Wednesday, November 26, 2008

Gelisah

Sajak Erna Rasyid


Biarkan aku menyibak rindu sejenak
Yang semakin hari semakin senja
Aku takut ia menua dalam dekapan malam yang runtuh oleh matari…
Biarkan aku menampik gelisah sesaat
Yang semakin mengikis irama tawa
Biarkan aku mengais waktu agar bisa bersua denganmu dalam kenangan
Mungkinkah aku menemukan seraut wajah
di balik redupnya matari?
Mungkinkah aku menari dengan bulan yang menampakkan cahaya gemulainya?

Aku gelisah tatkala kutampik rona merah membumi
Aku gelisah ketika ku ukir senyuman di dedaunan kering
Aku gelisah tatkala ku lihat banyak wajah tanpa mulut melumat bumi
Tanah haus akan belaian manusia
Langit bagai kertas yang terbentang tanpa ujung, kelak akan runtuh
Tentang rindunya kepada tanah untuk bercumbu…

Makassar, 24 November 2008

Lukisan Tak Berwajah

Cerpen Erna Rasyid


PEKERJAAN sebagai pelukis di kota kecil ini telah lama kugeluti. Aku menyukainya. Setiap bayi yang lahir di kota kecil ini aku tahu. Saat bayi itu berumur lima tahun, akan aku torehkan wajah itu di atas kanvas yang beraneka warna. Saat berumur 17 tahun pun demikian halnya. Wajah mereka dalam lukisan terpampang disetiap sudut kota. Penuh dengan bingkai berwarna warni.

Lima tahun yang lalu, ada dua bayi yang lahir. Seorang laki-laki dan perempuan. Hari ini aku harus melukis wajah mereka. Yang laki-laki telah selesai aku lukis wajahnya. Sungguh tampan wajah anak ini. Kulitnya halus. Putih seperti pualam. Wajahnya bulat. Yang lebih menarik adalah sorotan matanya yang begitu tajam. Aku yakin, jika anak ini telah tumbuh dewasa ia bisa memikat hati banyak perempuan dengan tatapannya.

Hanya membutuhkan waktu setengah jam untuk menyelesaikan tugas ini. Sudah biasa aku melihat paras setiap anak seperti ini. Setelah anak laki-laki tersebut, tibalah giliran si anak perempuan. Ia datang ke tempatku bersama dengan seorang nenek . Baju kebaya si nenek mulai lusuh. Begitupun dengan sarung kotak-kotak yang ia kenakan. Nenek itu lalu tersenyum kepadaku. Mengingatkanku kepada ibuku.

Anak perempuan itu lalu duduk di kursi. Tepatnya dihadapanku. Sesaat aku memperhatikannya. Wajahnya biasa-biasa saja tetapi ada pancaran lain dari wajah itu. Aku merasakan ada sesuatu yang beda. Seumur hidup pekerjaan ini aku lakukan baru kali ini mendapati seorang anak yang berbeda. Sulit aku menebak sesuatu yang beda itu. Anak itu selalu saja tersenyum kepadaku. Seperti senyuman nenek yang mengantarnya. Tanpa membuang waktu, aku mulai melukis wajah itu di atas kanvas kesayanganku. Coretan demi coretan aku oleskan di atas kertas putih itu. Aku heran mengapa keringat dingin menyerangku. Tangan ini terasa bergetar. Pensil yang aku gunakan selalu saja terjatuh di lantai. Aku gugup. Siapa gerangan anak perempuan yang aku lukis ini. Begitu misteriusnya ia sampai-sampai tanganku gemetaran. Senyuman yang ia pasang di bibir tipisnya mulai menakutkanku. Telah satu jam aku habiskan waktu tetapi sketsa lukisan itu belum selesai. Aku mulai khawatir dengan diriku. Mengapa aku sulit melukis anak ini. Mungkin karena aku gugup jadi tidak bisa konsentrasi. Pikirku menghibur.

Tidak terasa senja akan segera berlalu. Dari seberang barat awan mulai kemerah-merahan. Sedang matahari hanya sepotong kisah. Malam akan segera hadir. Nenek dan anak perempuan itu mungkin cucunya, baru saja pulang. Bukan hendak mengusirnya. Aku menyuruhnya untuk datang lagi besok pagi ke rumahku. Hari ini lukisan anak perempuan itu belum selesai. Seharian aku tidak bisa melukisnya. Entah mengapa. Padahal ia masih seperti anak-anak kebanyakan. Mungkin aku yang tidak fit sehingga tidak bisa konsentrasi melukis. Besok pagi akan aku lukis lagi anak perempuan itu. Saat ia pamit kepadaku, senyuman itu masih menakutkan bagiku. Semoga saja ia tidak memasang senyumannya lagi esok. Harapku.

Aku rebahkan tubuh lelah ini di tempat tidur. Sejenak menerawang kisah-kisah pagi tadi. Kertas yang ada di genggamanku hanya bisa kutatap. Tidak ada coretannya sedikit pun. Masih kosong. Aku ragu kertas ini masih kosong esok pagi. Aku tidak habis pikir. Mengapa aku tidak bisa melukis anak perempuan tadi. Tidak ada yang istimewa darinya. Ia masih seperti anak-anak yang lain di luar sana. Aku semakin penasaran dengan anak perempuan itu. Hari ini ada banyak kejadian aneh menimpaku.

Esok pun tiba. Aku bangun pagi-pagi sekali mempersiapkan segalanya. Hari ini anak perempuan itu harus aku lukis. Kursi yang ia duduki kemarin telah aku bersihkan. Peralatan lukisku pun telah aku persiapkan dari tadi. Aku tidak ingin ada yang ketinggalan. Setelah bertahun-tahun menggeluti pekerjaan ini, baru kali ini ada kejadian seperti ini. Aku bisa malu jika hal ini diketahui oleh orang banyak.

Setelah agak lama menunggu, anak itu pun datang. Ia masih saja didampingi oleh nenek yang kemarin. Segera aku mempersilahkan mereka duduk. Tanpa basa basi, aku pun menyuruh si anak duduk di kursi yang tadi aku bersihkan. Jantungku langsung berdegup kencang saat ia menatapku dengan senyumannya yang kemarin. Segera mata ini aku sibukkan dengan peralatan lukisku. Tanpa membuang banyak waktu, aku segera memulai melukisnya. Tangan ini gemetar memegang pensil yang semalam tadi telah aku persiapkan. Keringat di dahiku lalu aku usap dengan sapu tangan yang ada di sampingku. Saat aku menoleh, tatapanku bertemu pada satu titik dengan mata nenek itu. Aku berikan saja senyuman yang aku miliki. Ia pun membalas senyumanku.

Satu jam telah berlalu. Kertas itu masih kosong. Dua jam telah berlalu. Kertas itu masih juga kosong. Hingga senja menyapa kertas itu masih kosong juga. Anak dan nenek itu pun aku suruh pulang. Minggu depan lukisannya baru jadi. Nenek itu lalu mengucapkan terima kasih dan memberiku upah. Mereka lalu berlalu. Sedang aku hanya bisa menatap kepergian mereka dengan perasaan cemas.

Seminggu telah berlalu. Nenek itu belum muncul ke rumah mengambil lukisan anak perempuan itu. Sebulan telah berlalu. Nenk itu belum muncul juga. Tanpa terasa setahun telah berlalu. Nenek itu tidak pernah datang ke rumah mengambil lukisan anak perempuan itu. Walaupun begitu, Aku masih saja menunggu hingga nenek itu datang mengambilnya.

***

Hujan pagi ini turun dengan derasnya. Suara Guntur selalu saja membuatku takut. Sepertinya aku harus menunggu hujan reda untuk keluar. Hari ini ada sebuah lukisan yang harus aku antarkan kesebuah rumah. Pemilikinya tidak bisa datang ke rumah mengambilnya karena sibuk. Tidak ada salahnya juga aku yang mengantarnya. Apalagi upah telah aku terima dua hari yang lalu.

Tepat pukul 12 siang hujan pun reda. Segera lukisan itu aku bawa keluar. Lukisan ini harus sampai ke sebuah rumah hari ini juga. Jalanan sangat becek membuat celanaku agak kotor. Tetapi itu tidak menajdi soal yang penting lukisan ini sampai ke alamat yang ditujuh.

Di tengah jalan aku melihat seorang nenek ingin menyeberang. Ia kelihatannya agak kesulitan. Tongkat yang ia gunakan tidak bisa lagi menyanggah tubuhnya yang renta. Aku berlari menuju kearahnya. Segera nenek itu aku papah dan membantunya menyeberang. Sejenak aku perhatikan wajahnya. Sepertinya aku pernah melihat nenek ini. Pakaian kebaya yang ia kenakan pun aku pernah melihatnya. Begitupun dengan sarung yang ia pakai. Saat nenek itu berbalik menatapku, jantungku berdegup kencang tak karuan. Aku hampir saja terjatuh ke belakang karena kaget. Aku ingat. Nenek ini yang pernah datang ke rumah bersama dengan seorang anak perempuan. Aku lalu teringat lukisan anak perempuan itu. Aku semakin kaget saat nenek itu tersenyum kepadaku. Senyuman setahun yang lalu.

Kami lalu mencari tempat duduk. Aku lalu bertanya kepada nenek itu, mengapa ia tidak pernah datang ke rumahku mengambil lukisan itu. Padahal aku selalu saja menunggu. Ia malah memperlihatkan wajah yang sedih. Ada butiran-butiran kaca dalam kelopak matanya. Ia mulai terisak. Ia lalu bercerita kepadaku. Anak perempuan yang ia bawa ke rumahku setahun yang lalu adalah cucunya. Ia tidak mempunyai orang tua. Lebih tepatnya kedua orang tuanya tidak mau megakuinyas ebagai anak. Ia lahir ke dunia ini sebelum ayah dan ibunya menikah. Tida ada anak-anak tetangga yang mau bermain dengannya. Para tetangga pun tidak suka kepadanya. Katanya, anak perempuan itu anak haram. Walaupun demikian, anak perempuan itu tetap dianggapnya cucu oleh nenek ini.

Setengah tahun yang lalu, sebuah kecelakaan menimpa anak perempuan itu. Saat hendak menyeberang jalan, sebuah mobil melaju dengan kencangnya. Ia tidak melihat mobil itu. Saat itu juga, kecelakaan itu merenggut nyawanya. Yang lebih membuatku kecewa, kedua orangtuanya tidak datang pada saat pemakamannya.

***

Kini aku berdiri disebuah nisan berwarna cokelat tua. Ada sebatang bunga kamboja yang tumbuh di samping makam itu. Bunganya mulai bermekaran. Mungkin merasakan kehadiranku. Hanya sebuah lukisan yang bisa aku persembahkan untuk anak perempuan ini. Lukisan setahun yang lalu. Yah. Sebuah lukisan tanpa wajah. Wajah yang tidak bisa membuatku melukisnya di atas kertas putih. Wajah yang ternyata selama ini tidak dianggap oleh orang-orang yang ada disekitarnya. Sekarang wajah itu terbaring di bawah sebuah nisan yang bertuliskan sebuah nama. Maya. Sebuah ketidakpastian.

Pinrang, 26 September 2008

Gerimis dan Ayah

Cerpen Erna Rasyid


AKU tahu akan menjadi seorang yang akan dikenal dimana-mana. Dipelosok kota hingga ke desa-desa. Semua orang menghormatiku. Kehormatan yang sangat diinginkan oleh semua orang, pikirku. Panggil saja aku Abdullah. Maaf. Bukan Abdullah tetapi Joan. Panggil aku Joan. Itulah namaku. Kepada siapa saja kamu bertanya mengenai nama itu, pasti semua orang tahu. Tidak ada kesulitan bagimu untuk tahu mengenai aku. Diumur yang menginjak 35 tahun ini, aku merasa telah mencapai segalanya. Meraih segalanya bersama dengan semua angan-anganku dahulu.

Pagi ini ada sebuah harapan untukku. Yah, harapan itu akan selalu ada. Masih mengenakan piyama, aku meneguk segelas kopi di meja. Kopi pahit dan kental yang telah disiapkan oleh pembantu sedari tadi. Mataku tertuju pada sebuah koran pagi ini. Segera aku duduk tak sabar menikmati suguhan koran itu. Baru saja halaman pertama yang aku buka, bibirku tersenyum pertanda kemenangan. Mata ini memancarkan sorotan bahagia. Koran itu lalu aku akhiri dengan tegukan terakhir kopi pahit dan kental itu. Kurasakan perutku telah kenyang oleh suguhan koran itu. Bukan dengan kopi.

Hari ini libur bagi pegawai. Aku menggunakan waktu luang ini untuk mencari angin segar atau mungkin ada bisnis baru yang bisa mendatangkan keuntungan yang besar. Istriku aku biarkan ke rumah temannya. Katanya ada arisan. Mungkin sore baru kembali bahkan bisa saja malam. Aku memutuskan ke rumah sahabat lamaku. Pandi. Hanya untuk silaturrahmi. Sudah lama aku tidak bertemu dengannya.

Pagar rumahnya tidak terkunci. Pagar besi yang mulai karatan karena masa. Aku lalu masuk. Segera pintu ku ketuk. Agak lama juga. Kemudian seorang membuka pintu rumah itu. Aku terkejut melihat penampilannya. Rambut yang awut-awutan, wajah kusut tidak pernah diseterika, dan masih mengenakan piyama.. Sahabatku. Pagi ini disambutnya aku dengan penampilan seperti itu. Bagaimana mungkin seseorang itu mau maju kalau penampilannya saja tidak bisa diurusnya. Dengan langkah malas ia mempersilahkanku masuk.

“Mau minum apa?” tanyanya sesaat

“Kopi.” jawabku datar

“Tunggu sebentar aku buatkan.”

Aku hanya mengangguk mendengar kalimatnya yang terakhir.

Sudah hampir 2 tahun aku tidak berkunjung ke rumah ini. Masih seperti dulu. Tidak banyak yang berubah. Hanya saja di dinding ruang tamu terdapat sebuah lukisan pemandangan gunung Bawakaraeng. Bagiku itu tidak menarik. Hanya gunung yang bertumpuk-tumpuk dengan warnanya yang hijau seperti karpet yang dijual di emperan toko. Dekat sofa ada sebuah buffet. Di atasnya terdapat dua buah foto terpajang dengan anggunnya. Yang satu fotoku dengan sahabatku sewaktu kami masih menyandang gelar mahasiswa. Yang kedua foto sahabatku dengan keluarganya. Ternyata ia masih menyimpan foto-foto ini. Aku melangkah menuju sebuah jendela di ruang tamu ini. Jendela yang menghadap ke timur. Segera jendela itu aku buka dan membiarkan udara pagi merasuki rumah ini. Berharap ilmu yang mengawang di udara hinggap di kepalaku. Aku melempar pandangan ke luar. Ada banyak petani yang sedang memikul cangkulnya di luar sana. Sedang ibu tani membawa bakul. Mereka hendak ke sawah. Aku melihat senyuman dan tawa di bibir petani-petani itu. Alangkah bahagianya mereka. Tetapi hidup mereka tetap tidak berubah. Aku ingat teman kuliahku dahulu. Namanya Anwar. Ia anak seorang petani. Orangnya sangat rajin dan ramah. Ia bercita-cita menjadi seorang pengusaha dan bekerja di kota besar. Sehingga bisa menghasilkan banyak uang dan menghidupi keluarganya. Ia tidak mau lagi melihat ayahnya bekerja banting tulang di sawah. Tetapi semua keinginannya itu hanya impian belaka. Lulus kuliah bukan pengusaha yang ia kerjakan melainkan menjadi petani seperti ayahnya. Aku tidak tahu persis mengapa itu bisa terjadi. Seharusnya memang seperti itu. Benarlah ada pepatah mengatakan, buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Memang pantas ia seperti itu.

Suara sahabatku mengagetkanku. Dua gelas kopi telah berada di atas meja. Kepulan asapnya menggoda untuk segera meneguk kopi itu. Aku beranjak mengambil cangkir sebelah kanan. Sejenak kuperhatikan cangkir itu. Warnanya putih dengan gambar sebuah rumah. Mungkin cangkir ini baru, pikirku. Waktu aku tinggal di rumah ini, aku tidak pernah melihat cangkir ini.

“Nggak usah heran. Itu cangkir baru,” sela sahabatku saat melihat tingkahku

Aku baru sadar telah diperhatikannya tingkahku sedari tadi. Aku baru sadar, ternyata ia telah mengenakan kaos oblong kesukaannya. Piyama itu tidak melekat lagi di tubuhnya. Ternyata ia mengganti pakaiannya. Pantas saja aku menunggu begitu lama.

“Makin maju kamu sekarang. Selain menjadi dosen di salah satu universitas ternama di kota ini, kamu juga aktif menulis diberbagai media. Apalagi tesismu sekarang ini telah mengguncang dunia pendidikan. Bahkan tulisan-tulisanmu selalu menggetarkan pembaca,” kata sahabatku memecahkan kesunyian.

“Memang seharusnya seperti itu. Ilmu pengetahuan adalah segalanya. Jika kamu tidak mempunyai ilmu itu, yakinlah kamua akan ketinggalan dan tidak akan maju.”

“Bagiku ilmu memang penting. Yang bisa membuat kita melakukan apa saja. Yah, apa saja. Tetapi alangkah ruginya seseorang jika mengagung-agungkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya tetapi lupa kepada yang menghidupinya.”

Mendengar kalimat terakhir sahabatku itu, tiba-tiba hatiku tersayat. Tidak ada lagi nafsu untuk meneguk kopi yang masih tersisa di cangkir itu. Aku terbakar amarah sendiri. Kurasakan api menyala-nyala di tubuhku. Apa sahabatku ini ingin menyerangku juga seperti teman-teman yang lain. Teman-teman yang selalu menganggapku budak ilmu pengetahuan. Tetapi bagiku mereka hanya iri melihat kesuksesanku sekarang ini. Tidak seperti mereka yang hanya bekerja sebagai petani, pedagang,dan lain-lain. Bagiku pekerjaan itu memang pantas mereka dapatkan. Tetapi hari ini sahabatku sendiri menyerangku sampai menusuk ke tulang-tulangku. Bibirku gemetar. Aku lalu melihat sorotan matanya mengarah kepadaku. Seperti badik yang siap-siap menikam tepat di jantungku. Tetapi aku melihat masih ada sahabat di sana bukan musuh yang kurasakan. Sebisa mungkin bibir ini aku paksa tersenyum kepadanya.

“ Kamu adalah sahabatku. Orang yang masih aku punya selama ini. Aku tidak ingin menganggapmu musuh seperti yang lainnya,” kataku coba menenangkan hati.

“Kamu tersinggung. Padahal aku tidak menuduhmu seperti itu. Aku hanya mengatakan seandainya saja....”

“Cukup. Cukup. Tidak usah diteruskan.” Segera perkataan sahabatku kupotong. Aku tahu ia menjebakku. Aku semakin terbakar . Kepalaku serasa ingin meledak seperti magma yang ingin keluar dari gunung berapi. Aku lalu menghadapkan wajah ini ke jendela. Berharap mendapat kesejukan dari angin yang berhembus. Tetapi sepertinya angin berpihak kepada sahabatku.

“Joan. Sahabatku.” Pandi mendekatiku dan melempar pandangan ke luar jendela. Seperti yang aku lakukan. Tangannya menyentuh bahuku. Sentuhan seorang sahabat. Lalu melanjutkan kata-katanya.

“Kita hidup di dunia ini bukan untuk selama-lamanya. Kita diberi kesempatan untuk berbuat apa saja. Apa saja. Selama perbuatan itu baik untuk diri kita sendiri dan untuk orang lain. Ada banyak cara untuk melakukannya. Misalnya saja mencari ilmu pengetahuan dan menggunakannya untuk suatu hal yang baik. Banyak orang di dunia ini mempunyai ilmu yang tinggi tetapi ada pula yang sama sekali tidak memilikinya. Atau lebih kasar dikatakan bodoh. Seperti kau sekarang ini. Ilmu pengetahuan yang kau miliki telah memperbudakmu. Kamu menjadi angkuh, sombong, merasa diri paling benar dan menganggap semua orang bodoh. Bagiku bodoh itu bukan berarti seperti yang kau maksud. Bisa saja orang bodoh itu pintar dalam sebuah hal tetapi justru kau yang tidak tahu. Bodoh itu relative sahabatku.”

Entahlah mimpi apa aku semalam. Pagi-pagi begini aku mendengarkan ceramah pagi dari sahabatku. Seandainya ia bukan sahabatku, sedari tadi aku sudah melawan serangannya. Hatiku tambah panas mendengar semua ocehan-ocehannya. Tidak sepatutnya ia mengguruiku seperti ini. Aku lebih tinggi daripada dia. Aku seorang dosen di salah satu universitas terbaik di kota ini, tulisanku selalu dimuat di media, dan terakhir beberapa buku telah aku terbitkan. Sekarang ini aku membangun sebuah rumah pengetahuan yang aku miliki. Tetapi hari ini serasa bangunan itu akan runtuh ke tanah karena sahabatku.

Aku heran mengapa aku tidak bisa menangkis semua ocehannya. Mulutku terasa selalu mengatup. Padahal ada jutaan kata yang ingin aku muntahkan segera. Aku seperti murid yang mendengarkan petuah gurunya. Padahal derajatku lebih tinggi daripada ia. Walaupun ia sahabatku.

“Aku heran kepadamu. Kebesaran nama, ilmu pengetahun yang kau miliki membuatmu lupa terhadap asalmu. Masa yang telah merubahmu. Aku hanya ingin melihat sahabatku seperti dulu. Temuilah ayahmu secepat mungkin.” lanjutnya.

***

Malam ini aku tidak bisa tidur. Gusar karena mengingat kata-kata sahabatku pagi tadi. Sudah lama aku tidak menemui ayahku di desa. Yah, sudah 5 tahun aku tidak menemuinya. Bagaimana raut wajahnya sekarang. Apakah keriput mulai menjalarinya. Ayah. Ayah. Mengapa mendengar kata itu hatiku selalu gemetar. Apa benar yang dikatakan oleh semua orang. Bahwa aku telah melupakan tanahku sendiri, melupakan orangtuaku sendiri. Apa yang telah aku inginkan telah tercapai. Semuanya berawal dari kematian ibu sejak aku masih SMP. Orang yang sangat kusayangi telah meninggalkanku di dunia ini. Sejak itu pandanganku berubah kesemua orang. Termasuk ayah. Usaha dan kerja keras yang aku lakukan selama ini membuahkan hasil. Yah, seperti sekarang ini. Semua orang menghormatiku dan tunduk kepadaku. Ilmu pengetahuan yang kumiliki telah merubah segalanya. Aku tidak diremehkan lagi seperti dulu. Seperti ayah. Yang selalu menganggap aku tidak bisa berbuat apa-apa kelak. Kata-kata ayah dulu terbantahkan sekarang. Buat apa aku kembali ke desa. Kembali kepada orang-orang bodoh dan tidak tahu zaman dan teknologi. Aku jadi teringat kata sahabatku. Bodoh itu relatif. Mendengar semua petuhnya tadi pagi membuatku meninggalkan rumahnya tanpa pamit. Aku terbakar amarahku sendiri. Meninggalkan sesal datang ke rumahnya. Ternyata itu pertemuan terakhirku dengannya. Esok ia akan berangkat ke Yogyakarta melanjutkan pendidikannya di sana. Tetapi sebelumnya ia akan kembali ke desanya bertemu dengan kedua orangtuanya terlebih dahulu. Yah, bertemu dengan orangtuanya.

Telah tiga bulan pertemuan terakhirku dengan sahabatku. Aku menjalani hari-hariku seperti biasanya. Rasa rindu kepadanya terobati saat ia menelpon pagi tadi. Sekarang ia berada di Yogyakarta. Ada banyak kisah yang ia ceritakan kepadaku. Tetapi tiba-tiba ia bertanya kepadaku, apakah aku telah menemui ayahku di desa. Aku diam seribu bahasa. Tidak tahu apa yang mesti aku katakana kepadanya. Ada kebisuan yang tercipta diantara kami. Sebelum ia menutup teleponnya, ia mengatakan bahwa saat ia berada di desa, ia bertemu dengan ayahku. Wajahnya sudah keriput. Tubuh renta dan tertopang oleh sebuah tongkat. Badannya kurus seperti kulit membalut tulang. Rambutnya telah memutih. Tetapi ia masih mempunyai senyuman harapan. Harapan dan rindu ingin bertemu dengan anaknya. Apa benar ayah merindukanku. Seumur hidup ia tidak pernah mengatakan itu kepadaku. Apa mungkin sahabatku berbohong kepadaku agar aku pulang menemui ayahku. Aku percaya ia. Tidak mungkin ia berkhianat. Ada getar gelisah dan sedih saat ia berkisah mengenai ayahku. Ada sesuatu yang disembunyikannya kepadaku. Tanpa sadar pipiku hangat karena tetesan airmata.. Mengapa aku menangis. Apa benar aku merindukannya. Apa benar ayah merindukanku. Aku merasa jiwaku telah berada di sampingnya sedangkan ragaku masih berada di sini.

Aku memutuskan untuk kembali ke desa. Sejak perkataan sahabatku tempo hari membuatku tidak tenang. Wajah ayah selalu terbayang. Memang aku telah meraih segalanya. Tetapi ternyata hati ini masih hampa. Kosong. Semakin hari rindu untuk bertemu semakin besar. Selama ini kemegahan telah membuatku lupa kepada tanah yang menghidupiku.

***

Hari ini aku akan menemui ayah. Bersama istriku. Bersama menantunya. Setelah semua barang telah siap, mobil segera melaju. Meninggalkan segala kemegahan. Meninggalkan mulut kekuasaan dan keangkuhan.

Dalam perjalanan pun hatiku tidak tenang. Entah mengapa. Sejak semalam kurasakan seperti ini. Istriku pun tidak tahu. Ia hanya tersenyum kepadaku seolah-olah mengatakan ia akan bertemu dengan mertuanya. Mertua yang selama ini baru sekali ditemuinya karena keegoisanku. Hari ini aku bangunan itu telah runtuh. Aku merasakan dentuman dan retakan-retakan dindingnya.. Mulai berjatuhan ke tanah. Tetapi bukan itu yang membuatku gusar.

Gerimis datang tiba-tiba menyertai perjalanan kami. Perasaanku tambah tidak tenang. Gerimis. Yah, gerimis. Mengapa tiba-tiba gerimis datang. Padahal cuaca sangat cerah barusan. Aku ingat ayah tidak menyukai gerimis. Katanya gerimis mengingatkannya kepada ibu. Ibu pergi disertai oleh guyuran gerimis waktu itu. Sehari semalam hanya gerimis yang menemani kepergian ibu meninggalkan kami. Aku jadi khawatir. Bagaimana perasaan ayah sekarang melihat gerimis.

Sudah hampir sampai di tempat tujuan. Kataku menghibur diri sendiri. Tetapi gerimis masih berjatuhan dari awan-awan yang menggantung di langit. Hatiku semakin gelisah dan tidak tenang. Saat mobil memasuki pedesaan, gerimis masih saja mengguyur. Saat mendekati rumah, aku melihat banyak orang. Mungkin ayah mengadakan pesta untuk menyambutku karena tahu anaknya akan datang.Tetapi wajah semua orang yang dulu kuanggap bodoh terlihat gamang. Semuanya melirik kepadaku. Sorotan mata langsung menikam hatiku. Seperti belati yang telah diasah berhari-hari. Aku alihkan pandangan ke depan. Pura-pura tidak memperhatikan mereka. Sedang istriku berada di sampingku. Kulihat ia masih memasang senyumannya kepada semua orang.

Saat memasuki mulut rumah, aku disambut oleh manusia yang telah terbungkus kain kafan. Yah, ayah. Ia yang berada di balik kain putih itu. Hari ini gerimis telah membawanya pergi. Seperti ibuku beberapa tahun yang lalu. Belum sempat telinga ini mendengar kata rindu dari mulutnya, belum sempat mulut ini mencium punggung tangannya, belum sempat raga ini bersimpuh di hadapannya gerimis telah mengiringi kepergian ayah. Yah, gerimis. Lagi-lagi gerimis.

Parangtambung, Oktober 2008

Untuk manusia bumi yang sejenak melupakan ayah dan ibunya, melupakan kerinduannya di rumah kesenangannya, kebahagiaannya, dan kesuksesannya.

Sunday, November 23, 2008

Tanpa Batas: Bangga dan lebih PeDe

Mona Chaliesta

ACARA ini bisa bikin kita jadi lebih kreatif dan yang pasti memperluas wawasan kita biar kita berpikiran lebih maju. Di acara ini kita boleh berkreasi dan memang diharuskan untuk berkreasi, mengubah sesuatu yang tadinya dianggap membosankan menjadi lebih menarik.

Secara nggak langsung kita juga berlatih berorganisasi, bekerja sama, dan berani tampil, agar kelak kita siap terjun ke masyarakat.

Selain berorganisasi, acara ini menjadi ajang meningkatkan apresiasi sastra kita-kita. Dengan musikalisasi puisi, sastra bisa dinikmati dengan enjoy dan pesan lebih mudah sampai.


Farsya

MUSIKALISASI puisi dan pentas drama ini memang asik banget. Di sini gue bebas berekspresi sesuai keinginan gue dan menyalurkan bakat tanpa dibatasi.

Bebas berekspresi tanpa perlu ragu-ragu dengan aturan yang kaku. Pokoknya acara kaya gini wajib diadain, dan perlu banget lho digelar buat anak muda zaman sekarang.

Biar anak muda punya ajang untuk berkreasi sebebas-bebasnya dan bisa menyalurkan hasil kreasi mereka.

Jadi anak muda memang harus kreatif dan menunjukkan karya yang positif bagi diri sendiri dan orang lain.


Ricka

RASANYA bangga banget deh waktu kita tampil di hadapan banyak orang. Senengnya nggak bisa diukur waktu kita bisa menghibur orang lain.

Trus, yang pastinya berguna buat mengembangkan rasa percaya diri kita lho, karena kita kan tampil di depan publik.

Kita jadi lebih percaya diri alias PD, nggak canggung en nggak malu-malu lagi.

Tadinya kita nggak ngerti apa itu puisi, apalagi mesti dinyanyiin. Kayaknya susah benget gitu. Tapi, setelah berusaha keras, hasilnya bagus.

Pokoknya anak-anak MTsN Kumai is the best dech....


Tika

WAUW... kegiatan musikalisasi puisi yang seru kaya gini bikin kita jadi kompak dan semangat banget.

Kita mesti semangat berlatih, rajin-rajin menggali ide biar bisa menghasilkan karya yang oke.

Kita juga harus kerja sama yang kompak biar bisa nampilin yang terbaik.
Nah, gue acungin jempol dehh buat kerja sama temen-temen kelas IX ini.

Dan, syukur deh, hasilnya tidak mengecewakan. Nggak malu-maluin dan malah bikin kita semua bisa bangga.


Liya

MENURUT aq sih, puisi dan musik itu sebenarnya berbeda tapi saling melengkapi dan nggak bisa dipisahkan.

Buat aku, puisi dan musik memang bakal jadi lebih asik kalo ditampilin bareng, bukan sendiri-sendiri, misalnya puisi yang diiringi musik, atawa puisi yang dinyanyikan jadi sebuah lagu.

Yang pastinya kegiatan ini bikin kita tambah kreatif.

Mengombinasikakan dua cabang seni, puisi dan musik dalam sebuah komposisi yang harmonis jelas nggak gampang. Tapi, bagusnya kita bisa.


Evhit

GUE bangga banget lho karena hasil karya kita ditonton banyak orang, bisa menghibur dan bikin orang tersenyum.

Rasanya ada kepuasan di dalam hati yang nggak bisa dilukiskan dengan kata-kata.

Kita juga jadi lebih pede karena hasil karya kita diakui oleh orang lain.

Acara kaya gini bikin kita belajar jadi lebih kreatif untuk menghasilkan karya-karya lain.

Buat anak-anak MTsN Kumai kelas IX, oke banget dech.

Tahun depan harus ada lagi dong acara kayak gini.

Sumber: Borneonews, Minggu, 23 November 2008

Tanpa Batas: Sastra itu bukan Karya Seni yang cuma Bikin Mumet, Tauu

PRENS, sastra itu ternyata asik banget lho, bisa dinikmati dengan banyak cara.


Sastra itu enggak hanya berupa karya seni yang kaku seperti puisi, drama, dan karya tulis yang nge-BeTe-in, yang bikin bosen en ngantuk pas dibaca.

Mau bukti? Kemarin kita baru aja nyoba nggelar acara yang seru banget lho 'pementasan drama dan musikalisasi puisi'.

Di situ, puisi digubah jadi lagu, dinyanyiin dan diiringin musik.

Acara ini bikin kita jadi tau, ternyata puisi bisa dinikmati dengan cara yang oke banget.

Karena di situ kita bisa mengekspresikan puisi dengan musik, misalnya musik rock, pop, jazz, dangdut dan lainnya.

Jadi, salah banget kalo anak muda zaman sekarang menganggap puisi tuh
jadul, kaku, dan ngebosenin.

Masih nggak percaya? Coba nih ya, dengan digubah jadi sebuah lagu, makna puisi jadi kena banget, lebih nendang dech.

Kita jadi lebih gampang mencerna isi puisi, en so pasti jadi lebih nancep di hati....

Nah, bandingin aja penyampaian puisi dengan cara dibacakan aja, pasti beda bet dehhh..!!

Nah, percaya kan kalo sastra, terutama puisi juga bisa jadi hal yang mengasyikkan?

Itu tergantung kreativitas kita aja kok, gimana cara kita biar karya seni bisa jadi sesuatu yang menyegarkan dan menghibur.

Yuuukk kita bikin sastra jadi pelajaran yang asik dan seru!!

Udah jadi kewajiban kita para remaja untuk mencintai sastra dan menjadi generasi muda yang kreatif.

Biar kita bisa menggali, memahami, dan memaknai karya sastra dengan lebih baik. Banyak lho ilmu yang bisa kita petik dari karya sastra.

Siapa tau, dari milyaran karya sastra yang ada, bisa ngasih inspirasi dan motivasi buat kita, buat kehidupan kita.

Tapi, biar bisa memahami sastra dengan baik, kita mesti mencintai sastra dulu dong, kan 'tak kenal makanya tak sayang', ya nggak seeh??

Pokoknya, buat semuanya, coba dehh berekspresi dengan sastra ‘n ekspresikan karya sastra dengan gayamu.

Tunjukkin kreativitasmu, n bikin karya sastra jadi enggak ngebosenin, gettooo..

Percayalah Prens, kita udah ngebuktiin koq..! (Liya, Dina, Farsya)

Sumber: Borneonews, Minggu, 23 November 2008

Tanpa Batas: Musikalisasi Puisi, Cara Asyik Menikmati Sastra

Oleh Tira Puspitasari, Dina, Mona, Redha, Makki

SASTRA sering kali dianggap sebagai karya seni yang kaku, susah dicerna, susah dinikmati, dan bikin kening berkerut, terutama di kalangan anak muda. Hayoo... ngaku nggak?


Tapi, benar nggak sih kayak gitu? Eitss, tunggu dulu doong.

Sekelompok remaja kreatif dari MTs Negeri Kumai punya inisiatif buat memoles sastra jadi lebih cantik. Mereka mengutak-atik puisi jadi karya sastra sekaligus karya seni yang asik dinikmati.

Nah, jangan buru-buru menganggap sastra itu membosankan sebelum kalian simak ulasan mereka.

Pada Sabtu (15/11) lalu, teman-teman kalian dari MTsN Kumai menggelar pentas yang dibanderol dengan nama 'Pementasan Drama dan Musikalisasi Puisi 2008'.

Kalian pasti heran, apa sih musikalisasi puisi itu?

Musikalisasi itu penggabungan antara puisi dengan musik zaman sekarang.
Itu lho, syair puisi itu dinyanyiin dengan nada dan irama, sambil diiringi musik. Keren kan?

Menurut Ketua Panitia Dina, acara ini sebenarnya representasi dari pelajaran Bahasa Indonesia di kelas, yakni musikalisasi puisi.

"Kita pengen nunjukkin acara ini asik, bahwa puisi juga bisa dinyanyikan," kata gadis manis ini.

Yupp! Pak Willy Ediyanto, Guru Bahasa Indonesia mereka yang mengajarkan bahwa puisi tidak hanya dibaca, tapi juga bisa disatukan dengan aliran-aliran musik zaman sekarang.

"Nah, Pak Willy ngasih tugas agar kami membuat puisi sendiri, lalu digabungkan dengan lagu-lagu band zaman sekarang," ujarnya.

Saat penampilan, mereka tidak boleh mengambil irama dari band-band yang sudah ada, tapi harus bikin aransemen sendiri, dan juga dengan puisi ciptaan sendiri. Hmmm...berat juga yach..

Ternyata acara ini bukan hanya menggemparkan siswa-siswi MTsN Kumai aja, melainkan sekolah lain juga ikut gempar, karena pentas ini terbuka untuk umum.

Acara ini udah dua kali lho digelar di MTsN Kumai, tapi taun ini jauh lebih seru n lebih kreatif.

Taun lalu mereka hanya menggelar penampilan drama aja n hanya buat dinikmatin anak-anak MTSN Kumai aja.

Sedangkan taun ini bukan cuma drama, tapi juga ada musikalisasi puisi, en yang pasti terbuka buat umum lho.., dengan pas masuk yang terjangkau banget, hanya Rp1.000.

Pentas ini menampilkan 6 aksi kreatif hasil utak atik sastra, mulai dari drama seru, musikalisasi puisi, sampai cipta lagu.

Musikalisasi puisi kali ini diusung oleh teman-teman dari kelas IX A. Puisi itu menceritakan doa yang dipanjatkan seorang hamba kepada Tuhannya.

Dengan diiringi petikan gitar dan keyboard, puisi ini digubah menjadi lagu yang menyentuh hati banget.

Para penonton pun seperti tersihir untuk menyimak penampilan ini dari awal sampai selesai.

Hmm, sempat merinding juga lho waktu denger lengkingan puisi yang mereka nyanyikan itu...soalnya maknanya jadi kenaaaaa banget.

Dan...plokk...plokk...plokk...tepuk tangan pun segera memenuhi aula MTsN Kumai ketika pementasan puisi berakhir.

Mona, yang juga siswa kelas IX A mengaku bangga dengan penampilan kelompok mereka, bahkan ia menganggap ini merupakan penampilan terbaik di pentas kali ini.

"Grup vokal di Indonesia yang terkenal, misalnya Bimbo, juga menggunakan puisi di setiap syair mereka. Seninya juga tinggi sih, karena menurut saya musiknya enak dinikmati," ucap Mona.

Penampilan drama dari siswa kelas VIII juga nggak kalah seru lho, ceritanya terinspirasi dari momen eksekusi terpidana mati Bom Bali II Amrozi cs.

Drama ini mengisahkan tentang dua orang polisi yang ditugasi mengeksekusi seorang pembunuh, tapi ternyata mereka nggak tega melakukan tugas itu.

Mereka pun bingung cari cara yang aman buat mengekseskusi.

Seorang polisi akhirnya membuat minuman yang telah dicampur racun, kemudian disuguhkan ke si pembunuh.

Si pembunuh akhirnya mati karena minuman itu.

Tapi apa yang terjadi?

Ternyata salah seorang polisi juga ikut mati, karena turut meminum racun yang dibuat oleh temannya. Seru kan ceritanya?

Oh iya, sebelum pentas, mereka juga diaudisi dulu lho, hihihi..mirip kaya pergelaran band-band papan atas yahhh.

Yang ikut memang hanya kelas IX aja sih, nah dalam audisi ini, setiap kelas dibagi jadi 5 kelompok. Lalu setiap kelas menunjuk kelompok andalan mereka.

Akhirnya dipilih beberapa kelompok untuk menampilkan karya terbaik mereka di pentas ini.

Kelompok ini adalah hasil dari penggabungan dari semua bagian di setiap kelas.

Tapiii..yang nggak terpilih nggak perlu sedih atawa kecewa, karena masih bisa jadi panitia, so adil kan??

Wahh, ternyata banyak banget ya yang bisa dipetik dari suatu kegiatan, mulai dari belajar mengorganisasi aktivitas, belajar bernegosiasi dnegan orang lain, belajar mengeluarkan ide dan kreativitas, berlatih disiplin dalam latihan, dan yang paling penting belajar bertanggung jawab terhadap tugas yang dipercayakan kepada kita.

Dan terutama, pementasan musikalisasi puisi ini dapat memberikan inspirasi pada remaja untuk bisa menghidupkan karya sastra di lingkungan kita, di sekolah maupun di masyarakat luas.

Hidup karya sastra Indonesia!

Sumber: Borneonews, Minggu, 23 November 2008

Berpuisi dengan Gembira

Oleh Ilham Khoiri

Pak Dul sirahe gundul
Tuku rokok neng Pasar Sentul
Arepo silul kudu wani cucul
Ora cucul ora ngebul
Akale wong lanang nek dolan ning Pasar Kembang
Gawe alasan golek aman ben ra konangan
Politik saiki cen seneng maen belakang
Njabane resik jebul jerone selingkuhan
Lumpur Lapindo metune soko Sidoarjo
Bojo loro kabeh kok seneng nggodha
Wis merdeka sih ono kumpeni Londo
Nembaki rakyat, rakyat neng alas Tlogo


Kill the DJ. (KOMPAS/ARBAIN RAMBEY / Kompas Images)

Puisi berjudul ”Ora Cucul Ora Ngebul” karya Sindhunata itu dinyanyikan dengan gaya rap oleh kelompok Rotra asal Yogyakarta dalam pertunjukan ”Poetry Battle 02” di halaman Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, Jumat (21/11) malam. Teks yang biasa dideklamasikan atau dibaca sendirian dalam suasana tenang itu menjelma sebagai jalinan bunyi berulang yang mengentak-entak. Rima pada akhiran kata-kata berbahasa Jawa itu membentuk irama yang rancak.

Para penonton yang berdiri di depan panggung pun spontan bergoyang. Pada malam yang gerimis itu, mereka tersedot dalam suasana musik hip-hop yang bebas, dinamis, penuh kegembiraan. Kata-kata puisi yang diucapkan dalam gaya lagu bercakap alias talking song itu seperti hanyut dalam luapan ekspresi seni bergaya jalanan.

Rotra hanyalah salah satu dari 17 kelompok rap dari Yogyakarta dan Jakarta yang turut meramaikan ”Poetry Battle 02” yang diselenggarakan Jogja Hip Hop Foundation. Ada kelompok Jahanam, Kill the DJ, Dub Youth, Kontra, Gatholoco, DPMB, Zapatista, Gangsta Lovin, dan Robot Goblok. Mereka menyanyikan berbagai teks puisi Indonesia dengan gaya rap, gaya yang tumbuh dari budaya musik hip-hop di Amerika dan Eropa.

Sebagian kelompok membawakan sajak-sajak bermuatan sosial yang dipenuhi kata-kata lantang, seperti puisi Widji Tukul dan Sindhunata. Kelompok lain mencoba mengolah puisi liris yang punya gaya bahasa yang halus dan rumit, seumpama karya Goenawan Mohamad, Joko Pinurbo, atau Cecep Syamsul Hari. Ada juga yang mengulik sastra klasik, seperti Kill The DJ yang ”meng-hip-hop-kan” Serat Centini karya pujangga Keraton Surakarta awal abad ke-19.

Begitulah, beragam teks puisi karya sastrawan Indonesia itu mengalir di atas panggung sebagai nyanyian yang hidup. Puisi keluar dari habitatnya sebagai teks yang konvensional dengan pakem pembacaan tertentu, lalu bermetamorfosis menjadi pertunjukan seni yang sama sekali baru. Peralihan ini kerap memunculkan sensasi mengejutkan.

Kreasi

”Poetry Battle 02” ini merupakan kegiatan lanjutan dari kegiatan serupa di Yogyakarta dan Jakarta sejak tahun 2006. Perhelatan itu menandaskan, betapa kreativitas untuk mempertemukan berbagai aliran seni sangat dimungkinkan dan pertemuan ini potensial melahirkan bentuk-bentuk yang segar.

Dalam konteks ini, dunia sastra dan puisi dileburkan. Pada satu sisi, teks-teks sastra—yang umumnya berjarak dari lingkungan khalayak—melebur dalam budaya jalanan anak muda. Pada sisi lain, anak-anak muda itu bersentuhan, bahkan mempelajari bahasa dan gagasan puisi yang dilantunkan.

”Dengan begini, kami terdorong untuk membaca buku-buku sastra,” kata Iwa K, perintis musik rap Indonesia yang menjadi pembawa acara dalam acara itu.

Lebih dari itu, ”Poetry Battle” juga menerabas sekat-sekat seni, agama, ras, kelompok, atau etnis. Bahasa seni yang universal dimanfaatkan untuk membuka ruang dialog dan menyatukan kelompok-kelompok yang berbeda.

”Nyawiji siji ing guyub lan rukun. Mboten sah mikir werna kulit lan agama. Menika hip-hop kang adedasar budi pekerti, kamanungsan, lan toleransi. (Kita bersatu dalam guyub dan rukun. Tidak usah memikirkan warna kulit dan agama. Hip-hop ini didasari budi pekerti, kemanusiaan, dan toleransi)”. Begitu penuturan Zooki a.k.a Kill The DJ, pendiri dan produser Jogja Hip Hop Foundation, saat membuka pentas.

Bagaimana pandangan kalangan sastra? Pengamat sastra dari Universitas Indonesia (UI), Maman S Mahayana, mengapresiasi usaha kaum muda itu sebagai kreativitas yang yang sah. ”Puisi itu lapangan tafsir. Puisi dapat diterima dan diterjemahkan siapa pun dengan tingkat apresiasi bagaimana pun,” katanya.

Kreativitas anak-anak muda akhirnya menawarkan alternatif bagi tradisi musikalisasi puisi di Tanah Air. Jika selama ini kita akrab dengan gaya Reda Gaudiamo dan Ari Malibu yang melantunkan sajak-sajak Sapardi Djoko Damono dalam suasana sendu, kini kita boleh mencoba menikmati gaya anak muda yang meneriakkan puisi dengan lebih bebas, gembira, dan dengan irama musik yang merangsang goyang.

Sumber: Kompas, Minggu, 23 November 2008