di Yogyakarta. Saya mulai mengarang puisi mulai kelas 1 SMA di Yogyakarta dan puisi itu saya kirimkan ke redaksi majalah siswa. Betapa gembiranya saya karena karya pertama saya dimuat di majalah Tifa Siswa, begitu nama majalah itu. Sayang, saya tidak dapat mengingat karya tersebut. Majalahnya pun hilang. Pada tahun 1955, SMA Sastra Negeri di Yogyakarta telah memiliki majalah siswa yang bernama Rakta Pangkajia. Majalah itu bukan lagi berbentuk majalah dinding, tetapi sudah berupa majalah terbitan tercetak yang dikelola oleh para siswa dengan rapi. Ini barangkali kelebihan SMA Sastra dari SMA-SMA umum lainnnya. Penyajian pengajaran bahasa Indonesia dan sastra banyak disampaikan dalam bentuk diskusi dan terbimbing (guided discussion). Dari diskusi itulah saya menjadi tahu betapa luasnya makna dan maksud yang dikandung oleh karya sastra, dari makna sebenarnya, kiasan, majasi, dan metaforis atau perbandingan dan perumpamaan.

Kepengarangan saya terhenti ketika saya menekuni ilmu dan pengetahuan hukum di Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Namun, saya kembali menekuni dunia kepengarangan setelah saya menjadi guru di SMA Negeri Pangkalanbun, Kalimantan Tengah. Saya mulai mengajarkan sastra dengan cara yang seperti saya peroleh. Kami mulai mengadakan lomba baca puisi pada hari-hari penting seperti Hari Sumpah Pemuda dan Hari Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.

Demikian halnya ketika saya mengajar di SMA Negeri 1 Palangkaraya, Kalimantan Tengah, tepatnya tahun 1971. Kami mengadakan lomba baca puisi pada Hari Pendidikan Nasional. Sejak saat itu, sekolah-sekolah lain di Palangkaraya juga mulai mengadakan lomba baca puisi. Dari kegiatan lomba tersebut, saya juga menjadi tahu betapa miskinnya perbendaharaan puisi di kalangan siswa dan sekolah. Ini yang mendorong saya untuk melakukan kegiatan bimbingan sastra, baik dalam kegiatan ”Tebaran Sastra di RRI Palangkaraya” maupun ”Tabib (Taman Bina Ide dan Bakat) Puri Damai”. Tebaran Sastra adalah acara yang dulu diasuh Bang Jack F. Nahan. Disela-sela kegiatan itu saya sering berdiskusi dengan Bang Badar Sulaiman Usin (BSU) almarhum.

Selanjutnya kami menyelenggarakan Baba (Baca-Bahas) Puisi bersama Mas Eko (Yulianto Eko Sunugroho = YES) dan mendirikan Kelompok Teater Senjang. Saat itu Teater Senjang menampilkan M. Razi, Mahmudah, dan Elsi Suriani Titin. Sebenarnya Baba Puisi direncanakan sebagai program tahunan dan sudah berjalan sampai lima tahun. Namun, akhirnya kegiatan ini harus kandas karena tidak adanya dana pendukung, sementara saat itu sangat sulit mencari sponsor untuk kegiatan sastra. Kelompok Baba Puisi juga diramaikan oleh teman-teman yang berteater tersebut dan teman-teman lain diantaranya Mirza Wanara Fitri kakak beradik. Salah satu yang ikut aktif di dalamnya adalah Siti Nafsiah yang sekarang berkarya politk bersama Golkar dan duduk sebagai Ketua Komisi C DPRD Kalimantan Tengah. Pada waktu Kanwil Dekdikbud dipimpin oleh Bapak Hengki Sumuan dan Drs. Taya Paembunan. Saat itu puisi sangat diperhatikan sehingga tiap-tiap ada kegiatan baik intern Kanwil maupun kala ada kunjungan pejabat dari Pusat baik itu Dirjen, Sekjen maupun menteri P dan K selalu disuguhkan bacaan puisi.

Pernah suatu saat, ada kegiatan yang tidak menampilkan bacaan puisi, Bapak H Sumuan dan Pak Taya menanyakan kepada saya perihal ketiadaan baca puisi. Sehingga pada saat Pisah Sambut kepindahan Pak Taya kembali ke Jakarta, kami juga mengadakan acara baca puisi, khusus untuk Pak Taya. Salah satu kalimat dalam puisi itu berbunyi” Selamat jalan Pak Taya, jangan lupakan kami, jangan lupakan Kalimantan Tengah”. Puisi ini memberi kesan tersendiri di hati beliau sehingga beliau menuliskan sebuah buku tentang Kalteng dan diluncurkan di gedung Aula Kanwil Depdikbud. Menurut beliau puisi tidak boleh dipandang hanya sebagia hiburan, tetapi juga sebagai media yang dapat dititipi pesan apa saja, dari masalah pendidikan agama sampai masalah pembangunan.

Kepindahan Bung Yohanes Djoko Santoso Passandaran dari Kuala Kapuas ke Palangkaraya menjadi dosen di Program Studi Bahasa dan Sastra Indoensia FKIP Universitas Palangkaraya memberikan dorongan kegiatan sastra di Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Ia membukukan sendiri beberapa puisinya dalam kumpulan puisi Sajak- Sajak Kecil Perjalanan. Saya sering berdiskusi dengan beliau tentang bagaimana mendorong dan mengajak para siswa berkarya puisi dan meningkatkan karangan serta kualitasnya. Lewat Tabib Puri Damai, beliau ikut menyelenggarakan lomba Baca Puisi. Bang HABSU (Haji Ahmad Badar Sulaiman Usin, Saapan Badar Sulaiman Usin setelah menunaikan ibadah haji).

Saya maupun teman-teman yang lain termasuk sastrawan yang kurang produktif dalam hal penerbitan buku, karena kemampuan finansial yang sangat terbatas. Kami baru menuangkan karya-katrya dalam buku setelah ada pihak yang berkenan mensponsori. Keadaan agak berubah setelah buletin sastra Dermaga terbit. Buletin ini digagas oleh Bang HABSU dan didukung Ikatan Pecinta Seni Sastra Palangkaraya (IPSSP). Buletin ini dimotori oleh Wansel Eryanatha Rabu, Barthel Usin dan Sutran. Ketiga orang ini memang bergelut dalam bidang jurnalistik. Selain itu ada pula Dini Sofian serta Bambang Juniarto yang sejak tamat kuliah sampai sekarang belum terlacak keberadaannya. Selain menerbitkan Dermaga, IPSSP juga pernah menerbitkan antologi puisi penyair Palangkaraya, sayang saya tidak memiliki arsipnya.

ISASI (Ikatah Satrawan Indonesia) daerah Kalimantan Tengah kemudian ikut bergabung bersama IPSSP. Saat itu ISASI dipimpin oleh Bang Jack F. Nahan. Kehadiran ISASI ikut memperkuat buletin Dermaga. Meskipun baru berupa stensilan, HABSU berani mengirimkan beberapa edisi ke teman-teman seniman sastra di daerah lain, juga ke pusat dokumentasi sastra HB Yassin. HABSU lalu membukukan puisinya dalam kumpulan puisi yang berjudul Rambahan. Buku ini disponsori oleh Mas Dapi Fajar Raharjo, Mohammad Alimulhuda, Samsul Munir, Suyitno BT, dan teman-teman yang tergabung dalam ISASI. Saat itu ISASI berada di bawah koordinasi Dr. J.J Koesni selaku Ketua ISASI. Setelah kumpulan puisi ini terbit, lalu terbit pula kumpulan puisi yang disponsori oleh Kantor Wilayah Pariwisata Seni dan Budaya (Parsenibud) Kalimantan Tengah. Kumpulan puisi ini berjudul Tiga Sosok Berpadu Takdir, memunculkan puisi-puisi bertemakan pariwisata karya HABSU, Makmur Anwar M.H, dan Andi Burhanuddin. Saat itu Kantor Parsenibud berada di bawah kepemimpinan Bapak Drs.H Hamdulilah Salim.

