Cerpen Restoe Prawironegoro Ibrahim
MARIA merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Digerakkan kedua pundaknya beberapa kali hingga terdengar bunyi gemerutuk tulang kering di antara keduanya. Matanya menatap lurus ke langit-langit kamar. Di situ seolah-olah tergambar kembali ceramah-ceramah yang selalu diikutinya setelah selesai responsi agama. Beberapa kalimat yang kerap kali didapatnya dan sulit untuk melupakannya, selalu terngiang di telinganya.
“Cobalah kalian baca surat Al-Mumtahanan ayat 10; ……… Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang itu tiada halal pula bagi mereka…… Jadi jelaslah, untuk kaum wanita adalah haram mendapatkan pendamping hidupnya yang bukan beragama Islam…….!”
Maria memejamkan mata dan menghela nafas berat. Kini wajah Fahri hadir dengan senyum kedewasaannya.
“Agama kita memang berbeda, Maria, tapi semua itu tak akan dapat mengalahkan kasih di antara kita………,” begitu selalu yang dikatakan Fahri setiap saat padanya.
Dalam keadaan seperti ini, perasaan sedih dan marah bercampur menjadi satu. Tapi ia tak tahu siapa yang salah dalam hal ini. Sejak TK ia telah dimasukkan ke sekolah Katolik, hingga SMU tak secuil pun pelajaran agamanya yang ia dapatkan dari sekolahnya. Ia memang belajar mengaji dan sholat hingga lancar, tapi tak tahu apa makna dari semua itu. Tidak ada perasaan memiliki atas agama yang tertulis dalam buku laporannya selama ini.
Dan saat ini, sedang menyelesaikan studi pasca-sarjananya di Perguruan Tinggi di mana ia melanjutkan cita-citanya, semakin tahulah Maria bahwa hukum-hukum Islam begitu luas, bukan hanya rukun Islam dan rukun Iman yang telah dihafalnya di luar kepala. Dosen dan para asisten serta teman-temannya telah membuka matanya lebar-lebar tentang Islam. Aisyah tidak tahu apa yang harus ia katakan pada Fahri , hubungan mereka sudah berjalan hampir tiga tahun. Meskipun Fahri memikirkan studi kuliahnya untuk menyelesaikan pasca-sarjana di Universitas Al-Azhar, tapi hubungan mereka selalu hadir hampir setiap hari, dan di antara berdua sangat saling membutuhkan.
Maria menatap lampu tidur warna biru lima watt yang menerangi kamarnya di lantai paling atas sebuah rumah apartemen. Lampu seperti itu pulalah yang selalu menerangi jiwanya di mana hendak mengirimkan kado buat Fahri lewat tali beserta keranjangnya yang berisi makanan. Sebuah kamar apartemen yang cukup praktis dengan jendela kecil saja. Maria tidak tahu apakah itu salah. Yang pasti ia begitu bahagia mendapatkan seorang Fahri yang sangat dewasa, sopan, penuh pengertian dan kasih sayang.
Dan sekarang sebuah vonis seolah-olah diberikan padanya. Haram! Akh……. Maria mengusap air mata yang tiba-tiba membasahi pipinya. Mengapa tidak sejak dahulu ia mengetahui semua itu, sebelum ia mengenal Fahri. Air matanya kian deras mengalir. Maria bimbang. Dalam keadaan seperti itu, perlahan-lahan Maria bangkit dan menyalakan lampu besar di samping lampu biru. Lambat-lambat ia berjalan untuk mengambil air wudhu. Kemudian sholat.
Di balik tudung putih, Maria masih terpekur duduk di atas sajadahnya, Maria enggan beranjak dari atas sajadahnya.
“Ya Allah! Berilah jalan yang terbaik bagiku. Dan ampunilah segala dosaku selama ini,” jerit hatinya di antara ayat-ayat yang terucap dari mulutnya. Mulutnya terus berdzikir, dan hatinya semakin tenang kini, ia terus berdzikir…….. hingga tertidur.
Setelah sholat Maria membaca ayat suci Al-Qur’an. Kemudian membaca bahan kuliahnya untuk hari ini.
****
Maria diam tidak tahu apa yang harus diperbuatnya.
“Kau harus berani menghadapi kenyataan, yang terburuk sekalipun….,” kata Aisyah. “Atau bila kau merasa tidak kuat, tidak usah sekaligus, perlahan-lahan saja………”
“Tapi Mbak bila semakin lama, maka semakin sulit saya melepaskan dia.”
Aisyah tersenyum tenang di balik wajah jubahnya yang hitam terturtup, hanya tinggal kedua matanya yang nampak.
“Mbak mengerti, kalau kau memang merasa telah kuat, ambillah keputusan itu. Tapi yang penting tidak usah main kucing-kucingan dengan tidak mau menemui dia. Itu bukan penyelesaian yang baik. Mbak yakin kau wanita non-muslim yang kuat, Maria. Kemukakanlah keputusan itu padanya. Mbak juga berdoa semoga semuanya berjalan dengan baik.”
Ya, mengapa aku harus takut bila berada di jalan yang benar, bisik hati Maria.
“Terima kasih, Mbak!”
Aisyah tersenyum sambil meraih pundak Maria.
“Yakinlah, Allah akan memberikan hikmah-Nya untuk setiap apa yang terjadi . Maka tegar dan bersabarlah dalam menghadapi segala sesuatu. Kau masih ada kuliah?”
“Tidak!”
Sayup-sayup dari masjid terdengar suara adzan.
Maria mengambil wudhu untuk sholat dan memohon kekuatan kepada Allah Subhana Wataala.
“Innalillahi-wainnahirojion……….” bisik Aisyah mendengar kepergian sahabatnya. Ia akan menang di sana bersama Tuhan! Aisyah yakin itu. ***
Jakarta-Slipi Jaya, catatan; 28 Februari – 13 Maret 2008.
* Diilhami dari sebuah film dengan judul yang sama, karya novelis muda Habbiburahman El-Shirazy, dengan sutradara Hanung Bramantyo.
Saturday, May 15, 2010
Ayat-Ayat Cinta*
Posted by Kantong Sastra at 10:28 PM
Labels: karya (cerpen)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment