KENDATI karya sastra dewasa ini disebut-sebut sedang dalam posisi terpuruk, Pusat Bahasa masih gigih menggugah minat kaum muda untuk mendalaminya, antara lain dengan menyelenggarakan lomba penulisan cerita pendek untuk pelajar SMP dan SMA.
"Tahun 2008 adalah tahun bahasa dan dalam peringatan 60 tahun Bahasa Indonesia, kami juga mengingatkan kembali bahasa sastra adalah bagian dari Bahasa Indonesia. Jadi, peringatannya adalah bahasa dan sastra," ujar Kepala Pusat Bahasa Dr Dendy Sugono.
Penilaian terhadap cerpen karya peserta dari seluruh Indonesia sudah dilakukan dan hasilnya akan diumumkan pada puncak peringatan Tahun Bahasa yaitu pada 28 Oktober 2008 bertepatan dengan pembukaan Kongres IX Bahasa Indonesia di Jakarta.
Dari naskah-naskah cerpen yang masuk, terlihat minat remaja terhadap karya sastra cukup tinggi. Tema yang masuk juga sangat beragam, khususnya menyangkut kehidupan keseharian para penulisnya, tutur Emma Sitahang Nababan dari Pusat Bahasa yang menjadi salah seorang panitia lomba menulis cerpen.
Selain tema yang beragam, pemakaian bahasa juga bervariasi termasuk memakai bahasa "gaul." Tetapi agak disayangkan, naskah dari daerah atau kota-kota kecil masih sedikit yang masuk dan beberapa naskah dari seluruh peserta diketahui ada yang menyontek karya-karya penulis terkemuka bahkan termasuk karya Hamsad Rangkoeti, salah seorang juri.
Naskah para peserta lomba cerpen itu dijaring melalui kota-kota yang memiliki Balai Bahasa yang seluruhnya berjumlah 22 dan dari Jakarta, masing-masing diwakili oleh sepuluh naskah terbaik yang terjaring dalam seleksi di tingkat balai.
Keprihatinan mengenai tingkat pelajaran sastra yang sangat kecil di tiap sekolah juga diungkapkan penyair Taufiq Ismail yang pernah menyelenggarakan program khusus untuk memberikan pelajaran sastra keliling sekolah.
Pusat Bahasa pun menyelenggarakan kegiatan serupa dengan menghadirkan Putu Wijaya ke daerah-daerah.
"Anak-anak sebenarnya haus akan bacaan, tetapi seringkali orang dewasa di sekitarnya tidak menyadari hal itu," kata Julius Felicianus, Direktur Penerbit Galang Press.
Ketika Galang Press memelopori pengiriman parsel lebaran berisi paket buku untuk seluruh anggota keluarga, ada penerima parsel yang menyampaikan catatan bahwa ia merasa tersindir karena anaknya berujar: "Ayah, kalau memberi hadiah yang seperti ini, buku-buku ini aku suka," sementara si ayah mengaku selama ini tidak pernah menghadiahi anaknya dengan buku, kata Julius.
Munculnya sejumlah penulis berusia muda, terutama anak-anak yang terinspirasi "manga" Jepang dan kisah Harry Potter, tidak dapat dipungkiri merupakan persemaian yang subur untuk menumbuhkan penulis-penulis muda Indonesia.
"Anak-anak biasanya akan mulai dengan bacaan yang ringan, komik, lalu meningkat menjadi yang lebih berat. Tetapi lembaga pendidikan dan orang tua perlu menyediakan dukungan untuk memotivasi mereka," kata Julius.
Meskipun karya-karya penulis muda masih dangkal, Sastrawan F Rahardi menilai positif munculnya bibit-bibit muda itu karena kondisi ini dapat ditingkatkan melalui peran serta berbagai pihak mulai dari lingkungan di rumah, sekolah, penerbit hingga toko buku.
Menurutnya, kurikulum di sekolah tertinggal jauh dibanding gejala yang ada di masyarakat. Sekolah dan guru mempunyai "kekuasaan" untuk memberikan pelajaran dengan mengembangkan kreativitas.
Rahardi mengambil contoh sistem pendidikan yang dilakukan oleh lembaga Pendidikan Alternatif Qaryah Thayyibah di Salatiga yang mengedepankan kreativitas, sehingga menguatkan bukti bahwa keterbatasan modal (uang) bukan menjadi penghalang bagi kreativitas.
Ruang-ruang untuk memancing kreativitas bidang sastra baik itu puisi dan prosa semakin sempit, paling tersedia pada beberapa koran dan majalah yang masih peduli dan menyediakan rubrik khusus.
Tak mengherankan jika kemudian penulis-penulis muda berkiblat ke karya sastra dunia seperti Ataka Awwalur Rizqi yang melahirkan Misteri Pedang Skinheld karena terinspirasi cerita Lord Of The Ring dan Harry Potter, kendati ia juga melahap karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Demikian pula penulis Fathia yang terilhami kisah Naruto (Jepang).
Indonesia pernah memiliki karya-karya sastra Melayu atau karya sastra asli, tetapi jika tidak dicetak ulang, para pembaca muda akan kesulitan mendapatkannya karena toko buku tidak menyediakan buku-buku lama, kata Rahardi.
Sementara Julius mempertegas bahwa perpustakaan sekolah pun sekarang kebanyakan berbelanja buku panduan praktis, bukan karya sastra seperti masa-masa 1950-an hingga 1980-an.
"Guru atau petugas perpustakaan berbelanja buku dengan melihat selera pribadi, bukan kepentingan umum dan menjangkau ke depan," katanya menegaskan. (Maria D. Andriana/Ant)
Sumber: Borneonews, Senin, 27 Oktober 2008
Wednesday, October 29, 2008
Menggugah Sastra Indonesia Melalui Remaja
Posted by Kantong Sastra at 12:27 AM 1 comments
Labels: wacana
Friday, October 24, 2008
Kunci
Cerpen Erna Rasyid
MALAM semakin larut. Hening. Bisu. Raga mulai terbuai oleh mimpi. Aku rebahkan tubuh ini di penghujung rinduku pada sebuah kisah. Langit-langit kamarku terlihat seperti langit malam hari. Penuh bintang yang berhamburan disegala penjuru sudut kamar. Semuanya berkilauan. Memberikan cahaya untuk mimpi. Jiwaku telah melayang entah kemana. Mungkin bertamu ke rumah Tuhan atau ke surganya. Memberikan kesenangan buatnya sebelum fajar itu kembali menyinari bumi.
Benar. Fajar itu telah datang. Ia menyusup di celah-celah jendela kamar. Menerpa wajah dan ragaku. Aku terjaga olehnya. Ketika aku bangun dari buah tidur malam, ada banyak bunga yang berserakan di kamarku. Di tempat tidur, kursi, meja, lantai, bahkan di kamar mandi. Bunga-bunga itu dari surga. Tuhan selalu memberiku ketika fajar telah tiba. Aku disambutnya dengan aroma bunga. Setiap hari bunga-bunga itu menghiasi kamarku. Wanginya bahkan tercium ke tetangga rumahku. Kadang mereka bertanya, dari mana aku mendapatkan bunga seharum itu. Aku katakan kalau bunga-bunga itu dari surga. Tuhan yang telah mengirimkannya kepadaku. Setiap pagi. Tetapi mereka selalu saja menertawakanku. Katanya aku sudah gila. Tidak mungkin Tuhan mengirimkan bunga untukku. Tetapi itulah kenyataannya. Bunga-bunga itu selalu hadir setiap fajar mengetuk pintu rumahku.
Aku termenung menatap embun pagi. Mengapa ia menghilang jika matahari mulai hadir untuk melaksanakan tugas hariannya di bumi ini. Hanya sejenak menyapa embun itu lalu beranjak pergi. Setiap hari aku selalu saja bertemu wajah ibuku. Aku mulai bosan. Aku ingin bertemu dengan wajah yang lain. Wajah ibu mulai keriput. Tua dan tidak ada semangat lagi untuk hidup. Kadang aku berpikir, mengapa ia lenyap saja di muka bumi ini. Bagiku itu mudah saja. Aku hanya meminta kepada Tuhan jika aku bertemu dengannya setiap malam.. Itu soal mudah bagiku. Tetapi entah waktu itu kapan.
"Apakah ibu melihat kunci yang aku simpan di laci mejaku?" tanyaku kepada ibuku suatu pagi.
"Tidak," katanya datar.
"Kunci apa?" lanjutnya.
"Kunci surga."
"ha...ha...ha..... Kamu ini ada-ada aja," sela ibuku sambil tertawa.
"Betul. Itu kunci surga," ujarku lebih serius
"Kunci surga? Dari mana kamu mendapatkannya? Siapa yang memberikannya padamu?"
"Tuhan," jawabku singkat
Aku lalu meninggalkan ibu yang bingung dan melongo memperhatikan punggungku. Yah. Memang benar. Kunci surga. Semalam aku diberikan kunci surga oleh Tuhan. Katanya, aku harus menjaganya baik-baik. Kalau tidak, aku tidak bisa memasuki surganya. Jadi wajar kalau pagi itu aku bingung, gelisah, dan selalu saja marah-marah. Aku kehilangan kunci itu. Pasti Tuhan marah kepadaku. Aku telah mencarinya disemua tempat tetapi tidak ada. Kamarku telah terobrak-abrik mencari kunci itu. Usahaku mencarinya sia-sia.
Lelah raga ini mencarinya. Tidak terasa aku habiskan waktuku seharian mencari kunci itu. Senja akan segera berlalu tetapi belum aku temukan kunci itu. Aku takut malam segera tiba. Apa yang akan aku katakan kepada Tuhan mengenai kunci itu. Keringat menjalari sekujur tubuhku. Rasa dingin mulai menyerangku.
"Bangun. Sudah pagi. Matahari semakin tinggi."
Ternyata aku ketiduran di depan kamarku. Ibuku yang membangunkanku pagi itu. Aku ragu apa masih bisa dikatakan pagi. Matahari telah berada di tengah-tengah. Aku lalu masuk kamar. Tidak ada bunga yang aku temukan. Setangkai pun tidak ada. Bahkan aroma pun tidak ada. Aku buka kamar mandi, ternyata tidak ada bunga. Dugaanku benar, Tuhan marah kepadaku gara-gara aku menghilangkan kunci pemberiannya. Semalam, aku tidak bertemu dengannya. Segera kunci itu kucari. Harus kutemukan. Semalaman aku habiskan waktuku mencari kunci itu. Hasilnya nihil. Aku curiga kepada ibu. Jangan-jangan ia yang mengambil kunci itu.. Melihat ibu sibuk di dapur, aku masuk ke kamarnya. Tidak ada tempat yang aku lewatkan. Mulai dari laci meja, lemari, baju, bahkan di kamar mandi.. Aku habiskan waktuku mencari kunci itu di kamar ibu tetapi hasilnya sama saja. Nihil. Aku berpikir, pasti ada yang mencuri kunci itu.
Malam itu aku ke luar rumah mencari kunci itu. Aku curiga kepada tetangga-tetanggaku. Selama ini mereka selalu menganggapku gila. Mungkin mereka iri kepadaku karena aku diberikan kunci oleh Tuhan. Mereka juga ingin masuk surga jadi kunci itu diambilnya dari rumahku. Rumah demi rumah aku masuki. Tetapi kunci itu tidak aku temukan. Telah berpuluh-puluh rumah aku periksa tetapi hasilnya sia-sia saja. Aku semakin bingung kemana kunci itu. Aku mulai putus asa. Lebih baik aku pulang ke rumah. Apalagi hari sudah pagi.
Betapa kagetnya aku saat berdiri di ambang pintu rumah. Kunci yang aku cari selama ini tergeletak di depan pintu rumahku. Aku tidak bermimpi. Kunci itu benar-benar ada. Di sampingnya terdapat sepucuk surat. Segera aku buka surat itu. Isinya hanya mengucapkan terima kasih atas kuncinya. Tidak ada pengirimnya. Aku jadi penasaran, siapa gerangan yang mengambil kunci ini dan mengembalikannya pagi ini dengan ucapan terima kasih. Bagiku, asalkan kunci itu telah kembali. Tuhan tidak akan marah kepadaku. Aku merindukan bunga-bunga yang Tuhan kirimkan kepadaku setiap fajar. Aku yakin, Tuhan akan mengirimkannya kepadaku lagi.
Baru kali ini aku terjaga sepagi ini. Awan seberang timur masih kemerah-merahan. Matahari belum sempurna lahir ke bumi. Perlahan mata kubuka. Langit-langit kamarku terlihat kosong. Ketika aku bangun, tidak ada bunga-bunga yang aku lihat. Aromanya pun tidak ada. Mungkin ibu telah mengambilnya semua, pikirku. Aku teringat kunci. Sebuah kunci yang diberikan Tuhan kepadaku.. Kunci yang sempat hilang dan membuatku putus asa. Laci meja segera kutarik. Tidak ada. Kunci itu tidak ada. Hilang. Mungkin dicuri lagi oleh yang pernah mengambilnya. Aku lalu menanyakannya kepada ibu yang masih melek di tempat tidurnya.
"Ibu, bangun. Apa ibu melihat kunci yang aku simpan di laci mejaku?" tanyaku sambil mengguncang-guncang tubuhnya.
"Kunci apa?" tanyanya agak malas.
"Kunci itu Bu. Aku menyimpannya di laci kemarin. Sekarang tidak ada. Apakah ibu melihatnya?" tanyaku lebih keras dan kesal.
Ibu lalu bangun dan memperbaiki posisinya. Bersandar di tempat tidurnya. Mengingatkanku pada pasien di rumah sakit. Wajahnya masih kusut seperti baju yang belum diseterika. Saat ia mulai berbicara, nafasnya bau sekali. Aku yang mondar-mandir di depan tempat tidurnya jengkel dan entah marah kepada siapa. Rasa takut mulai menyerangku. Tuhan pasti marah kepadaku.
"Ibu tidak tahu kunci itu. Memangnya itu kunci apa. Sampai-sampai kamu pusing seperti ini?" tanyanya lagi.
"Itu kunci sangat penting bu. Itu kunci surga. Beberapa hari yang lalu aku bertemu dengan Tuhan.. Ia memberikan kunci itu kepadaku. Katanya, aku harus menjaganya baik-baik. Lagi pula, pasti ibu yang mengambil semua bunga-bunga yang ada di kamarku. Semua bunga itu juga pemberian Tuhan. Aku takut. Tuhan pasti marah kepadaku."
Aku semakin bingung dan gelisah. Ibu hanya menatapku penuh keheranan. Lama ia menatapku sampai-sampai aku sendiri takut melihat tatapannya. Apalagi dengan wajah yang masih setengah hidup.. Ia lalu beranjak dari tempat pembaringannya. Melangkah ke lemari. Aku mengira kunci itu yang diambilnya. Ternyata sebuah handuk kecil. Warnanya putih. Ibu lalu berjalan kearahku. Sejenak menatapku. Aku semakin takut. Ia lalu menampar wajahku yang sebelah kiri. Aku kaget dan heran. Tangannya lalu menampar pipiku yang sebelah kanan. Aku mengerang kesakitan dikedua pipiku. Di kepalaku bertumpuk ribuan pertanyaan. Ada apa dengan ibuku. Mengapa ia menamparku. Tanpa banyak gerakan, ia lalu memberiku handuk itu dan menyuruhku pergi mandi. Katanya, aku akan dibawanya ke dokter jiwa pagi itu. Ibu lalu pergi meninggalkanku sendiri di kamarnya dengan penuh tanya sambil menatap handuk yang ada di tanganku.
Makassar (Daeng Tata), 18 September 2008
----------
Erna Rasyid, mahasiswi Jurusan Sastra Indonesia 2006 Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Makassar. Telah menghasilkan dua buah antologi cerpen dan sebuah novel. Selain itu telah menghasilkan beberapa naskah drama dan salah satunya telah dipentaskan. Cerpen dan puisinya sering diterbitkan di media kampus.
Posted by Kantong Sastra at 1:06 PM 0 comments
Labels: karya (cerpen)
Panggil Aku Diana
Cerpen Erna Rasyid
APA yang mesti aku lakukan ketika telinga ini mendengar batuk-batuk ayah yang tak kunjung sembuh. Melihatnya terbaring lemah di kasur yang mulai kusut, membuatku teringat almarhum ibu. Adikku yang masih berumur 11 tahun tertidur dengan pulasnya. Ia tidak mendengar sedikitpun suara batuk-batuk ayah yang mengiris hatiku. Segera kuseka keringat di dahi ayah. Ia tergolek lemas di tempat pembaringannya. Segera kuselimuti ia karena badannya terasa dingin. Setelah ia tertidur, aku baru beranjak ke kamarku. Walaupun aku tahu ayah hanya pura-pura memejamkan matanya agar aku tidak khawatir terhadapnya. Hanya kegelapan dan kesunyian yang menemaniku malam ini. Melihat ayah seperti itu setiap hari membuat hatiku tersayat-sayat. Entahlah penyakitnya tak kunjung sembuh. Aku sudah membawanya ke puskesmas terdekat tetapi katanya ayah harus dirujuk ke rumah sakit agar mendapat perawatan yang lebih intensif. Tidak mungkin aku membawanya ke rumah sakit. Aku tidak punya uang. Pekerjaanku sehari-hari hanyalah buruh cuci.
Aku hanyalah gadis berumur 17 tahun. Adikku yang masih duduk di bangku sekolah dasar belum bisa bekerja. Sejak ayah sakit-sakitan, aku tidak terlalu memperhatikan lagi sekolahku. Aku mencari pekerjaan untuk biaya pengobatan ayah. Mulai dari penjual kue keliling desa, buruh cuci, terkadang aku juga membantu ibu Diana menjual barang dagangannya di pasar jika ia membutuhkan tenaga tambahan. Gajinya lumayan. Ia sudah tahu keadaan keluargaku. Tidak heran kalau ia sering memberiku uang tambahan. Katanya karena aku ulet bekerja padahal aku tahu ia hanya kasihan padaku. Ibu Diana sangat disegani di desaku. Dia sangat dihormati oleh masyarakat. Kebaikan dan keramahannya sangat dipuji-puji oleh masyarakat. Ia termasuk golongan orang yang kaya di desa. Tokonya banyak tersebar di pelosok pedesaan. Dialah yang sering membantuku jika aku mendapat kesulitan dalam hal keuangan.
Pagi itu, ketika aku keliling kampung berjualan kue, aku bertemu dengan seorang wanita. Umurnya kira-kira 40-an tahun. Sepertinya ia orang baru disini. Ia sempat membeli kue yang aku dagangkan. Keesokannyapun seperti itu. Dia sering-sering membeli kue yang aku jual. Katanya kue buatanku enak. Telah dua bulan aku keliling kampung ini berjualan kue, baru kali ini ada orang yang memuji kue hasil buatanku. Terkadang ia memesan dalam jumlah banyak. Ia juga menanyakan namaku, dimana aku tinggal, dimana orangtuaku, bagaimana dengan sekolahku. Ia sangat perhatian padaku. Selain itu, dia sangat ramah dan baik padaku. Kebaikannya mengingatkanku kepada ibu Diana. Pernah juga aku membawa serta adikku untuk membantuku berjualan, sekaligus memperkenalkannya pada wanita itu. Akan tetapi sepertinya ia tidak menyukai adikku. Ia tidak terlalu peduli kepada adikku. Ia hanya menganggapnya seperti orang asing. Aku baru ingat, nama wanita itu adalah ibu Rahma.
Keadaan ayah semakin memburuk. Batuk yang ia derita semakin parah. Ia mulai mengeluarkan darah. Kata ayah badannya semakin lemas. Ia menyuruhku menjauh darinya jika batuknya kambuh lagi. Hanya sapu tangan usang yang selalu menemani jika ia batuk. Ingin kuseka sisa-sisa darah dan ludah yang menempel di bibir ayah tetapi ia melarangku. Katanya ia dapat melakukannya sendiri. Aku mendengar desahan nafas ayah yang tak tentu. Tubuhnya semakin kurus, hanya kulit membalut tulang. Perutnya kembang kempis seperti balon yang ditiup oleh anak berusia 5 tahun. Matanya yang sayu, mengingatkanku pada awan yang mendung. Aku ingat, ada lingkaran hitam di sekeliling matanya. Aku tidak tahan lagi melihat keadaan ayah seperti ini. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku ingin ayah sembuh dari penyakit TBC yang ia derita selama 8 bulan ini. Aku merasa anak yang tidak bertanggung jawab, hanya melihat keadaan ayah seperti ini setiap hari. Ayah tidak bisa lagi memanggil namaku. Ia tidak bisa lagi berucap dengan jelasnya. Jika dia menginginkan sesuatu, segera telingaku kudekatkan dengan mulutnya. Sedekat mungkin agar aku bisa mendengar apa yang diinginkan oleh ayah.
Malam itu, ia ingin makan bubur ayam kesukaannya. Di kamar aku hanya merenung menatap sejumlah uang dihadapanku. Uang tinggal seberapa. Kemarin telah aku habiskan sebagian untuk membeli obat. Setengahnya aku bayar utang di warung sebelah rumah. Sisanya ada dihadapnku. Jika aku menuruti keinginan ayah, esok aku tidak makan dengan adikku. Aku malu meminjam uang kepada ibu Diana karena sudah sering aku meminjam uang darinya. Tak terasa, kedua pipiku basah merenungi uang yang ada dihadapanku. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Telah tiga kali adikku menanyakan bubur ayam yang aku beli karena ayah tak sabar ingin memakannya. Tetapi aku masih duduk merenungi uang itu, tidak bergerak sekalipun. Aku jadi bingung harus melakukan apa. Segera kuberlari menembus dinginnya malam. Entahlah kaki ini melangkah kearah mana kuturuti saja. Tiba-tiba aku berhenti di depan rumah yang sangat besar bagiku. Ada keraguan mengetuk pintunya. Apakah pintu itu sudi diketuk oleh tangan-tangan orang miskin seperti aku? Wajah ayah terlintas dibenakku mendorongku mengetuk pintu itu. Dari balik pintu, aku melihat seorang wanita yang memakai baju daster dengan rambut agak awut-awutan. Ya. Itu adalah ibu Rahma. Dia kaget melihatku datang ke rumahnya tengah malam begini. Ibu Rahma tak sempat mengenaliku awalnya. Malam itu aku lupa memakai sandal, rambutku kubiarkan terurai, dengan baju yang sangat lusuh. Aku tidak sadar kalau mataku sembab. Aku baru menyadarinya ketika pulang ke rumah membawa semangkuk bubur ayam kepada ayah. Rasa bahagia menyelimutiku malam itu ketika melihat ayah memakan makanan kesukaannya walau hati ini tertusuk belati yang telah karatan.
Adikku meronta-ronta ingin ikut bersamaku. Tangisnya semakin menjadi-jadi. Aku melarangnya. Kalau ia pergi tidak akan ada lagi yang menjaga ayah. Ibu Rahma pernah menawariku pekerjaan di kota. Katanya ia mempunyai kenalan yang bisa memberiku pekerjaan. Awalnya aku ragu karena harus meninggalkan ayah yang sakit. Tetapi karena aku ingin ayah sembuh, malam itu aku menerima tawaran ibu Rahma. Hari ini aku berangkat bersamanya.. Ayah tidak setuju akan keputusanku. Katanya aku tidak boleh sembarang mempercayai orang. Apalagi ayah dalam keadaan sakit dan aku masih mempunyai adik. Tetapi aku bersikeras ingin pergi. Aku ingin mendapatkan uang banyak agar ayah bisa sembuh. Sedangkan ayah tak bisa berkata-kata lagi.
Sudah tiga bulan aku bekerja di tempat ini. Aku bekerja sebagai pembantu di rumah ini. Nama pemilikya adalah nyonya Dewi. Dia adalah teman lama ibu Rahma. Gaji pertamaku telah kukirimkan kepada ayah di kampung. Tak disangka begitu besar jumlahnya. Aku sangat senang, terbayang olehku ayah sangat gembira menerima gaji pertamaku itu. Ibu Rahma yang membawanya kepada ayah beserta sepucuk surat dariku. Uang yang aku kirim selama dua bulan ini digunakan adikku untuk pengobatan ayah dan kebutuhan sehari-hari. Aku dengar kabar kalau keadaan ayahku semakin baik.
Malam itu nyonya Dewi membawaku kesuatu tempat setelah aku dibawanya dari salon. Aku menuruti saja apa maunya karena ia majikanku. Aku melihat diriku dicermin dengan pakaian yang dibelikan oleh nyonya Dewi untukku dua hari yang lalu. Pokoknya semua yang aku kenakan malam itu adalah pemberian nyonya dewi. Mulai dari sepatu, tas, assesoris, bahkan ia membawaku ke salon. Katanya aku harus tampil cantik malam ini.. Tibalah kami disuatu tempat. Aku tidak tahu tempat itu apa. Yang kulihat hanyalah sekumpulan orang-orang yang sedang menikmati music. Suara musiknya pun sangat keras seakan memecahkan telingaku. Lampu-lampu yang warna-warni membuat kepalaku pusing melihatnya. Suasananya agak gelap tidak seterang lampu di rumahku di kampung. Banyak lelaki yang menggodaku, ada juga yang memegang-megang tanganku. Aku jadi risih dan ingin pulang. Tetapi majikanku melarangku pulang sebelum bertemu dengan temannya. Disekitar aku melihat banyak wanita yang sedang asyik bersama dengan pria, entahlah apa yang mereka lakukan. Bau minuman yang sangat tidak mengenakkan membuatku pusing. Ketika majikanku meninggalkanku sendirian, tiga orang wanita mendekatiku.
“Heh..orang baru yah..?kata wanita yang memakai gaun merah. Ia memandangku dari bawah hingga atas. Seakan mencari sesuatu dariku. Minuman yang ada digelasnya sewarna dengan gaunnya.
“Pasti orang baru?” kata wanita dua yang sempat mengelilingiku seakan aku ini barang antik.
“Berapa?” kata wanita tiga.
“Pasti jutaan?” lanjut wanita dua.
Aku semakin bingung dan takut. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Mereka bertiga langsung saja menanyaiku ini dan itu. Seperti seorang polisi yang menginterogasi tersangkanya. Aku menolah ke kiri dan ke kanan mencari Ibu Dewi tetapi usahaku gagal. Aku berlari meninggalkan ke tiga wanita itu. Tidak tahu tujuan kemana. Aku hanya ingin menghindari wanita-wanita itu. Saat belari, aku menabrak seorang pria. Kira-kira umurnya 40-an tahun. Pakaian lelaki itu sangat rapi. Memakai jas warna hitam dengan sepatunya yang mengkilat. Wajahnya yang mulai keriput, warna kulitnya coklat. Ia lalu membantuku berdiri dan memberikan senyuman kepadaku. Ia lalu memperkenalkan diri kepadaku. Orangnya sangat ramah. Kami lalu berbincang-bincang seperti sahabat lama yang baru kali ini bertemu. Namanya Pak Ridwan. Tetapi ia lebih senang dipanggil dengan Ridwan, katanya supaya ia kelihatan lebih muda. Telah berjam-jam aku menunggu nyonya Dewi tetapi ia tak kunjung datang. Pak Ridwan mulai melihat keresahan di wajahku. Ia lalu menawarkan diri mengantarku pulang. Aku iyakan saja. Tetapi sebelumnya ia mengajakku ke suatu tempat.
Rasanya aku ingin mengakhiri hidupku saja pagi itu. Bumi seakan-akan tidak mengakuiku lagi sebagai manusia. Terbayang olehku ayah dan adikku. Aku ingin mengakhiri hidup ini segera. Tubuh ini sangat kotor. Walaupun aku telah membersihkan tubuh ini dengan air selautan. Aku teringat ayah, entahlah ayah yang selalu ada di benakku. Aku baru tahu, nyonya Dewi yang tak lain adalah majikanku telah menjualku ke seorang rekannya. Aku juga baru tahu bahwa aku berada di tempat yang tak seharusnya aku berada. Aku telah melanggar amanat ayah. Apa yang mesti aku katakan pada ayah jika tubuh ini telah kotor. Ternyata minuman yang diberikan oleh Pak Ridwan semalam telah membuatku tak sadarkan diri. Dan sekarang aku mendapati diriku tidak memakai benang sehelai pun. Air mata ku tidak akan menyelesaikan masalah. Pagi itu Pak Ridwan meninggalkanku dengan melempariku sejumlah uang. Katanya pelayananku sangat memuaskan baginya. Lain kali ia akan berkunjung dan menemuiku lagi. Aku hanya meratapi nasibku walaupun aku meronta, menangis dengan kencangnya tidak akan ada yang menolongku. Aku terselingkup menatap lantai yang ada bayangan ayah dan adikku. Aku ingin pulang. Aku rindu mereka.
Aku telah terperanjat di tempat ini. Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Apalagi mencoba untuk kabur. Aku menjalani hari-hariku di tempat ini seperti yang lain. Melayani nafsu bejat para langganan. Terkadang aku mendapat perlakuan kasar, bahkan tidak pernah dibayar oleh mereka. Hasilnya aku kirimkan kepada ayah. Aku tahu ayah tidak tahu menahu yang aku kerjakan di kota ini. Aku tidak ingin dia tahu. Kabar terakhir kudengar, ayah semakin membaik. Kini ia mulai kerja lagi. Membajak sawah orang lain, hasilnya untuk kebutuhan hidupnya dan adikku di kampung. Uang yang aku kirim selama ini dari hasil pekerjaan kotorku, mereka gunakan untuk memperbaiki rumah yang mulai reyot termakan usia.