Setelah Tiga Sosok Berpadu Takdir, Aliemha (sapaan Mohammad Alimulhuda) dan kawan-kawan dari ISASI Kalteng menerbitkan Negeri Bekantan, sebuah antologi puisi para penyair Kalimantan Tengah. Di dalamnya memuat karya-karya Lukman Juhara, Dra. Nani Setiawati, M.Si., Sujudi Akbar Pamungkas, M. Anwar M.H., Alifiah Nurahmana, Supardi, R. Bagaspathi, Suyitno BT, Titin Nafsiah Rafles, Amang Bilem, Esa Sukmawijaya, Padmi Sando Eraini, S.Pd., Samsul Munir, Qomaruddin Asss’adah SP, Harland S. Muhammad, Wansel Eryanatha Rabu, Drs. Fajar Siddiq, Ariel Abuhasan, Lamatsyiah M Tiong, Tutur Krishandojo, Ruslimah, Surya Wira Buana, Yohanes C Karambut, Priyatna, Misnawati, Yuliati Eka Asi, Ad Rahmayanti, dan Nor Hasanah. Dari sekian banyak nama itu ada beberapa yang memang sudah dikenal sebelumnya dan ada pula yang baru dikenal. Beberapa di antaranya kini sudah tidak terdengar gaungnya, namun ada pula terus berkarya, hidup dan berkibar benderanya.

Tabib diminati oleh adik-adik yang masih kecil diantaraya Elis, yang dulu sering ditampilkan di layar TVRI, Herawati, Citra, Pahit, Amy, dan Sekar yang sering pula tampil di RRI Palangkaraya membaca puisi dan bermain sandiwara udara, menyosialkan program Pendidikan Dasar Sembilan Tahun. Citra dan Amy sempat diundang ke Jakarta oleh IKAPI di bawah ibu Upi Tuti Sundari Azmi yang akrab dipanggil Bu Upi, untuk membacakan pusi di acara pembukaan Pameran Buku Internasional. Acara itu dibuka oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, Bapak Sumantri Brodjonegoro di Balai Sidang Senayan, Jakarta.
Tabib juga memunculkan adik-adik yang kemudian ikut dalam kegiatan-kegiatan lain baik dalam berteater maupun berpuisi bersama dengan teman-teman yang lain. Tabib, Baba Puisi dan Teater Senjang sering mengadakan kegiatan lomba baca Puisi. Bahkan para anggota Teater Senjang berhasil menang dalam Lomba Menulis dan Baca Puisi bertemakan Pancasila yang diselenggarakan oleh BP-7. Lomba menulis Essai bertemakan Pancasila memunculkan Mamahut, permunculan nama lain dari M Anwar MH, juga anggota teater Senjang sebagai juara pertama. Selain itu masih banyak prestasi yang berhasil diraih oleh para anggota teater Senjang.

Bersama redupnya Baba Puisi, Teater Senjang pun mulai tenggelam dan pulas dalam tidurnya. Sejak itu muncullah Teater Kharisma di bawah pimpinan Drs. Puji Santoso. Tetapi kehidupannya juga tidak mampu bertahan lama, walaupun sempat berkiprah meramaikan panggung teater Palangkaraya. Namun, Alhamdulillah. setelahnya muncul sanggar teater yang baru yang sampai sekarang masih menunjukkan keaktifannya, yaitu Srikandi Tiung Gunung Balamping Emas di bawah pimpinan Rr. Tri Rahayuningsih. Pemain utama dan seniornya adalah Aliemha. Teater ini banyak melibatkan adik-adik mahasiswa, siswa-siswi SMP, SMA, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah.

Sememtara itu di kampus Universitas Palangkaraya juga berkembang Teater Tunas sebagai ajang berkiprah bagi para mahasiswa-mahasiswi FKIP Program Studi Bahasa Indonesia dan sastra Jurusan Bahasa Indonesia dan Daerah. Bersamaan dengan aktifnya sanggar-sanggar teater ini, muncullah satu lagi teater dan sastra kampung (Terapung) di bawah kepemimpinan Aliemha. Teater ini diminati banyak pihak untuk bergabung dan bekarya di bidang teater, bahkan adik-adik kita yang kecil ikut bermain di dalamnya, salah salatunya adalah melakonkan ”Ember”. Teater Terapung sangat menarik perhatian karena membina anak-anak untuk cinta teater, juga dengan kehadiran teater bocahnya (diberi nama teater Ember). Sampai sekarang sanggar ini masih aktif dan terus aktif bahkan sering bermuhibah ke beberapa daerah lain. Terakhir bulan Juli lalu mereka ke Pontianak, Kalimantan Barat. Di era aktifnya, sanggar-sanggar teater ini berhasil menjadi tuan rumah dalam adu kreasi pekan teater dengan menghadirkan Group Teater dari Banjarmasin, Malang, Jombang, Jatim, dan Sampit. Kelompok Sampit yang aktif melalui studi Art Sampit sering mengundang Teater Terapung dan sebaliknya mereka juga bermain di Palangkaraya dan mengikuti program-program Terapung.

Dengan dibukanya Kantor Bahasa Palangkaraya pada tahun 2000 di Kalimantan Tengah, kegiatan sastra semakin marak saja. Kantor Bahasa Palangkaraya ini sering mengadakan Bengkel Sastra di SMA-SMA di Palangkaraya dan daerah-daerah lain di Kalimantan Tengah dengan melibatkan tenaga-tenaga yang ada seperti Mas Eko, Aliemha, Dapi Fajar Raharjo, M. Anwar MH, dan para dosen Bahasa Indonesia dan Sastra Unpar.
Setelah Kantor Bahasa Palangkaraya berubah menjadi Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah pada tahun 2003, mereka pun semakin meningkatkan peranan dan partisipasinya dalam membina mengembangkan serta menggerakan para seniman sastra dan teater di wilayah ini. Di antaranya adalah seminar sastra yang menampilkan Tokoh Budayawan Prof. K.M.A.M. Usop, M.A., dan dihadiri pejabat dari Pusat Bahasa, Drs. Abdul Rozak Zaidan, M.A. Saat itu Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah berada dibawah kepemimpinan ibu Jatiwati, S.Pd., Di sini, tampak kesastrawanan dan kebudayawaman Pak Usop di tengah masyarakat luas Kalimantan Tengah.

Dalam waktu dua tahun terakhir, Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah semakin menggiatkan program kesastraannya dengan mengadakan Lomba Baca Puii bagi Guru SD, Lomba Bertutur/Mendongeng atau Bercerita bagi Siswa SD, Lomba Mengarang Cerita Pendek, Lomba Musikalisasi Puisi, Sayembara Penulisan Cerita Rakyat, Bengkel Sastra, Penulisan Kreatif Cerpen, temu sastra, dialog sastra, seminar pengajaran sastra, bedah buku sastra, bimbingan penulisan sastra, dan lain-lain (maaf, saya tidak mampu menghafalnya). Ini merupakan momen yang sangat menggairahkan bagi keatifitas para sastrawan di daerah Kalimantan Tengah ini. Ucapan terima kasih tentunya pantas saya sampaikan kepada Bapak Dra. Puji Santosa, M.Hum selaku Kepala Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah dan segenap stafnya atas kegiatan-kegiatan kesastraan yang diadakannya ini. Satu hal yang sangat mengejutkan adalah adanya acara Pemberian Penghargaan kepada Tokoh Kebahasaan dan Kesasatraan. Ini baru untuk pertama kalinya terjadi di wilayah Kalimantan Tengah ini. Kalau program ini tidak terhenti dengan pemberian penghargaan kepada kami sekarang ini, saya yakin akan dapat membawa dampak positif untuk peningkatan karya dan kreatifitas para sastrawan dan tokoh kebahasaan di daerah Kalimantan Tengah ini.

Saya juga mengucapkan selamat kepada Bapak Prof. K.M.A.M Usop, M.A. atas terpilihnya beliau sebagai tokoh Kebahasaan Kalimantan Tengah. Selain itu, saya juga pantas memantapkan ucapan terimakasih saya karena bimbingan beliaulah saya dapat bertahan dan berkarya di bidang kesastraan sampai sekarang ini. Beliaulah yang menyarankan agar saya membukukan puisi-puisi saya. Bagi saya, beliau adalah dosen pembimbing dan seorang tokoh yang menjadi idola saya. Terima kasih Pak Usop.

Palangkaraya, 27 Agustus 2008

* Disampaikan dalam Orasi Tokoh Kesusastraan Kalimantan Tengah pada Puncak Acara Semarak Tahun Bahasa 2008, Pekan Bahasa dan Sastra, di Palangkaraya, 27—28 Agustus 2008

** Tokoh Kesastraan Kalimantan Tengah versi Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah.

Kebahasaan dan Kesusastraan

Orasi Prof. H.K.M.A.M. Usop, M.A.

Penerimaan Penghargaan Tokoh Kebahasaan dan Kesusastraan
Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah
Palangkaraya, Rabu, 27 Agustus 2008

Awal mula:

1. Saya menerima dan menghargai pemberian Penghargaagn Tokoh Kebahasaan dan Kesusastraan ini dengan rasa gembira dan terima kasih, walaupun saya menyadari bahwa apa yang telah dapat saya sumbangkan selama ini tidaklah dapat dikatakan suatu puncak prestasi.

2. Sumbangan itu hanyalah suatu percikan bakat yang dimunculkan oleh desakan kebutuhan mengisi ruang-ruang kosong dalam kesibukan perjalanan hidup karier kami dalam “Meniti Tri Dharma Perguruan Tinggi”.

3. Selain itu, sebagai seorang perantau ada dorongan untuk membentuk kepribadian, suatu jatidiri yang mengemban nilai-nali budaya, termasuk seni budayanya.

Awalnya adalah

1. Karier kami sebagai wartawan yang memerlukan penguasaan pemakaian bahasa (penterjemah Inggris—Indonesia dan sebaliknya) di kantor berita PIA, Associatd Press, Times of Indonesia dan Jakarta Times.

2. Menempuh pendidikan tinggi di India (Delhi Collage dan Delhi University: B.A. dan M.A.) yang bahasa pengantarnya bahasa Inggris. Bergaul sehari-hari dengan bahasa Inggris. (1961--1969)

3. Ketika kembali ke Palangkaraya menjadi dosen UNPAR (1970) terpaksa kami mengajar bahasa Indonesia dan juga bahasa Inggris, malahan menjadi pendiri kedua jurusan tersebut.

4. Sementara itu, timbul pula minat kami untuk membina bahasa daerah, khususnya bahasa Dayak Ngaju yang kebetulan bahasa ibu, sampai menjadi koordinaror Pemanyarakatan Bahasa Indonesia di Kalimantan Tengah, lalu memperjuangkan adanya Kantor Bahasa Palangkarya yang kemudian berubah namanya menjadi Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah yang berkedudukan di Palangkaraya. Setelah itu, karena perjalanan karier mengarahkan pada pengabdian di bidang pendidikan, sosial, dan politik, maka bidang kebahasaan itu saya estafetkan kepada kader-kader muda yang sempat saya bina.

5. Sebagai wartawan, saya banyak menciptakan istilah-istilah baru dalam Bahasa Indonesia.

6. Sebagai dosen yang membaca skripsi-skripsi mahasiswa, saya temukan suatu gaya bahasa yang agak unik, yang kemudian saya rumuskan sebagai gaya “topik dan komen” yang merupakn pengaruh bahasa daerah. Apa yang ingin ditonjolkan menjadi subjek atau menjadi topik.

7. Sebagai budayawan yang menggali nilai-nilai budaya lokal, saya menemukan suatu bentuk sastra suci sangiang/sangen yang unik dan disebut oleh orang bahasa sebagai semantic parallelism (paralelisme semantik atau padanan makna) yang kemudian saya sebut khususnya untuk bahasa Sangen sebagai semantic interalism (integralisme semantik, karene melukiskan satu objek saja, yang disebut sebagai kutak bawi dan kutak hatue)

8. Di bidang ejaan, bahasa Dayak Ngaju tidak seluruhnya dapat mempergunakan ejaan baru Bahasa Indonesia dalam kasus-kasus bunyi sengau (ai, ei, au) sepaerti balau/balaw, parei/parey, balai/balay, karena adanya akhiran –nya yang dalam BDNg: kata yang berakhiran huruf mati seperti takuluk manjadi takuluk-ah.

9. Ada kasus yang aneh ialah kuman dan kinan, kalau sisipan um dan in diambil, maka tinggal satu suku kata kan : mekan, makan, mangan…

10. Mungkinkah Bahasa Melayu itu berkembang dari daratan Kalimantan, bukan dari Champa (Cina Selatan)? (lihat kliping yang saya lampirkan)

11. Sebagai penutup, saya bacakan sajak W.S. Rendra yang ber-kutak bawi hatue:

Kali hitam lewat dengan keluh kesah
Kawanan air dari tanah tak bernama
Kali hitam lewat di tanah rendah
Kali hitam beralur di dasar dada


Antara Palangka dan Jakarta:

ANTARA PALANGKA RAYA DAN JAKARTA RAYA
17 Juli 1957 dan 17 Juli 2004

Kenna Usop
(Prof. H. KMA M. Usop, M.A.)

Bung Karno pernah mimpi
Palangka akan jadi raya
Palangka Raya ‘kan menjelma jadi Jakarta Raya

Hampir setengah abad telah berlalu
47 tahun sudah kita berkarya
Membangun kota
Kota langka penuh palang derita
Penuh tunguh dan tangah*,
Isen mulang*
Pantang telentang
Pantang mantangah*
Kota baru di tengah rimba belanara Kalimantan Tengah
Hanya satu itu karya anak bangsa
Persembahan kepada republik tercinta
Kepada anak cucu dan cicit kita

Cita-cita dan mimpi
Harus tetap teguh
Berayun-ayun dalam kenangan
Bergejolak dalam pikiran
Bergetar dalam gerak langkah
Cita dan karya

Kota pasir, kota kerina, kota tandus, kota panas
Kota kumuh…dan …”kota cantik”
Pasir dan pasar

Tantangan dalam perubahan
Kecantikan dalam perjuangan
Ketulusan dalam ketandusan
Keteguhan dalam kekumuhan
Kelembutan dalam kekerasan
Ketegaran dalam kekeringan
Kesabaran dalam ke-panas-an

Antara jalan lintas, banjir melindas
Antara kendaraan roda dua, roda empat dan roda kaki*
Antara otokrasi dan demokrasi
Antara roda pembangunan dan roda peminggiran
Antara kejujuran dan kemunafikan
Antara kita berdua saja
Jarak masih jauh

Antara Palangka Raya dan Jakarta Raya
Masih berdesir mengusik harap
Masih bergetar gerak lanjah
Masih berbising klotak dan balap*
Antara kota dan desa
Antara gunung dan lembah
Antara sungai, laut, dan darat
Antara kau dan aku
Antara kita semua, hapakat* erat
Membangun betang* kita, rumah rakyat

Supaya nanti
Kau dan aku bermesra
Menjalin cinta di hutan dan rawa-rawa
Menikmati kasih di alam raya
Antara Jakarta dan Palangka
Aku tersentak, waktu berdetak
Kita bergerak, orang berdesak
Aku berharap kita berderap
Menjalin erat, merapat jarak

Aku tergugah
Alam berubah
Anara Soekarno-Hatta dan Cilik Riwut
Antara Palangka dan Jakarta
Antara Palangka yang Raya dan Jakarta yang Raya
Kota langka, kota raya, kota perkasa
Mangat Kalimantan Tengah dia mantangan*
Oe-oe-oe...oe!
Selamat mengabdi, selamat berjuang
Selamat Hari adi, Sayang…

Palangka Raya, 16 Juli 2004
*tungguh tangah=keluh kesah
*isen mulang=pantang mundur
*mantangan=telentang
*roda kaki=jalan kaki
*KH11=jalan kaki
*balap=speed boat
*hapakat=saling bersepakat
*betang=rumah panjang
*mangat Kalimamntan Tengah dia mantangah=agar Kalimantan Tengah tidak telentang

Upaya Pembinaan dan Pengembangan Bahasa dan Sastra di Kalimantan Tengah

Oleh Puji Santosa

TAHUN 2008 ditetapkan sebagai Tahun Bahasa karena bertepatan dengan 100 tahun (satu abad) kebangkitan nasional, 80 tahun (10 windu) Sumpah Pemuda, dan 60 tahun Pusat Bahasa berkiprah dalam bidang kebahasaan dan kesastraan untuk lebih memartabatkan bangsa melalui jalur bahasa. Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah pun kini sudah berumur satu windu atau delapan tahun, mulai operasional tahun 2000 dengan nama Kantor Bahasa Palangkaraya, bersama masyarakat Kalimantan Tengah membangun bangsa yang lebih beradab dan bermartabat melalui pembinaan dan pengembangan bahasa dan sastra, Indonesia dan Daerah, di Provinsi Kalimantan Tengah.

Dalam rangka menyemarakkan Tahun Bahasa 2008, hari ulang tahun ke-63 Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (17 Agustus 1945—17 Agustus 2008), dan 51 tahun Provinsi Kalimantan Tengah, Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah menggelar berbagai kegiatan kebahasaan dan kesastraan di di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah pada sepanjang tahun 2008 ini. Kegiatan kebahsaan dan kesastraan ini dinamai “Semarak Tahun Bahasa 2008: Merdeka! dan Merdeka!”.

Tujuan diadakan kegiatan ini adalah untuk membangkitkan minat masyarakat Kalimantan Tengah terhadap kegiatan kebahasaan dan kesastraan, meningkatkan apresiasi dan kreativitas masyarakat Kalimantan Tengah dalam pembelajaran bahasa dan sastra, menumbuhkan-kembangkan sikap positif, bangga, dan rasa cinta dengan bahasa dan sastra milik sendiri, serta memupuk rasa solidaritas untuk semakin memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa dalam mengisi kemerdekaan bangsa Indonesia.

Tema kegiatan ini adalah “Melalui pembelajaran bahasa dan sastra, Indonesia dan Daerah, kita tingkatkan minat baca masyarakat Kalimantan Tengah dalam rangka menyemarakkan Tahun Bahasa 2008 dan sekali Merdeka! tetap Merdeka!”.

Sepanjang tahun 2008 Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah telah melakukan kegiatan kebahasaan dan kesastraan. Diawali tahun 2008 Balai Bahasa melaksanakan temu sastrawan Kalimantan Tengah untuk bersama-sama membicarakan tawaran Korrie Layun Rampan agar berperan serta dalam Dialog Sastarawan Kalimantan-Borneo di Samarindra tahun 2009. Para anggota Ikatan Sastrawan Kalimantan Tengah (ISASI) yang diketuai oleh Drs. Supardi akan ikut aktif dalam kegiatan tersebut.

Untuk menghidupkan kegiatan Forum Bahasa Media Massa (FBMM) Kalimantan Tengah dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Kalimantan Tengeh, Balai Bahasa pun ikut berperan serta dalam kegiatan diskusi kebahasaan yang diselenggarakan di kantor Redaksi Kalteng Pos, 16 Februari 2008 dan 9 Juni 2008. Diskusi yang pertama disiarkan secara langsung oleh Radio KPFM selama dua jam. Diskusi kebahasaan yang kedua di selenggarakan di RRI Palangkaraya, Sabtu, 19 April 2008, dan sekaligus disiarkan secara langsung selama dua jam. Kegiatan lain adalah Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI) terhadap 85 wartawan yang mengikuti Karya Latihan Wartawan (KLW) di Sampit, 30 Maret 2008, serta Seminar Bahasa Media Massa di Palangkaraya pada hari Senin, 9 Juni 2008, dengan mendatangkan Kepala Pusat Bahasa, Dr. Dendy Sugono, Ketua FBMM Pusat, TD Asmadi, dan Kepala Kantor Bahasa Kalimantan Timur, Drs. Pardi, M.Hum., serta pembicara dari Universitas Palangkaraya, Drs. H. Lukman Hakim Siregar.

Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah pun sangat peduli terhadap pembinaan, pengembangan, pemeliharaan, dan pelestarian bahasa Daerah. Untuk keperluan ini Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah juga telah menggelar Seminar Nasional Bahasa Dayak di Palangkaraya pada tanggal 10 Juni 2008 dengan menghadirkan pembicara Drs. Hardy Rampay, M.Si., Dr. Arnosianto M. Mage, M.A., Dr. Petrus Poerwadi, M.S., dan Drs. Yohanes Kalamper. Hasil seminar ini merekomendasikan untuk diadakan Kongres Bahasa Dayak secara internasional di Palangkaraya pada tahun 2009 atau 2010 yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Tengah.

Untuk meningkatkan mutu pengguna bahasa Indonesia yang baik dan benar, terutama bahasa persuratan dan tata dinas, Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah juga telah melaksanakan penyuluhan Bahasa Indonesia kepada masyarakat Kalimantan Tengah, yang diikuti oleh guru-guru nonbahasa dan kepala tata usaha sekolah dan kepala tata usaha dinas kabupaten, di Pangkalan Bun, Kabupaten Kotawaringin Barat, 27—29 Maret 2008, dan di Muara Teweh, Kabupaten Barito Utara, 12—14 Mei 2008. Untuk penyegaran Bahasa Indonesia para pejabat di lingkungan pemerintah provinsi dan kabupaten, dimulai dari pejabat eselon IV dan III, dan pemayarakatan Bahasa Indonesia untuk pelaku pembuat reklame, papan nama, spanduk, baliho, dan media ruang publik, Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah telah merencanakan kegiatan ini dengan Biro Kesra Pemda Provinsi Kalteng yang diwakili oleh Kepala Bagian Bina Sosial Pemda Prov. Kalteng pada tanggal 16—17 Juli 2008 di Jakarta.

Selain penyuluhan Bahasa Indonesia, Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah tahun 2008 ini juga melaksanakan Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI) kepada guru, karyawan, siswa SMK di kota Pangkalan Bun, Kabupaten Kotawaringin Barat, 12 April 2008, dan di Kabupaten Sukamara, 23 Juli 2008, serta para peserta pemilihan Duta Bahasa dan Duta Pariwisata Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2008, pada tanggal 20 Mei 2008 di Aula Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah. Para peserta pemilihan duta bahasa dan duta pariwisata ini juga dibekali keterampilan berbahasa Indonesia, berbahasa daerah, dan juga berbahasa Inggris agar mampu mengemban tugas dan misinya memperkenalkan Kalimantan Tengah di dunia internasional.

Pembinaan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara dan nasional tidak hanya kepada masyarakat pribumi atau warga negara Republik Indonesia, tetapi juga bagi para penutur asing. Para turis manca negara dan pekerja asing pun perlu mendapatkan pembinaan bahasa Indonesia. Oleh karena itu, Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah juga menyosialisasikan dan mengembangkan Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA) kepada masyarakat dan calon pengajar BIPA di Palangkaraya, 1 April 2008, dan di Pangkalan Bun, Kabupaten Kotawaringin Barat, 25 Juni 2008.

Dalam upaya meningkatkan mutu apresiasi siswa dan guru bahasa Indonesia SLTP dan SLTA, Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah tidak tinggal diam di tempat. Bersama beberapa sastrawan Kalimantan Tengah kami bekerja sama menyelenggarakan “Bengkel Penulisan Kreatif Cerita Pendek Remaja” di Tamiang Layang, Kabupaten Barito Timur, tempat kelahiran sastrawan nasional Fridolin Ukur, pada tanggal 2—4 April 2008, dan di Buntok, Kabupaten Barito Selatan, 14—15 Mei 2008. Tidak hanya bengkel penulisan kreatif cerita pendek remaja, Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah juga menyelenggarakan “Bengkel Musikalisasi Puisi” bagi siswa SLTP dan SLTA dan juga gurunya, di Buntok, Kabupaten Barito Selatan, 28—29 Juli 2008.

Sementara itu, untuk meningkatkan mutu apresiasi sastra masyarakat Kalimantan Tengah, Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah bekerja sama dengan MGMP Bahasa Indonesia SMK Kota Palangkaraya menyelenggarakan Seminar Apresiasi Sastra yang Menyenangkan dan Inovatif, di Palangkaraya, Sabtu, 16 Februari 2008, diikuti lebih dari 300 guru, mahasiswa, dan sastrawan, serta menyelenggarakan Dialog Sastra bersama sastrawan sufistik Danarto, di Kuala Kapuas, 19 Maret 2008 dan di Palangkaraya, 20 Maret 2008 yang diikuti lebih dari 100 orang peminat sastra.

Masih bekerja sama dengan MGMP Bahasa Indonesia SMK Kota Palangkaraya, ditambah dengan Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah (PBSID) FKIP Universitas Palangkaryara, Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah menyelenggarakan bedah buku kumpulan cerpen Perempuan yang Memburu Hujan karya sastrawan asal Kuala Pembuang, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah, Sandi Firly, pada tanggal 7 Mei 2008 yang dilanjutkan debat seru dengan para peserta bedah buku.

Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah pun ikut juga memeriahkan Seminar Penelitian Tindakan Kelas (PTK) Kesastraan yang diselenggarakan oleh FKIP Universitas Palangkaraya, dalam memeriahkan hari Chairil Anwar, 28 April 2008, yang diikuti peserta lebih dari 450 orang, dengan pembicara Drs. Puji Santosa, M.Hum., dan Dr. Petrus Poerwadi, M.S., serta moderator Drs. Lukman Hakim Siregar.

Pembinaan peningkatkan apresiasi sastra bagi masyarakat Kalimantan Tengah terus kami upayakan. Beberapa bulan yang lalu, tepatnya pada tanggal 14 Juli 2008, kami selenggarakan Temu Sastra Majelis Sastera Asia Tenggara bersama sastrawan nasional Hamsad Rangkuti. Dalam temu sastra ini juga kami hadirkan sastrawan karungut dari Muara Teweh, Kabupaten Barito Utara, Kurnia Untel. Kegiatan ini diikuti lebih dari 150 orang dan diliput oleh berbagai media massa lokal dan nasional.

Kegiatan lomba dan sayembara pun kami laksanakan guna meningkatkan mutu apresiasi sastra masyarakat Kalimantan Tengah pada tahun 2008 ini. Beberapa kegiatan lomba dan sayembara tersebut adalah sebagai berikut.
Sayembara Penulisan Cerita Rakyat Kalimantan Tengah Tahun 2008. Sayembara cerita rakyat ini bertujuan menggali potensi budaya nilai-nilai kearifan lokal (lokal genius) Kalimantan Tengah. Kegiatan ini hanya diikuti 18 peserta dengan Juri Abdul Fatah Nahan (penulis cerita rakyat), Dr. Petrus Poerwadi, M.S. (pakar cerita rakyat Kalimantan Tengah), dan Dra. Nani Setiawati, M.Si. (penulis nasional cerita rakyat Kalteng). Ketiga juri tersebut memutuskan cerita rakyat: “Anggir Sarangga” karya Janang memenangkan hadiah Harapan III, “Bawi Kambang dan Bawi Ranjau” karya Yuni Sri (SMP PGRI) memenangkan hadiah Harapan II, “Leniri” karya Nisa Noorlela (SMAN 2 Pahandut) memenangkan hadiah Harapan I, “Indu Mien” karya Mega Melita T (SMAN 1 Pahandut) memenangkan hadiah ke-3, “Liang Saragi” karya Dwi Jelita Natalya Saragi (SMP Katolik Santo Paulus) memenangkan hadiah ke-2, dan cerita rakyat “Legenda Desa Mintin” karya Tri Arfayanti, S.Pd. (MTsN 1 Model Palangkaraya) memenangkan hadiah pertama. Karya para pemenang lomba ini semua dikirimkan ke Jakarta untuk mengikuti kegiatan sejenis pada tingkat nasional.

Sayembara Cipta Cerpen Remaja Se-Kalimantan Tengah tahun 2008 bertujuan menggali potensi kreatif remaja dalam menyalurkan bakat dan prestasinya dibidang kebahasaan dan kesastraan. Kegiatan ini diikuti oleh 38 peserta dengan juri Drs. Supardi, Elsy Suarni, S.Pd., dan Pahit S. Narattama, S.Hut., memutuskan sepuluh nominasi cerpen remaja terbaik se-Kalimantan Tengah. Adapun kesepuluh cerpen terbaik tingkat Kalimantan Tengah itu adalah “Bujang Si Anak Desa” karya Pratiwi Indah Surya Meida (SMAN 3 Jekanraya), “Liku-Liku Emosional Seorang Guru” karya Tri Yuni (SMAN 3 Jekanraya), “Lentera Terakhir” karya Nurul Hatimah (SMAN 3 Jekanraya), “Pertemuan Terencana” karya Rakhmawati Aulia (SMAN 3 Kuala Kapuas), “Misteri Dompet Kita” karya Ridha Mawadah (SMAN 1 Tamiang Layang), “Keputusan Terbaik” karya Bela Santa Rossi (SMAN 1 Tamiang Layang), “Gita Cinta dan Cita” karya Normantie (SMAN 1 Pahandut), “Kembar Pengantin” karya Evie Novitasari (SMAN 1 Pahandut), “Inilah Hidupku” karya Oktavina (SMAN 1 Pahandut), dan “Bunga untuk Mama” karya Sheilla Marlyana (MTsN Buntok). Kesepuluh cerpen tersebut akan diikutkan kegiatan yang sama di tingkat nasional, yakni dikirim ke Jakarta mengikuti sayembara sejenis.

Kepada semua pemenang sayembara tulis-menulis tersebut saya harapkan betul-betul sebagai karya asli mereka sendiri, bukan saduran, jiplakan, atau plagiator. Dari Panitia Sayembara Penulisan Cerita Rakyat tersebut saya peroleh laporan ada peserta yang mengirimkan ceritanya bukan karya aslinya sendiri, karya orang lain yang diaku miliknya. Kebetulan jurinya membaca dan itu adalah karya dari salah satu juri, Bapak Abdul Fatah Nahan. Tentu perbuatan ini sangat tercela, tidak terpuji, dan jangan sampai terulang lagi.

Lomba Baca Puisi Guru SD diadakan di Aula Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah pada tanggal 12—13 Agustus 2008. Pesertanya adalah guru SD se-Kalimantan Tengah, dan diikuti oleh 35 orang peserta. Dewan Juri yang diketuai oleh Drs. Makmur Anwar M.H. dengan anggota Elsy Suarni, S.Pd., dan Suyitno B.T. memutuskan Alfisyah (MIN Model Pahandut Palangkaraya) sebagai pemenang Harapan III, Mudjiasri, A.Ma. (SDN 8 Palangka) sebagai pemenang Harapan II, Suryo Sulistianto (SD Katolik Santa Don Bosco Palangkaraya) sebagai pemenang Harapan I, Ernawati, S.Ag. (MIN Model Pahandut Palangkaraya) sebagai pemenang III, Sumiatun Hartini, S.Pd. (MIN Model Pahandut Palangkaraya) sebagai pemenang II, dan Abdullah T., S.Ag. (MIN Langkai Palangkaraya) sebagai pemenang pertama. Penilaian juri meliputi penghayatan (40%), penampilan (30%), dan vokal (30%). Seluruh peserta lomba baca puisi guru SD ini juga akan dibekali pengetahuan tentang penulisan esai pengajaran bahasa dan sastra untuk mengikuti lomba di Jakarta dan penulisan puisi siswa SD oleh Kepala Balai Bahasa Kalteng.

Lomba Musikalisasi Puisi Siswa SLTP dan SLTA diadakan pada tanggal 19—20 Agustus 2008. Pesertanya adalah siswa SLTP dan SLTA se-Kalimantan Tengah yang diikuti oleh 13 kelompok musikalisasi. Dewan Juri yang diketuai oleh Dafi Fajar Rahardjo, S.Sn., dengan anggota Agung Catur Prabowo, M.Hut., dan M. Alimulhuda (sastrawan dan pekerja seni teater), memutuskan kelompok musikalisasi: “Muzika” SMAN 3 Jekanraya memenangkan Harapan III, “Fana Ferias” MTs Model Palangkaraya memenangkan Harapan II, “D’Best One” SMPN 2 Pahandut memenangkan Harapan I, “Mandera” MAN Model Palangkaraya memenangkan hadiah ke-3, “Penyang” SMAN 2 Jekanraya memenangkan hadiah ke-2, dan “Zukatair” SMAN 2 Pahandut memenangkan hadiah Pertama. Pemenang Pertama Lomba Musikalisasi Tingkat Provinsi Kalimantan Tengah ini berhak menjadi duta Kalimantan Tengah dan akan dikirim ke tingkat nasional untuk mengikuti Festival Musikalisasi Puisi Tingkat Nasional pada tanggal 22—24 Oktober 2008 di Jakarta.

Kepada seluruh pemenang sayembara dan lomba kami ucapkan selamat atas prestasi yang diraihnya. Pada hari Rabu dan Kamis, 27—28 Agustus 2008 seluruh pemenang diundang ke Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah untuk menerima hadiah dan tampil dihadapan para hadirin menyampaikan buah karya yang diraihnya. Kami hanya dapat memberi penghargaan berupa Piagam Penghargaan, Piala, Buku-buku terbitan Pusat Bahasa, dan uang pembinaan ala kadarnya. Kami juga mengharapkan kepada semua pemenang untuk tetap dan terus berkarya dan berkarya menunjukkan prestasinya. Jangan hanya berhenti sampai di sini. Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah hanya memacu dan mendorong kreativitas, semangat berkarya, dan berprestasi yang lebih unggul dan lebih baik lagi, syukur-syukur hingga jenjang nasional ataupun internasional.

Penghargaan Tokoh Kebahasaan dan Kesastraan diberikan oleh Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah pada tahun 2008 ini kepada tokoh masyarakat Kalimantan Tengah yang berjasa terhadap pengembangan dan pembinaan bahasa dan sastra di Kalimantan Tengah. Penghargaan ini semata-mata diberikan kepada tokoh berdasarkan: hasil karya kebahasaan dan kesastraan, kuantitas karya, kualitas karya, konsistensi dan komitmen dalam bidangnya, aktivitasnya dalam mengembangkan bahasa dan sastra, baik sastra Indonesia maupun sastra Daerah di Kalimantan Tengah, serta kharisma yang dimiliki tokoh tersebut. Sebagai ucapan syukur dan rasa terima kasih Balai Bahasa Kalteng kepada tokoh yang turut serta membantu pembinaan dan pengembangan bahasa dan sastra di Kalimantan Tengah perlu diberi penghargaan ini. Tokoh penerimaan penghargaan dari Balai Bahasa Kalteng ini diminta memberikan orasi/pidato penerimaannya pada pembukaan Puncak Acara Semarak Tahun Bahasa 2008 dalam Pekan Bahasa dan Sastra 2008 yang diadakan pada tanggal 27 Agustus 2008. Kedua tokoh yang berhak menerima penghargaan dari Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah ini adalah Prof. H.K.M.A.M. Usop, M.A. dan Drs. Makmur Anwar M.H.

Pekan Bahasa dan Sastra 2008 adalah salah satu kegiatan Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah dalam rangka menyemarakkan Tahun Bahasa 2008. Kegiatan ini dilaksanakan di Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah, Jalan Tingang Km 3,5, Palangkaraya, pada tanggal 27—28 Agustus 2008. Dalam Pekan Bahasa dan Sastra 2008 ini ditampilkan: (1) Orasi/pidato kebahasaan/kesastraan oleh dua tokoh penerima Penghargaan Kebahasaan dan Kesastraan 2008 dari Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah, (2) Pembacaan Cerita Pendek Remaja hasil 10 nominasi Sayembara Cipta Cerpen Remaja 2008 Tingkat Provinsi Kalimantan Tengah, (3) Pembacaan Cerita Rakyat Kalimantan Tengah hasil pemenang Sayembara Penulisan Cerita Rakyat Kalimantan Tengah Tahun 2008, (4) Pentas Baca Puisi Guru SD hasil pemenang Lomba Baca Puisi Guru SD Tahun 2008, (5) Pentas Musikalisasi Puisi hasil pemenang Lomba Musikalisasi Puisi Siswa SLTP dan SLTA se-Kalimantan Tengah tahun 2008, dan (6) Pentas Teater dari Sanggar Teater Terapung pimpinan Saudara M. Alimul Huda dan Agung Catur Prabowo, M.Hut. Sedianya kami juga akan menyelenggarakan Parade Pidato Mahasiswa tentang “Peran Generasi Muda dalam Pembinaan dan Pengembangan Bahasa dan Sastra dalam Upaya Memperkokoh Kesatuan dan Persatuan Bangsa”. Pidato mahasiswa ini ditiadakan karena kegiatannya diundur pada bulan Oktober 2008.

Pada bulan Oktober 2008 Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah masih menyisakan kegiatan: (1) Pidato Mahasiswa, (2) Bulan Bahasa dan Sastra di SMAN 1 Tamiang Layang, (3) Pengiriman Duta Bahasa Provinsi Kalteng ke ajang Pemilihan Duta Bahasa Tingkat Nasional, di Jakarta, (4) Pengiriman Kelompok Musikalisasi Puisi dari SMAN 1 Pahandut, Palangkaraya, ke ajang Festival Musikalisasi Puisi Tingkat Nasional, di Jakarta, (5) Pameran Kebahasaan dan Kesastraan di arena Kongres IX Bahasa Indonesia di Jakarta, 28—1 November 2008, (6) Penulisan Ensiklopedia Sastra Kalimantan Tengah, dan beberapa penelitian dan penyusunan kebehasaan dan kesastraan Kalimantan Tengah.
Itulah beberapa upaya yang dilakukan Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah bersama-sama masyarakat membangun bangsa yang lebih beradab dan bermartabat melalui pembinaan dan pengembangan bahasa dan sastra, Indonesia dan Daerah, di Kalimantan Tengah.

* Puji Santosa, Kepala Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Selatan

Sunday, September 7, 2008

Reporter Cilik: Menginspirasi Orang Lain

BUAT kamu yang suka membaca pasti nggak asing dengan yang namanya puisi, cerpen, dan novel, baik yang dimuat dalam koran dan majalah maupun terbit dalam bentuk buku. Tulisan-tulisan tadi adalah jenis-jenis karya sastra.

Tapi, pernah nggak kamu membayangkan atau bertanya bagaimana sih para penulis bisa menulis dan memiliki ide-ide yang enak buat dibaca? Atau, bagaimana sih para sastrawan bisa menuliskan puisi yang bagus?

Sastrawan Udo Z Karzi (tengah) diwawancara AR Tadilaga (kanan) dan Dhiya Zahra (BORNEO/OKTRIKA NUGRAHENI)

Nah, di Kotawaringin Barat ini ternyata juga ada seorang penulis sastra, Udo Z Karzi. Dia telah menerbitkan beberapa karyanya di antaranya Momentum (kumpulan sajak, 2002), Mak Dawah Mak Dibingi/Tak Siang Tak Malam (kumpulan sajak, 2007), dan termuat dalam berbagai antologi bersama.

Kali ini dua orang temanmu, AR Tadilaga (Kelas III dari SDN 2, Sidorejo) dan Dhiya Zahra (Kelas II SDN 7 Mendawai) mewawancarai Udo Z Karzi yang berhasil meraih Hadiah Sastra Rancange 2008 di Kantor Borneonews.

Sejak kapan Udo Zul mulai menulis?

Saya menulis puisi, cerpen, dan esai sejak 1987, tepatnya saat duduk di kelas 1 SMA, yang kemudian dimuat di berbagai media cetak daerah dan nasional.

Senang dong setelah mengetahui buku karangannya diterima dan mendapatkan penghargaan?

Sangat senang dan bangga. Selain dapat honor, ya merasa puas karena hasil karya saya bisa dibaca orang lain.

Kenapa sih suka menulis?

Karena menulis itu menuangkan apa yang ada di kepala, dengan menulis bisa jadi lega. Seperti kalau adik-adik menulis catatan harian, bisa curhat di situ, senang atau sedih. Kalau sudah tertuang perasaannya bisa lega kan? Selain itu, kalau tulisan dimuat bisa dapat hadiah seperti honor atau penghargaan.

Apakah pernah merasa kesulitan dalam menulis?

Sebenarnya menulis itu tidak susah tergantung bagaimana kita mengembangkannya. Menulis itu kan sama dengan menginformasikan. Sama seperti menulis buku harian kalau sedih atau senang, melihat sesuatu, kita tulis dan kita kembangkan. Kunci utamanya adalah membaca, kalau kita senang membaca, kita jadi ingin tahu banyak, dan akhirnya ada keinginan untuk menuliskan sesuatu.

Di mana biasanya mendapakan ide?

Ya, bisa dari membaca. Orang yang senang membaca biasanya senang menulis juga. Kalau melihat atau mendengar suatu kejadian juga bisa mendapatkan ide untuk menulis.

Berapa buku yang sudah diterbitkan dan mana yang paling disukai? Mengapa?

Kalau buku yang ditulis sendiri itu ada dua, tetapi kalau yang rame-rame ada banyak, tidak kehitung. Yang paling saya suka ya buku Mak Dawah Mak Dibingi yang berbahasa Lampung karena mendapatkan penghargaan Sastra Rancange 2008.

Bagaimana sih caranya jadi penulis?

Caranya, tulis saja yang ada di pikiran kita dan banyak berlatih. Kalau ada tulisan yang salah kan bisa dibetulin. Catatan yang harian bisa dijadikan ajang latihan bagi penulis pemula untuk menuliskan apa yang ada dipikirannya, perasaan, dan apa yang dilihat.

Apa pesan Udo kepada calon penulis cilik Indonesia?

Terus berlatih dan berkarya, pantang menyerah, dan yang pasti semua orang bisa jadi penulis asal dia mau berusaha.

Sumber: Media Anak, Borneonews, 7 September 2008

Thursday, September 4, 2008

Menunggu HP Berderit

Cerpen Sandi Firly

SEPERTI malam-malam yang lain, ia selalu tekun di depan komputernya menyelesaikan pekerjaan kantor yang memang harus dikerjakan malam-malam karena ia memang pekerja malam.

Come away with me in the night
Come away with me
And I will write you a song


Lagu Come Away With Me Norah Jones mengalun lembut yang distelnya dari komputer. Ia selalu ditemani lagu-lagu setiap bekerja. Ia penyuka jenis musik apa saja, kecuali dangdut. Meski ia tahu musik dangdut sedang menjadi trend, dan televisi berlomba-lomba menampilkan para penyanyi, persisnya sih para penggoyang dangdut ke dalam layar kaca untuk mengebor pemirsa.

Jam baru saja menunjukkan pukul sepuluh malam, namun ia sudah terkantuk-kantuk. Memang, jam tidurnya tak beraturan. Siang terkadang tak tidur sedetik pun, sementara ia baru tidur dini hari pukul empat pagi setelah pekerjaannya selesai dan ditambah dengan membaca buku atau kadang-kadang menulis puisi atau surat cinta, atau juga catatan harian di dalam komputer. Ia suka menulis surat cinta, meski ia sadar tak siapapun yang ditujunya. Mungkin ini ada hubungan dengan sifat pengkhayalnya yang suka merembes kemana-mana.

Yang sering membuatnya gelisah adalah telepon genggam. Ya, benda canggih mungil itu selalu bikin dia gemes. Seperti malam-malam yang lain, telepon genggam itu tergeletak rapi di sisi kiri keyboard-nya. Hampir setiap sepuluh menit ia melirik ke telepon genggamnya itu sambil berharap ada SMS masuk atau telepon tak terjawab. Padahal ia tahu, SMS atau telepon masuk bisa diketahui dari deritnya yang cukup nyaring. Tapi itulah, tetap saja setiap sepuluh menit matanya melirik ke layar telepon genggam berwarna hitam itu sambil mengharapkan ada SMS atau telepon yang tak terjawab. Dan pekerjaannya jadi sering molor. Belum lagi ditambah dengan tidur-tidur ayam di bangku kerjanya.

Semakin larut malam, ia selalu saja semakin gugup. Bukan karena pekerjaan yang semakin menuntut, tapi karena semakin mengharapkan telepon genggamnya berderit menerima SMS atau telepon entah dari siapa. Ia berharap ada wanita entah dari mana yang tersesat mengirimkan SMS ke telepon genggamnya. Atau seorang wanita yang salah sambung mencari suami atau pacar.

Di saat istirahat, ia kadang membuka daftar nama-nama di dalam file telepon genggamnya. Setiap pada nama perempuan, ia berhenti sebentar sambil memikirkan perempuan itu.

Ada banyak nama perempuan di dalam telepon genggamnya, sebagian besar didapatnya dari kenalan di chatting sehabis kerja dan itu biasanya di atas pukul 02.00. Kadang, habis chatting ia juga nelepon wanita itu. Ada yang di Singapura, Medan, Bandung, Jakarta, atau di Banjarmasin sendiri. Tapi untuk di Banjarmasin ia sangat jarang. Ia lebih menyukai kenalan dengan wanita yang jauh, kalau perlu di luar negeri. Bahasa Inggrisnya juga lumayan jago. Ia ngobrol ngalor ngidul, kebanyakan ia bercerita tentang dirinya sendiri. Tentang pekerjaannya, tentang temannya, tentang keluarganya, tentang perempuan-perempuan yang pernah dekat dengannya, atau cuma tentang kesepian malam-malamnya.

Ia memang cukup pandai ngobrol. Lawan bicaranya selalu dibikin betah dengan bicara dan candanya. Terlebih lagi bila ia bicara tentang bagaimana wanita yang harus menjadi calon istrinya. Dan biasanya, wanita memang suka bila membicarakan sesamanya, dan mungkin karena itu pula setiap wanita yang diteleponnya betah saja mendengar ocehannya.

I can't help myself
I've got to see you again


Saat lagu Norah Jones, I've Got to See You Again di side B itu mengalun, jam sudah pukul dua belas malam. Pekerjaannya masih belum selesai. Ia juga semakin gelisah memandang setiap sepuluh menit telepon genggamnya yang tak juga berderit. Seorang perempuan yang diharapkannya SMS atau menelepon, tak jua terkabul. Telepon mungil itu masih tergeletak rapi di sisi keyboard komputernya, seperti batu.

Malam-malam yang lewat, di saat ia sangat mengharapkan ada SMS atau telepon dari wanita yang diharapkannya, atau wanita mana saja dari belahan dunia ini, ternyata yang SMS adalah teman kantornya sendiri yang menanyakan tentang pekerjaan. Padahal di hati ia sudah bersorak gembira ketika telepon genggamnya berderit. Dan saking kesalnya, SMS-SMS yang tak diharapkan itu sengaja tak dibalasnya.

Ia lebih sering membayangkan SMS itu dari wanita yang mengajaknya kenalan, atau malah kencan.

Eh, sedang ngapain? Aku lagi kesepian nih, datang dong ke Motel B, kamar 243.

Ia tersenyum sendiri merangkai isi SMS itu yang diharapkannya masuk ke dalam telepon genggamnya. Dan setiap membayangkan itu, ia pun melirik lagi ke telepon genggamnya yang masih saja membatu. Kadang ia elus-elus telepon genggamnya, atau malah didekap, dan sedetik itu ia kembali berharap ada SMS masuk atau telepon sehingga dia bisa merasakan getaran telepon genggamnya itu. Namun, khayalan-khayalan itu seringkali gagal. Dan telepon genggamnya kembali tergeletak diam seperti biasa di samping kiri keyboard-nya.

Memang, pacarnya ada kala menelepon. Tapi itu dianggapnya berbeda bila SMS atau suara di seberang sana adalah dari kerongkongan perempuan yang tak dikenalnya. Atau dikenalnya tapi ia belum pernah bertemu secara tatap mata. Ia memang sering terobsesi juga dengan suara-suara perempuan di dalam telepon. Menurutnya, suara perempuan itu lebih indah didengar dengan tanpa harus bertatapan langsung dengan si pemilik suara. Sebab itu pula mengapa ia gemar menelepon teman-teman perempuannya yang kenal lewat chatting semalam.

Ia tahu, teleponnya jarang juga dihubungi oleh rekan kerjanya. Kendati begitu, kemana-mana telepon genggam itu selalu dibawa-bawa, sekalipun ke dalam WC. Saat di WC ini khayalannya semakin liar lagi. Keseringan ia sambil menelepon wanita, atau setidaknya berharap ada telepon dari wanita entah siapa saja.

***

Sudah hampir pukul dua dini hari. Kegelisahannya terus memuncak. Tampak berbeda dengan malam-malam sebelumnya, kali ini ia terlihat semakin suntuk meski pekerjaan sudah rampung. Ia putar kencang-kencang lagu Metallica terbaru, St. Anger, lewat tape sambil menggebuk-gebuk mejanya sendiri dengan mata yang tetap tak pernah lepas dari telepon genggamnya yang masih saja terbujur kaku. Ia terus berharap ada perempuan entah dari mana saja yang tiba-tiba mengirimkan SMS atau telepon salah sambung. Ia ingin menggodanya dan bahkan kalau perlu mengajaknya kencan. Ketika telepon genggamnya hanya diam membatu, ia semakin kesal dan marah. Gebukan tangannya semakin keras sampai lagu berakhir.

Ia tampak menyandar lelah di kursinya. Matanya masih terpaku pada telepon genggamnya yang kali ini menampilkan wujud aslinya sebagai benda mati. Tergeletak kaku tanpa berderit sekali pun jua. Sebentar dia rapikan mejanya yang tampak berantakan. Ia bersiap-siap pulang, atau mungkin di jalan nanti bisa saja dia akan berbelok ke bar. Dengan malas diraupnya telepon genggamnya sambil bangkit dari kursi menuju keluar.

Sebelum menutup pintu ruang kerja, ia terpaku sejenak. Lantas menimang-nimang telepon genggamnya, tampak ada kebimbangan. Sejenak seulas senyum tersungging di bibir tebalnya, dan sedetik kemudian dicemplungkannya telepon genggamnya ke dalam akuarium yang tergelak di samping pintu. Senyumnya kini semakin mekar. Sambil bersiul, ia melenggang keluar.

Bipp… Bipp….Bipp…..

***

Banjarmasin, Oktober 2003

Monday, September 1, 2008

Perlukah Kita (Menjadi) Seorang Sastrawan?

Esai Deddy Setiawan

SAYA cukup tergelitik dengan diskusi tertulis dalam tiga minggu terakhir ini. Bermula dari pertanyaan Udo Z Karzi tentang keberadaan sastrawan (dari) Kalimantan Tengah yang disambut Kepala Balai Bahasa Kalteng Puji Santosa dengan sejumlah catatan tentang jejak kehadiran sastrawan di bumi Tambun Bungai.

Diskusi ini rupanya berlanjut dengan tulisan ketiga dari Willy Ediyanto yang masih menyodorkan kegelisahan soal kelahiran seorang sastrawan Kalteng sepanjang 40 tahun terakhir dengan nada mempertanyakan, jika tidak disebut gugatan sebagai seorang pendidik. Dan mumpung diskusi ini masih hangat, izinkan saya untuk ikut terlibat. Permisi!

Saya mencoba mengambil benang merah dari ketiga tulisan sebelumnya. Semuanya lahir dari sebuah kegelisahan yang sama akan sosok sastrawan di bumi Kalimantan Tengah. Ketiganya – sepertinya – mengerucut pada konsep sastra tulisan. Sebuah pandangan yang tidak bisa disebut keliru karena memang media teks memang telah dan masih menjadi sarana efektif mengomunikasikan gagasan karena kemampuan merekam yang lebih lama dan jangkauan yang lebih luas dibanding media lain sejak Guttenberg menemukan mesin cetak. Bahkan ketika menulis di blog atau mengelola sebuah website sastra menjadi ikon sastra era digital, tetap saja tidak bergeser dari fungsi teks sebagai penyampai pesan.

