Esai Gendhotwukir*
SASTRA adalah sastra. Karya sastra adalah karya sastra. Karya sastra tidak boleh dilacurkan pada determinasi-determinasi profesi. Jika demikian adanya, maka yang muncul adalah tendensi ‘rasisme’ karya sastra yang ditempatkan pada profesi-profesi pencipta karya sastra.
Fenomena determinasi karya sastra pada tataran profesi akhir-akhir ini mulai tampak. Tendensi ini berkaitan erat dengan maraknya kehadiran penulis-penulis muda dari kalangan kaum buruh migran. Kenyataan demikian melahirkan satu terminologi baru yang biasa disebut dengan sastra buruh. Sastra buruh diartikan sebagai karya-karya sastra yang dilahirkan oleh kaum buruh.
Tidak jelas kapan secara kronologis istilah sastra buruh ini muncul. Satu hal yang pasti, istilah ini telah menjerumuskan karya sastra pada pelacuran yang jelas-jelas melahirkan wacana serius ke gelombang ‘rasisme’ sastra. Bagi penulis jelas, karya sastra adalah karya sastra dan pemecahbelahan karya sastra secara arogan dengan menempelkan profesi pada karya yang diciptakannya adalah tindakan yang berbau “rasis”. “Rasisme” dalam konteks ini penulis artikan secara baru. “Rasisme” dalam koridor tulisan ini berarti sikap meremehkan dan memandang rendah hasil karya kelompok tertentu (kaum buruh) tanpa dasar-dasar pembelaan estetika dan jalan pikiran yang rasional.
Kecenderungan ‘rasisme’ ini tampak nyata dari reaksi-reaksi segelintir orang yang selalu mempertanyakan kualitas sastra yang dilahirkan oleh penulis-penulis dari kalangan buruh. Segelintir orang ini beranggapan karya sastra yang dilahirkan oleh kaum buruh tidak nyastra. Satu hal yang dilupakan segelintir orang yang sinis ini yaitu justifikasi mereka yang secara terselubung dilatarbelakangi anggapan mereka karya yang nyastra lahir dari tangan orang-orang dengan latar belakang status pendidikan. Pikiran mereka ini terlalu picik karena tidak mau secara serius mendalami karya sastra kaum buruh. Padahal kalau penulis amati, beberapa karya sastra dari kalangan buruh nyastra dan mencapai puncak estetikanya.
Penulis tidak bermaksud memberikan apologi (pembelaan) atas karya-karya sastra dari kalangan buruh. Penulis hanya ingin menelaah pemahaman estetika pada umumnya. Dengan pemaparan ini, penulis menaruh harapan besar agar pembaca bisa menilai sendiri karya-karya sastra yang marak beredar dari kalangan buruh dari aspek estetikanya.
Materi pembentuk karya
Pada suatu karya perlu dibedakan antara materi (matter) dan material (materials). Materi dari suatu karya adalah materinya bahan-bahan pembentuk suatu karya. Materi adalah sumber asli yang menjiwai setiap pengalaman estetis. Materi ada di dalam, bukan hadir di luar. Material (materi kasar) hanya mendukung materi asli. Material harus terintegrasi dalam keseluruhan karya bagi penikmat yang menikmatinya agar penikmat mencapai pengalaman estetis.
Materi menjiwai cita rasa seni sebuah karya. Meski demikian, rasa perasaan seni tak boleh terikat oleh materinya. Rasa itu bebas dari punya realitasnya sendiri. Keindahan sebagai unsur rasa dalam karya sastra tidak boleh hanya disimpulkan dari tampilan. Keindahan seorang gadis tidak boleh hanya disempitkan pada postur tubuhnya (tampilan luaran). Keindahan adalah totalitas kehadiran gadis tersebut. Pengandaian demikian mau mengatakan bahwa pengalaman estetik yang lantas bisa menimbulkan pengalaman katarsis pada penikmat tidak hanya didasarkan pada penikmatan tampilan luaran.
Mudji Sutrisno dalam bukunya Estetika (Kanisius: 1993) memaparkan dengan tajam bangunan sebuah karya. Menurutnya, setiap karya punya bangunan yang sedemikian rupa sehingga secara umum dapat diterima secara ekuivok. Bangunan karya tersebut adalah struktur harmoni dan struktur ritme.
Fungsi struktur harmoni (kesesuaian) menegaskan dan menggolongkan unsur-unsur bahasa estetisnya sehingga sebuah karya memiliki keunikannya. Pemakaian kata-kata estetik dalam karya sastra memiliki peranan penting dalam membentuk totalitas keindahan yang lantas bisa dinikmati oleh penikmat. Kehadiran kata-kata estetik yang harmonis menawarkan bangunan keindahan bagi penikmat.
Fungsi struktur ritme menentukan unsur yang diarahkan pada suatu gerak. Gerakan ini memberikan wujud yang menjadikan gerakan itu hidup. Ritme yang baik tercapai manakala terjadi titik-titik temu pelembutan, pengaturan kata-kata tanpa menyingkapkan secara terus terang dan tanpa mereduksinya dalam pengulangan-pengulangan yang monoton. Ekspresi yang paling kuno dari struktur ritme misalnya selang-seling baris dalam stanza dan puisi. Integrasi struktur harmoni dan ritme memberikan sumbangan khusus pada obyek suatu karya.
Elaborasi keindahan
Sumber pokok pengalaman estetis adalah pengamatan pancaindera yang diolah dalam rasa, lalu dicoba-ekspresikan dalam berbagai bentuk pengucapan. Manusia dengan segala indera dan kemampuan-kemampuan lainnya terbawa masuk dalam pengamatan itu. Kontemplasi akan karya secara mendalam akan melahirkan pengalaman estetis.
Karya sastra itu berharga dan bisa menghadirkan keindahan karena karya itu sendiri bernilai. Nilai keindahan terletak pada karya itu sendiri, teristimewa karena ada tanda khusus yang bermakna di balik karya itu. Adalah Edward Bullough yang menggagas pengalaman estetis dengan konsepsinya mengenai distansi atau “jarak“. Distansi dicapai dengan memisahkan karya dan daya pesonanya dari selera penikmat dengan cara menaruhnya di luar lingkaran tujuan dan keperluan praktis semata-mata. Distansi memungkinkan kontemplasi terhadap karya dalam keheningan. Distansi tidak bermaksud membuat pengalaman estetis menjadi impersonal, tetapi sebaliknya mau memberikan suasana yang membuat pengalaman estetis semakin menjadi pribadi, dirasakan sepenuhnya dalam kekhasan cirinya.
Suatu datum umum menyatakan sebuah karya biasanya diharapkan mempunyai nilai estetis atau menjadi bagus. Meski demikian, penulis lebih melihat munculnya karya sebaliknya jangan pertama-tama dikaitkan dengan pengalaman estetis yang mau diabadikan atau disampaikan kepada orang lain, melainkan perlu dikaitkan dengan usaha penyempurnaan karya sedemikian rupa sehingga orang lain betul-betul dapat menyukai dan menikmati karya tersebut.
Catatan kritis
Maraknya kehadiran karya sastra berupa novel, cerpen, prosa dan puisi dari kalangan buruh perlu mendapat perhatian khusus karena adanya fakta yang tak terbantahkan bahwa karya-karya mereka telah ikut menyemarakkan sastra nusantara.
Bagi penulis, polemik genre sastra buruh perlu dilihat sebagai tantangan baru dalam kerangka kemajuan proses kreatif, proses terus-menerus penyempurnaan karya-karya dari kalangan buruh. Penulis lantas teringat debat panjang di PDS HB Jassin Jakarta tahun 2006 yang lalu pada kesempatan bedah buku dari kalangan buruh migran. Pada dasarnya sebagian besar peserta menolak definisi-definisi sastra yang dikaitkan dengan profesi. Betapa runyamnya sastra kalau sudah ada tendensi pemisahan berdasarkan profesi atau golongan: ada sastra buruh, sastra becak, sastra pengusaha, sastra wartawan, dll.
Pada beberapa kesempatan bedah buku atau diskusi, wacana genre sastra buruh hanya muncul dari segelintir orang yang kalau penulis amati, mereka ini hanya asal ngomong dan tidak mau secara serius mendalami dan meneliti secara mendalam nilai-nilai estetis karya-karya buruh. Pada dasarnya penulis memang menolak pengembleman sastra berdasarkan profesi dan atau golongan. Alasannya seperti pada awal tulisan ini, sastra adalah sastra, karya sastra adalah karya sastra dan karya sastra tidak boleh dilacurkan pada determinasi-determinasi profesi. n
Dimuat di Borneonews, Minggu, 30 Desember 2007
Saturday, January 26, 2008
Dekonstuksi ’Rasisme’ Sastra Buruh
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment