Cerpen Ernawati Rasyid
SEMUANYA terjaga malam ini. Malam-malam kemarin. Purnama begitu kelam menemani para perempuan dan laki-laki di pembaringan. Tidak ada sepasang mata yang terkatup. Semuanya menganga dengan degupannya masing-masing. Menanti hari ke tujuh purnama. Menunggu purnama terakhir untuk menurunkan bayi-bayi dari langit. Air mata tak sabar menanti meleleh disemua pipi perempuan malam-malam purnama. Seperti hujan yang turun tak bergerimis.
Tiga purnama telah berlalu. Perempuan-perempuan menyiapkan segala perlengkapan bayi. Toko-toko pun dipenuhi hanya para perempuan. Setiap hari selama tiga purnama, hanya perlengkapan bayi yang merebak di hati para perempuan. Tawa air mata menyeringai di sudut mata perempuan-perempuan itu saat berbelanja. Bahkan ada yang berteriak histeris saat berbelanja. Terlalu bahagia. Terlalu banyak bahagia sehingga tak ada kata yang terangkai dari mulut mereka. Hanya ada derai tawa dan air mata setiap harinya.
Empat purnama telah berlalu. Para perempuan menghias rumah mereka dengan hiasan-hiasan yang terindah. Semuanya bercahaya di setiap sudutnya. Seperti hamparan bintang di langit. Mereka pun hanya bisa tertawa dan menangis. Ketika malam hadir, tak ada kelopak mata yang mengatup. Semuanya terjaga. Tak sabar menanti purnama ke tujuh hadir. Dengan bayi-bayi yang diturunkan dari langit. Mendengar bahwa purnama ke tujuh bayi-bayi akan diturunkan dari langit, para perempuan sangat bergembira. Terlebih bagi yang mereka tidak mempunyai anak. Airmata mereka tumpah ruah begitu saja mendengar hal ini. Bahkan ada yang sujud di puncak gunung untuk berterima kasih kepada Tuhan. Bukan hanya itu, ada pula seorang perempuan yang pingsan selama dua hari. Semuanya tidak sabar menanti purnama ke tujuh.
Lima purnama telah berlalu. para perempuan berkumpul bersama tetangga-tetangga mereka. Kini, sepatah kata pun keluar. Semuanya asyik membicarakan bayi-bayi yang akan turun dari langit. Bahkan mereka telah mempersiapkan nama yang akan mereka berikan kepada bayi-bayi itu. Mereka terlalu bergembira sehingga bajunya basah karena air mata.
“Apa kau sudah siap menghadapi purnama ke tujuh besok?” tanya seorang suami kepada istrinya.
“Aku sudah siap! Berhari-hari aku mempersiapkan semuanya.” Jawab si istri.
“Apa kau gembira?”
“Yah! Aku sangat gembira. Bagaimana denganmu?”
“Ya. Sama sepertimu..”
“Semua perempuan juga bergembira. Bahkan telah berhari-hari mempersiapkan segalanya. Aku pikir, kau sudah tahu itu.”
“Iya, aku melihatnya. Jangankan mereka, cukup istriku saja yang aku lihat.”
“Aku deg-degan!”
“Apa ada yang kau khawatirkan?”
“Entahlah. Aku merasa deg-degan saja”.
“Semuanya akan baik-baik saja. Tuhan kan tidak pernah salah. Tunggulah besok, bayi-bayi itu akan diturunkan dari langit.”
“Kau ingin bayi perempuan atau laki-laki?”
“Menurutmu?”
“Kau akan menjadi ayah. Jadi aku minta pendapatmu?”
“Aku suka bayi laki-laki. Juga perempuan”.
“Hahaha… Apa kau mau aku mengambil dua-duanya? Itu menyalahi aturan. Tuhan hanya memperbolehkan mempunyai satu anak. Jadi bayi yang mana harus aku ambil?’
“Bayi perempuan atau laki-laki sama saja.”
“Maksudmu?”
“Iya, perempuan atau laki-laki sama saja. Hanya raganya yang berbeda. Jiwanya tetap sama. Lagipula hati juga tidak mungkin berjenis kelamin.’
Purnama ke tujuh yang dinanti oleh para perempuan telah tiba. Semuanya berpakaian yang sangat indah. Berhias hingga berjam-jam lamanya di depan cermin untuk menanti hadirnya bayi-bayi dari langit itu. Semuanya pun menuju ke tanah lapang di tengah-tengah tempat tinggal mereka. Bahkan ada yang bersama suaminya masing- masing. Senyum lebar menghiasi wajah para perempuan. Lalu mereka pun berkumpul di tanah lapang. Menunggu bayi-bayi itu.
Lama menanti tak ada juga tanda-tanda. Namun, semuanya masih tersenyum. Berselang beberapa jam tidak ada juga pertanda bayi-bayi itu akan turun. Raut wajah menajdi resah dan gelisah. Rasa takut pun mulai menghinggapi mereka. Jangan-jangan tidak ada bayi malam ini. Lalu, langit pun menjadi agak redup. Purnama terlihat hanya bayang-bayang saja. Suara gemuruh begitu menggelegar hingga menggetarkan hati. Gerimis pun mulai berjatuhan dari langit. Membasahi sekujur peluh tubuh mereka. Membasuh segala yang ada di dalam jiwa dan raga. Gerimis pun semakin menderas. Hujan pun turun mengguyur mereka di tanah lapang itu. Saat itu pula satu per satu bayi diturunkan dari langit. Para perempuan bergembira menyambut bayi-bayi itu. Para perempuan berlarian meraih bayi itu. Bahkan ada yang berjingkrak-jingkrak untuk meraihnya. Sebagian telah mendapatkan bayi itu. Ada yang tertawa hingga airmatanya menderas. Bahkan ada juga yang memeluk bayi itu tidak mau melepaskannya. Namun, dua orang perempuan terlihat beradu mulut. Bukan hanya itu, fisik mereka pun bergulat di tengah hujan di tanah lapang itu.. Tetapi, tidak ada yang memperhatikannya. Semuanya sibuk dengan bayi-bayi itu.
“Bayi ini milikku!” kata perempuan pertama
“Bukan! Dia milikku!” kata perempuan kedua
“Aku pertama yang mendapatkannya! Kau carilah yang lain saja!”
“Bukan! Aku yang pertama mendapatkannya!”
“Berikan bayi itu!’
Keduanya bertengkar memperebutkan bayi itu di tengah hujan. Tidak ada yang peduli dengan pertengkaran mereka. Tidak ada lagi bayi yang turun. Itu bayi terakhir, dan masih ada dua perempuan yang belum mendapatkannya. Tidak ada yang mau mengalah.
“Berikan bayi itu padaku!” kata perempuan pertama lagi.
“Aku yang pertama mendapatkannya!” kata perempuan kedua
“Kau tahu, aku begitu mengharapkannya. Sudah berhari-hari aku menunggunya. Telah aku persiapkan semuanya untuk menyambutnya.”
“Sudah berpuluh tahun aku menantinya. Bukan hanya kau, aku juga telah mempersiapkan semuanya. Kau tahu, betapa aku sangat menginginkan bayi ini. Berikan saja kepadaku!”
“Tidak! Aku tidak mau. Aku juga menginginkan bayi itu!”
“Diam!”. Bayi itu pun bersuara.
Bayi itu berbicara. Kedua perempuan itu hanya bisa mengangakan mulutnya. Entah apa yang akan keluar dari mulutnya melihat bayi itu. Kedua mata bayi itu pun melirik kedua perempuan itu secara bergantian. Entah berapa lama. Kedua prempuan itu menanti apa yang akan dikatakan bayi itu.
“Diamlah kalian berdua!” kata bayi itu lagi
“Tidak bisa! Kau harus memilih diantara kami yang akan menjadi ibumu,” kata perempuan pertama
“Iya! Kau harus memilih salah satu di antara kami untuk menjadi ibumu.” Kata perempuan kedua.
“Aku tidak memilih salah satu diantara kalian. Tetapi aku memilih kehidupan!”
Makassar, 14 November 2009
Friday, May 21, 2010
Perempuan Bayi
Posted by Kantong Sastra at 9:30 PM 0 comments
Labels: karya (cerpen)
Saturday, May 15, 2010
Ayat-Ayat Cinta*
Cerpen Restoe Prawironegoro Ibrahim
MARIA merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Digerakkan kedua pundaknya beberapa kali hingga terdengar bunyi gemerutuk tulang kering di antara keduanya. Matanya menatap lurus ke langit-langit kamar. Di situ seolah-olah tergambar kembali ceramah-ceramah yang selalu diikutinya setelah selesai responsi agama. Beberapa kalimat yang kerap kali didapatnya dan sulit untuk melupakannya, selalu terngiang di telinganya.
“Cobalah kalian baca surat Al-Mumtahanan ayat 10; ……… Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang itu tiada halal pula bagi mereka…… Jadi jelaslah, untuk kaum wanita adalah haram mendapatkan pendamping hidupnya yang bukan beragama Islam…….!”
Maria memejamkan mata dan menghela nafas berat. Kini wajah Fahri hadir dengan senyum kedewasaannya.
“Agama kita memang berbeda, Maria, tapi semua itu tak akan dapat mengalahkan kasih di antara kita………,” begitu selalu yang dikatakan Fahri setiap saat padanya.
Dalam keadaan seperti ini, perasaan sedih dan marah bercampur menjadi satu. Tapi ia tak tahu siapa yang salah dalam hal ini. Sejak TK ia telah dimasukkan ke sekolah Katolik, hingga SMU tak secuil pun pelajaran agamanya yang ia dapatkan dari sekolahnya. Ia memang belajar mengaji dan sholat hingga lancar, tapi tak tahu apa makna dari semua itu. Tidak ada perasaan memiliki atas agama yang tertulis dalam buku laporannya selama ini.
Dan saat ini, sedang menyelesaikan studi pasca-sarjananya di Perguruan Tinggi di mana ia melanjutkan cita-citanya, semakin tahulah Maria bahwa hukum-hukum Islam begitu luas, bukan hanya rukun Islam dan rukun Iman yang telah dihafalnya di luar kepala. Dosen dan para asisten serta teman-temannya telah membuka matanya lebar-lebar tentang Islam. Aisyah tidak tahu apa yang harus ia katakan pada Fahri , hubungan mereka sudah berjalan hampir tiga tahun. Meskipun Fahri memikirkan studi kuliahnya untuk menyelesaikan pasca-sarjana di Universitas Al-Azhar, tapi hubungan mereka selalu hadir hampir setiap hari, dan di antara berdua sangat saling membutuhkan.
Maria menatap lampu tidur warna biru lima watt yang menerangi kamarnya di lantai paling atas sebuah rumah apartemen. Lampu seperti itu pulalah yang selalu menerangi jiwanya di mana hendak mengirimkan kado buat Fahri lewat tali beserta keranjangnya yang berisi makanan. Sebuah kamar apartemen yang cukup praktis dengan jendela kecil saja. Maria tidak tahu apakah itu salah. Yang pasti ia begitu bahagia mendapatkan seorang Fahri yang sangat dewasa, sopan, penuh pengertian dan kasih sayang.
Dan sekarang sebuah vonis seolah-olah diberikan padanya. Haram! Akh……. Maria mengusap air mata yang tiba-tiba membasahi pipinya. Mengapa tidak sejak dahulu ia mengetahui semua itu, sebelum ia mengenal Fahri. Air matanya kian deras mengalir. Maria bimbang. Dalam keadaan seperti itu, perlahan-lahan Maria bangkit dan menyalakan lampu besar di samping lampu biru. Lambat-lambat ia berjalan untuk mengambil air wudhu. Kemudian sholat.
Di balik tudung putih, Maria masih terpekur duduk di atas sajadahnya, Maria enggan beranjak dari atas sajadahnya.
“Ya Allah! Berilah jalan yang terbaik bagiku. Dan ampunilah segala dosaku selama ini,” jerit hatinya di antara ayat-ayat yang terucap dari mulutnya. Mulutnya terus berdzikir, dan hatinya semakin tenang kini, ia terus berdzikir…….. hingga tertidur.
Setelah sholat Maria membaca ayat suci Al-Qur’an. Kemudian membaca bahan kuliahnya untuk hari ini.
****
Maria diam tidak tahu apa yang harus diperbuatnya.
“Kau harus berani menghadapi kenyataan, yang terburuk sekalipun….,” kata Aisyah. “Atau bila kau merasa tidak kuat, tidak usah sekaligus, perlahan-lahan saja………”
“Tapi Mbak bila semakin lama, maka semakin sulit saya melepaskan dia.”
Aisyah tersenyum tenang di balik wajah jubahnya yang hitam terturtup, hanya tinggal kedua matanya yang nampak.
“Mbak mengerti, kalau kau memang merasa telah kuat, ambillah keputusan itu. Tapi yang penting tidak usah main kucing-kucingan dengan tidak mau menemui dia. Itu bukan penyelesaian yang baik. Mbak yakin kau wanita non-muslim yang kuat, Maria. Kemukakanlah keputusan itu padanya. Mbak juga berdoa semoga semuanya berjalan dengan baik.”
Ya, mengapa aku harus takut bila berada di jalan yang benar, bisik hati Maria.
“Terima kasih, Mbak!”
Aisyah tersenyum sambil meraih pundak Maria.
“Yakinlah, Allah akan memberikan hikmah-Nya untuk setiap apa yang terjadi . Maka tegar dan bersabarlah dalam menghadapi segala sesuatu. Kau masih ada kuliah?”
“Tidak!”
Sayup-sayup dari masjid terdengar suara adzan.
Maria mengambil wudhu untuk sholat dan memohon kekuatan kepada Allah Subhana Wataala.
“Innalillahi-wainnahirojion……….” bisik Aisyah mendengar kepergian sahabatnya. Ia akan menang di sana bersama Tuhan! Aisyah yakin itu. ***
Jakarta-Slipi Jaya, catatan; 28 Februari – 13 Maret 2008.
* Diilhami dari sebuah film dengan judul yang sama, karya novelis muda Habbiburahman El-Shirazy, dengan sutradara Hanung Bramantyo.
Posted by Kantong Sastra at 10:28 PM 0 comments
Labels: karya (cerpen)
Saturday, May 1, 2010
Tangis Kabut Asap
Sajak R. Cahyadi
Musibah atau bencana kah ini?
Karena alam atau manusia
Akal kita sudah bisa menjawab
Perbuatan manusia
Siapa kah yang bertanggungjawab?
Rakyat yang sibuk menulis dan berdagang
Atau pengais rezeki dari hutan dan lahan
Tentu saja kau tertawa karena tahu jawabannya
Kami hidup di sini menghirup asap tebal
Makin hari, makin pekat
Entah, apakah akan ada membuat penyakit bagi kami
Tapi rasanya pernafasan kami terusik
Siapa yang harusnya menangis?
Kita, mereka pembakar hutan atau alam
Terduduk ku memikirkan semuanya
Tak tahu apa yang kuperbuat
Hanya hatiku merasa miris dengan semua ini.
Palangka Raya, Minggu 6 September 2009
Posted by Kantong Sastra at 9:36 PM 1 comments
Labels: karya (puisi)