Setiap malam, dengan tubuh yang gemulai, pakaian yang kukenakan harus menarik perhatian pelangganku. Diantara wanita se profesiku, akulah yang termuda. Tak heran jika banyak pengunjung beralih kepadaku. Aku baru sadar ternyata aku cantik juga jika berdandan. Bekerja di tempat itu (club malam atau tempat-tempat hiburan) membuatku banyak berkenalan dengan orang-orang penting. Mulai dari polisi bahkan pejabat sekalipun. Mungkin mereka telah bosan dengan istrinya di rumah atau sekedar menghilangkan strees mereka.
Aku telah mengenal dunia hiburan sejak aku berkenalan dengan nyonya Dewi, mantan majikanku dulu. Dia yang membuatku terjerumus di tempat seperti ini. Bahkan aku tidak pernah lagi mendengar kabar ibu Rahma. Ternyata ia telah menipuku. Aku dengar dari kawanku di tempat ini, ia adalah seorang germo. Ia ke kampungku mencari tenaga baru. Awalnya kita akan terbius oleh keramahannya, menjanjikan kita pekerjaan di kota dengan gaji yang sangat besar. Apalagi waktu itu aku terdesak oleh kebutuhan ekonomi. Ibu Rahma tidak melewatkan kesempatan itu, ia tahu kondisi ayahku. Ia selalu merayuku agar ikut dengannya bekerja. Ia lalu menyerahkanku kepada nyonya Dewi. Hingga aku sampai disini. Melayani nafsu setan para lelaki hidung belang.. Aku juga baru tahu ternyata Pak Ridwan itu adalah seorang pejabat di pemerintahan. Aku juga baru tahu kalau ibu Rahma tidak menyukai adikku karena dia seorang laki-laki.
Sekarang aku berada di tempat ini. Walaupun aku tahu apa yang aku lakukan adalah salah. Aku tidak berani menampakkan wajahku di depan ayah dan adikku. Apalagi warga kampung. Terakhir aku dengar, Wati teman se profesiku telah meninggal. Seminggu yang lalu ia pulang ke kampung halamannya menjenguk orangtuanya. Ia bertemu dengan pejabat dan polisi yang pernah membelinya. Pejabat dan polisi itu takut ketahuan kelakuannya, maka disebarlah isu bahwa Wati adalah seorang pelacur. Kerjanya di kota hanyalah melayani nafsu seks para lelaki hidung belang. Otomatis masyarakat emosi dan tidak mau ada seorang warga yang mengotori kampungnya. Mereka lalu menangkap Wati dan beramai-ramai membakarnya hidup-hidup di depan semua warga kampung..
Aku takut mengalami kejadian seperti itu. Untuk menutupi masa laluku, aku mengganti namaku. Sekarang aku menyandang nama Diana. Nama itu adalah nama seorang ibu yang sangat baik padaku di kampung. Ia sangat disegani oleh masyarakat. Aku memakai namanya agar aku disegani oleh orang. Orang-orang disini memanggilku Diana. Aku malu menyandang nama yang diberikan oleh ayah. Dulu ayah memberiku nama Fatimah. Agar kelak aku mejadi wanita seperti anak Nabi itu. Tetapi apa yang diharapkan ayah malah sebaliknya yang terjadi. Fatimah adalah masa laluku. Sekarang orang-orang memanggilku Diana.
Aku mempunyai seorang teman bernama Aminah. Di tempat ini ia telah mengganti namanya menjadi Dewi. Ia telah menjalani profesinya sebagai PSK (Pekerja Seks Komersial) selama dua tahun. Awalnya ia sering ke tempat-tempat hiburan bersama dengan kekasihnya. Sekedar ingin mendapatkan hiburan. Suatu malam kekasihnya memaksanya melakukan hubungan seks. Ia tidak kuasa menolak karena dipaksa dan takut mengecewakan kekasihnya itu. Selang beberapa bulan ia hamil. Resah dan rasa takut selalu menghantuinya. Wajah kedua orangtuanya selalu terbayang. Sang kekasih malah menganjurkan ia menggugurkan kandungannya. Baginya tidak ada jalan lain selain menuruti saran kekasihnya itu.
Ia merasa tidak berharga lagi dan tidak berhak lagi hidup di dunia ini. Tubuhnya telah kotor. Karena merasa telah kotor, ia mengikuti saran seorang temannya untuk bekerja saja menjadi PSK. Dewi mengiyakan saja. Sejak saat itu hingga sekarang profesi itu dijalani. Kadang pula ia bekerja sebagai penari telanjang disebuah club malam di kota ini. Tidak ada yang tahu mengenai pekerjaannya. Sedangkan kekasihnya telah pergi meninggalkannya tanpa sebab. Status mahasiswi yang pernah disandangnya sering ia rindukan.
Raga lelah menyelimutiku pagi ini. Aku baringkan saja tubuh ini di sofa. Rasanya sangat nyaman. Segelas air putih ku teguk mengairi tenggorokan ini. Saat mimpi hendak memasuki ruang tidurku, suara lelaki tua mengagetkanku. Kakiku terasa berat melangkah menuju pintu rumah. Pakaian yang aku kenakan semalam masih melekat erat di tubuhku. Aku segera membuka pintu. Seorang lelaki tua denga motor bututnya berdiri di samping pagar rumahku. Pagi ini ia melemparkan senyuman untukku seakan mengucapkan selamat pagi kepadaku. Aku pun tersenyum. Kaki ini lalu melangkah menuju lelaki tua itu. Ada beberapa pucuk surat berada di tangannnya. Ia lalu memberiku sepucuk surat lalu pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Bisu. Hening. Senyuman itu kini menghilang.
Surat itu lalu aku buka. Ternyata dari seorang ayah yang merindukan anaknya. Menginginkan anaknya pulang ke rumahnya. Raut wajah kertas itu begitu pilu. Surat itu lalu aku lipat dan menyimpannya di laci mejaku. Kadang aku melipat surat itu menjadi sebuah perahu. Sebuah perahu yang akan aku bawa ke pantai. Entah kapan waktu itu tiba. Kelak akan membawa kabar untuk ayah bahwa anaknya disini juga merindukannya. Surat itu tidak sendiri. Telah banyak temannya yang telah menunggunya beberapa waktu yang telah silam. Tak satu pun surat-surat itu aku balas. Di seberang sana, seorang ayah mengharapkan anak merindukannya dan pulang berkumpul dengannya. Aku duduk menatap sekumpulan surat itu. Aku ragu tidak bisa membalasnya dengan tinta air mata.
