Friday, June 26, 2009

Mari Kita Dukung Gerakan Literasi Lokal

Oleh J.J. Kusni

KALIMAT yang saya jadikan judul “Jurnal” kali ini berasal dari Komunitas Rumah Dunia, Serang Banteng yang pada tanggal 5 – 7 Desember 2008 mendatang akan menyelenggarakan pertemuan Ode Kampung ke-03 dengan mata acara sebagai berikut [saya kutuip siaran Komunistas Rumah Dunia, 25 November 2008 di milis mediacare@yyahoogroups.com]:

Pembukaan Jum’at, 5 Desember 2008, Pukul 13.30

Diskusi:
Membudayakan Minat Baca
Kiprah Pemerintah Mendukung Gerakan Literasi
Peran Penerbit dalam Komunits Literasi
Jejaring Komunitas Literasi
Penulis dalam Gerakan Sosial
Tanggung Jawab Pers Mendukung Gerakan Literasi
Peranan CSR di dunia Literasi
Deklarasi Komunitas Literasi

Pembicara Prof. Yoyo Mulyana, Dick Doank, Eko Koswara, Asma Nadia, Halim HD, Si Uzi Jodhi Yudono, Myra Junor, Hernowo, Bambnag Trim, Hikmat Kurnia, DR. Zulkieflimansyah, Tantowi Yahya

Menu spesial:
Pementasan ”Pria ½ Iblis” oleh Teater Rumah Dunia, Jum’at 5 Des 08, pukul 19.30
Pameran karikatur karya Si Uzi setiap hari

Cemilan:
Parade pembacaan puisi, teater sekolah, dan musikalisasi puisi .

Berbeda dengan Ode Kampung 02 ynng lalu, kali ini Komuniitas Rumah Dunia tidak atau belum mnngumumkan daftar komunitas-komunitas yang menyatakan diri akan hadir. Sedangkan tahun lalu, daftar peserta diterakan. Walaupun jumlah yang hadir cuma dua ratusan komunitas sastra-seni dari jumlah yang mencapai angka 4000 komunis , menurut keterangan Rumah Dunia sendiri, tapi jumlah dua ratusan dari berbagai penjuru tanahair, kiranya bukanlah jumlah yang sedikit. Barangkali sampai sekarang hanya Rumah Dunia sajalah yang sudah mengumpulkkan dua ratusan komunitas sastra-seni di Serang di Banten, ujung barat Jawa. Saya tetap menganggap hal begini tetap sebagai suatu prestasi. Prestasi ini lebih layak dihargai jika kita melihat cara pengorganisasiannya dan pembeyaannya. Penghargaan ini saya garisbawahi lagi karena ia bermula dari bawah, oleh komunitas-komunitas itu sendiri, berangkat dari pendirian dan sikap yang jelas mendukung usaha literasi lokal. Hal yang sejajar dengan wacana sastra-seni kepulauan, sastra-seni bhinneka tunggal ika di luar yang disebut pusat-pusat pengakuan atau pusat-pusat legitimasi kegiatan bersastra dan berkesenian — wacana yang bisa dikatakan absurd. Pertemuan Ode Kampung yang diselenggarakan secara periodik mempunyai arti tersendiri bagi pengembangan sastra-seni di negeri kita, yang berbeda dengan Writers and Readers Ubud Festival yang mewah dan glamour ditopang oleh dana yang besar. Tapi secara kongkret, apa yang diberikan oleh Ubud Festival dalam mengembangkan sastra-seni di negeri kita, kecuali membuka suatu etalase barang dagangan yang bernama sastra-seni? Barangkali pertanyaan ini keliru, tapi tetap saya pertanyakan. Pertemuan-pertemuan dari bawah untuk kepentingan pengembangan sastra-seni kepulauan, dalam pikiran saya, jutru lebih layak mendapat perhatian penanggungjawab kebudayaan resmi di negeri kita daripada pertemuan seperti Uubd Festival. Pikiran begini tidak berari membuat penyelenggara pertemuan tipe Ode Kampung atau Fstival Tahunan Lima Gunung di Jawa Tengah tergantung pada uluran tangan pihak resmi. Masalahnya adalah terletak pada pertanyaan apa bagaimana orientasi dan tanggungjawab budaya pihak resmi. Ode Kampung dan atau Festival Lima Gunung sejauh ini walau pun pernah dihadiri oleh Megawati dan SBY,tapi penyelenggaraannya tidak pernahmendapat bantuan sepeser pun dari pihak resmi. Dan tetap berlangsung bahkan jika mengambil pengalaman Lima Gunung, sumbangan dari masyrakat masih bersisa di akhir festival. Melalui penyelenggaraan Festival Lima Gunung berhasil dirawat, diangkat dan dikembangkan bentuk-bentuk sastra-seni di daerah mulai dari pojok-pojok jauh perdesaan disekitar Lima Gunung Jawa Tengah. Sedangkan Ode Kampung, saya kira, merupakan peluang untuk komunitas-komunitas dari berbagai penjuru tanahair menyerampakkan langkah agar perkembangan sastra-seni di berbagai daerah kian marak. Dari segi ini jugalah saya mengangap penting pertemuan periodik Jumpa Sastrawan Se-Borneo. Saya mencium pada usaha pengembangan sastra kepulauan ini, pernah dicoba dirambah oleh H.B Jassin, anak Gorontalo itu, melalui majalah Kisah dengan menampilkan penulis-penulis dari berbagai pulau. Saya curiga, apakah dengan merambah usaha ini , HB Jassin tidak mengidam juga ide sastra kepulauan jsebaga dasar bagi sastra Indonesia?

Pengembangan sastra-seni lokal atau daerah atau pumau-pulau saya kira, bisa menumbuhkan sastra nasional. Bisa menjadi dasar warna bagi sastra nasional yang semarak. Ia akan semakin bernas jika membuka diri pada daerah dan pulau-pulau lain serta dunia. Sastra-seni lokal dan pulau adalah pengembangan sastra-seni yang mengakar dan dekat dengan masyarakat, merupakan bahasa bedialog dengan dunia jika meminjam istilah filosof berpengaruh Perancis, alm. Paul Ricoeur. Apa yang dikerjakan oleh Mas Soetanto, organisator Festival Lima Gunung, Ode Kampung dan atau Temu Sastrawan Borneo, dan gebrakan Komunitas Panyingkul dari Makassar, Komunitas Sastra Tasikmalaya, Tegal, Malang, Banjarmasin, Palangka Raya, Balikpapan, Batam, Riau, Jambi, Lampung, Padang,Medan; Kupang, Flores, untuk menyebut beberapa kominitas dari 4.000 komunitas, tidak lain dari pengejawangtahan menjadikan budaya sebagai bahasa dialog dengan kompas di ruang nakhoda pelayaran saatra-seni: bhinneka tunggal ika,biar bunga mekar bersama, seribu aliran bersaing suara mengejawantahkan nilai-nilai republiken dan berkeindonesiaan. Barangkali dengan pedoman inilah hubungan antar komunitas diatur dan bisa digalang dengan sehat, bisa saling bangtu,saling dorong dan saling belajar dari keunggulan masing-masing. Jika disepekati maka benar, kita bisa menciptakan suatu gerakan budaya, gerakan sastra-seni, dan bukan lagi kegiatan spontan. Saya membedakan antara gerakan dengan kegiatan spontan. Kegiatan Ode Kampung dan sejenisnya adalah janin dari lahirnya suatu gerakan budaya, gerakan sastra-seni secara nasional dan mengakar. Lokalitas hanya salah satu warna dari karya lukis budaya nasional dan dunia. Seperti halnya dengan secarik kain yang dijahit jadi satu “bénang dinding” , kain tembelan atau patch work, yang indah.. Dengan pandangan ini maka saya sangat menikmati warna lokal dan nilai universal dari pantunt-pantun Melayu, sajak-sajak Bugis, Makassar, Papua, sansana kayau orang Dayak dan lain-lain….. Barangkali anaknegeri ini saja,atas nama moderinsasi menjadi asing dari negeri dan daerah sendiri sampai-sampai kata Anda,Saudara, kau, kamu…. agar lebih nampak hebat diganti dengan kata bahasa Inggris “you”. Padahal apa gerangan rendahnya kata kau, anda, saudara dibandingkan dengan kata “you”? Paralel dengan pandangan dan sikap ini maka standar sastra Barat lalu dijadikan standar untuk mengukur sastra Indonesia. Berharap saja bahwa saya salah terlalu subyektif.

Jika kita sepakat mengembangkan sastra-seni kepulauan atau sastra-seni lokal, barangkanli slogan mademikian maka slogan yang lebih menjurus adalah “Kembang marakkan sastra-seni lokal”, “Kembang marakkan sastra-seni kepulauan”. Dengan mengembang-marakkan kita percaya dan bersandar pada kekuatan komunitas yang ada di berbagai tempat. Sedang saling dukung dengan wacana di atas adalah suatu keniscayaan sebagaimana diisyaratkan dalam acara Ode Kampung tentang arti penting jejaring komunitas literasi.

Kalau kita berbicara tentang arti penting jejaring, tersirat pula makna bahwa kita tidak boleh mengurung diri dalam satu tempurung kecil dengan predikat apa pun. Berkurung di dalam sebuah lingkaran sempit akan membuat kita bermata rabun. Kecupetan adalah sejenis penyakit trahum menjangkiti mata jiwa dan pikiran kita.

Titik mata acara lain yang menarik perhatian saya, dan saya anggap hakiki adalah soal pencantuman masalah “tanggung jawab penulis dalam gerakan sosial”. Titik ini menyiratkan bahwa Rumah Dunia melalui acara Ode Kampung ingin menyarankan kepada para penulis guna memikirkan masalah tanggungjawab sosial mereka sebagai anggota masyarakat. Saya membaca isyarat ini sebagai konsekweni nalar dari keinginan menggalakkan suatu gerakan literasi lokal sebagai basis pengembangan literasi nasional. Bahwa literasi, apalagi gerakan literasi itu bukanlah kegiatan narsistik. Apakah arti suatu gerakan jika ia bersifat narsistik? Jika bacaanku tentang isyarat dari Rumah Dunia ini, maka agaknya Rumah Dunia menginginkan gerakan literasi lokal yang ia impikan sebagai suatu gerakan literasi yang berpihak. Sebagai literasi engagé., dengan istilah mentereng ke-perancis-perancisnya agar gengsi meningkat di depan pembaca atau pendengar. You mengertikan?! Tapi saran yang tidak membatasi pilihan penulis lain.

Dari segi cara Rumah Dunia menyelenggarakan Ode Kampung, maka bukan mustahil jika Kongres Nasional komunitas seluruh Indonesiia, sebuah Kongres Kebudayaan dari bawah dan diselenggarakan oleh aktor-aktor budaya dari bawah secara bersama terselengggara. Dengan menuliskan baris-baris ini, saya sedang mengucapkan mimpi esok menyambut penyelenggaraan Ode Kampung ke-03 dengan segala harapan terbaik, menyambut mimpi Rumah Dunia dan janin mimpinya sebagai usaha mengejawantahkan republik dan Indonesia sebagai sebuah cita-cita dan program kebudayaan.

Perjalanan Kembali, Musim Dingin 2008

Diambil dari Jurnal Toddopulu (http://jurnaltoddoppuli.wordpress.com), 27 November 2008

No comments: