Tuesday, January 29, 2008

Berkenalan dengan Penciptaan Puisi

Esai Willy Ediyanto

BANYAK di antara kita, yang setelah sekian tahun belajar di sekolah formal, menjadi rabun sastra – meminjam istilah Taufik Ismail. Ini tampak dari kenyataan, bahwa anak-anak yang belum tercemari oleh ilmu sastra dari sekolah formal, misalnya anak-anak sekolah dasar, banyak yang mampu menulis sastra, baik puisi maupun cerita pendek. Mereka begitu bebas dan gembiranya menuangkan isi pikiran tanpa beban. Lihat saja karya-karya mereka di majalah anak-anak atau surat kabar yang mempunyai halaman khusus untuk anak-anak.

Seiring berjalannya waktu, pendidikan yang dienyam oleh para pelajar, ilmu yang mereka miliki pun menjadi semakin banyak. Alhasil, siswa bukannya menjadi semakin lancar dan cinta sastra. Anak usia SMP dan yang lebih tinggi banyak yang justru menjadi rabun. Menjadi semakin jauh dengan yang namanya sastra baik itu cerpen maupun puisi.

Kalau kita membaca buku-buku pelajaran dan buku-buku tentang sastra yang ditulis oleh para ahli sastra dan para sastrawan, kening kita akan semakin berkerut. Pengertian puisi, misalnya, sangat banyak dan beragam. Celakanya, pengertian ini seringkali menjadi beban bagi para siswa. Pengertian ini menjadi belenggu bagi para pelajar untuk berkembang. Pengertian sastra yang dikemukakan oleh para ahli sastra dan sastrawan seolah kitab suci untuk menjadi syeh sastra yang harus dipatuhi.

Semestinya peminat sastra menyadari terlebih dahulu, bahwa pengertian-pengertian yang mereka terima, yang mereka baca itu adalah hasil oleh pikir para sastrawan dan ahli sastra. Bukan untuk peminat penulisan sastra. Yang lebih penting adalah bagaimana kita menuangkan isi pikiran dan perasaan kita ke dalam bentuk larik-larik puisi atau narasi.

Menguasai pengertian tentang sastra bukanlah tidak penting. Tetap saja itu penting untuk pengembangan wawasan. Namun, sekali lagi, yang lebih penting lagi adalah bagaimana kita berkarya.
Dalam kepenulisan sastra, puisi dan cerita pendek, bahkan novel, pada saat ini yang sedang menjadi tren adalah munculnya penulis muda dan artis yang menulis puisi, cerpen, atau novel. Tanpa harus menyebutkannya, pembaca tentu tahu siapa saja artis dan penulis muda yang karyanya bermunculan. Bahkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menuliskan lirik lagu – puisi yang tidak mau disebut puisi – kecuali karya Ebiet G. Ade. Bahkan mereka berdua lebih unggul dari sekedar penyair. Keunggulan mereka adalah, di samping menulis puisi, mereka juga menjadikannya lagu. Kita semua tahu, bahwa lagu lebih populer ketimbang puisi.

Ketika menulis karya sastra, ada baiknya jika kita berpedoman pada “puisi adalah menurut penulisnya”. Dengan pengertian ini dan tetap tidak lepas dari pengertian sastra sebagai sebuah karya tulis, puisi adalah karya sastra dalam bentuk tulisan. Apapun tulisan yang kita hasilkan dengan mengikuti aturan benrupa contoh yang pernah dibaca, tentu itu adalah sebuah puisi.

Memang kita tidak bisa melabrak batasan yang ada yang secara fisik tampak bahwa puisi itu berbait-bait dan berlarik-larik. Untuk dapat dimuat di surat kabar atau majalah, puisi yang ditulis harus menyesuaikan dengan ruang yang tersedia. Sehingga kita tidak bisa membabi buta menulis puisi panjang di surat kabar yang yang ruang untuk puisi hanya sedikit saja. Menulis karya sastra di media massa, berarti menulis karya sastra dengan memperhatikan selera pembaca. Berbeda dengan menulis sastra dalam bentuk buku atau majalah khusus sastra.

Seperti juga menulis yang karya tulis yang lain, yang sering ditanyakan lebih dahulu adalah “apa yang akan ditulis”? Ini wajar saja bagi yang mau melangkah ke kepenulisan. Apakah semua hal dapat ditulis? Tentu saja dapat. Setiap orang mempunyai masa pertumbuhan psikologis yang berbeda. Penulis sastra dapat menulis sesuai dengan masa psikologis itu. Sesuai dengan keluasan dan kedalaman wawasannya. Pada saatnya, usia psikologis itu akan tertinggal oleh kedewasaan psikologis. Pada saat ini, karya yang dihasilkan sudah melesat jauh para perenungan, bukan lagi pemaparan apa yang dilihat dan dirasakan saja.
Menulis karya sastra berdasarkan pengalaman tentu mudah. Penulis sastra tidak perlu memikirkan kritik dari pembaca. Mengritik karya sastra adalah tugas pembaca dan kritikus sastra, sedangkan tugas penulis sastra adalah berkarya. Jadi, sekali lagi, yang penting bagi penulis, adalah berkarya.

Sering muncul juga pertanyaan, bahkan ini menjadi polemik, apakah kita perlu membaca karya sastra hasil karya sastrawan lain? Tentu ya, jawabannya. Bagaimana kita tahu bahwa karya kita baik atau tidak baik jika tidak ada pembandingnya. Untuk penulis pemula, tentu sangat memerlukan acuan untuk menghasilkan karya yang terbaik. Meniru gaya juga sah saja asal bukan menjadi plagiator.

Kita semua tentu masih ingat, ada pepatah yang mengibaratkan kehidupan manusia itu seperti roda yang berputar, kadang di atas, kadang di bawah. Ya, kehidupan adalah siklus. Ini artinya, pengalaman hidup yang sama akan terulang pada waktu, tempat, dan pelaku yang berbeda. Cerita rakyat tentang lelaki yang mengawini bidadari ada di mana-mana dengan gaya yang berbeda. Cerita tentang seorang laki-laki yang mengawini ibunya ada di mana-mana.

Tidaklah mengherankan kalau mantan presiden RI, Soekarno pernah berucap jasmerah - jangan sekali-kali meninggalkan sejarah - karena sejarah akan selalu terulang. Siklus berlaku di mana pun. Begitu juga dalam kehidupan dan sastra. Gaya yang berbedalah yang menjadi ciri khas setiap karya. Kedalaman efek psikologis dalam karya lebih bermakna daripada sekadar jalan cerita. Kejutan klimaks dan ending lebih berperan untuk menguatkan cerita.

Selanjutnya, ladang untuk menanam benih sastra itu, apakah sudah dipupuk dan dirawat? Maksudnya medianya yang sudah tersedia, koran, majalah, buku, atau media lain sudah ada yang memanfaatkannya. Apakah dijaga oleh kita? Apakah kita mengisinya? Apakah kita menghidupkannya dengan membelinya, lalu menglipingnya? Apakah kita sudah mendiskusikan isinya?

Itulah lahan, pupuk, dan perawatan terhadap karya sastra. Di sini sudah ada lahannya. Sekarang waktunya kita menanam, memupuk, dan merawatnya hingga suatu saat kita akan memanennya. Peran guru bahasa sangat penting dalam hal ini. Tertantangkah kita?

* Willy Ediyanto, Penulis dan Praktisi Pendidikan.

Dimuat di Borneonews, Minggu, 27 Januari 2008

No comments: