Friday, June 26, 2009

Mari Kita Dukung Gerakan Literasi Lokal

Oleh J.J. Kusni

KALIMAT yang saya jadikan judul “Jurnal” kali ini berasal dari Komunitas Rumah Dunia, Serang Banteng yang pada tanggal 5 – 7 Desember 2008 mendatang akan menyelenggarakan pertemuan Ode Kampung ke-03 dengan mata acara sebagai berikut [saya kutuip siaran Komunistas Rumah Dunia, 25 November 2008 di milis mediacare@yyahoogroups.com]:

Pembukaan Jum’at, 5 Desember 2008, Pukul 13.30

Diskusi:
Membudayakan Minat Baca
Kiprah Pemerintah Mendukung Gerakan Literasi
Peran Penerbit dalam Komunits Literasi
Jejaring Komunitas Literasi
Penulis dalam Gerakan Sosial
Tanggung Jawab Pers Mendukung Gerakan Literasi
Peranan CSR di dunia Literasi
Deklarasi Komunitas Literasi

Pembicara Prof. Yoyo Mulyana, Dick Doank, Eko Koswara, Asma Nadia, Halim HD, Si Uzi Jodhi Yudono, Myra Junor, Hernowo, Bambnag Trim, Hikmat Kurnia, DR. Zulkieflimansyah, Tantowi Yahya

Menu spesial:
Pementasan ”Pria ½ Iblis” oleh Teater Rumah Dunia, Jum’at 5 Des 08, pukul 19.30
Pameran karikatur karya Si Uzi setiap hari

Cemilan:
Parade pembacaan puisi, teater sekolah, dan musikalisasi puisi .

Berbeda dengan Ode Kampung 02 ynng lalu, kali ini Komuniitas Rumah Dunia tidak atau belum mnngumumkan daftar komunitas-komunitas yang menyatakan diri akan hadir. Sedangkan tahun lalu, daftar peserta diterakan. Walaupun jumlah yang hadir cuma dua ratusan komunitas sastra-seni dari jumlah yang mencapai angka 4000 komunis , menurut keterangan Rumah Dunia sendiri, tapi jumlah dua ratusan dari berbagai penjuru tanahair, kiranya bukanlah jumlah yang sedikit. Barangkali sampai sekarang hanya Rumah Dunia sajalah yang sudah mengumpulkkan dua ratusan komunitas sastra-seni di Serang di Banten, ujung barat Jawa. Saya tetap menganggap hal begini tetap sebagai suatu prestasi. Prestasi ini lebih layak dihargai jika kita melihat cara pengorganisasiannya dan pembeyaannya. Penghargaan ini saya garisbawahi lagi karena ia bermula dari bawah, oleh komunitas-komunitas itu sendiri, berangkat dari pendirian dan sikap yang jelas mendukung usaha literasi lokal. Hal yang sejajar dengan wacana sastra-seni kepulauan, sastra-seni bhinneka tunggal ika di luar yang disebut pusat-pusat pengakuan atau pusat-pusat legitimasi kegiatan bersastra dan berkesenian — wacana yang bisa dikatakan absurd. Pertemuan Ode Kampung yang diselenggarakan secara periodik mempunyai arti tersendiri bagi pengembangan sastra-seni di negeri kita, yang berbeda dengan Writers and Readers Ubud Festival yang mewah dan glamour ditopang oleh dana yang besar. Tapi secara kongkret, apa yang diberikan oleh Ubud Festival dalam mengembangkan sastra-seni di negeri kita, kecuali membuka suatu etalase barang dagangan yang bernama sastra-seni? Barangkali pertanyaan ini keliru, tapi tetap saya pertanyakan. Pertemuan-pertemuan dari bawah untuk kepentingan pengembangan sastra-seni kepulauan, dalam pikiran saya, jutru lebih layak mendapat perhatian penanggungjawab kebudayaan resmi di negeri kita daripada pertemuan seperti Uubd Festival. Pikiran begini tidak berari membuat penyelenggara pertemuan tipe Ode Kampung atau Fstival Tahunan Lima Gunung di Jawa Tengah tergantung pada uluran tangan pihak resmi. Masalahnya adalah terletak pada pertanyaan apa bagaimana orientasi dan tanggungjawab budaya pihak resmi. Ode Kampung dan atau Festival Lima Gunung sejauh ini walau pun pernah dihadiri oleh Megawati dan SBY,tapi penyelenggaraannya tidak pernahmendapat bantuan sepeser pun dari pihak resmi. Dan tetap berlangsung bahkan jika mengambil pengalaman Lima Gunung, sumbangan dari masyrakat masih bersisa di akhir festival. Melalui penyelenggaraan Festival Lima Gunung berhasil dirawat, diangkat dan dikembangkan bentuk-bentuk sastra-seni di daerah mulai dari pojok-pojok jauh perdesaan disekitar Lima Gunung Jawa Tengah. Sedangkan Ode Kampung, saya kira, merupakan peluang untuk komunitas-komunitas dari berbagai penjuru tanahair menyerampakkan langkah agar perkembangan sastra-seni di berbagai daerah kian marak. Dari segi ini jugalah saya mengangap penting pertemuan periodik Jumpa Sastrawan Se-Borneo. Saya mencium pada usaha pengembangan sastra kepulauan ini, pernah dicoba dirambah oleh H.B Jassin, anak Gorontalo itu, melalui majalah Kisah dengan menampilkan penulis-penulis dari berbagai pulau. Saya curiga, apakah dengan merambah usaha ini , HB Jassin tidak mengidam juga ide sastra kepulauan jsebaga dasar bagi sastra Indonesia?

Pengembangan sastra-seni lokal atau daerah atau pumau-pulau saya kira, bisa menumbuhkan sastra nasional. Bisa menjadi dasar warna bagi sastra nasional yang semarak. Ia akan semakin bernas jika membuka diri pada daerah dan pulau-pulau lain serta dunia. Sastra-seni lokal dan pulau adalah pengembangan sastra-seni yang mengakar dan dekat dengan masyarakat, merupakan bahasa bedialog dengan dunia jika meminjam istilah filosof berpengaruh Perancis, alm. Paul Ricoeur. Apa yang dikerjakan oleh Mas Soetanto, organisator Festival Lima Gunung, Ode Kampung dan atau Temu Sastrawan Borneo, dan gebrakan Komunitas Panyingkul dari Makassar, Komunitas Sastra Tasikmalaya, Tegal, Malang, Banjarmasin, Palangka Raya, Balikpapan, Batam, Riau, Jambi, Lampung, Padang,Medan; Kupang, Flores, untuk menyebut beberapa kominitas dari 4.000 komunitas, tidak lain dari pengejawangtahan menjadikan budaya sebagai bahasa dialog dengan kompas di ruang nakhoda pelayaran saatra-seni: bhinneka tunggal ika,biar bunga mekar bersama, seribu aliran bersaing suara mengejawantahkan nilai-nilai republiken dan berkeindonesiaan. Barangkali dengan pedoman inilah hubungan antar komunitas diatur dan bisa digalang dengan sehat, bisa saling bangtu,saling dorong dan saling belajar dari keunggulan masing-masing. Jika disepekati maka benar, kita bisa menciptakan suatu gerakan budaya, gerakan sastra-seni, dan bukan lagi kegiatan spontan. Saya membedakan antara gerakan dengan kegiatan spontan. Kegiatan Ode Kampung dan sejenisnya adalah janin dari lahirnya suatu gerakan budaya, gerakan sastra-seni secara nasional dan mengakar. Lokalitas hanya salah satu warna dari karya lukis budaya nasional dan dunia. Seperti halnya dengan secarik kain yang dijahit jadi satu “bénang dinding” , kain tembelan atau patch work, yang indah.. Dengan pandangan ini maka saya sangat menikmati warna lokal dan nilai universal dari pantunt-pantun Melayu, sajak-sajak Bugis, Makassar, Papua, sansana kayau orang Dayak dan lain-lain….. Barangkali anaknegeri ini saja,atas nama moderinsasi menjadi asing dari negeri dan daerah sendiri sampai-sampai kata Anda,Saudara, kau, kamu…. agar lebih nampak hebat diganti dengan kata bahasa Inggris “you”. Padahal apa gerangan rendahnya kata kau, anda, saudara dibandingkan dengan kata “you”? Paralel dengan pandangan dan sikap ini maka standar sastra Barat lalu dijadikan standar untuk mengukur sastra Indonesia. Berharap saja bahwa saya salah terlalu subyektif.

Jika kita sepakat mengembangkan sastra-seni kepulauan atau sastra-seni lokal, barangkanli slogan mademikian maka slogan yang lebih menjurus adalah “Kembang marakkan sastra-seni lokal”, “Kembang marakkan sastra-seni kepulauan”. Dengan mengembang-marakkan kita percaya dan bersandar pada kekuatan komunitas yang ada di berbagai tempat. Sedang saling dukung dengan wacana di atas adalah suatu keniscayaan sebagaimana diisyaratkan dalam acara Ode Kampung tentang arti penting jejaring komunitas literasi.

Kalau kita berbicara tentang arti penting jejaring, tersirat pula makna bahwa kita tidak boleh mengurung diri dalam satu tempurung kecil dengan predikat apa pun. Berkurung di dalam sebuah lingkaran sempit akan membuat kita bermata rabun. Kecupetan adalah sejenis penyakit trahum menjangkiti mata jiwa dan pikiran kita.

Titik mata acara lain yang menarik perhatian saya, dan saya anggap hakiki adalah soal pencantuman masalah “tanggung jawab penulis dalam gerakan sosial”. Titik ini menyiratkan bahwa Rumah Dunia melalui acara Ode Kampung ingin menyarankan kepada para penulis guna memikirkan masalah tanggungjawab sosial mereka sebagai anggota masyarakat. Saya membaca isyarat ini sebagai konsekweni nalar dari keinginan menggalakkan suatu gerakan literasi lokal sebagai basis pengembangan literasi nasional. Bahwa literasi, apalagi gerakan literasi itu bukanlah kegiatan narsistik. Apakah arti suatu gerakan jika ia bersifat narsistik? Jika bacaanku tentang isyarat dari Rumah Dunia ini, maka agaknya Rumah Dunia menginginkan gerakan literasi lokal yang ia impikan sebagai suatu gerakan literasi yang berpihak. Sebagai literasi engagé., dengan istilah mentereng ke-perancis-perancisnya agar gengsi meningkat di depan pembaca atau pendengar. You mengertikan?! Tapi saran yang tidak membatasi pilihan penulis lain.

Dari segi cara Rumah Dunia menyelenggarakan Ode Kampung, maka bukan mustahil jika Kongres Nasional komunitas seluruh Indonesiia, sebuah Kongres Kebudayaan dari bawah dan diselenggarakan oleh aktor-aktor budaya dari bawah secara bersama terselengggara. Dengan menuliskan baris-baris ini, saya sedang mengucapkan mimpi esok menyambut penyelenggaraan Ode Kampung ke-03 dengan segala harapan terbaik, menyambut mimpi Rumah Dunia dan janin mimpinya sebagai usaha mengejawantahkan republik dan Indonesia sebagai sebuah cita-cita dan program kebudayaan.

Perjalanan Kembali, Musim Dingin 2008

Diambil dari Jurnal Toddopulu (http://jurnaltoddoppuli.wordpress.com), 27 November 2008

Bahasa dan Sastra di Kalimantan Tengah serta Permasalahan-Permasalahannya

Oleh J.J. Kusni*


Abstrak

Masyarakat Dayak Kalimantan Tengah mengalami krisis identitas bermula dari rasa rendah diri sebagai hasil politik ragi usang Belanda, dan dilanjutkan dengan dampak negatif yang lebih besar lagi oleh Orde Baru selama tiga dasawarsa. Rasa rendah diri kolektif dan krisis identitas ini terwujud antara lain dengan penggunaan bahasa Banjar hingga ke kalangan keluarga sebagai entitas terkecil masyarakat. Adanya krisis identitas dan rendah diri, menyebabkan perhatian terhadap bahasa sendiri makin kurang dan terus-menerus melemah. Akibatnya terjadi marjinalisasi budaya sukarela. Jika keadaan begini dibiarkan berlanjut terus-menerus maka bahaya pemusnahan dan bunuh diri budaya secara kolektif oleh tidak adanya kesadaraan budaya menjadi ancaman nyata.Ketika terjadi pemusnahan budaya sukarela tak sadar begini, maka Dayak bisa tinggal hanya nama dan kata hampa makna.

Dunia sastra, baik yang berbahasa Indonesia mau pun yant berbahasa Dayak, nampak seperti kerakap di atas batu, mati segan hidup tak mau. Di kalangan para pendukung sastra ada semacam rasa ketergantungan pada uluran tangan pemerintah kurang semangat mandiri dalam berkesenian. Kekuatan potensial terpencar oleh tidak adanya organisasi yang mampu menghimpun mereka. Organisasi sangat tergantung pada tenaga lokomotif untuk bisa bergerak. Sementara Dewan Kesenian lumpuh, hanya ada namanya.

Sastra berbahasa Dayak, baik lisan atau pun tulisan juga terancam binasa.Kepunahan ini bisa dipercepat oleh tidak adanya kesadaran budaya di dua tingkat yaitu tingkat atas dari pengelola kekuasaan politik yang nampak dengan tidak memiliki politik kebudayaan yang jelas. Dari bawah yaitu di kalangan masyarakat yang larut oleh budaya pop tanpa memahami apa itu budaya pop yang melarutkannya.

Dalam keadaan demikian, maka Kalimantan Tengah termasuk salah satu provinsi yang paling terbelakang dalam bidang kebudayaan.

Kata Kunci : Nilai, Republik dan Indonesia, krisis identitas, rasa rendah diri, politik budaya, dua tingkat, kesadaran budaya, bunuh diri budaya secara kolekti, kemusnahan, Dayak tanpa makna .

1. Pengetengahan Masalah

Yang saya maksudkan dengan bahasa di sini, terutama yang bersangkutan dengan bahasa Dayak Ngaju, sebagai bahasa pengantar dan alat komunikasi antar sub etnik di Kalimantan Tengah (Kalteng). Hal ini perlu saya garisbawahi, karena di Kalteng sejajar dengan jumlah asal etnik warganya, seperti di mana pun, terdiri dari berbagai bahasa, di samping bahasa nasional, Bahasa Indonesia. Bahasa-bahasa asing, seperti bahasa Inggris, Jepang, Perancis, dan lain-lain, tidak saya masukkan kedalam permasalahan, karena jangankan ada karya-karya orang Kalteng yang berbahasa asing, yang berbahasa Indonesia dan bahasa-bahasa Dayak pun jumlah dan tarafnya pun, dalam perbandingan dengan daerah-daerah masih jadi tanda tanya. Saya memang memandang penting penguasaan bahasa asing, terutama bagi ilmuwan dan sastrawan. Makin banyak bahasa asing yang kita kuasai, makin baik. Dengan menguasai aktif bahasa-bahasa asing kita bisa menimba dan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan langsung dari bahasa aslinya. Menunggu penerjemahannya akan membuat kita menunggu beberapa tahun, sementara, ilmu pengetahuan berkembang cepat. Belum lagi terkadang ada kesalahan terjemahan dan perbedaan nuansa. Untuk tingkat sekarang memasukkan masalah bahasa asing dan sastra di Kalteng dalam bahasa-bahasa asing, terasa sebagai mengada-adakan persoalan.

Bahasa, tidak lain dari sarana yang digunakan untuk bersastra. Karena itu sastra bisa juga disebut sebagai seni berbahasa. Seni yang dilahirkan dengan menggunakan sarana bahasa. Sebaliknya karya sastra, pada gilirannya berperan meningkatkan, mendorong perkembangan maju bahasa, memperkaya dan menyempurnakan bahasa. Bukan merusak, memmubat mundur perkembangan bahasa, apalagi memusnahkannya. Dalam perbandingan dari segi jumlah pemakainya bahasa utama yang digunakan di Kalteng, agaknya terdiri dari tiga bahasa yaitu Bahasa Indonesia, Bahasa Dayak Ngaju dan Banjar. Sedangkan bahasa Jawa, sekali pun jumlah warga dari Jawa yang datang melalui transmigrasi terancang dan spontan, makin bertambah, hanya bahasa ini, pemakaiannya nampak masih lebih banyak digunakan di kalangan warga asal etnik Jawa saja. Karena alasan demikian, maka dalam tulisan ini ketika memokuskan diri berbicara tentang bahasa Dayak Ngaju, tapi sepintas lalu disinggung juga saling hubungan, pengaruh-mempengaruhi dan susup-menyusup antara ketiga bahasa utama di Kalteng tersebut di atas. Juga ketika membicarakan masalah sastra di Kalteng.

Yang saya pahami ketika berbicara tentang sastra di Kalteng, adalah semua karya sastra dalam bahasa apa pun yang digunakan dalam bersastra di Kalteng. Bukan hanya karya-karya yang diciptakan dengan menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Dayak Ngaju, tetapi juga yang menggunakan bahasa-bahasa sub etnik Dayak lainnya. Tapi sejauh ini dalam dunia sastra di propinsi ini karya-karya sastra dominan ditulis atau diciptakan dengan menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa Dayak. Bahasa-bahasa lainnya, seperti Bugis, Batak, Madura, Jawa tidak atau belum nampak digunakan dalam bersastra. Ada memang seorang penulis yang mulai menulis dalam bahasa Jawa tetapi belum disiarkan, dan jumlahnya masih tidak penting. Karena itu, dalam tulisan ini, masalah sastra di Kalteng menjadi terbatas pada sastra yang menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa Dayak. Saya masukkan juga dalam kategori sastra di Kalteng adalah sastra lisan dalam berbagai bahasa Dayak.

Alasan saya memasukkan sastra lisan, karena sastra jenis ini sangat mentradisi di Kalteng sampai sekarang, seperti diperlihatkan oleh sansana kayau, karungut, deder, legenda-legenda dan cerita-cerita rakyat.

Apa masalah bahasa dan sastra, dengan kata lain, bagaimana keadaan bahasa dan sastra di Kalteng, yang menjadi tema tulisan ini sesungguhnya tidak lain dari upaya membaca keadaan. Dari membaca keadaan tersebut, kita mengenal masalah, dan setelah mengenal permasalahan, kita bisa mengembangkan yang positif, serta mengatasi yang negatif atau kendala-kendala yang merintangi jalan maju. Dalam membaca keadaan, saya menggunakan sedikit pengalaman ketika turut bekerja dalam kegiatan sastra-seni selama berada di Kalteng hingga tahun 2002, ketika kembali ke Kalteng, saya mencoba berbincang langsung dengan teman-teman lama yang masih tinggal di Kalteng, dan teman-teman baru yang berkecimpung di dunia bahasa dan sastra. Mencermati penerbitan-penerbitan baik buku-buku, harian-harian seperti Dayak Pos, Kalteng Pos, Palangkaraya Pos, majalah, tabloid, Majalah Suar Betang, dan bulletin-buletin informasi alternatif, berbincang dengan orang-orang dari berbagai lembaga serta kalangan-kalangan terkait, termasuk para seniman baik yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat ekspresi mau bahasa-bahasa Dayak, dan memasuki toko-toko buku, kios-kios, mendatangi perpustakaan-perpustakaan daerah serta universitas, terutama Perpustakaan Universitas Negeri Palangka Raya untuk menakar tingkat bacaan di Kalteng. Sekali pun demikian, saya masih menganggap data-data saya masih terbatas, apalagi diganggu oleh tersebarnya dokumentasi saya oleh seringnya berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Karena itu tulisan ini tidak lebih dari upaya “melempar batu bata untuk mendapatkan giok belaka”, bersifat penuturan keadaan sebagai buah pengamatan, betapa pun masih tak lebih dari hasil penglihatan seseorang yang berada “di punggung kuda sambil melihat bunga”. Sebuah deskripsi keadaan dalam usaha membaca peta keadaan untuk mengenal masalah sebagai langkah awal utama guna menyelesaikan demi pengembangan, revitalisasi kehidupan sastra-seni di propinsi, melakukan kegiatan-kegiatan bersastra atas dasar suatu rancangan mengakar, bukan rancangan rekaan subyektif. Atas dasar pengenalan keadaan pulalah, barangkali, kemudian kita merumuskan suatu politik bahasa, politik sastra-seni atau secara umum, merumuskan suatu politik kebudayaan yang tanggap dan apresiatif untuk Kalteng sebagai pengejawantahan dari rangkaian nilai perekat berbangsa dan bernegara, yaitu rangkaian nilai republikan dan berkeindonesiaan. Adakah politik kebudayaan tanggap di Kalteng? Jika ada, bagaimanakah jelasnya politik kebudayaan tersebut? Adakah dan bagaimanakah politik bahasa di Kalteng? Jika ada, bagaimana kongkretnya? Jika ada, bagaimana pengejawantahannya?

2. Republik dan Indonesia sebagai Bagan Besar (Grand Design)

Di Paris, pada jam 23:00 malam, Adian Silalahi dan Mohamad Ichsan, dua Duta Besar Republik Indonesia beserta sejumlah diplomat-diplomat teras lainnya dari Perancis dan Negeri Belanda secara khusus datang ke Koperasi Restoran Indonesia 1), 12 Rue Vaugirard, 75006 Paris. Mereka datang bukan untuk makan, tetapi untuk berdialog. Penulis kebetulan hadir dalam dialog akrab. Pada diskusi tersebut . Dubes Moh. Ichsan, antara lain mengemukakan evaluasinya bahwa Indonesia sedang berada dalam keadaan krisis, ketiadaan ide perekat untuk berbngsa dan bernegara. Menanggapi pendapat Moh. Ichsan demikian, saya katakana bahwa pandangan demikian barangkali tidak tepat. Kita sudah mempunyai ide perekat berbangsa dan bernegara. Masalahnya barangkali terletak pada diabaikannya, bahkan dipinggirkannya ide perekat itu, sehingga untuk suatu kurun waktu berdasawarsa, RI berobah dari repubublik menjadi suatu kerajaan neo-feodal tipe Mataram. Politik kebudayaan Jawanisasi berlangsung menggantikan Republik dan Indonesia sebagai rangkaian nilai, program, cita-cita dan politik kebudayaan. Republik sebagai rangkaian nilai berisikan nilai-nilai kemerdekaan, kesetaraan dan persamaan (liberté, égalité et fraternité) 2)

Kita semua fasih menyebut Republik Indonesia (RI). Selain sebagai bentuk Negara, Republik Indonesia yang terdiri dari kata-kata Republik dan Indonesia, saya kira juga merupakan serangkaian nilai. Sedangkan Indonesia atau berkeindonesiaan mengandung penghormatan dan penjunjungan terhadap kemajemukan, pandangan yang ditandaskan dalam motto “bhinneka tunggal ika”. Indonesia dan berkeindonesiaan dengan demikian menentang pikiran tunggal (la pensée unique) dalam berbagai bentuk seperti otoritarianisme, diktaturialisme, paternalisme, primordialisme, feodalisme, neo-feodalisme, dan militerisme. Di segi lain berkindonesiaan juga mengandung makna bahwa bangsa kita menolak “besarisme”, baik ia dalam bentuk suku, agama atau aliran. Berkeindonesiaan berarti memandang bahwa kemajemukan itu suatu realita yang indah, sedangkan penyeragaman itu membawa kita ke jurang bahaya bertentangan dengan hakekat manusia. Saya melihat bahwa konsep ini pernah diwujudkan oleh sistem betang 3) terhadap warganya. Konsep budaya betang agaknya berbeda dengan sistem Negara kota zaman Yunani Kuno yang di Barat dipandang sebagai contoh serta janin demokrasi Barat sekarang. Bedanya, budaya rumah betang, tidak mengenal budak, sedangkan Negara Kota Yunani Kuno terdapat budak-budak dan budak tidak dipandang sebagai warganegara. Dalam konsep budaya rumah betang terdapat keserasian antara hubungan indidivu dengan kolektif betang.

Untuk waktu yang lama sebenarnya kita mentrapkan politik kebudayaan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai republiken dan berkeindonesiaan, ketika kita berpatokan pada UUD 1945 yang antara lain mengatakan bahwa yang disebut kebudayaan Indonesia adalah “puncak-puncak kebudayaan daerah”. Siapakah yang mengukur budaya daerah ini dan itu adalah puncak atau tidak puncak? Apa standarnya? Yang sering terjadi adalah para penyelenggara Negara yang kebetulan banyak berasal dari suku mayoritas yaitu Jawa. Perumusan UU ’45 di atas memberi peluang untuk mengembangkan suku besarisme. NKRI yang ditafsirkan secara semena-mena sebagai sistem sentralistik dengan hasil-hasil negatifnya, saya kira juga bentuk lain dari pengingkaran terhadap nilai-nilai republiken dan berkeindonesiaan. Republik dan Indonesia adalah grand design bagi kita dalam hidup bernegeri, berbangsa dan bernegara.

Guna mewujudkan grand design (bagan besar) ini dalam bidang kebudayaan, termasuk dalam dunia sastra-seni, saya kira wacana sastra-seni kepulauan lebih rasuk daripada pemusatan nilai dan sentra-sentra legalitas kebudayaan. Tersebarnya universitas-universitas dan perguruan-perguruan tinggi di berbagai pulau, sebagai motor dan pendukung pengembangan kebudayaan, termasuk sastra-seni, syarat untuk mewujudkan dan mengembangkan sastra-seni kepulauan makin besar dan nyata. Di daerah-daerah dan pulau-pulau tumbuh komunitas-komunitas sastra-seni. Menurut perkiraan Gola Gong, tokoh utama dari Komunitas Sastra-Seni « Rumah Dunia » Serang, Banten, sampai tahun lalu, di Indonesia paling tidak terdapat 7000 komunitas sastra-seni. Berbagai pertemuan tukar pengalaman antar komunitas ini telah berlangsung di Kudus, Jambi,Yogyakarta, Lampung, Serang. Yang paling peting dari pertemuan demikian adalah pertemuan « Ode Kampung » yang berlangsung di Serang saban tahun, pada kesematan mana berkumpul ratusan komunitas dari berbagai penjuru tanahair. 4) Adanya komunitas-komuitas begini secara nyata melakukan desentralisasi kegiatan kebudayaan dan desentralisasi nilai sekaligus. Jakarta, Yogya, Bandung tidak lagi dipandang sebagai standar nilai. Sayangnya dalam pertemuan-pertemuan antar komunitas sastra-seni demikian, sampai sekarang tidak pernah terdengar adanya wakil dari Kalteng, keadaan yang barangkali memperlihatkan tingkat kegiatan sastra-seni di provinsi ke-17 ini. Mengapa kegiatan sastra-seni di Kalteng nampak lesu? Bahkan dari Majalah Suar Betang, Palangka Raya, Jurnal Kebahasaan, Kesastraan, dan Pengajarannya, terbitan Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah, penulis-penulis asal etnik Dayak yang mengisinya bisa dihitung dengan jari sebelah tangan. Masalah yang diangkat oleh Majalah juga nampak asing dari permasalahan lokal. Pertanyaan saya, diapakan dan di kemanakan hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh Balai Bahasa? Mengapa tidak disiarkan di Majalah Suar Betang, sehingga sesuai namanya “Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah”, majalah mencerminkan sedikit banyak permasalahan lokal. Tidak hanya namanya saja Majalah terbitan Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah tapi masalah Kalimantan Tengah dan Suar Betang hanya dijadikan papan nama. Persentase isi nomor-nomor yang saya baca 5), lebih banyak bersifat umum nasional daripada mengangkat permasalahan daerah. Apa bagaimana dan mau ke mana majalah ini dan Balai Bahasa Kalteng? Apa bagaimana politik kebudayaan dan bahasa yang dipegangnya? Di mana tempat Kalteng? Apakah Balai Bahasa tidak menganggap ada masalah dalam bahasa di Kalteng? Apakah benar bahwa di Kalimantan Tengah, tidak terdapat masalah dalam bahasa-bahasa yang perlu diselesaikan? Saya khawatir bahwa dalam bidang kebudayaan, bahasa dan sastra pun di Kalteng terjadi yang dikatakan oleh tetua Dayak bahwa “tempun petak batana saré, tempun uyah batawah belai, tempun kajang bisa puat” (punya tanah berladang di tepi, punya garam hambar di rasa, punya atap basah muatan). Kemalangan bernama marjinalisasi begini hanya teratasi dengan politik budaya yang republiken dan berkeindonesiaan, sementara politik kebudayaan yang jelas tidak saya lihat di provinsi ini. Sastra-seni pun mengalami kehidupan seperti kerakap di atas batu, mati segan hidup tak mau, jika menggunakan istilah Aliemha Huda, seorang seniman teater Kalteng.

1. Apa yang kita dialogkan jika seragam. “Kebudayaan itu majemuk, kemanusiaan itu tunggal”, ujar filosof Perancis, Paul Ricoeur. Dan “kebudayaan lokal merupakan bahasa untuk berdialog dengan budaya lain di dunia”, tambah filosof tersebut yang meninggal pada bulan Mei 2008 lalu di Paris.

Apabila Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 32 menyebutkan bahwa “Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai bagian dari kebudayaan nasional” maka sastra daerah yang menggunakan bahasa daerah pun merupakan bagian dari khazanah kebudayaan nasional, tidak perduli, apakah karya-karya tersebut “puncak” atau tidak puncak. Kalau demikian maka sebagai konsekwensi logis dari ketetapan Undang-undang Dasar di atas adalah suatu kewajiban juga bagi pemerintah daerah, cq. Balai Bahasa, Dinas Kebudayaan dan dinas-dinas terkait, termasuk Walikota, serta berbagai lembaga kemasyarakatan lainnya untuk mengembangkan bahasa-bahasa Dayak dan kebudayaan, sastra-seni Dayak.

3. Masalah Bahasa di Kalimantan Tengah

Sejak pertama kali saya kembali ke Kalimantan Tengah pada tahun 1998, setelah meninggalkannya pada usia 11 tahun, saya kaget mendapatkan bahwa tidak sedikit keluarga Dayak yang berbahasa dengan anak-anaknya dalam bahasa Banjar. Demikian juga anak-anak muda muda Dayak berbicara sesamanya tidak menggunakan bahasa Dayak Ngaju, bahasa pengantar umum di kalangan orang Dayak di Kalimantan Tengah, tapi lagi-lagi menggunakan bahasa Banjar. Bahasa Banjar seakan-akan bahasa ibunya. Ketika saya pulang tahun 2009 ini, keadaan demikian masih saja berlangsung. Bahkan menurut keterangan Rolan Iso, salah seorang pemimpin organisasi mahasiswa Katolik yang meluangkan waktu menjumpai saya di Wisma Edelweis Jalan Yos Sudarso 95, Palangka Raya, mengatakan ada anak Dayak yang sama sekali tidak bisa beebahasa Dayak karena di rumahnya anak tersebut tidak diajarkan berbahasa Dayak. Oleh kenyataan demikian, paman Rolan dengan marah berkata: “Kalian ini hanya mengaku Dayak jika menginginkan jabatan, padahal sesungguhnya dalam perbuatan kalian telah mengkhianati Dayak, mengingkari diri kalian sebagai orang Dayak”. Jauh sebelum 1992, di tahun mana Kongres Nasional Dayak dilangsungkan di Pontianak, tidak sedikit orang Dayak yang malu bahkan tidak mau mengaku diri orang Dayak. Menanggapi sikap begini, maka untuk mengakhiri polemik panjang bertahun-tahun tentang kata Dayak atau Daya, atau Dyak, guna menamakan komunitas masyarakat yang tinggal di pedalaman Kalimantan, Kongres sepakat memutuskan untuk menerima dan selanjutnya menggunakan kata Dayak, walau pun Belanda sejak lebih seabad lamanya menyebut manusia Dayak sebagai Dajakers berarti segala kejahatan dan keburukan. Pemburukan orang Dayak oleh Belanda dilakukan sebagai bentuk agresi kebudayaan bersamaan dengan pelaksanaan politik budaya ragi usang 6)-nya. Setelah melihat bahwa agresi kebudayaannya tidak sepenuhnya berhasil, kemudian Belanda melancarkan agresi bersenjata atau fisik, dikonsolidasi dengan pendidikan dengan mengutamakan sub-suku tertentu sehingga sub-sub suku tertentu ini merasakan diri sebagai “bangsawan Dayak”. Dalam perang gerilya di Kalimantan “bangsawan Dayak” atau elit baru Dayak ini, umumnya menjadi kolaborator Belanda seperti yang terjadi di Kasongan, sekarang ibukota kabupaten Katingan.

Dengan alasan menjaga “kesatuan dan persatuan” bangsa dan negara sesuai konsep sentralistik Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), konsep Manusia Baru Indonesia, dan Manusia Pancasilais, melawan SARA, Orde Baru melanjutkan politik rgi usang dengan lebih keras sejalan dengan pendekatan “keamanan dan stabilitas nasional”, dan Golkarisasi, dengan hasil merusak lebih dahsyat. Struktur dan lembaga-lembaga Masyarakat Adat Dayak dirusak. Lembaga Damang digolkarkan.

Dampak dari agresi budaya dan politik ragi usang ini menumbuhkan rasa rendah diri, seperti malu dan tidak mau mengaku Dayak di tengah pergaulan umum. Rasa rendah diri.

Melalui keputusan di atas, Kongres mengobah kata yang berkonotasi buruk dengan mengisinya dengan kualitas baru sehingga mengobah makna kata Dayak yang semula. Mengobah yang negatif menjadi positif sebagai salah satu sisi dari hal ikhwal. Tapi agaknya keputusan Kongres tidak serta-merta mengakhiri rasa rendah diri tersebut, sampai-sampai dalam keluarga, entitas terkecil masyarakat, bahasa yang digunakan bukanlah bahasa Dayak, tetapi bahasa Banjar. Bahasa Banjar dijadikan sebagai jubah pembungkus rasa rendah diri saja.

Seriusnya gejala begini sampai menarik perhatian Gereja Kalimantan Evangelis hingga pada 10 Mei 2009 yang lalu, secara khusus menyelenggarakan seminar sehari membahas masalah ini.7) . Dalam makalahnya Pendeta Tawar Soewardji, M.Th. 8), antara lain menulis:

“Sekarang memang terjadi pergeseran, khususnya di daerah perkotaan.

1. Di lingkungan gereja. Penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa liturgis, porsinya semakin kecil. Dalam ibadah mnggu dengan bahasa daerah (Ngaju dan Maayan) yang hadir rata-rata sedikit jika dibandingkan dalam ibadah bahasa Indonesia. Biasanya kebanyakan yang hadir kaum tua. Kenapa? Sebabnya antara lain: (1). Sebagian besar warga jemaat terbiasa beribadah dalam bahasa Indonesia. (2). Kaum muda tidak terlalu memahamibahasa daerah secara mendalam. Sehingga ada istilah-istilah dalam bahasa daerah yang tidak dipahami dengan baik. (3). Anak-anak, remaja, pemuda, sejak Sekolah Minggu, kelas katekasi serta kegiatan remaja dan pemuda, bahasa pengantarnya adalah bahasa Indonesiaa. (4). Para pendeta (khususnya angkatan muda) sebagian besar masih kurang pengalaman dalam memimpin ibadah bahasa daerah.
2. Dalam lingkut keluarga. Tidak semua keluarga menggunakan bahasa daerah secara intens dalam berkomunikasi di lingkup keluarga. Bahasa Banjar atau bahasa Indonesia secara umum dipergunakan.
3. Bahasa pergaulan (di sekolah) dan bahasa “pasar”, cenderung menggunakan bahasa Banjar”.

Berdasarkan pengamatan demikian maka Pendeta Tawar Soewardji, berkesimpulan bahwa “… ada indikasi menurunnya penggunaan bahasa daerah di lingkup perkotaan”.

Keadaan demikian juga dilihat oleh Majelis Adat Dayak Nasional (MADN) sehingga dalam Rencana Tindak Lanjut Program Kerja Majelis Adat Nasional Tahun 2008-2010, Hasil Rakernas IMADN tanggal 26-29 Mei 2008 di Palangka Raya, dalam “Bidang Seni Budaya”, titik 28 dituliskan dengan tandas agar:

“Mewajibkan penggunaan bahasa Dayak di lingkungan keluarga Dayak, untuk melestarikan kekayaan budaya Dayak sebagai bagian dari kekayaan budaya bangsa Indonesia” 9), sedangkan di bidang pendidikan, titik 46, MADN berpendirian perlu:

“Mendesak Pemerintah dan Pemerintah Daerah agar muatan lokal tentang seni budaya, adat-istiadat dan hukum adat Dayak mulai tingkat SD,SLTP hingga SLTA diterapkan di seluruh wilayah Pulau Kalimantan”. 10)

Gejala ini pun agaknya dilihat oleh pihak Dinas Kebudayaan yang ketika berbicara di peluncuran buku “The Ot Danum From Tumbang Miri Until Tumbang Rungan (Based On Tatum) Their Histories And Legends” tulisan Abdul Fatah Nahan dan Duhing Dihit Rampai (bentuk fotokopie , 38 cerita), 27 April 2009 dalam rangka merayakan Hari Bumi di Palma, antara lain mengatakan tentang “kemerosotan nilai-nilai Dayak”. 11)

Terhadap gejala ini, salah seorang tokoh cendekiawan dan masyarakat Dayak di Palangka Raya, menjawab pertanyaan saya menjelaskan bahwa “keadaan demikian terjadi karena bahasa Banjar adalah bahasa elit”. Artinya bahasa-bahasa Dayak tidak elit. Bahasa-bahasa rendahan atau kaum rendahan. Sayangnya, “tokoh” cendekiawan dan masyarakat ini tidak menjelaskan di mana letak elitnya bahasa Banjar dan di mana tidak elitnya bahasa Dayak.

Tuturan di atas barangkali bisa memperlihatkan masalah yang dihadapi oleh bahasa-bahasa Dayak. Jika tidak awas, bukan tidak mungkin bahwa cepat atau lambat bahasa-bahasa Dayak itu akan melenyap. Keadaan di atas pula memperlihatkan bahwa komunitas Dayak masih dan terus-menerus menghadapi masalah identitas. Makin melemahnya posisi bahasa Dayak Ngaju hanyalah merupakan satu indikasi penting sebelum ramalan antropolog Barat tentang melenyapnya suku Dayak menjadi kenyataan. Lemahnya identitas manusia Dayak begini, saya kira, disebabkan karena pandangan dan sikap orang Dayak sendiri, sehingga jika kemudian pelenyapan maka ia bisa dikatakan sebagai sikap bunuh diri budaya. Orang Dayak tidak bisa menghargai khazanah budaya sendiri dan diri sendiri. Dengan mempertahankan pandangan dan sikap begini, orang Dayak meminggirkan diri sendiri dan secara sukarela mengasingkan diri dari Tanah Dayak. Bersamaan dengan gejala bunuh diri dan pengasingan diri sukarela ini, saya juga melihat larutnya masyarakat Dayak ke pusaran budaya pop.12)

Ancaman begini, saya ingin hadapkan dengan apa yang ditulis oleh Dr. Dendy Sugono, Kepala Pusat Bahasa, dalam Suar Betang:

“Di sisi lain, pemeliharaan bahasa daerah meliputi upaya perlindungan bahasa daerah dari kepunahannya agar tetap eksis dalam kehidupan penuturnya. Perlindungan itu dilakukan antara lain melalui revitalisasi kedudukan dan fungsi bahasa, termasuk aksara, dan sastra daerah dalam ranah-ranah penggunaannya di dalam masyarakat pendukungnya”. 13)

Yang ingin saya garis bawahi dari kalimat-kalimat Dr. Dendy Sugono di atas adalah sinyalemennya tentang bahaya « kepunahan” sebuah bahasa, yang memang banyak terjadi di dunia. Apalagi, sejauh ini saya tidak melihat upaya kongkret dari lembaga ini dan itu untuk mencegah “kepunahan” bahasa-bahasa Dayak. Di tengah ancaman “kepunahan” ini, saya girang menyaksikan prakarsa Anthony Nyahu, seorang linguist muda usia asal Katingan untuk menerbitkan Buletin Tamuei dalam bahasa Dayak Ngaju. Buletin Tamuei, betapa pun sederhananya merupakan penerbitan pertama yang sepenuhnya menggunakan bahasa Dayak Ngaju. Barangkali sambutan terhadap Buletin Tamuei ini bisa dijadikan barometer kesadaran berbudaya orang Dayak, gantang penakar sejauh mana orang Dayak bisa menghargai budaya, bahasa dan diri mereka sendiri. Saya berharap,mudah-mudahan Buletin Tamuei bisa mendorong tumbuh berkembangnya penulis-penulis berbahasa Dayak dan memberikan sumbangan dalam penyediaan muatan lokal untuk sekolah-sekolah. Tentang bahan-bahan untuk muatan lokal ini, sampai sekarang agaknya lebih banyak isi dari suatu keputusan rapat kerja, konfrensi dan kongres, tapi tidak diikuti dengan tindak lanjut yang nyata, sehingga keputusan-keputusan dan resolusi-resolusi tinggal jadi huruf-huruf mati di kertas-kertas yang kian menguning oleh perjalanan waktu.

Apabila Dr. Dendy Sugono mengatakan bahwa “Pusat Bahasa telah melakukan sekitar 2500 penelitian berbagai aspek kebahasaan dan kesastraan sejak tahun 1974”, 14) yang berarti rata telah melakukan sekitar 17-18 penelitian setiap tahun atau kurang lebih satu penelitian saban bulan (apakah dilihat dari skala nasional jumlah ini cukup berarti?), yang saya tanyakan “diapakan dan di kemanakan hasil penelitian itu, termasuk hasil-hasil penelitian yang dilakukan di Kalimantan Tengah? Mengapa hasil penelitian itu tidak dijadikan milik masyarakat dengan menerbitkannya secara luas, paling tidak disiarkan melalui Suar Betang?”. Apakah usaha mencegah ancaman kepunahan terhadap sebuah bahasa bisa ditangani oleh Balai Bahasa sendiri? Ataukah riset dilakukan untuk riset saja, tidak dikerjakan dengan pendirian seorang cendekiawan organik?

Berbicara soal kepunahan sebuah bahasa, serta-merta saya teringat akan bagaimana orang Perancis memelihara, mengembangkan dan menyempurnakan bahasa mereka. Saya teringat akan Bernard Pivot yang mengatakan bahwa sebuah kata setara dengan sebatang pohon di hutan yang kelestariannya perlu dijaga. Saya teringat akan kuis-kuis dalam berbagai bentuk dan acara, dimanfaatkan sekaligus untuk mememelihara dan mengembangkan bahasa. Bagaimana kemudian setiap tahun l’Académie Française, lembaga pengembangan bahasa, memasukkan kata-kata baru dalam Kamus Robert yang merupakan kamus standar. Bagaimana koran-koran, radio dan televisi turut urun yuran melakukannya. Teringat juga bagaimana politik bahasa di zaman Soekarno yang memandang penting peran bahasa daerah dalam pengembangan dan penyempurnaan serta pemerkayaan bahasa Indonesia. Bahasa daerah dan bahasa Indonesia, dilihat mempunyai hubungan saling mendekat dan mengisi. Bahasa gado-gado belum berkembang. Ada usaha untuk mendemokratisasikan bahasa Indonesia. Dengan ingatan-ingatan tersebut saya memandang perkembangan bahasa Indonesia dan daerah sekarang dengan perasaan berdebar. Akankah bahasa Dayak Ngaju punah, akankah bahasa Katingan melenyap oleh pola pikir dan mentalitas kita sendiri? Bahasa adalah alat berpikir dan mengembangkan diri. Dari kemampuan berbahasa juga kita bisa melihat tingkat kesadaran berbahasa dan tingkat pemikiran seseorang.

4. Masalah Sastra di Kalimantan Tengah

Seperti saya katakan di atas, dalam titik ini saya membatasi diri pada sastra yang menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Dayak, terutama Dayak Ngaju.

Beberapa nama yang aktif dalam dunia sastra yang menggunakan bahasa Indonesia adalah Aliemha Huda (pimpinan Komunitas Terapung), Davy, M. Anwar MH., Supardi, Pudji Santosa,Munir. Mereka adalah penulis-penulis asal Jawa yang menetap di Kalimantan Tengah. Sedangkan penulis-penulis asal Dayak sendiri antara lain Ben Abel, Sandy Firly kelahiran Kuala Pambuang, Sungai Seruyan, Jeanyta Addiststy, Ranny Djandam, Marko Mahin, Anthony Nyahu, Nila Riwut. Salawati Taher, Danar, Anse Srineni, Ambu Naptamis, Titin, Abdul Fatah Nahan, During Dihit Rampai, Kurnia Untel. Sedangkan dari angkatan lebih tua terdapat nama-nama seperti Tjilik Riwut, T.T. Suan, Prof. K.M.A.Usop, dan lain-lain. Kalau pengamatan saya tidak salah, agaknya antara generasi yang lebih tua dengan generasi yang sekarang, seakan-akan terdapat suatu hubungan terputus. Barangkali karena syarat mereka lahir dan membesar sudah sangat berbeda. Angkatan yang lebih tua, lahir dan besar di masa perjuangan melawan penjajahan, sedangkan generasi yang tumbuh belakangan hidup di saat Kalimantan Tengah sudah berdiri. Generasi yang belakangan, pada umumnya berkesempatan mengenyam pendidikan yang teratur, sedangkan yang terdahulu bersandar pada otodidak. Keterputusan ini pun barangkali terdapat pada wacana. Perbedaan latar belakang begini mempunyai pengaruh terhadap karya-karya mereka. Keterputusan ini terdapat lebih besar lagi dengan sastrawan-sastrawan yang berasal dari luar Kalimantan Tengah, terutama yang dari Jawa. Mereka asyik dengan kegiatan mencipta mereka dalam bahasa Indonesia. Sekali pun mereka berbicara tentang Kalimantan Tengah, tapi terasa mereka kurang menghayati permasalahan di Kalimantan Tengah di mana mereka berkeputusan untuk menetap. Bisa dimengerti jika mereka menulis tentang Kalimantan tetapi dengan pola pikiran dan perasaan Jawa di mana mereka dilahirkan dan melampaui periode pembentukan diri mereka sebagai manusia. Barangkali karena itu pula maka antara seniman-seniman asal luar Kalimantan Tengah dan yang Dayak, sampai sekarang nampak sulit untuk terjalinnya komunikasi serta kerjasama walau pun mereka sama-sama bergerak di satu bidang, yaitu bidang sastra. Dahulu, sekitar tahun 2000an terdapat seorang bernama Andi Burhanudin, penyair dan novelis dalam bahasa Indonesia, asal Bugis. Andi sangat aktif dan gesit. Berjasa dalam turut menggerakkan kegiatan sastra berbahasa Indonesia di Kalimantan Tengah pada saat ia bekerja di Kalimantan Tengah. Tapi seperti penulis-penulis lain asal luar Kalimantan Tengah, sekali pun ia menulis tentang Kalimantan Tengah, tapi seakan jauh dari Kalimantan Tengah. Jiwa masalah Kalimantan tetap tidak ia resapi. Saya bertanya-tanya, sekian tahun mereka di Kalimantan Tengah, berapa banyak mereka yang bisa berbahasa Dayak Ngaju tanda minat untuk berbaur dengan masyarakat lokal. Saya juga tidak tahu, apakah hal ini disebabkan karena kekurangan perhatian mereka terhadap politik dan memandang bersastra tidak perlu tahu politik, apakah karena mereka masih belum jauh membaur, maka penghayatan mereka jadi minim? Berada lama, betapapun lamanya, tidak menjamin seseorang mengenal jiwa tempat di mana kita tinggal. Andaikan pembauran ini terjadi, para seniman itu akan mendapatkan betapa dengan pembauran itu mereka mendapatkan sumber ilham berkreasi yang kaya raya. Betapa pun mereka, tetap merupakan tenaga-tenaga potensial guna memarakkan kehidupan bersastra di Kalimantan Tengah. Jika penulis-penulis berbahasa Indonesia berasal Dayak bisa bekerja bersama-sama dengan sastrawan-sastrawan non Dayak, saya kira akan menjadi suatu melahirkan kekuatan berarti dalam mengembangkan sastra berbahasa Indonesia di provinsi ini. Menghimpun semua potensi ini, saya kira merupakan satu persoalan yang patut dilakukan.

Dalam hal pembauran ini, jalan yang ditempuh oleh Eddi Bika, seorang pekerja filem asal Malang, Jawa Timur lain lagi. Ia tidak tinggal di Palangka Raya, tapi di sebuah desa, jauh di hulu Katingan, di Kecamatan Pulau Malan. Ia langsung menceburkan diri ke tengah-tengah petani desa Tura yang telah diabadikannya dalam sebuah filem dokumenter berjudul « Petak Danom Itah » (Tanah Air Kita), berdasarkan konsep « rakyat membuat filem tentang diri mereka sendiri ». Jalan begini, baru pertama kali ditempuh oleh mereka yang berasal dari Jawa atau dari daerah-daerah lainnya di luar Kalimantan Tengah. Saya percaya, dari tangan Eddi Bika kelak kemudian bukan saja akan lahir karya-karya filem baru, tetapi juga puisi, esai, cerpen bahkan novel yang menarik. Eddi Bika dan keluarganya terjun ke sumber kreasi yang penuh kemungkinan.

Dalam usaha menjembatani jarak antara seniman-seniman Dayak dan non Dayak, pada masa pemerintahan Gubernur Wasito, disponsori oleh Dinas Parawisata, sekitar tahun 199an telah dicoba membangun Dewan Kesenian Palangka Raya, dengan Ketua Umum JJ.Kusni. Di Dewan Kesenian Kalimantan Tengah ini semua seniman dari semua etnik berhimpun. Melalui kerja keras, program rinci selesai dikerjakan. Oleh Gubernur Wasito, hasil rapat dan diskusi berminggu-minggu dianulir dengan “mengangkat” JJ. Kusni sebagai penasehat diganti oleh M.Anwar MH. Dewan Kesenian lumpuh. Setelah itu, untuk mengatasi kelumpuhan Dewan Kesenian, atas prakarsa para seniman dari berbagai asal etnik membangun Ikatan Sastrawan Indonesia (ISASI) Kalimantan Tengah dengan JJ.Kusni didaulat untuk menjadi Ketua Umumnya, dan Salundik Gohong, walikota Palangka Raya pada waktu itu sebagai penasehat . Kegiatan sastra berbahasa menunjukan geliatnya. Radio, televisi, koran-koran, diisi secara teratur oleh anggota-anggota ISASI. Peluncuran buku, pembacaan puisi dilakukan. Diskusi berkala berlangsung di kantor ISASI yang menggunakan sebuah KONI di dekat Bundaran Besar. Majalah Dermaga organ ISASI yang memuat karya-karya para anggota ISASI terbit dengan teratur. Beberapa kumpulan puisi berhasil diterbitkan. Aliemha Huda menyebut periode ini sebagai “masa keemasan” sastra berbahasa Indonesia di Kalimantan Tengah.

Di luar dugaan, JJ. Kusni oleh penguasa tertentu di Palangka Raya dilarang menduduki tempat Ketua Umum. Sebagai protes, para seniman yang tergabung di ISASI, baik yang Dayak atau pun non Dayak, membiarkan jabatan Ketua Umum kosong. JJ.Kusni dan beberapa teman pengurus inti ISASI oleh satu dan lain sebab meninggalkan Kalimantan Tengah. Supardi yang dipilih sebagai Ketua Umum ISASI terlalu sibuk. ISASI tak obah kandil redup sampai sekarang. Dewan Kesenian pun hanya tinggal nama dengan deretan pengurusnya, kosong kegiatan.

Dalam diskusi tentang Sastra Bahasa Indonesia di Kalimantan Tengah bertempat di rumah M. Anwar MH, 11 Mei 2009, Makmur Anwar MH mengatakan bahwa pasang-surutnya kegiatan bersastra di Kalimantan Tengah banyak tergantung pada perhatian penguasa pada suatu waktu. Jika petinggi daerah mempunyai perhatian pada sasatra-seni maka kegiatan berkesenian akan marak. Sedangkan bank-bank semegah apa pun gedungnya di Palangka Raya, tidak bisa diharapkan uluran tangan mereka.

Saya tidak menyanggah peran petinggi daerah dan bank-bank dalam memarakkan kegiatan berkesenian di Palangka Raya. Tapi di atas segalanya saya menitikan faktor dalam para seniman. Agaknya sekarang mereka menjadi kekuatan yang terpencar, tidak terhimpun. Asyik dengan kegiatan mereka masing-masing. Perhatian dan uluran tangan petinggi dan bank-bank adalah faktor luar. Jika bersandar pada faktor luar ini, tanpa usaha mandiri dan bersastra secara mandiri, maka kehidupan sastra akan naik turun tak menentu karena tergantung pada unsur luar. Yang paling penting, saya kira tetap terletak pada upaya para seniman sendiri, sebagai faktor intern. Tanpa bersandar pada faktor intern kegiatan bersastra tidak bakal ajeg. Untuk mempertahankan keajegan ini, agaknya diperlukan organisator dan motor atau lokomotif. Apabila setelah beberapa tenaga inti ISASI meninggalkan Kalimantan Tengah atau Palangka Raya, ISASI lalu lumpuh, agaknya tenaga-tenaga tersebut sekaligus merupakan motor ISASI. Kegiatan bersastra di Kalimantan Timur pun jadi menggeliat setelah kepulangan Korrie Layun Rampan. Korrie agaknya tampil sebagai motor kegiatan bersastra di Kalimantan Timur. Di Makassar, peran lokomotif ini dimainkan oleh Komunitas Panyingkul (bahasa Bugis, berarti Persimpangan).

Dari segi lain, apa yang diucapkan oleh Makmur Anwar MH, yang menjadi Ketua Umum Dewan Kesenian Kalimantan Tengah sekarang (yang melempem), bisa dibaca sebagai kritik ke alamat pemerintah yang kurang perhatian terhadap masalah sastra-seni. Palangka Raya, Kota Cantik, kota kering jiwa, tanpa kepekaan terhadap kesenian, riuh gemuruh budaya pop. Ketidakpekaan budaya ini dan tidak adanya politik budaya yang jelas di berbagai tingkat administrasi, terbaca dari sandung di Pahandut dijual sekitar 4 miliar, sapundu-sapundu di Katingan banyak digergaji dan dijual, cagar budaya dibiarkan menyemak.

5. Sastra Berbahasa Dayak

Sastra berbahasa Dayak terdiri dari dua komponen. Satu, sastra yang tertulis dan kedua, sastra lisan. Bentuk-bentuknya yang terutama berbentuk karungut, deder dan sansana kayau. Sastra yang ditulis dalam bahasa Dayak sungguh sangat sedikit. Di tahun 1999, saya pernah mendapatkan kumpulan-kumpulan karungut. Pada masa Salundik Gohong menjadi Walikota Palangka Raya, entah dalam pertemuan resmi atau tidak resmi, ia selalu mementaskan karungut atau deder disertai dengan manasai (sejenis tari massal). Ketika datang kali ini, saya menyaksikan banyaknya kaset-kaset karungut beredar di pasar. Karya tulis dalam bahasa Dayak, sekarang, hanya bisa didapat di sebuah kolom kecil Harian Dayak Pos, Palangka Raya. Kolom kecil ini hadir dengan setia setiap hari mengunjungi pembacanya. Beberapa penulis karungut yang bisa saya ingat adalah Saer Sua (sekarang tinggal di betangnya di Tumbang Manggu, hulu Katingan), Nyalun Menteng dengan betang mungilnya di KM 27 Palangka Raya. Barangkali larya-karya berbahasa Dayak akan banyak muncul setelah terbitnya Buletin Tamuei yang menggunakan bahasa Dayak Ngaju sebagai bahasa pengantarnya. Sampai sekarang, penulis-penulis asal Dayak yang berkarya dalam bahasa Indonesia, jauh lebih berarti dibandingkan yang menulis dalam bahasa Dayak. Nila Riwut dengan karya tulis terakhirnya berupa Kamus Dayak-Indonesia,, Sandy Firly, cerpenis, Marko Mahin, esais, Anthony Nyahu merupakan nama-nama penulis yang paling produktif.

Sastra lisan berbahasa Dayak, jauh lebih banyak dibandingkan dengan yang tertulis, terutama yang berbentuk sansana kayau. Sansana kayau, puisi lisan, sangat populer di Katingan. Sejauh pengetahuan saya, karya-karya lisan begini, sampai sekarang belum terekam dan terdokumentasi. Dinan adalah seorang pensansana tergolong baik di Kasongan. Sayang dan sayang, angkatan muda makin tak acuh pada sansana. Sansana makin ditenggelamkan oleh dangdut. Pengguna dan pencipta sansana terutama angkatan tua. Saya membayangkan, seandainya sansana kayau pun menjadi salah satu isi dari muatan lokal, khususnya untuk kabupaten Katingan, di mana puisi lisan ini paling hidup sampai sekarang. Kalau ada acara “Siswa Bertanya, Sastrawan Menjawab” diberlakukan untuk sastra berbahasa Indonesia, mengapa acara dan kegiatan serupa dalam skala terbatas diberlakukan juga untuk sastra berbahasa Dayak, baik yang tertulis, maupun yang lisan? Saya membayangkan diri sedang mendengarkan karungut diiringi suling balawung dan kecapi atau sansana kayau ditingkahi suling balawung, kangkanong dan gong. Apabila tidak ada usaha sadar dari pemerintah, barangkali dalam waktu yang tak lama sastra lisan dalam berbagai bentuk akan melenyap. Musnah.Tidak lagi terdengar gaung gemanya di sepanjang tebing sungai mendaki tangga tepian. Kemusnahan budaya merupakan ancaman nyata di Tanah Dayak Kalimantan Tengah.

6. Kesimpulan

Jika pengamatan saya benar, maka dalam bersastra dan berkesenian umumnya, Kalimantan Tengah termasuk salah satu provinsi yang tertinggal. Komunitas-komunitas kesenian yang ada masih sangat lemah, tidak berdaya, masih menggantungkan diri pada uluran tangan pemerintah. Sementara itu pemegang kekuasaan lokal tidak mempunyai politik kebudayaan yang jelas. Tidak ada organisasi kesenian yang mampu menghimpun potensi-potensi yang dimiliki oleh provinsi. Bidang kebudayaan termasuk bidang yang dianaktirikan. Jika ketiadaan perhatian begini berlarut maka kebudayaan Dayak yang sekarang secara nyata berada di ujung pisau kemusnahan menjadi benar-benar punah. Yang tertinggal hanya nama dan kata Dayak tanpa isi dan makna. Kemusnahan budaya ini lebih disebabkan karena kekurangan kesadaran budaya sehingga merupakan suatu bunuh diri budaya oleh kesukarelaan tak sadar, larut dalam budaya pop yang menyilaukan, juga karena ketidakpahaman. Lebih celaka lagi jika ketidakpahaman ini berlangsung di tingkat atas dan bawah. Di Tingkat atas adalah di kalangan pengelola kekuasaan politik daerah, dan di tingkat bawah yaitu di kalangan masyarakat. Ketidak pahaman dan ketidaksadaran di dua tingkat begini akan mempercepat proses pemusnahan budaya.

Palangka Raya, Mei 2009

——————————

* J.J. Kusni, lahir di Kasongan, Katingan, Kalimantan Tengah, pengelana lima benua, pernah belajar di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, New South Wales University, Sydney, Australia, L’Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (L’EHESS –sempalan dari Universitas Sorbonne), Paris, Perancis, menjadi pengajar di berbagai universitas dalam dan luarnegeri, menjadi pemakalah dan pembicara dalam seminar-seminar lokal, nasional dan internasional.

1) Koperasi Restoran Indonesia SCOP Fraternité, sebuah badan usaha sekaligus Pusat Kebudayaan Indonesia di Paris, Perancis yang didirikan 27 tahun lalu oleh sejumlah suaka politik Indonesia. Para pendiri dan pekerjanya terdiri dari para cendekiawan dari berbagai disiplin ilmu, yang terhalang pulang.Dalam buku tamu Koperasi, diplomat-diplomat itu kemudian melukiskan Koperasi ini sebagai “Duta bangsa yang telah berjasa dalam memperkenalkan Indonesia dan kebudayaan Indonesia kepada masyarakat Perancis, Eropa Barat dan dunia”.

2) Rangkaian nilai yang dilahirkan oleh Revolusi Perancis pada 14 Juli 1789 yang mempunyai nilai universal. Nilai ini mengingatkan saya pada konsep rumah betang manusia Dayak dan pandangan hidup-mati manusia Dayak yang terungkap dalam sastra lisan, khususnya sansana kayau Uluh Katingan: “rengan tingang nyanak jata (anak enggang putera-puteri naga).

3) Paralelisme antara Republik dan Indonesia dengan konsep budaya betang ini pernah saya ajukan dalam wawancara dengan Radio Hilversum pada 17 Agustus 2006.

4) Keterangan mengenai Pertemuan Ode Kampung dan Rumah Dunia, bisa dilacak di google dan berbagai milis nasional dan internastional atau website Rumah Dunia.

5) Majalah Suar Betang yang sampai ke tangan saya adalah nomor-nomor: Volume III, No. 1, Juni 2008; Volume III, No. 2, Desember 2008.

6) Politik budaya ragi usang, sejenis politik desivilisasi yang dilakukan oleh pihak kolonial Belanda yang memandang bahwa kebudayaan Dayak dalam bentuk apa pun tidak lain dari ragi usang yang harus dibuang. Orang Dayak dipandang sebagai etnik yang biadab dan harus diperadabkan. Tugas memperadabkan manusia Dayak ini dipandang sebagai “misi suci” kaum kolonial dan yang oleh para antropolog awal dibela dengan penamaan “mission scarée” (misi suci).Orang Dayak sendiri tidak pernah menamakan diri mereka sebagai Dayak tetapi dengan nama seperti Ot Danum, Ot Siang, Uluh Kayan, Uluh Iban, Uluh Katingan, Uluh Kahayan, dan sebagainya yang umumnya sesuai dengan Daerah Aliran Sungai (DAS) di mana mereka bermukim. Dengan politik budaya ini maka mulailah riwayat pendeskreditan orang Dayak, seperti kanibal, orang hulu, balok, di Jawa kelelawar disebut pangeran Dayak, Kaharingan disebut Agama Helu (Agama Dahulu, Zaman Bahela), orang musyrik, dan sebagainya, dan sebagainya.Sampai hari ini masih ada yang memandang kebudayaan Dayak sebagai “kebudayaan setan”.

7) Lihat makalah-makalah antropolog Marko Mahin: “Retrospeksi dan Proyeksi. Bahasa, Budaya dan Identitas Suku” dan “Leluhur Kami Bukan Adam dan Hawa. Catatan Ethnograis tentang Perjumpaan Injil dan Budaya Dayak Ngaju” yang disampaikan dalam seminar sehari di Palangka Raya, 10 Mei 2009.

8) Lihat pokok-pokok pikiran Pdt. Tawar Soewardji, M.Th. berjudul “Alkitab Dan Budaya Lokal. Retrospeksi Dan Proyeksi”, yang disampaikan pada seminar sehari GKE, di Palangka Raya, 10 Mei 2009.

9) Lihat : Rencana Tindak Lanjut Program Kerja Majelis Adat Dayak Nasional Tahun 2008-2010. Hasil Rakernas I MADN Tanggal 26-29 Mei 2008, di Palangka Raya”, halaman 4.

10) Op.cit. hlm. 6.

11) Lihat makalah: Marko Mahin, “Menapak Jejak Bungai Tambun di Bumi Tambun Bungai”, 27 April 2009.

12) Lihat: JJ. Kusni « Generasi Pop » dalam http ://jurnaltoddoppuli.wordpress.com

13) Lihat : Dr. Dendy Sugono, « Kebijakan Bahasa Daerah Di Indonesia”, in “Suar Betang”, Palangka Raya, Volume III, No.2 Desember 2008, hlm. 2.

14) Ibid.

Diambil dari Jurnal Toddopuli (http://jurnaltoddoppuli.wordpress.com), 12 Mei 2009