Esai Willy Ediyanto
MENARIK sekali perdebatan antara Udo Z. Karzi dengan Puji Santosa yang dimuat di harian ini selama bulan Agustus tahun 2008. Menarik bagi penulis karena penulis bekerja sebagai seorang guru yang berijazah dan mengajarkan bahasa dan sastra Indonesia. Menarik karena penulis ikut membidani Komunitas Awan Senja di Kumai, Kotawaringin Barat. Menarik juga karena penulis pernah menanyakan sebuah lomba penulisan sastra akan tetapi tidak diketahui siapa dan di mana panitianya.
Sebagai orang yang berkecimpung dalam dunia sastra, penulis berkarya dalam bentuk seni sastra namun tidak mempublikasikannya secara umum. Penulis lebih suka mempublikasikannya melalui blog yang penulis miliki. Ada beberapa alasan yang menjadi dasar mengapa penulis melakukan hal semacam itu.
Sebelum terbitnya surat kabar ini, kesulitan penulis untuk mengikuti surat kabar yang ada di Kalimantan Tengah telah menjadi salah satu alasannya. Biasanya surat kabar baru sampai ke tangan penulis keesokan harinya. Itu pun tidak ada agen surat kabar yang mau melayani untuk berlangganan dan mengantarnya sampai ke tempat tinggal penulis. Di samping itu, redaksi surat kabar di Kalteng umumnya tidak mengirimkan bukti pemuatan untuk penulis-penulis yang tidak terjangkau pelayanan berlangganan. Itu pula yang menyebabkan penulis lebih asyik menulis di blog dan di surat kabar ini.
Udo Z. Karzi menurut hemat penulis lebih menyorot pada keberadaan sastrawan pada saat ini, pada tahun 2008. Sementara itu, Puji Santosa membeberkan keberadaan penulis yang sudah tidak ada. Puji Santosa menelusuri jejak sastrawan Kalteng dengan menyodorkan nama Fridolin Ukur, HABSU, dan J.J. Kusni yang sudah meninggal atau sudah tidak berada di Kalimantan Tengah. Itu bagus sebagai sebuah dokumentasi. Masalah yang ingin penulis soroti adalah sastrawan yang berada di sini dan pada saat ini.
Sayang sekali, dalam tulisannya, Puji Santoso tidak menyebutkan siapa saja sastrawan yang tergabung dalam Ikatan Sastrawan Sastra Indonesia (ISASI) Kalimantan Tengah yang disertakan dalam Dialog Borneo-Kalimantan yang ikut serta mengumpulkan karyanya. Selain itu hanya disodori beberapa kegiatan yang diadakan oleh Balai Bahasa Kalimantan Tengah. Sementara itu kegiatan sastra seperti kegiatan Sastrawan Bicara Siswa Bertanya yang dimotori oleh Taufik Ismail tidak terdokumentasikan. Begitu pula kegiatan apresiasi sastra di luar Palangkaraya.
Sepengetahuan penulis, kegiatan berkesenian biasanya tumbuh di lingkungan kampus atau sekolah yang dimotori oleh mahasiswa dan guru. Tidak selalu kampus yang memiliki fakultas sastra, karena fakultas sastra lebih banyak menyibukkan diri dalam teori, aliran, dan sejarah sastra, dan bukan pada proses kreatif. Artinya fakultas sastra bukanlah tempat untuk melahirkan sastrawan. Seorang sarjana sastra belum tentu seorang sastrawan. Bahkan harus diakui bahwa lebih banyak sastrawan yang tidak sarjana dan bukan sarjana sastra.
Kawan-kawan penulis ketika masih kuliah dulu, cukup banyak yang berasal dari fakultas dakwah dan fakultas tarbiah yang memanfaatkan sastra dan bergelut dalam bidang sastra. Di samping itu masih lebih banyak lagi yang berasal dari fakultas-fakultas lain atau bahkan yang drop out. Akan tetapi, penulis tidak melihat sastrawan yang muncul dari perguruan tinggi di Kalimantan Tengah. Tidak pula penulis temukan volunter yang mau menyibukkan diri dalam pengembangan sastra, atau paling tidak dalam kepenulisan seperti yang terjadi di kota-kota lain.
Sebagai sesama satu tanah, Kalimantan Selatan jauh meninggalkan adik kandungnya, Kalimantan Tengah. Kehidupan sastra dan kepenulisan di daerah ini berkembang karena adanya volunter yang menyerahkan waktunya untuk sastra dan kepenulisan. Dalam beberapa tulisan, penulis menyodorkan nama Ersis Warmansyah Abbas, seorang dosen yang kebetulan pula berasal dari tanah Sumatra. Baginya, belajar menulis adalah dengan menuliskannya. Ersis bahkan menyediakan rumahnya, beberapa komputer, dan jaringan internet untuk dimanfaatkan penulis-penulis muda. Silakan kunjungi blognya, kita akan menemukan karya penulis-penulis pemula yang baru berkarya di sana.
Kegelisahan Udo Z. Karzi mungkin bisa dijadikan satu contoh. Sastrawan yang berasal dari Lampung yang belum lama ini mendapatkan penghargaan nasional atas puisi-puisi berbahasa daerahnya ini lahir dari kegelisahan seorang sarjana ilmu politik. Jalur yang tidak ada sangkut pautnya dengan sastra, telah nyata mampu melahirkan seorang sastrawan dengan penghargaan nasional.
Di luar kampus, kehidupan sastra bisa pula berkembang dengan adanya komunitas-komunitas sastra. Kumpulan anak-anak muda yang dimotori oleh beberapa orang penulis atau sastrawan yang sering berkumpul dan mendiskusikan karya sastra atau jenis tulisan yang lain. Pada kesempatan yang lain mereka memamerkan tulisannya, atau membacakan karyanya. Bisa juga dengan mengadakan pertunjukan pembacaan atau penampilan karya mereka.
Memang perlu jalan panjang untuk menghidupkan sastra dan untuk melahirkan sastrawan. Di lingkungan pendidikan pun, tidak banyak guru yang sempat atau tahu mengajarkan bagaimana cara mengirimkan tulisan ke sebuah surat kabar atau majalah. Masalah teknis bagaimana mengirimkan karya sastra ke surat kabar atau ke majalah dan bagaimana mengecek karyanya dimuat atau tidak memerlukan jaringan. Tidak semua orang mampu mengikuti berbagai surat kabar atau majalah yang beredar di Kalimantan Tengah.
Mengenai kemiskinan, menurut hemat penulis, tidak ada sangkut pautnya dengan kreativitas. Banyak orang miskin yang kreatif di samping orang miskin yang tidak kreatif. Begitu pula banyak orang kaya yang tidak kreatif di samping orang kaya yang kreatif. Sastra lebih banyak lahir dari adanya waktu luang atau kesempatan. Lingkungan tentu saja sangat berpengaruh dalam hal ini.
Adanya waktu luang yang banyak merupakan salah satu peluang untuk lahirnya berbagai kegiatan kesenian termasuk sastra. Kesibukan bekerja menghilangkan waktu luang. Akan tetapi, waktu luang yang tidak dimanfaatkan akan menyebabkan orang membuang-buang waktu dengan kegiatan yang tidak berguna. Selanjutnya tinggal bagaimana orang memanfaatkan waktu luang itu.
Mahasiswa dan pelajar adalah kelompok yang memiliki waktu luang paling banyak. Hanya saja sering kali lingkungan tidak memberi kesempatan mereka untuk mengembangkan potensinya dalam bidang kepenulisan. Keluar masuknya orang dalam dunia sastra demikian cepat secepat perubahan waktu. Anggota komunitas sastra di mana pun mengalami perputaran yang cepat. Waktu pula yang menyeleksi mereka.
Akan halnya di Kalteng, adakah komunitas sastra yang sedang hamil sastrawan atau bahkan sudah melahirkan sastrawan? Karena yang terdokumentasikan oleh Puji Santosa adalah sastrawan angkatan 66 yang diorbitkan oleh H.B. Jassin. Apakah dalam waktu 40 tahun tidak lahir seorang pun sastrawan di Kalimantan Tengah?
Harapan Puji Santosa agar media massa membuka ruangan seni budaya itu bagus. Masalahnya adalah adakah yang menjadi penulisnya? Siapa yang akan mengisi ruang seni budaya itu? Apakah kita akan berharap kepada tiga orang sastrawan yang sudah disebutkan oleh Puji Santosa?
Penulis sebagai seorang guru sastra, selalu mengalami kesulitan jika ingin memberikan contoh-contoh karya sastra penulis Kalimantan. Koleksi di perpustakaan sekolah tidak memasukkan karya-karya mereka.
Willy Ediyanto, Praktisi Pendidikan (http://willyedi.wordpress.com)
Sumber: Borneonews, Senin, 25 Agustus 2008
Monday, August 25, 2008
Masih Mencari, Adakah Sastra(wan) Kalteng
Posted by Kantong Sastra at 6:02 PM 1 comments
Labels: wacana
Monday, August 18, 2008
Sastrawan Kalteng dalam Peta Sastra Nasional
Esai Puji Santosa*
BEBERAPA hari yang lalu, akhir bulan Juli 2008, saya membaca sepintas tulisan Saudara Udo Z. Karzi di internet. Awalnya saya membuka blog yang ditulis Udo dengan bahasa daerah, dan saya kurang paham dengan bahasa daerah apa. Hal itu tidak saya hiraukan karena saya kurang paham dan tidak mengerti makna bahasa daerah itu. Lalu, awal bulan Agustus 2008 saya membaca lagi tulisan Saudara Udo yang bertajuk “Dicari Sastra(wan) Kalteng” lewat cabiklunik.blogspot.com yang bersumber dari surat kabar Borneonews, Senin, 4 Agustus 2008, lalu timbul hasrat saya untuk sedikit memberi informasi tentang keberadaan sastrawan Kalteng dalam peta sastra nasional kita.
Ketika temu sastra Majelis Sastera Asia Tenggara di Palangkaraya, Senin, 14 Juli 2008, yang lalu saya mengatakan kepada media bahwa “aktivitas sastra di Kalimantan Tengah sepi”. Hal ini apabila dibandingkan dengan provinsi tetangga sesama Kalimantan, yaitu Kalimantan Selatan atau Kalimantan Timur. Sastrawan Kalimantan Tengah yang hingga kini telah mengorbit secara nasional hanya ada tiga, yaitu Fridolin Ukur (asal Tamiang Layang, Kabupaten Barito Timur), Haji Ahmad Badar Sulaiman Usin, lebih dikenal dengan nama HABSU (asal Pulang Pisau), dan J.J. Kusni (asal Kasongan, Kabupaten Katingan). Apa dan siapa ketiga tokoh sastrawan Kalteng tersebut, silakan membuka laman Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah, dengan alamat: www.balaibahasaprovinsikalteng.org, lalu klik Tokoh.
Dua dari tiga sastrawan asal Kalteng itu kini telah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu, yaitu Fridolin Ukur dan HABSU. Sementara J.J. Kusni yang juga memiliki nama samaran K. Sulang, telah lama meninggalkan Indonesia dan kini bermukim di Perancis. Mereka bertiga muncul dan diorbitkan oleh H.B. Jassin sebagai Angkatan 66. Tentu karya-karya mereka dapat ditemukan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Jalan Cikini Raya 73, Jakarta Pusat. Selain ada di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, karya-karya mereka juga dapat ditemukan di dokumentasi sastra Korrie Layun Rampan, di Bekasi, dan dokumentasi ini akan dipindahkan oleh Korrie ke Samarindra, Kalimantan Timur.
Ketika E.U. Kratz dari School of Oriental and African Studies (SOAS) London meregistrasi karya-karya sastra Indonesia yang terdapat di majalah dan surat kabar, yang kemudian diterbitkan dalam buku A Bibliography of Modern Indonesian Literature in Journals (1988), hanya tercantum dua nama dari Kalimantan Tengah, yaitu Edmond Sawong dan K.Sulang (nama samaran J.J. Kusni). Hal ini kita maklumi bahwa yang dicatat oleh Kratz terbatas pada majalah yang sampai ke London atau terbatas yang ada di PDS H.B. Jassin sampai tahun 1970-an. Padahal, apabila kita telusuri ke surat kabar nasional atau lokal hingga tahun 2000-an, tentu banyak nama para sastrawan Kalimantan Tengah yang ada, separti Abdul Fatah Nahan, Kurnia Untel (Buntok, Muara Teweh), Alimul Huda, Dafi Fadjar Rahardjo, Elsy Suarni, Suyitno BT, Sandi Firly (Kuala Pembuang, Seruyan), Dedy Setiawan (Sukamara), Agung Catur, Luthfi, Makmur Anwar, Supardi, Pahit S. Narratoma, Lukman Hakim Siregar, dan Bajik Rubuh Simpei.
Untuk mengangkat sastra(wan) Kalimantan Tengah mengorbit ke pentas sastra nasional akhir-akhir ini Korrie Layun Rampan menawarkan partisipasi Kalteng ikut dalam Dialog Borneo-Kalimantan 2009 di Samarindra, Kalimantan Timur. Ajakan ini disambut baik oleh teman-teman sastrawan Kalimantan Tengah yang tergabung dalam Ikatan Sastawan Sastra Indonesia (ISASI) Kalimantan Tengah untuk mengikuti kegiatan itu dengan cara mengumpulkan cerpen, puisi, fragmen novel, esai, dan kritik sastra ke alamat Korrie Layun Rampan, Pemimpin Redaktur Koran Sentawar Pos, Karang Rejo RT III Kampung Sendawar 75576, Kecamatan Barong Tongkok, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur.
Selain itu, Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah pada akhir-akhir ini untuk menyemarakkan Tahun Bahasa 2008, juga melakukan kegiatan pemasyarakatan apresiasi sastra agar Kalteng dikenal secara nasional maupun mendunia, seperti Dialog Sastra dengan Sastrawan Danarto (Kapuas dan Palangkaraya, Maret 2008), Temu Sastra Majelis Sastera Asia Tenggara bersama sastrawan Hamsad Rangkuti (Palangkaraya, Juli 2008), Bedah Buku Kumpulan Cerpen karya Sandi Firly (Palangkaraya, Mei 2008), Seminar Apresiasi Sastra (Palangkaraya, Februari dan April 2008), Bengkel Penulisan Cerpen (Tamiang Layang dan Buntok, April dan Mei 2008), Bengkel Musikalisasi Puisi (Sampit dan Buntok, Mei dan Juli 2008), Siaran Tebaran Sastra di RRI Palangkaraya yang diasuh oleh Makmur Anwar setiap Minggu malam, Lomba Baca Puisi Guru SD se-Kalteng (Palangkaraya, Agustus 2008), Lomba Musikalisasi Puisi Siswa SLTA se-Kalteng (Palangkaraya, Agustus 2008) pemenang pertama dikirim ke tingkat nasional di Jakarta (Oktober 2008), Sayembara Cipta Cerpen Remaja Tingkat Kalimantan Tengah 2008 (sepuluh nominasi diikutsertakan ke tingkat Nasional di Jakarta), Sayembara Cerita Rakyat Kalimantan Tengah 2008, dan penulisan Ensiklopedia Sastra Indonesia dan Daerah di Kalimantan Tengah yang akan diterbitkan bersamaan dengan Kongres IX Bahasa Indonesia di Jakarta pada Oktober 2008, serta penghargaan Tokoh Sastra 2008.
Sepinya aktivitas sastra di Kalimantan Tengah ada berbagai penyebab, antara lain, media massa lokal tidak memberi tempat untuk memublikasikan karya-karya mereka. Para pengusaha media massa lokal menganggap sastra tidak bernilai ekonomis, lebih baik memuat iklan, pengumuman lelang, berita kegiatan para pejabat yang sering memberi donatur pada mereka, dan kegiatan pariwara yang lain agar pengusaha media massa memperoleh keuntungan secara ekonomis. Kami tidak sampai berpikiran tentang kaya miskin, materialistis, penduduk Kalteng seperti pikiran Udo Z. Karzi dalam tulisannya di Borneonews itu.
Tidak ada hubungannya permintaan kami agar media massa berkenan membuka rubrik seni budaya dan sastra di media massa dengan kehidupan masyarakat miskin di Kalimantan Tengah. Oleh karena itu, saya mengharapkan agar media massa, cetak maupun elektronik, lokal dan nasional, sudi kiranya membuka ruangan seni budaya, khususnya sastra(wan) Kalteng dalam satu minggu sekali. Ini semata-mata untuk memajukan peradaban bangsa, mempertinggi budi pekerti bangsa agar lebih bermartabat, dan tetap bersatu dalam pertahanan budaya dan nilai-nilai luhur budaya bangsa, serta Kalimantan Tengah dikenal secara nasional dan internasional.
* Puji Santosa, Kepala Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah
Sumber: Borneonews, Senin, 18 Agustus 2008
Posted by Kantong Sastra at 11:56 PM 0 comments
Labels: wacana
Sunday, August 17, 2008
Sastra di Kalteng Sulit Berkembang
PALANGKARAYA (Borneo): Apresiasi masyarakat yang rendah terhadap sastra di Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) menyebabkan daerah ini sangat minim menghasilkan sastrawan dan karya sastra bermutu.
"Kalteng baru memiliki tiga sastrawan yang telah dikenal publik. Hal ini karena karya sastra memang kurang begitu diminati warga," kata Kepala Balai Bahasa Kalteng Puji Santosa di Palangkaraya, Sabtu (19/7).
Kurangnya minat warga terhadap karya sastra didasari pemikiran bahwa karya sastra tidak mampu menghasilkan nilai ekonomi yang dibutuhkan warga sehari-hari.
Banyaknya warga Kalteng yang hidup miskin di berbagai daerah pedalaman menyebabkan sastra sulit berkembang di daerah itu.
Balai Bahasa sendiri, kata Puji, telah berupaya mengggairahkan dunia sastra setempat meski sampai saat ini tanggapannya belum sebaik yang diharapkan.
Pergelaran sayembara penulisan cerita pendek (cerpen) dan kegiatan sastra lain, sangat minim diikuti peserta.
Dalam sayembara penulisan cerpen misalnya, hanya diikuti 28 peserta dan sayembara penulisan cerita rakyat yang hanya diikuti dua peserta.
Puji menilai, perkembangan karya sastra di Kalteng juga kurang mendapat dukungan dari media massa selaku media publik.
"Media massa seharusnya ikut bertanggungjawab melestarikan sastra dengan menyediakan ruang khusus atau kolom sastra. Saat ini baru beberapa media saja yang telah memberikan apresiasi untuk ini," jelasnya.
Sementara itu, Hamsad Rangkuti, sastrawan asal Medan yang turut hadir di Palangkaraya dalam kegiatan Temu Sastra se-Kalteng mengakui banyak hambatan dalam mengembangkan karya sastra di daerah.
Ruang publik yang terbatas untuk memuat hasil karya sastra seperti puisi dan cerpen di media massa, dinilainya cukup berpengaruh terhadap perkembangan dunia sastra seperti di Kalteng.
"Media massa harus memberi apresiasi yang cukup untuk sastrawan dan karyanya. Agar bisa berkembang di daerah, karya sastra lebih baik disesuaikan dengan kondisi lokal masyarakat," tambah sastrawan penerima sejumlah penghargaan nasional itu. (Ant/B-4)
Sumber: Borneonews, Senin, 21 Juli 2008
Baca juga: Dicari: Sastra(wan) Kalteng!
Posted by Kantong Sastra at 11:14 PM 0 comments
Labels: kabar
Monday, August 4, 2008
Dicari: Sastra(wan) Kalteng!
Esai Udo Z. Karzi
SUDAH lama memang saya bertanya-tanya, adakah sastrawan di Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng). Teman-teman bilang ada. Namun, siapa, tidak ada yang bisa menyebutkannya.
Sama saja ketika Temu Sastra se-Kalteng, 18 Juli 2008 lalu, Kepala Kantor Bahasa Kalteng Puji Santoso menyebutkan Kalteng baru memiliki tiga sastrawan yang dikenal publik. Lagi-lagi saya tidak menemukan nama.
Menurut Puji Santoso, apresiasi masyarakat yang rendah terhadap sastra di Kalteng menyebabkan daerah ini sangat minim menghasilkan sastrawan dan karya sastra bermutu.
Warga kurang meminati karya sastra. Alasannya, karya sastra tidak mampu menghasilkan nilai ekonomi yang dibutuhkan warga sehari-hari. Sebagian besar warga Kalteng yang hidup masih miskin dan tersebar di berbagai daerah pedalaman, menyebabkan sastra sulit berkembang di daerah itu.
Ada yang salah? Kepala Kantor Bahasa Kalteng menuding media massa kurang mendukung perkembangan sastra di Kalteng. "Media massa seharusnya ikut bertanggung jawab melestarikan sastra
dengan menyediakan ruang khusus atau kolom sastra. Saat ini baru beberapa media saja yang telah memberikan apresiasi untuk ini," jelasnya.
Ah, argumen yang terlalu materialistik. Saya sungguh heran jika persoalan sastra terkait dengan persoalan kaya-miskin.
Kita lihat kantong-kantong sastra di tanah air: Medan, Sumatera Barat, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Bali, dan Lampung untuk menyebutkan beberapa tempat. Saya kira bukan persoalan tempat-tempat itu penduduknya sudah makmur-makmur, sehingga mereka dapat membuat karya sastra dan mencetak sastrawan.
Tanpa harus bertanya kepada Biro Pusat Statistik, Kalteng toh bukan provinsi yang terlalu miskin dibandingkan dengan, katakanlah Provinsi Lampung yang masih menjadi provinsi termiskin kedua di Sumatera. Tadinya, nomor satu sebelum digeser Nangroe Aceh Darussalam (NAD) pasca tsunami tahun 26 Desember 2004.
Saya ambil contoh Lampung karena saya tahunya cuma Lampung. Kemiskinan, penganguran, daerah terisolir, dan masalah sosial lain masih mendera provinsi ujung Pulau Sumatra ini. Tapi, sastra memang tidak terkait dengan kaya-miskin, sehingga Lampung dikenal sebagai 'negeri penyair'.
Bahkan, sastrawan Djadjat Sudradjat dalam sebuah acara Temu Penyair Lampung sempat mengatakan, di tengah berbagai masalah sosial-ekonomi-politik yang mendera, nama Lampung diselamatkan oleh sastrawan (penyair). Pengamat sastra tanah air mengakui pertumbuhan syair (dan penyair) di tanah Sang Bumi Ruwa Jurai ini sangat pesat. Saat ini, puluhan penyair tinggal dan pernah tinggal di provinsi ini.
Kalimantan sendiri sudah melahirkan beberapa nama sastrawan seperti Odhie's, Yusach Ananda, dan Korrie Layun Rampan. Yang terkini, ada Pay Jarot Sudjarwo dan Hasan Aspahani.
Saya juga heran, dari nama-nama itu hampir tidak ada (untuk mengatakan memang tidak ada) yang berasal dari Kalteng. Karena kemiskinan? Ah, saya malah berpikir kemiskinan dan juga masalah sosial justru bisa menyuburkan sastra. Bukankah kemiskinan (asal bukan miskin jiwa) justru membuat orang lebih kreatif?
Memang, perlu 'situasi kondusif' yang memungkinkan lahirnya kreativitas (karya sastra dan sastrawan) untuk kemudian terus-menerus dipupuk agar subur dan berkembang baik. Situasi seperti ini (pesatnya perkembangan sastra) memang tidak lahir begitu saja. Harus ada yang tanpa lelah menjadi lokomotif yang menggerakkan sekaligus menjadi inspirasi.
Media massa sebagai salah satu sarana bisa juga membantu mendorong ke arah itu. Bagaimana pun media juga membutuhkan karya-karya sastra yang berkualitas.
Entah, siapa yang mau memulainya. Dan, harus dari mana dimulai. Saya hanya mau pasang pengumuman.
Dicari: Sastra(wan) Kalteng!
* Udo Z. Karzi, Seorang penikmat sastra, sementara ini tinggal di Pangkalan Bun
Sumber: Borneonews, Senin, 4 Agustus 2008
Baca juga: Sastra di Kalteng Sulit Berkembang
Posted by Kantong Sastra at 10:46 PM 0 comments
Labels: wacana