Friday, May 21, 2010

Perempuan Bayi

Cerpen Ernawati Rasyid


SEMUANYA terjaga malam ini. Malam-malam kemarin. Purnama begitu kelam menemani para perempuan dan laki-laki di pembaringan. Tidak ada sepasang mata yang terkatup. Semuanya menganga dengan degupannya masing-masing. Menanti hari ke tujuh purnama. Menunggu purnama terakhir untuk menurunkan bayi-bayi dari langit. Air mata tak sabar menanti meleleh disemua pipi perempuan malam-malam purnama. Seperti hujan yang turun tak bergerimis.

Tiga purnama telah berlalu. Perempuan-perempuan menyiapkan segala perlengkapan bayi. Toko-toko pun dipenuhi hanya para perempuan. Setiap hari selama tiga purnama, hanya perlengkapan bayi yang merebak di hati para perempuan. Tawa air mata menyeringai di sudut mata perempuan-perempuan itu saat berbelanja. Bahkan ada yang berteriak histeris saat berbelanja. Terlalu bahagia. Terlalu banyak bahagia sehingga tak ada kata yang terangkai dari mulut mereka. Hanya ada derai tawa dan air mata setiap harinya.


Empat purnama telah berlalu. Para perempuan menghias rumah mereka dengan hiasan-hiasan yang terindah. Semuanya bercahaya di setiap sudutnya. Seperti hamparan bintang di langit. Mereka pun hanya bisa tertawa dan menangis. Ketika malam hadir, tak ada kelopak mata yang mengatup. Semuanya terjaga. Tak sabar menanti purnama ke tujuh hadir. Dengan bayi-bayi yang diturunkan dari langit. Mendengar bahwa purnama ke tujuh bayi-bayi akan diturunkan dari langit, para perempuan sangat bergembira. Terlebih bagi yang mereka tidak mempunyai anak. Airmata mereka tumpah ruah begitu saja mendengar hal ini. Bahkan ada yang sujud di puncak gunung untuk berterima kasih kepada Tuhan. Bukan hanya itu, ada pula seorang perempuan yang pingsan selama dua hari. Semuanya tidak sabar menanti purnama ke tujuh.


Lima purnama telah berlalu. para perempuan berkumpul bersama tetangga-tetangga mereka. Kini, sepatah kata pun keluar. Semuanya asyik membicarakan bayi-bayi yang akan turun dari langit. Bahkan mereka telah mempersiapkan nama yang akan mereka berikan kepada bayi-bayi itu. Mereka terlalu bergembira sehingga bajunya basah karena air mata.

“Apa kau sudah siap menghadapi purnama ke tujuh besok?” tanya seorang suami kepada istrinya.

“Aku sudah siap! Berhari-hari aku mempersiapkan semuanya.” Jawab si istri.

“Apa kau gembira?”

“Yah! Aku sangat gembira. Bagaimana denganmu?”

“Ya. Sama sepertimu..”

“Semua perempuan juga bergembira. Bahkan telah berhari-hari mempersiapkan segalanya. Aku pikir, kau sudah tahu itu.”

“Iya, aku melihatnya. Jangankan mereka, cukup istriku saja yang aku lihat.”

“Aku deg-degan!”

“Apa ada yang kau khawatirkan?”

“Entahlah. Aku merasa deg-degan saja”.

“Semuanya akan baik-baik saja. Tuhan kan tidak pernah salah. Tunggulah besok, bayi-bayi itu akan diturunkan dari langit.”

“Kau ingin bayi perempuan atau laki-laki?”

“Menurutmu?”

“Kau akan menjadi ayah. Jadi aku minta pendapatmu?”

“Aku suka bayi laki-laki. Juga perempuan”.

“Hahaha… Apa kau mau aku mengambil dua-duanya? Itu menyalahi aturan. Tuhan hanya memperbolehkan mempunyai satu anak. Jadi bayi yang mana harus aku ambil?’

“Bayi perempuan atau laki-laki sama saja.”

“Maksudmu?”

“Iya, perempuan atau laki-laki sama saja. Hanya raganya yang berbeda. Jiwanya tetap sama. Lagipula hati juga tidak mungkin berjenis kelamin.’

Purnama ke tujuh yang dinanti oleh para perempuan telah tiba. Semuanya berpakaian yang sangat indah. Berhias hingga berjam-jam lamanya di depan cermin untuk menanti hadirnya bayi-bayi dari langit itu. Semuanya pun menuju ke tanah lapang di tengah-tengah tempat tinggal mereka. Bahkan ada yang bersama suaminya masing- masing. Senyum lebar menghiasi wajah para perempuan. Lalu mereka pun berkumpul di tanah lapang. Menunggu bayi-bayi itu.

Lama menanti tak ada juga tanda-tanda. Namun, semuanya masih tersenyum. Berselang beberapa jam tidak ada juga pertanda bayi-bayi itu akan turun. Raut wajah menajdi resah dan gelisah. Rasa takut pun mulai menghinggapi mereka. Jangan-jangan tidak ada bayi malam ini. Lalu, langit pun menjadi agak redup. Purnama terlihat hanya bayang-bayang saja. Suara gemuruh begitu menggelegar hingga menggetarkan hati. Gerimis pun mulai berjatuhan dari langit. Membasahi sekujur peluh tubuh mereka. Membasuh segala yang ada di dalam jiwa dan raga. Gerimis pun semakin menderas. Hujan pun turun mengguyur mereka di tanah lapang itu. Saat itu pula satu per satu bayi diturunkan dari langit. Para perempuan bergembira menyambut bayi-bayi itu. Para perempuan berlarian meraih bayi itu. Bahkan ada yang berjingkrak-jingkrak untuk meraihnya. Sebagian telah mendapatkan bayi itu. Ada yang tertawa hingga airmatanya menderas. Bahkan ada juga yang memeluk bayi itu tidak mau melepaskannya. Namun, dua orang perempuan terlihat beradu mulut. Bukan hanya itu, fisik mereka pun bergulat di tengah hujan di tanah lapang itu.. Tetapi, tidak ada yang memperhatikannya. Semuanya sibuk dengan bayi-bayi itu.


“Bayi ini milikku!” kata perempuan pertama

“Bukan! Dia milikku!” kata perempuan kedua

“Aku pertama yang mendapatkannya! Kau carilah yang lain saja!”

“Bukan! Aku yang pertama mendapatkannya!”

“Berikan bayi itu!’

Keduanya bertengkar memperebutkan bayi itu di tengah hujan. Tidak ada yang peduli dengan pertengkaran mereka. Tidak ada lagi bayi yang turun. Itu bayi terakhir, dan masih ada dua perempuan yang belum mendapatkannya. Tidak ada yang mau mengalah.

“Berikan bayi itu padaku!” kata perempuan pertama lagi.

“Aku yang pertama mendapatkannya!” kata perempuan kedua

“Kau tahu, aku begitu mengharapkannya. Sudah berhari-hari aku menunggunya. Telah aku persiapkan semuanya untuk menyambutnya.”

“Sudah berpuluh tahun aku menantinya. Bukan hanya kau, aku juga telah mempersiapkan semuanya. Kau tahu, betapa aku sangat menginginkan bayi ini. Berikan saja kepadaku!”

“Tidak! Aku tidak mau. Aku juga menginginkan bayi itu!”

“Diam!”. Bayi itu pun bersuara.

Bayi itu berbicara. Kedua perempuan itu hanya bisa mengangakan mulutnya. Entah apa yang akan keluar dari mulutnya melihat bayi itu. Kedua mata bayi itu pun melirik kedua perempuan itu secara bergantian. Entah berapa lama. Kedua prempuan itu menanti apa yang akan dikatakan bayi itu.

“Diamlah kalian berdua!” kata bayi itu lagi

“Tidak bisa! Kau harus memilih diantara kami yang akan menjadi ibumu,” kata perempuan pertama

“Iya! Kau harus memilih salah satu di antara kami untuk menjadi ibumu.” Kata perempuan kedua.


“Aku tidak memilih salah satu diantara kalian. Tetapi aku memilih kehidupan!”


Makassar, 14 November 2009

No comments: