Cerpen Ernawati Rasyid
SEMUANYA tenggelam saat malam hadir dengan selimut kegelapannya. Menaburkan kemilau bintang. Purnama bisu yang menggantung. Suara langkah kaki begitu jelasnya aku dengar. Bagaikan berjalan dan telingaku bersama langkah itu. Kemana saja. Tidak peduli jalanan penuh kerikil tajam yang kapan saja bisa merobek telingaku. Aku juga mendengar bisik-bisik dari mulut yang penuh lumuran darah. Menetes ke lantai dan berubah menjadi hitam. Memenuhi lantai. Membentuk wajah yang tidak selesai. Tidak ada darah merah disana.
Kafe ini tepat berada di bawah purnama. Disana seorang perempuan tua menggapai-gapai bulan setelah susah payah menanjak udara menuju bulan itu. Senyum dan derai air matanya berceceran dimana-mana. Tak ada yang melihat. Pura-pura melihat. Semuanya sibuk mengurusi kebutuhan yang tak kunjung selesai. Seperti menghitung bintang di langit dengan sepuluh jari.
Aku masih duduk di kursi kemilau ini. Dengan kepulan asap rokok yang entah keberapa kalinya aku hembuskan ke udara. Menebar. Membentuk wajah orang-orang yang ada di sekitar kafe itu. Lalu menghilang. Mungkin lari bersama nafas angin yang selalu berhembus di sekitar mejaku. Nafas yang begitu menyengat hidung hingga mengelurkan darah hitam. Menetes ke lantai dan membentuk gumpalan yang mengeras. Seperti batu. Tak bernafas. Ingin aku hembuskan jiwa ke dalamnya agar menemaniku di kafe ini sambil berbicara terus menerus sampai fajar menyengat tubuhku lagi.
Seorang wanita menuju kearahku membawa sebuah nampan yang berisi minuman dan makanan yang telah aku pesan sejak berada di tempat ini. Tangan kirinya disembunyikan di belakang tubuhnya sedang tangan yang satunya memegang nampan. Tangan yang disembunyikannya itu menyembunyikan belati. Aku tahu itu. Ingin membunuhku atau membunuh orang-orang yang ada disekitarku. Senyum di bibirnya begitu mempesona bagi bibirku. Sebuah tipuan untuk membunuhku dengan belati yang disembunyikannya. Ia semakin mendekat. Langkah kakinya seperti detakan jantungku. Kini ia berdiri di sampingku. Menyimpan pesanan di atas meja. Lalu belati yang ia sembunyikan di belakang tubuhnya ia taruh di atas meja itu pula. Ia pun pergi dengan senyum yang masih terpajang di bibirnya. Menggoda bibirku untuk tersenyum pula.
Rinai hujan tiba-tiba menerpa malam. Ternyata perempuan tua itu telah berhasil menggapai purnama. Lalu dibawanya pulang untuk diberikan kepada cucunya. Semua manusia malam berlarian mencari tempat berteduh. Menghindari gerimis yang bercampur dengan tetesan darah dan air mata perempuan tua itu. Aku beruntung telah duduk dengan santai di kafe ini lebih awal. Aku melihat manusia malam yang terkena ceceran gerimis itu menggerutu. Semua yang melekat di dalam dirinya luntur. Meleleh meninggalkan dirinya yang basah. Aku pun tertawa. Terbahak. Hingga mejaku bergetar sampai ke kepalaku. Tetapi, aku masih saja tertawa. Hingga air mataku menetes membentuk gumpalan lagi di lantai. Berharap untuk kedua kalinya Tuhan meniupkan roh kepadanya.
Lalu semuanya tiba-tiba gelap gulita. Tak ada cahaya. Aku tahu, perempuan tua itu bukan hanya berhasil menggapai purnama. Ia telah mengambil deretan bintang pula di langit. Untuk dipersembahkan kepada cucunya. Bukan hanya bulan dan bintang, cahaya-cahaya lampu pun diraihnya pula. Aku mendengar semua orang menggerutu. Aku tidak bisa melihat wajah karena gelap. Bahkan aku pun tidak dapat melihat diriku sendiri. Semakin besar suara-suara gerutuan itu hingga telingaku mengeluarkan darah akhirnya. Bukan karena kerikil saat melangkah tetapi suara-suara manusia malam yang menggerutu itu.
Suasana masih gelap gulita. Aku mendengar kursi lain yang ada di depanku bergeser. Seorang telah duduk di kursi kosong itu. Lalu mengunyah makanan yang belum sempat aku jamah sejak wanita tadi membawanya untukku. Saat aku meraba belati yang ada di atas meja, kosong. Heran dan gugup lalu melandaku. Peluh keringat bercucuran tiada henti. Tawa bahak hilang begitu saja. Berganti dengan peluh yang tak berkesudahan. Setelah mengunyah makanan ku, ia pun meminum kopi yang ada di atas meja. Terdengar suara piring dan gelas bergesekan. Membuatku meringis.
“Maaf menungguku terlalu lama.”
Ia menyapaku. Suara lelaki. Mirip suaraku. Atau ia telah mencuri pita suaraku dan memindahkannya ke tenggorokannya. Atau kah siapa gerangan pita suara yang ia curi. Pasti dari salah satu manusia malam yang menggerutu itu.
“Siapa kamu?” tanyaku dengan suara getar yang masih tersisa.
“Aku adalah kamu”. Jawabnya
“Kamu sudah gila. Mana mungkin aku adalah kamu....”
“Kamu yang gila. Bukan aku.”
Siapa gerangan orang yang ada di depanku ini. Tidak ada cahaya yang bisa menampakkan wajahnya. Semua telah diambil oleh perempuan tua itu. Ini tidak adil. Tak ada satu pun bintang yang tersisa untukku, hanya untuk melihat wajah orang di depanku ini. Bahkan ia mengaku dirinya adalah aku. Belati di atas meja pun tidak ada. Pasti ia yang mengambilnya. Aku pikir, ia akan membunuhku dengan belati itu. Makanan dan minuman ku pun telah musnah olehnya.
“Kenapa diam? Tenanglah, aku tidak akan membunuhmu dengan belati itu. Itu artinya aku membunuh diriku sendiri.”
“Bagaimana kau tahu apa yang aku pikirkan?”
“Sejak awal aku sudah mengatakan kalau aku adalah kamu. Apa yang kamu pikirkan tentu saja aku tahu semuanya.”
Bahkan apa yang aku pikirkan pun ia tahu. Aku yakin orang yang ada di depanku ini bukan manusia seperti diriku. Apa yang diinginkannya dariku.
“Aku bukan Tuhan. Bukan malaikat. Bukan pula iblis. Aku adalah manusia sama sepertimu. Bagaimana mungkin aku adalah Tuhan, malaikat, atau pun iblis. Mereka mempunyai tugas untuk dijalankan sekarang. Duduk disini bersamamu akan membuang-buang waktunya, percuma saja”.
“Apa yang engkau inginkan dariku?” tanyaku menyela.
“Justru aku yang seharusnya bertanya. Apa yang kau inginkan dariku?”
“Aku bingung.”
“Bingung? Mengapa harus bingung. Cukup kau jawab saja. Akan aku jalankan. Bukankah aku adalah dirimu.”
“Justru itu aku bingung. Apa yang harus aku jawab. Bagaimana mungkin aku ada di depanku sendiri. Berbicara ini dan itu.”
“Sederhana saja”.
“Apanya?”
“Kau ada makanya aku ada. Kau berpikir sehingga aku ada. Kau sendiri yang menginginkan kehadiranku. Mengapa kau sekarang menolak kehadiranku. Kehadiranmu sendiri”.
“Aku tidak pernah mengharapkan kehadiranmu. Aku tidak pernah memikirkanmu. Kau salah. Ini pasti hanya mimpi. Mimpi yang akan sirna begitu cahaya datang”.
“Kau mengharapkan cahaya datang dan menampakkan wajahku di hadapanmu. Tidak usah. Cukup kau melihat wajahmu sendiri. Bukankah aku adalah kamu. Wajahku adalah wajahmu. Pikiranmu adalah pikiranku. Semuanya. Tak terkecuali. Lagipula, cahaya semua telah dibawa pulang oleh perempuan tua itu untuk cucunya di rumah. Apalagi yang tersisa. Purnama, bintang, cahaya lampu. Bahkan korek api mu telah ia curi tanpa kau sadari.”
“Kau mempermainkanku”.
“Aku tidak mempermainkanmu. Buat apa aku mempermainkanmu. Tak ada gunanya mempermainkan diri sendiri. Buang-buang waktu saja. Masih banyak yang mesti dibenahi. Padahal waktu tidak jelas keberadaannya.”
“Aku tidak mengerti maksudmu.”
“Aku tidak percaya kau tidak mengerti perkataanku. Bukankan aku lahir dari dirimu. Pasti kau juga tahu semuanya. Tidak usah berkamuflase seperti manusia-manusia yang menggerutu itu. Memakai topeng berlapis-lapis hanya untuk menutupi wajahnya yang tidak jelas bentuknya.”
“Aku benar-benar tidak mengerti. Kau membuatku bingung.”
“Hahaha…!”
“Bahkan kau bisa tertawa rupanya.”
“Bukan hanya tertawa. Marah, benci, dendam, menangis, tersenyum pun aku bisa.. Seperti yang kau lakukan barusan kepada wanita yang membawa nampan untukmu. Semua yang kau lakukan aku juga bisa melakukannya.”
“Aku mulai percaya padamu.”
“Tentu saja kau harus percaya. Kalau kau tidak percaya dengan apa yang aku katakan, itu artinya kau tidak mempercayai dirimu sendiri.”
“Benar juga. Bukankah aku adalah kamu. Kamu adalah aku.”
“Tetapi kau beruntung malam ini”.
“Maksudmu?”
“Jarang sekali manusia itu berbicara dengan dirinya sendiri. Seperti yang sekarang kau lakukan."
“Apakah benar demikian. Kalau begitu aku beruntung malam ini.”
“Sudah aku katakan padamu, kau lelaki yang beruntung malam ini.”
“Bagaimana menurutmu mengenai mati? Apa kau juga mengalami hal seperti itu?”
“Tentu saja. Kalau kau mati aku juga akan mati. Kau mati, kau tidak akan bisa berpikir lagi. Sehingga aku tidak bisa ada.”
“Apa kau roh?”
“Apa yang kau tahu tentang roh atau jiwa?”
“Roh atau jiwa akan meninggalkan raga jika kita telah mati.”
“Tidak ada yang bisa melihat roh. Entah ia mempunyai telinga, hidung, mulut, tangan, kepala, atau yang lainnya. “
“Apa maksudmu?”
“Manusia terdiri dari jiwa dan raga. Tangan, mulut, kaki, mata, telinga, dan sebagainya merupakan bagian dari raga. Jika roh telah berpisah dengan raga, tidak mungkin semuanya itu ikut bersama roh. Raga dan bagian-bagiannya akan hancur bersama tanah. Kembali ke asalnya. Begitupun dengan roh, kembali keasalnya.”
“Bagaimana dengan umur?”
“Umur semakin bertambah. Raga semakin tua. Tetapi roh tidak mengalami perubahan. Jiwamu akan selalu ranum walau umurmu semakin senja.”
“Kalau begitu, kau termasuk yang mana. Raga atau Jiwa?”
“Hahaha…! Tentu saja bukan kedua-duanya. Kalau aku raga, aku bisa terlihat. Kalau aku roh, aku tidak terlihat. Namun bisa dilihat melalui raga.”
“Jadi kau ini apa?”
“Aku ini bagian dari jiwa dan ragamu. Tetapi bukan jiwa dan raga. Raga tanpa jiwa tidak ada apa-apanya. Seperti boneka yang dipajang di emperan toko boneka di ujung jalan sana. Begitu halnya dengan manusia yang telah mempunyai jiwa, namun seakan tidak mempunyainya. Mirip boneka.”
“Mirip boneka?”
“Yah, mirip boneka. Mau diperlakukan apa saja bisa. Boneka tidak bisa berbicara. Mendengar. Hanya menurut perkataan tuannya.”
“Apa aku termasuk boneka seperti yang kau katakan?”
“Hahaha…! Awalnya kau adalah boneka yang terbuat dari tanah. Tidak seperti di toko itu, terbuat dari bahan organik. Lalu Tuhan meniupkanmu roh. Seperti yang kau harapkan pada gumpalan di lantai yang kau buat barusan. Dengan begitu kau bisa melakukan apa saja. Seperti berpikir.”
“Apa manusia bisa menciptakan manusia?”
“Tentu saja tidak bisa. Kalau manusia bisa menciptakan manusia, Tuhan pasti bisa menciptakan Tuhan. Manusia hanya bisa meniru, bukan menciptakan. Menciptakan itu dari tidak ada menjadi ada.”
“Apa istimewanya menjadi manusia?”
“Tanya pada dirimu sendiri, bukankah kau manusia.”
“Aku manusia. Aku bisa melakukan apa saja.”
“Memang benar, apa saja. Seperti menangis, marah, benci, bahkan merusak pun bisa.”
“Maksud kamu?”
“Merusak dirinya sendiri. Seperti menaruh moral bukan pada tempatnya. Bahkan menutup mata untuk menikmati hidup. Tidak mau melihat kenyataan yang ada disekitarnya. Pura-pura tidak melihat. Walaupun melihat, hanya bisa menganga. Mengeluarkan air liur yang tak berkesudahan. Ia tidak mau menjadi bagian dari kehidupan itu. Hanya ingin menjadi penonton terhebat, tak ada yang bisa menandinginya.”
“Maksudmu seperti perempuan tua itu?”
“Benar. Seperti perempuan tua itu. Manusia penggerutu itu pura-pura tidak melihatnya. Makanya ia menanjak di udara untuk menggapai purnama, bintang, dan semua cahaya. Bahkan kau sendiri pun juga terkadang seperti manusia penggerutu itu. Hanya menganga melihat kehidupan. Terpesona dengan keindahan fatamorgananya.“
“Apa kau menuduhku?”
“Tidak usah menutup-nutupi. Aku tahu semuanya. Karena aku adalah kamu. Masa lalu mu aku tahu semuanya. Bukankah sudah aku katakan sejak awal kepadamu?”
“Iya benar. Maafkan aku.”
“Kau meminta maaf pada dirimu sendiri. Bukan padaku. Karena aku adalah kamu sendiri, bukan orang lain.”
Makassar, 29 Juni 2009
---
Ernawati Rasyid, mahasiswi Sastra Indonesia 2006 FBS UNM, penulis lepas.
Thursday, July 23, 2009
Percakapan di Kafe Hitam
Posted by Kantong Sastra at 5:50 PM 0 comments
Labels: karya (cerpen)
Monday, July 20, 2009
Segitiga Sastra di Wilayah Borneo
Oleh Korrie Layun Rampan
SEGITIGA sastra di sini dimaksudkan adalah tumbuh dan berkembangnya eksistensi sastra di wilayah Borneo dan Kalimantan. Istilah Borneo meliputi negara Brunei Darussalam dan Malaysia Timur (yang mencakup: Labuan, Sarawak, Sabah) dan wilayah Kalimantan mencakup empat provinsi di Kalimantan: Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Tengah (sebentar lagi akan lahir Provinsi Kalimantan Utara). Sejak 20 tahun lalu dimulai “Dialog Borneo-Kalimantan” yang dilaksanakan di Miri, Sarawak, 27-29 November 1987.
