Sunday, December 28, 2008

Konstelasi Puitika

Sajak Dian Hartati

kata lahir
menguntai hidup sendiri
mengurai napas bersama waktu

kata lahir
memecah batu ambigu
mencipta simpulan sahaja

kata lahir
mengabadikan kenangan
usaikan zaman

SudutBumi, 2006


-------------------
Dian Hartati, lahir di Bandung, 13 Desember 1983. Alumnus Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) ini bergiat di dunia kepenulisan sejak tahun 2002. Menjuarai berbagai lomba kepenulisan dan mendapatkan Anugerah Sastra Jurdiksatrasia 2006. Buku puisinya, Nyalindung (2005) dan Cerita Tentang Daun (2007).

Kedran

Sajak Dian Hartati

seolah pasundan yang damai
membawa kawih menenangkan

rasa di hatimu tak akan hambar
melahirkan mojang jajaka
kirana jauh dari nestapa

rindu di hatimu tak akan susut
menernak bias kebajikan
parahyangan dirindu setiap insan

keajaiban mengobati luka
lemah cai bergiwang kemakmuran
kau ibu bagi dalem kaum

kedran,
waktu akan kekalkan kenang
baitbait asmarandana selalu mengalir

SudutBumi, 2006

Kisah Lelatu

Sajak Dian Hartati

ia lahir berkat kesucian seorang hawa
ditiupkan ruh pada tubuh besi
diberi kehidupan menjelang usia purnama

langit bersepakat mencipta kilat
gemuruh datang hembuskan aura magenta
jejak napas tercium sudah
angin menambah keangkuhan jiwa
sembada digusar wajah elok

ia bernama petaram
mengubah denyut nadi jadi cahaya
ia pantulkan harapan
bersama mantramantra temani majikan

SudutBumi, 2006

Mencatat Akhir Tahun

Sajak Dian Hartati

empat hari lagi tahun baru
aku tak mau meninggalkan
banyak kerja belum tuntas
selaksa harap tertunda
masih belum bersiap

ingin rasanya membunuh ego
menghardik waktu percuma

adakah peristiwa tersisa
selain hujan yang terus menderas
lonceng di gereja mengabarkan natal
takbir idul adha tanda pengorbanan

ingin rasanya rampungkan tugas akhir
melepaskan semua beban
bersiap meretas hari baru

satu hari lagi
yang terdengar hanya berita kematian
mahal harga beras, hukuman gantung
bencana di akhir tahun

haruskan nanti malam kutiup
terompet pergantian hari
menghitung detik per detik

siapa mau berjanji
bahwa esok takkan ada bencana
bersepakat menemukan hari baru
menyusun rencana setahun mendatang

SudutBumi, 2006

Nasib Sastra di Sekolah pada Era KTSP

Esai Achmad Bashori

SEJAK 2006, pemerintah menggulirkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) untuk SD hingga SMA. Kurikulum baru ini akan direalisasikan secara bertahap. Tahap awal akan dilaksanakan selama 3 tahun sampai 2009.Hadirnya KTSP sangat diharapkan bisa menyempurnakan dan mengukuhkan pelajaran sastra sebagaimana kurikulum 2004. Namun, yang terjadi justru sebaliknya, nasib pelajaran sastra belum jelas. Berbagai rekomendasi dari berbagai forum sastra, seminar sastra, dan saran akademisi sastra serta para sastrawan agar pelajaran sastra dipisahkan dari pelajaran bahasa, bagai angin lalu saja.

Secara materi ajar, sastra memang mendapatkan porsi yang sama dengan aspek kebahasaan yang meliputi membaca, menulis, berbicara, dan mendengarkan. Tetapi ada dua hal dalam KTSP yang justru mengaburkan posisi pelajaran sastra Indonesia.

Pertama, pelajaran sastra tidak secara ekplisit disebutkan dalam standar isi KTSP 2006. Sejak pertama membaca standar isi yang jelas terbaca adalah standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran bahasa Indonesia. Bahkan untuk penyebutan guru pun sudah tidak ada embel-embel guru sastra, yang ada adalah guru bahasa Indonesia. Padahal, dalam KBK 2004 secara jelas tercantum pelajaran (apresiasi) sastra, walaupun masih melekat pada pelajaran bahasa Indonesia.

Kedua, KTSP tidak memunculkan nilai sastra (dalam rapor) untuk menghargai prestasi siswa dalam pelajaran sastra. Dari berbagai pertemuan dengan para guru bahasa Indonesia hampir semuanya bingung untuk memberikan nilai evaluasi sastra. Karena nilai sastra menjadi satu (terintegrasi) dengan nilai bahasa Indonesia. Apalagi sampai saat ini belum ada panduan sistem penilaian dan evaluasi KTSP, sebagian besar masih mengacu pada KBK 2004.

Penghambat
Pergantian penguasa, kekuasaan, dan kurikulum tidak akan mengangkat sastra ke tempat yang lebih baik bila beberapa penghambat pengajaran sastra tidak mendapatkan solusi yang serius.

Pertama, masih melekatnya pelajaran sastra dengan bahasa Indonesia. Pelajaran sastra yang masih 'ikut' pelajaran bahasa Indonesia pada pelaksanaannya akan bergantung pada guru-guru bahasa. Kalau guru bahasa mempunyai apresiasi sastra yang tinggi, maka pelajaran sastra akan mendapatkan perhatian yang lebih. Namun sebaliknya, jika guru tidak memiliki minat terhadap sastra atau apresiasi sastranya rendah, maka pembelajaran sastra cenderung akan dilaksanakan apa adanya sesuai tuntutan 'pemenuhan' kurikulum. Apalagi selama ini pelajaran sastra hanya menyumbang tidak lebih dari 20 persen nilai Bahasa Indonesia pada rapor, persentase nilai lainnya lebih banyak pada kebahasaan.

Kedua, rendahnya budaya baca di kalangan guru dan siswa. Faktor ini disebabkan banyak hal: terbatasnya kemampuan guru untuk membeli buku atau majalah sastra, budaya baca belum tercipta, dan arus konsumerisme akibat kapitalisme menjadikan buku sebagai kebutuhan yang kesekian kali. Salah satu indikasinya, banyaknya keluhan dari para sastrawan disebabkan enggannya penerbit mencetak buku-buku sastra karena tidak laku jual. Penelitian Taufiq Ismail tahun 1997 yang menyebutkan bahwa siswa di Indonesia yang membaca sastra 0% dibanding negara lain saat ini pun masih relevan. Bagaimana mungkin budaya baca tumbuh di kalangan siswa bila para gurunya juga enggan membaca?

Ketiga, minimnya kemampuan guru dalam mengajar sastra. Penyebabnya antara lain, masih kuatnya pola pengajaran lama walaupun tuntutan perubahan begitu kuat. Rutinitas membaca buku paket, menggarisbawahi apa yang disampaikan guru, membuat ringkasan, dan menghafal teori, nama sastrawan, dan karyanya dengan orientasi persiapan ulangan atau ujian.

Pelajaran apresiasi puisi mungkin salah satu materi ajar yang menarik. Namun dapat membosankan karena guru tidak memiliki wawasan yang luas, keterampilan yang memadai, dan fasilitator yang proporsional. Tidak seperti pengajaran teori sastra atau sejarah sastra yang lebih menekankan aspek kognitif. Apresiasi puisi membutuhkan persiapan khusus, karena semua pihak yaitu guru, siswa, dan puisi itu sendiri berposisi sebagai objek. Alur komunikasi dalam kegiatan tersebut tidak mungkin satu arah untuk mendapatkan pemahaman, tetapi melalui proses diskusi atau dialog.

Kurangnya kecintaan guru kepada sastra selain malasnya guru untuk membaca juga diperparah dengan tidak adanya pembinaan secara merata untuk meningkatkan kualitas guru dalam pengajaran sastra. Padahal, guru sastra profesional selalu berusaha melakukan berbagai improvisasi agar pelajaran sastra menyenangkan. Guru dapat memberikan kebebasan kepada siswa untuk membaca dan mengapresiasi beragam karya sastra (termasuk karya pop) dengan pandangan mereka sendiri. Guru hanya berperan sebagai narasumber dan fasilitator.

Idealisme pada kurikulum 2004 dan KTSP 2006 yang memberikan ruang kreativitas kadang terkendala dengan target mengejar nilai (angka) ujian yang tinggi sehingga kreativitas sastra 'tergusur' demi tuntasnya materi pelajaran agar sesuai dengan SKL ujian. Bisa dilihat soal-soal dalam Ujian Nasional (UN) yang lebih mengedepankan sisi kognitif daripada apresiatif. Akibatnya, pelajaran sastra yang seharusnya memberi pencerahan bagi komunitas sosialnya, menjadikan siswa sebagai 'manusia' bagi dirinya.

Kesulitan juga muncul saat praktik penulisan sastra, karena para guru belum biasa terlibat dalam kegiatan tulis menulis. Memang pelajaran sastra di sekolah bukan untuk mencetak siswa menjadi sastrawan. Sastra diajarkan di sekolah dan dimasukkan kurikulum karena masih diyakini bahwa sastra memberi manfaat, mengasah kepekaan siswa terhadap berbagai masalah kehidupan beserta alternatif solusinya.

Keempat, kurangnya sarana dan prasarana. Hal ini dapat dicermati dari langkanya perpustakaan sekolah yang menyediakan berbagai referensi yang up to date (novel, cerpen, puisi, naskah drama, dan penunjang apresiasi sastra), lebih banyak buku-buku lama. Kondisi hampir sama pun dialami perpustakaan yang dikelola oleh pemerintah. Akses informasi untuk mencerahkan (majalah, intrnet, dan alat komunikasi) bagi guru terbatas. Kondisi tersebut semakin memprihatinkan dengan tidak adanya tempat untuk berekspresi (sanggar sastra, gedung/aula teater) yang representatif. Bandingkan dengan pelajaran yang lain seperti sains yang mempunyai laboratorium cukup lengkap.

Kelima, kurangnya perhatian pemerintah dan masyarakat. Penghargaan kepada sastrawan yang nyaris tidak terdengar. Justru penghargaan yang diperoleh sastrawan Indonesia bersal dari negara lain. Berbeda dengan profesi di bidang lain (olahraga, ekonomi, IPTEK, dan politik) yang begitu meriah, dielu-elukan, dan mendapat berbagai fasilitas. Jangan kaget apabila sebagian besar siswa di sekolah enggan menggeluti sastra sebagai profesi yang tidak begitu menjanjikan untuk jaminan masa depan.

Mencermati berbagai kondisi dan realitas saat ini sastra yang kurang mendapat tempat di masyarakat dan pemerintah, rasanya cukup sulit untuk mewujudkan bahasa dan khususnya Sastra Indonesia menjadi pelajaran yang menarik dan favorit. Kiranya perlu memperoleh perhatian yang cukup dari berbagai pihak untuk mengangkat sastra ke tempat yang lebih terhormat. Jangan sampai ada anggapan bahwa belajar sastra membuang waktu sia-sia. Karena tidak satu dua rekan guru bahasa dan sastra Indonesia yang berkeluh kesah bahwa pelajaran sastra kurang menarik atau diminati para siswa.

* Achmad Bashori, Guru bahasa dan sastra Indonesia

Sumber: Republika, Minggu, 28 Desember 2008

Kesusastraan bagi Anak-anak

Esai Kurnia JR

APA yang kita dapati di Indonesia sekarang mungkin agak mirip abad yang dihayati Charles Dickens dulu. Kita masih menyaksikan anak-anak berkeliaran di jalan-jalan hingga larut malam. Mereka mengelap kaca mobil yang berhenti saat lampu lalu lintas menyala merah, melompat ke dalam bus kota untuk mengamen, mengemis di jembatan penyeberangan, menjadi korban sodomi dan pemerkosaan, bergaul dengan pencopet, dan sebagainya. Tak sedikit anak-anak di bawah umur terpaksa bekerja membantu orangtua atau diperdagangkan menjadi pelacur.

Kasus penyiksaan orangtua terhadap anak sering mengisi halaman surat kabar. Inilah sisi dunia rapuh anak-anak. Tampaknya kesusastraan kontemporer kita kurang menaruh perhatian pada kenyataan ini. Saya ingat sebuah cerita yang menarik tentang anak-anak jalanan: Burung-burung Kecil. Kisah ini dimuat sebagai cerita bersambung di majalah Femina pada 1991. Pengarangnya lebih suka dikenal dengan nama Kembangmanggis. Dia melakukan riset dan menuangkan hasilnya dalam bentuk novelette tentang anak jalanan di kawasan Senen, Jakarta Pusat. Kisah terbaru yang sedang digandrungi adalah Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Betapapun, setiap orang mendambakan harapan atas dunia yang tak selalu memenuhi kebutuhan. Secara umum, Laskar Pelangi menanggapi harapan itu, menggugah kesadaran tentang perubahan yang bisa diupayakan.

Kenyataan boyak pada suatu generasi hanya bisa ditanggulangi oleh generasi yang bersangkutan dengan ketangguhan diri hasil pendidikan yang wajib disediakan oleh generasi pendahulu. Empati terbesar tentu dimiliki oleh yang terlibat.

Anak-anak yang beruntung di segala zaman menikmati pendidikan melalui kesusastraan. Para penutur dongeng, penulis, serta penyanyi lagu ninabobo dari masa ke masa menaruh perhatian besar pada anak-anak. Bahkan, bagi orang dewasa, kesusastraan menyapa lewat naluri kanak-kanak. Sastrawan menulis dan bertutur lewat imajinasi kanak-kanak yang bersemayam dalam jiwa mereka.

Contoh yang klasik adalah Alice in the Wonderland (1865) karya Lewis Carroll yang masyhur. Kisah itu sangat digemari anak-anak di berbagai negeri. Melintasi masa hampir satu setengah abad, kisah petualangan Alice terus diterjemahkan ke dalam banyak bahasa dan direproduksi ke dalam berbagai bentuk, dari prosa ke komik, terus ke film dan sebagainya. Lewis Carroll alias Charles Lutwidge Dodgson adalah seorang ahli matematika dan logika. Fakta ini menegaskan bahwa sastra bagi anak-anak menuntut integritas yang berdisiplin tinggi. Para redaktur majalah anak-anak pastilah memahami hal itu sehubungan dengan cerita-cerita yang mereka terbitkan. Selayaknya, kita pun patut menyadari konteks budaya dan ekonomi dari karya yang diciptakan di suatu tempat pada suatu masa.

Dunia anak-anak dari sudut pandang literer bukan miniatur dunia orang dewasa. Dunia mereka adalah wilayah otonom yang menuntut disiplin logika tersendiri. Wilayah anak-anak bukanlah tempat bagi penulis yang sembrono dan menganggap publiknya sekadar tong sampah tempat segala kebohongan ditumpahkan.

Sebagian penulis kadang-kadang terjerumus pada anggapan bahwa dongeng untuk anak-anak cukup berisi ajaran moral yang sumir: kejahatan dikalahkan kebaikan. Prinsip simpel semacam ini umumnya dianut oleh penulis komersial, yang memandang anak-anak sebagai target pasar semata. Mereka lupa bahwa pengolahan imajinasi adalah aspek yang tak boleh diabaikan, disertai aspek moral khas yang lentur. Keluwesan adalah fondasi penting supaya anak-anak tidak dipukau oleh jarak tak terjembatani antara apa yang mereka baca dan apa yang mereka saksikan di dunia nyata.

Dongeng-dongeng HC Andersen menjadi klasik bahkan bagi pembaca dewasa. Kisah-kisahnya tak sekadar menyajikan moral kebaikan dan ketabahan, tetapi juga keindahan yang menyentuh hati. Setelah menempuh perjuangan disertai kejujuran dan ketabahan, kisah ditutup dengan pola yang masyhur dan kita hafal: ”Mereka pun selanjutnya hidup bahagia selama-lamanya.” Dongeng-dongeng Andersen atau Jacob Grimm membuat masa kanak-kanak berjuta-juta orang terasa indah dalam kenangan. Pola cerita yang mereka terapkan tetap berlaku hingga sekarang. JK Rowling dan JRR Tolkien bertolak dari sistem moral yang baku dalam karya-karya mereka yang sukses besar secara komersial dan boleh dibilang menjadi dongeng abad ini. Tokoh baik mengalahkan tokoh jahat. Betapapun angker dan perkasa si tokoh jahat, ia pasti lebih lemah di hadapan tokoh baik. Kita tunggu, setangguh apa Harry Potter dan The Lords of the Ring menghadapi ujian waktu.

Andersen menulis dari lubuk hati dan empati karena ia kenal penderitaan sejak masa kecilnya. Ia tuturkan imajinasinya yang hebat dengan gaya yang memukau: tentang bunga lili yang tumbuh di atap rumah, dekat jendela kamar loteng, atau tentang anak miskin yang, karena ketabahan dan kejujuran, berhasil mempersunting putri raja. Dongeng-dongeng Andersen menanamkan pengertian ke dalam benak anak-anak bahwa hidup ini patut diperjuangkan dan karena itu indah. Hidup yang diisi dengan kebajikan pasti akan berbuah keberuntungan. Dalam dongengnya, dunia terasa mengharukan. Andersen seakan membawa misi mengungkap dunia lembut dan welas asih yang acap terbenam di bawah permukaan dunia keras.

Charles Dickens, pengarang Inggris abad ke-19, dengan karya-karyanya memupuk cinta dan dorongan untuk memperbaiki realitas sosial. David Copperfield, Oliver Twist, Dombey and Son, dan lain-lain melukiskan kehidupan yang keras, dangkal, tapi juga mengharukan. Perhatian utama Dickens adalah nasib anak-anak yang tragis sebagai dampak Revolusi Industri.

Dickens menjalani masa kanak-kanak yang menyedihkan. Hidup melarat dengan ayah dipenjara gara-gara utang. Dua hari setelah ulang tahunnya yang ke-12, ia harus bekerja di pabrik Warren’s yang membuat dia menderita. Trauma itu membekaskan luka jiwa yang tak pernah sembuh seumur hidupnya. Pengalaman masa kecil yang pahit sangat berperan sepanjang kariernya sebagai sastrawan. Dickens melukiskan anak-anak Inggris pada abad ke-19 yang dipaksa bekerja di pabrik-pabrik hingga jauh malam dengan upah sangat rendah atau tanpa bayaran sama sekali, juga anak-anak jalanan dalam Oliver Twist.

Dari Amerika, pada paruh kedua abad ke-19 Mark Twain menghadiahkan kisah tentang dunia anak-anak yang polos, tetapi sarat dengan ajaran hidup. Tom Sawyer dan Huckleberry Finn layak diperkenalkan kepada anak-anak kita. Buku-buku itu menyuguhkan kisah petualangan yang seru dan jenaka sambil memperkenalkan kearifan hidup dalam konteks kemajemukan sosial.

Dari kesusastraan masa Balai Poestaka, ada kisah Si Jamin dan Si Johan karya Jan Smees yang disadur Merari Siregar. Buku itu menggambarkan nasib anak-anak yang pahit. Mereka yang pernah membaca buku itu selalu terkenang akan tragedi yang dilukiskan. Tentu saja, bukan hanya cerita sedih yang masuk catatan. Si Doel Anak Betawi karya Aman yang jenaka sekaligus mengharukan telah menjadi legenda dalam kesusastraan Indonesia.

Buku adalah satu hal, sedangkan sarana untuk mempertemukan sastra dengan anak-anak adalah hal lain. Di sinilah pemerintah dan orangtua berperan. Dalam kesusastraan, buku hanya salah satu media. Anak-anak di usia dini pastilah beruntung jika memiliki orangtua yang sudi mendongeng di ranjang mereka menjelang tidur, walau tidak setiap malam. Sementara itu, pemerintah selalu diharapkan mengatur harga kertas agar penerbit dapat menyediakan buku murah. Lebih dari semua itu, fondasi utama adalah pendidikan dasar: melek huruf, diiringi pemenuhan hak dasar hidup anak-anak selaku warga negara. Kita masih menanti pemerintah yang mampu menunaikan amanat konstitusi: anak telantar dipelihara oleh negara.

Sastra pun dapat diakses melalui internet. Di sinilah pemerintah, lembaga nonpemerintah, dan orangtua secara bersama-sama dituntut berperan aktif membantu anak-anak sehingga mendapatkan apa yang patut bagi mereka. Yang diperlukan bukanlah blokade atau berbagai larangan sebab internet adalah fenomena dunia yang bocor. Cukuplah kita renungkan kutipan berikut ini dari Han Suyin (A Many-Splendoured Thing), ”Betapa senangnya menjadi anak Cina,” kata Pater Low. ”Mereka selalu diajak ke mana-mana. Mungkin itulah sebabnya mereka selalu mudah diurus dan tidak mempunyai banyak kesulitan. Mereka tidak dipisahkan dan dilindungi dari kehidupan nyata sehingga tidak shock saat terjun ke dunia nyata. Kami mendidik orang-orang yang keliru, tapi kalian mendidik pria-pria dan wanita-wanita untuk hidup di dunia orang dewasa. Anak-anak itu tidak ikut-ikutan berbicara atau meniru kelakuan orang dewasa sebab tak banyak yang disembunyikan dari mereka, dan mereka tak percaya orang dewasa lebih banyak tahu daripada mereka.”

* Kurnia JR, Pengarang

Sumber: Kompas, Minggu, 28 Desember 2008

Tuesday, December 2, 2008

Borneonews kembali Raih Penghargaan

HARIAN Umum Borneonews (melalui reportase Andri Saputra, anggota Kantong Sastra, red) menjadi media massa daerah terbaik di Indonesia dalam journalist writing contest (JWC) yang diselenggarakan Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan.

Juara nasional pertama direbut majalah Gatra (Jakarta), Seputar Indonesia (Jakarta) posisi kedua, dan Media Indonesia (Jakarta) di posisi ketiga. Sedangkan Borneonews (Kalteng) jadi harapan I, diikuti Tabloid Maritim harapan II (Jakarta), dan Koran Kurson (Kupang) harapan III.

Bagi Borneonews ini adalah kali keempat mendapatkan penghargaan sepanjang 2008. Sebelumnya, artistik, editorial, dan hasil percetakan Borneonews dinilai terbaik di Kalimantan.

Baru-baru ini Borneonews juga menjadi yang terbaik se-Kalimantan dalam penggunaan bahasa Indonesia tingkat nasional atau koran daerah terbaik kedua di Indonesia setelah Tribun Timur (Makassar).

Tidak hanya itu, Zulkarnain Zubairi (dengan nama pena Udo Z Karzi) juga mendapatkan Hadiah Sastra Rancage 2008 untuk buku puisinya, Mak Dawah Mak Dibingi/Tak Siang Tak Malam (BE Press, 2007).

Beberapa penghargaan itu menjadi kado manis bagi Borneonews yang akan merayakan HUT kedua 23 Desember nanti.

Pada journalist writing contest (JWC) itu, wartawan Borneonews Andri Saputra mengambil tema Peran Program Small-Scala Natural Resources Management Scheme (SNRMS) Marine and Coastal Resources Manangement Program (MCRMP) dalam menjaga keberlanjutan sumber daya pesisir dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Dalam lomba kali ini, Andri Saputra menampilkan karya tulis dengan judul Fajar Baru dari Pesisir yang mengupas penerapan program SNRMS MCMRP pada sepanjang desa yang ada di kawasan pesisir pantai Kobar mulai dari Desa Kubu, Sungai Bakau, Teluk Bogam, Keraya, hingga Desa Sabuai.

"Bagi saya, prestasi ini merupakan kemenangan tim. Terima kasih atas dukungan rekan-rekan kerja yang sudah membantu. Tak lupa, terima kasih juga untuk Pak Hepy dari DKP Kobar yang banyak membantu dalam observasi data lapangan" kata Andri. (Dri/B-1)


Juara Journalist Writing Contest

1. Gatra (Jakarta)
2. Seputar Indonesia (Jakarta)
3. Media Indonesia (Jakarta)
4. Borneonews (Kalteng)
5. Tabloid Maritim (Jakarta)
6. Koran Kursom (Kupang)

Sumber: Departeman Kelautan Perikanan

Dari: Borneonews, Selasa, 2 Desember 2008