Hanya saja sepertinya kita melupakan keberadaan sastra tutur (sastra lisan) yang justru menjadi kekayaan terbesar kesusastraan kita, terutama di Kalimantan. Sehingga, kalau ingin bertanya adakah sastrawan Kalteng hari ini – menurut saya – tentu ada. Kecuali kalau kita bermaksud membedakan antara sastra lisan dengan sastra tulisan. Tapi pembahasan soal sastra lisan dan tulisan tersebut terlalu akademis bagi saya yang awam. Ada yang jauh lebih berkompeten untuk menjelaskan kepada pembaca – terutama kepada saya – mengenai sastra lisan dan tulisan tadi. Dan ada baiknya kita persempit wilayah diskusi hanya seputar sastra tulisan saja saat ini. Setuju?

Sebelumnya terima kasih untuk Pak Puji yang menempatkan saya dalam kategori sastrawan Kalteng. Tapi sungguh, sekalipun sempat menghadiri Pertemuan Sasterawan Nusantara XI di Brunei Darussalam tahun 2001 silam, dan puisi atau cerpen saya sempat beberapa kali dimuat satu buku dengan nama-nama seperti Helvy Tiana Rosa, Isbedy Setiawan ZS, Asma Nadia, Joni Ariadinata, Hamid Jabbar atau Ikranegara yang tidak asing lagi di jagat sastra tanah air saya masih ”risih” dengan sebutan sastrawan.

Jujur saya lebih senang dengan istilah penulis atau pekerja teks saja. Ada tanggung jawab yang terlalu besar untuk menyandang gelar sebagai manusia yang ber su – sastra. Apalagi disebut sastrawan Kalteng. Ada rasa malu karena memang belum memberikan yang terbaik untuk daerah sendiri. Saya memang dilahirkan di Sukamara dan sejak 2003 yang lalu pulang ke kampung halaman setelah selama 25 tahun menetap dan menjadi warga Kalimantan Barat. Di sanalah sebagian besar karya saya selama ini lahir. Sementara di sini ... hmm ..., doakan saja ya ...!

Menjadi penulis itu sebuah “kutukan”. Itu yang saya pahami selama ini. Seperti kutukan yang melekat pada Peter Parker ketika seekor laba-laba yang terkena radiasi radio aktif menyengat dirinya, sehingga melahirkan kekuatan super. Yang memaksanya menyembunyikan identitasnya dalam topeng Spiderman dan tak kunjung berani melamar Mary Jane Watson disebabkan tingginya resiko yang harus ditanggung orang-orang yang dicintainya karena menyadari dalam kekuatan yang besar ada tanggung jawab yang besar pula ... with the great power, comes great responsibility!

Karena itu meski sejak kecil kita bisa menulis, cuma sedikit yang bercita-cita menjadi seorang penulis dan terus mengembangkan kemampuan menulis. Maka, lengkap sudah kesepian dunia menulis karena selain bersifat individual – tidak ada proses kreatif yang berlangsung massal – peminatnya memang tidak bisa disebut banyak. Karena itu, Bang Willy, jangan heran kalau selama 40 tahun terakhir menurut pantauan Pian tidak ada sastrawan (penulis yang tercatat di dokumentasi sastra) yang lahir di Kalteng.

Kendati kehamilan alaminya tidak bisa dipaksakan, saya percaya dengan rumus 10 : 40 : 50. Faktor bakat itu hanya 10% saja pada kelahiran seorang penulis, 40 persennya adalah lingkungan, selebihnya kerja keras yang ditopang kemauan. Jadi jika kita memang merindukan lahirnya sastrawan dari bumi Kalimantan Tengah, mari kita ciptakan lingkungan subur untuk mempersiapkan kelahiran ini.

Karena itu saya mendukung resolusi Pak Puji untuk menghidupkan ruang sastra di media massa lokal sebagai tempat belajar dan mematangkan diri bagi para penulis. Kekhawatiran Bang Willy kalau tidak ada yang mengisi halaman yang tersedia tersebut mengingat produktifitas penulis untuk hamil dan melahirkan karya masih terbatas sebenarnya dapat saya fahami. Akan tetapi ruang sastra di media massa lokal, dengan asupan tetap cerpen-cerpen dari 'luar' seperti yang selama ini terjadi mungkin dapat menjadi solusi agar tidak terjadi kekosongan. Asal jangan menutup keran untuk penulis daerah, keberadaan cerpen ”impor” ini cukup sebagai pembanding yang baik. Untuk memperkaya wawasan baik juga rasanya sesekali memuat cerpen atau puisi terjemahan para penulis dunia.

Media massa (baca; koran) tentu saja hanya salah satu dari ruang yang saya maksud. Di era digital seperti sekarang ini ketika internet menjangkau semua pelosok – kalau program telkomnet masuk desa dapat berjalan dengan baik – dunia maya cukup menjanjikan sebagai sarana belajar yang baik. Begitu juga blog penulis. Tanpa ingin terjebak dikotomi sastra cyber maupun sastra koran bertahun-tahun lamanya saya (dengan nama pena Ibnu HS) dan teman-teman bertukar cerpen mapun puisi di milis penyair dan saling mengkritisi.

Kawasan yang dulu dianggap sebagai keranjang sampah sastra koran ini ternyata menawarkan banyak kemungkin lain. Tidak sedikit cerpen atau puisi saya yang lahir dan mengisi ruang maya kemudian bermetamorfose menjadi teks cetak. Wajah Dalam Cermin, satu-satunya cerpen saya yang pernah dikirim ke media massa dan dimuat di Republika, juga lahir di sana. Ah, maaf kalau paragraf ini ditutup serentetan kalimat berbau narsis ...

Kemudian tentu saja langkah Bang Willy meningkatkan apresiasi sastra di kalangan siswa dan mengasah 4 keterampilan dasar berbahasa (membaca, menyimak, menulis, dan berbicara) juga penting. Sayangnya, apresiasi di kalangan para guru juga harus diakui sangat minim. Kebanyakan yang diajarkan di bangku sekolah – tidak semua – berputar pada teori seperti S-P-O-K, homonim, homofon, atau homo-homo lain dan bukan pada 4 keterampilan dasar tadi. Padahal kurikulum yang diterapkan sekarang mengacu kepada 4 keterampilan dasar tadi. Akibatnya bukan hanya rendahnya apresiasi sastra di kalangan siswa, sekitar 60% siswa yang tidak lulus Ujian Nasional ternyata karena nilai Bahasa Indonesia yang tidak memenuli standar nilai kelulusan. Kalau soal ini, Pak Puji yang lebih fasih daripada saya ... Perpustakaan memang masih menjadi kendala. Tapi diam pun tidak menyelesaikan masalah. Secara individu maupun bersama kita bisa merintis rumah baca di lingkungan sekitar kita masing-masing.

Terakhir – eh, saya rasa bukan – kalau kita ingin karya penulis daerah ini dibaca oleh uluh itah, kendala terbesar yang harus didobrak adalah tidak adanya penerbit daerah dan jaringan toko buku yang sampai ke pelosok. Tanpa hal ini, keinginan tadi – yang nyaris menjadi obsesi – niscaya hanya akan bermua pada sebuah mimpi. Sampai di sini, perbincangan sudah harus melibatkan banyak pihak yang memiliki stamina lebih maksimal untuk membahas dan mewujudkannya.

Selanjutnya yang terpenting bagi para penulis adalah terus menerus hamil dan melahirkan karya-karya terbaik dan tetap saling berkomunikasi. Mau dicatat sebagai sastrawan atau bukan, menurut saya sama sekali bukan permasalahan. Banyak penulis bermutu yang nama dan karyanya luput masuk catatan sebagai Angkatan 2000 sastra Indonesia, atau kitab sastra Horison.

Apa kemudian itu menjadi permasalahan bagi mereka? Tidak. Permasalahan kita adalah kalau kita berhenti berkarya dan sibuk mengejar identitas semata. Mengejar kulit, meninggalkan isi. Ah, saya malu kepada orang tua kita yang sampai hari ini tetap setia menembangkan karungut dan berbagai corak sastra lisan lainnya sambil tetap mengajarkannya kepada kita tanpa peduli dengan gelar sebagai sastrawan. Padahal, merekalah sastrawan Kalimantan Tengah yang sesungguhnya ..

* Deddy Setiawan, Pecinta buku dan penulis, lahir dan tinggal di Sukamara

Sumber: Borneonews, Senin, 1 September 2008