Dialog ini merupakan kegiatan independen yang berada di bawah payung Mastera (Majelis Sastra Asia Tenggara). Mastera merupakan kegiatan sastra-budaya yang didasari oleh hubungan timbal-balik antarnegara, khususnya dalam hubungan rekomendasi pemberian hadiah SEA Write Award, Hadiah Mastera, dan Hadiah Sastra Nusantara. “Dialog Borneo-Kalimantan IX”, Agustus 2007 lalu, dalam rekomendasi yang dibacakan Ketua 1 Asterawani Prof Madya Dr. Awang Haji Hashim bin Hj. Abd Hamid pada 5 Agustus 2007 di Hotel Asma Jerudong, Berunei Darussalam bahwa sejak “Dialog Borneo-Kalimantan X” yang diadakan di Kalimantan Timur, 2009, akan memberikan “Hadiah Sastra Sultan Hassal Bolkiah” untuk para penulis sastra dari wilayah “segitiga sastra”, terutama kepada para sastrawan yang tidak dinominasi oleh panitia SEA Write Award, Mastera, maupun Hadiah Sastra Nusantara, meskipun karya-karya mereka sudah sepantasnya mendapat hadiah tersebut.
“Dialog Borneo-Kalimantan IX” yang mengusung tema “Kesusastraan Melayu: Antara Harapan dan Cabaran (Kendala)” menampilkan lima belas makalah yang membicarakan berbagai hal sehubungan keberadaan dan perkembangan sastra di masing-masing negara (wilayah). Indonesia (Kalimantan) diwakili oleh Zulfaisal Putra dari Kalsel, Korrie Layun Rampan (Kaltim-Jakarta) , dan Viddy AD Daery (Lamongan) yang masing-masing menampilkan makalah “Mengenang Kejayaan Rubrik Dahaga di Harian Banjarmasin Post tahun 80-an”, “Sejarah Sastra Kalimantan Timur di Tengah Konstelasi Sastra Indonesia” dan “Dari Kisah Sultan Sandokan dari Brunei: Hingga Hubungan Budaya Kalimantan dan Jawa” (yang dibacakan Hermiyana, SE, karena Viddy sakit).
Ketiga makalah ini menjadi pusat perhatian dari sekitar 150 orang peserta karena mengungkapkan berbagai hal yang “asing” bagi pembaca dan para pemerhati sastra di Brunei dan Malaysia. Ternyata, sejak dialog pertama sampai yang kesembilan ini, kondisi sastra di masing-masing wilayah berkembang sediri-sendiri, justru tanpa saling bisa berdialog, sehingga karya sastra Borneo (Brunei-Malaysia) dan Kalimantan (Indonesia) hanya dinikmati oleh kalangannya sendiri, dan asing bagi pembaca di wilayah lainnya. Sastra Berunei Darussalam dan Malaysia (Labuan, Sabah, Sarawak) tidak dikenal oleh pembaca di Kalimantan (Indonesia), demikian sebaliknya. Sementara menurut Prof Madya Dr. Haji Arbak bin Othman dalam makalahnya “Sajak Borneo: Kajian Interpretan dan Pembentukan Mesej Puisi” sastra yang berkembang di Kalimantan memperlihatkan prosfek profetik dengan nuansa religius yang mendalam di mana sajak-sajak itu banyak menggambarkan kesedihan dan harapan dengan mengutip beberapa baris puisi penyair muda Micky Hidayat (Banjarmasin) dan Shantined (Balikpapan) .
Keasingan dan kehilangan komunikasi juga dipaparkan oleh Mohd Zefri Ariff bin Mohd Zain Ariff dalam makalahnya “Jurutera dan Usahawan Emporium Sastera Melayu” yang membahas diskomunikasi antarsastrawan Borneo-Kalimantan sehingga melahirkan ketidaktahuan terhadap perkembangan pribadi sastrawan maupun perkembangan secara nasional di wilayah masing-masing. Itu sebabnya dialog yang sudah dilakukan ini semestinya dilanjutkan dengan mencari cara terbaik agar sastra di masing-masing wilayah dapat disosialisasikan di wilayah segitiga sastra.
Pada “Dialog Borneo-Kalimantan VII”, 2003, Korrie Layun Rampan sudah mengajukan usul agar diadakan sekretariat di masing-masing wilayah dan sekretariat bersama di suatu negera tertentu yang disepekati. Di samping itu disarankan dibuka penerbitan bersama berupa media massa sejenis Horison (Indonesia), Bahana (Brunei Darussalam), dan Dewan Sastra (Malaysia), penelitian sastra, dan pengkajian yang komperehensif. Kemudian dilakukan penerbitan buku-buku sastra yang dikelola para sastrawan di dalam wilayan “segitiga sastra” tersebut, termasuk penerbitan makalah yang sudah mencapai ratusan jumlahnya. Namun hingga dialog yang terakhir ini, hanya sekretariat bersama yang dapat terealisasi yaitu disanggupi oleh Brunei Darussalam.
“Dialog Borneo-Kalimantan” ini merupakan upaya mengembangkan sastra di wilayah “segitiga sastra” tersebut. Karena itu tema-tema dialog selalu berubah-ubah, sesuai dengan perkembangan isu-isu aktual sastra nasional dan sastra global. Dengan habitat sastrawan yang cukup banyak di wilayah ini, diharapkan dialog ini dapat menyumbangkan karya-karya berkualitas bagi negara masing-masing, sebagaimana tema yang disampaikan pada dialog III di Bandar Sri Begawan, 9-10 Oktober 1992 dengan tema: “Sumbangan Sastra Borneo-Kalimantan terhadap Nusantara”. Meskipun tema ini baru berupa harapan, namun pekerja sastra di lingkaran “segitiga sastra” sangat antusias untuk memberikan sumbangan makna dan nilai-nilai mulia dan tertinggi bagi negara masing-masing.
Dalam hubungan itu, ada lima matlamat yang disampaikan dalam pertemuan kali ini dalam upaya mengembangkan dan melanjutkan tradisi dialog tiga negara ini. Pertama, menonjolkan kepentingan dan sumbangan sastra Melayu dengan mendukung nilai-nilai kemelayuan, keislaman, dan ketuanan bangsa Melayu. Kedua, merincikan peranan sastra Melayu dalam menghadapi gelombang globalisasi. Ketiga, mempertemukan sastrawan, penulis, seniman, budayawan, dan sarjana dari ketiga negera. Keempat, mengangkat martabat penulis (tokoh terdahulu dan kini) dan karyanya dalam jalur sastra Borneo-Kalimantan sebagai sastra Nusantara dan mendunia. Kelima, menjalinkan kerja sama kebahasaan, kesusastraan, dan kebudayaan serumpun antara tiga negera leluhur Melayu yaitu Negara Brunei Darussalam, Malaysia dan Indonesia. Dalam hubungan itu, para peserta bersepakat dengan menyampaikan resolusi (yang diwakili oleh sepuluh orang dari negara masing-masing, termasuk Indonesia yang diwakili Korrie Layun Rampan) bahwa “Dialog Borneo-Kalimantan” tetap diteruskan dan “Dialog Borneo-Kalimantan X” diadakan di Kalimantan Timur (Indonesia), tahun 2009.
* Korrie Layun Rampan, sastrawan, anggota DPRD Kutai Barat, Kaltim
Sumber: Kaltim Post, Rabu, 5 September 2007
Dikutip dari Jurnal Toddopuli, 9 Desember 2008
Posted by Kantong Sastra at 5:19 PM 0 comments
Labels: wacana