Hembusan angin mammiri menyentuh ragaku tetapi tidak menyapaku. Entahlah, ia tidak mau lagi memberiku kabar mengenai ayah dan adikku. Mungkin ia enggan melihat wajah ini. Seperti malam-malam sebelumnya. Dengan genitnya aku berjalan menarik perhatian para lelaki hidung belang. Dengan rok mini dan baju yang sangat ketat, kacamata berwarna putih yang aku kenakan. Aku biarkan angin mempermainkan ujung rambutku. Sekali-kali senyum kecut kulemparkan kearah sekumpulan pria. Inilah yang aku lakukan setiap malam. Sedangkan ayah dan adikku tidak tahu menahu apa yang aku kerjakan sampai sekarang.
Setiap malam kota Makassar menyaksikan kehidupan yang aku jalani. Entah sampai kapan akan berakhir. Masihkah ayah merindukanku di sana sampai sekarang atau ia telah melupakan aku, anaknya yang hina dan kotor ini. Waktu selalu berkisah kepadaku ketika senja akan segera berlalu. Ada banyak wajah dan wajah yang aku temui. Di pantai ini aku sering berkisah kepada riak ombak dan hembusan angin. Entah telah berapa banyak perahu kertas yang aku buat untuk ayah. Waktu selalu bertanya kepadaku, kapan aku mengirimkannya kepada ayah dan adikku. Aku ragu menatap cakrawala. Aku takut menatap surya dipagi hari. Tetapi aku lebih takut menatap dunia ini.
Akankah embun akan selalu menyapaku dipagi hari. Menemaniku menanti gemerlapnya malam. Menanti senja segera berlalu, mengetuk pintu langit untuk menghadirkan malam bagiku. Kadang aku berharap tidak akan ada malam. Aku selalu ingin bertemu dengan malaikat bersayap membawakan sekotak maut untukku di pagi hari. Biarkan ia mendengdangkan nyanyian mautnya kepadaku setiap hari.
Aku bermimpi bertemu dengan seorang gadis. Entahlah, aku lupa menanyakan namanya. Rambutnya panjang, ia biarkan terurai dipermainkan oleh angin malam. Berdiri seorang diri di tepi kerinduan menanti maut menjemput di pelupuk mata. Senja telah berlalu dihadapannya tanpa ia sadari. Mutiara mata tak henti mengaliri hatinya yang dipenuhi kabut gamang. Ketika aku bertanya, “Siapakah engkau?" Ia lalu berbalik menatapku lalu berkata, "Aku adalah masa lalumu."
Makassar, 17 November 2007
* Naskah cerpen ini pernah dipentaskan oleh mahasiswa sastra Indonesia 2006, Fakultas Bahasa dan Sastra, Universitas Negeri Makassar pada bulan Mei 2008 di Gd. Saopanrita UNM
-------
Erna Rasyid, mahasiswi Jurusan Sastra Indonesia 2006 Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Makassar. Telah menghasilkan dua buah antologi cerpen dan sebuah novel. Selain itu telah menghasilkan beberapa naskah drama dan salah satunya telah dipentaskan. Cerpen dan puisinya sering diterbitkan di media kampus.
Posted by Kantong Sastra at 12:58 PM 1 comments
Labels: karya (cerpen)
Sunday, October 19, 2008
Ketika Sastra Masih Kering di Sekolah
Esai Ria Febrina
AWAL mula berkenalan dengan sastra waktu itu masih di SLTP 2 Padang tahun 2001, seorang guru bertanya tentang Buya Hamka. Tak seorang pun yang bisa menjawab, termasuk saya. Kemudian, ia menerangkan bagaimana sosok Hamka, termasuk karya-karyanya yang sangat fenomenal. Setelah belajar, saya mengingat namanya dan mencari karya beliau di perpustakaan sekolah. Saya menemukan label sastra dalam novelnya yang agak tebal, 224 halaman. Penasaran dengan cerita panjang yang ditulis oleh Hamka, saya membaca hingga tuntas buku yang berjudul Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck.
Meski banyak hal yang kurang bisa dipahami, ceritanya sangat menggugah perasaan, karena sebagai seorang anak yang masih ingusan, bahasa yang ditulis Hamka sangat indah dan jarang ditemui dalam bahasa yang diujarkan guru maupun dalam koran lokal yang menerbitkan halaman sastra dan budaya pada saat itu.
Berlanjutlah, bacaan saya beralih kepada bacaan yang berlabel sastra, baik kumpulan puisi, kumpulan cerita pendek, maupun novel. Sayang, buku sastra yang ada di sekolah hanya sedikit. Lalu, saya mencarinya di perpustakaan daerah Sumatera Barat yang jaraknya tak jauh dari sekolah. Hampir setiap minggu, saya membaca beberapa buku sastra dan mulai mengenal Taufiq Ismail, Chairil Anwar dan Putu Wijaya.
Ketika beranjak SMA, nama-nama tersebut sering muncul di buku Bahasa dan Sastra Indonesia yang merupakan buku panduan belajar bahasa Indonesia di sekolah. Saya senang, karena lebih dahulu mengenal nama-nama mereka. Setiap ada nama-nama yang disebut sebagai sastrawan, saya mencari bukunya di perpustakaan, membaca karya mereka, melihat biografi kepengarangan mereka dan mulai mencintai dunia sastra.
Kemudian, ketika hari ini saya melihat lagi ke bawah, memperhatikan kurikulum pengajaran sastra di sekolah, saya menemukan pengajaran sastra menjadi sangat sedikit. Materi sastra dikurangi. Padahal ketika itu, saya sudah merasakan materi sastra sangat minim, karena terpaksa mencari sendiri di luar proses belajar mengajar. Sastra sangat kering di sekolah, karena guru tidak terlalu memberi perhatian lebih terhadap materi ini. Jika hari ini ada pengurangan sastra di sekolah, terbayangkan bahwa akan ada jarak antara sastra dengan pelajar sekolah. Karena perlahan, mereka meminggirkan peran karya sastra yang sangat berguna untuk mencerdaskan masyarakat itu sendiri.
Sastra, bagi sebagian orang dianggap sebagai tulisan yang memperjualbelikan cerita karangan (fiksi). Cerita karangan yang dibaca dalam bentuk prosa, puisi dan drama itu ditafsirkan sebagai salah satu media hiburan yang belum mampu memberikan sesuatu untuk masyarakat.
Anggapan seperti itu muncul karena pandangan masyarakat terhadap sastra masih primitif, belum mampu menjangkau hal-hal estetis dari penciptaan sebuah karangan. Apakah hal ini salah? Tentu tidak, karena masyarakat pembaca masih sangat awam dengan “bahasa dan dunia rekaan” yang diciptakan pengarang dalam karangannya. Apalagi, pembaca yang demikian tidak sempat mencicipi dunia pendidikan formal, sehingga kesalahpahaman mereka terhadap sastra semakin tajam. Akibatnya, banyak generasi sekarang mengikuti pola pokir tersebut, yang akhirnya menciptakan jurang antara karya sastra dengan masyarakat.
Seperti yang dialami di bangku sekolah, saya terpaksa belajar menemukan sendiri dunia sastra itu. Hanya ketertarikan yang memaksa saya untuk menemukan banyak bacaan sastra di luar jam belajar di sekolah. Tapi hari ini, apakah semua pelajar melakukan hal serupa?
Jawabannya bisa iya dan bisa juga tidak, karena tidak semua orang senang membaca bacaan sastra. Mungkin mereka senang membaca komik, cerita laga, dunia bola dan hal-hal lain yang memang patut untuk diketahui. Tetapi mengenai sastra, hampir semua orang mengenalnya hanya melalui halaman sastra dan budaya yang dimuat setiap minggu di koran mingguan lokal dan nasional. Mereka beranggapan bahwa sastra adalah tulisan yang memuat sebuah dunia rekaan yang menarik yang diciptakan seorang pengarang, dan patut dibaca karena menceritakan kehidupan orang lain. Masyarakat menikmatinya, karena dengan cerpen, puisi, dan novel, mereka memiliki pengetahuan baru mengenai orang lain.
Lalu hari ini, beragam novel bermunculan. Dari novel islami, teenlit dan novel penggugah lainnya, mulai menarik perhatian sebagian masyarakat, khususnya kaum pelajar. Mereka menikmati membaca sebagai sebuah kebutuhan. Bahkan, mereka berlomba-lomba untuk menjadi yang pertama membaca setiap buku “the best seller”, buku terlaris yang muncul saat itu. Fenomena ini sangat bagus, seperti saya yang menemukan dunia rekaan sendiri.
Tetapi sayangnya, ketika kita membahas sastra, sebagian masyarakat masih beranggapan bahwa setiap karya sastra yang muncul tersebut adalah dunia khayalan dari si pengarang. Dunia reka-reka, di mana si pengarang menjadi Tuhan sendiri dalam menentukan nasib tokohnya. Meskipun hal tersebut tidak salah, tetapi kemunculan anggapan seperti itu patut disayangkan. Karena sastra bukan sekadar itu saja, tetapi ada hal-hal lain yang patut diketahui, seperti objek yang menjadi perhatiannya, yaitu lingkungan sosial di mana mereka berada.
Sastra Berakar dari Lingkungan Sosial
Sastra sebagai sebuah karya tidak muncul dari khayalan saja, tetapi seorang pengarang mengambilnya dari realitas kehidupan yang terjadi. Pada dasarnya, sastra adalah sebuah media yang menjembatani masyarakat untuk membahasakan apa yang terjadi di lingkungannya, yang berkaitan dengan dunia carut marut yang mereka hadapi setiap hari. Dunia yang tak lepas dari pendidikan, politik, ekonomi dan tempat di mana mereka memposisikan diri sebagai seorang warga negara. Segala sisi kehidupan itu menjadi sorotan bagi seorang pengarang. Setiap peristiwa yang terjadi dan yang mengganjal dalam pemikirannya, semua itu menjadi perhatian pengarang. Potongan demi potongan kehidupan masyarakat dijadikan dasar penciptaan baginya.
Awalnya, karya tersebut bergejolak di otak si pengarang, yang memunculkan pertanyaan, mengapa peristiwa demikian bisa terjadi? Pemikiran-pemikiran itu ditinjaunya sendiri, bahkan ia mulai memperhatikan lingkungannya, mencari sebab, lalu sebuah kemungkinan yang dapat dijadikan solusi bagi si pembaca.
Hal ini yang menjadi perbedaan antara karya sastra dan karya populer. Anggapan masyarakat yang menjadikan karya sebagai hiburan, sebenarnya adalah tujuan dari adanya karya populer. Sementara tujuan itu berbeda dengan kemunculan karya sastra. Jika kita membuat garis, karya sastra tak hanya melewati garis pertama yang bertujuan untuk menghibur pembaca. Tetapi ia melewati garis kedua, yaitu setiap karya sastra memberikan manfaat bagi masyarakat pembacanya.
Setiap pemikiran yang menjadi titik tolak bagi seorang pengarang selalu didasarkan pada pengetahuan, karena mereka lebih banyak menghabiskan waktunya dengan membaca, melihat, mendengar dan merasakan apa yang terjadi di lingkungannya. Misalnya seperti novel Merantau ke Deli yang ditulis Hamka. Di dalam novel digambarkan bahwa laki-laki Minang yang menikah dengan perempuan di luar kebudayaannya, seperti dinikahkan dengan perempuan Jawa, maka ia akan dinikahkan kembali dengan perempuan yang sama-sama berasal dari Minang. Tujuannya untuk menjelaskan kedudukannya di dalam lingkungan masyarakat Minang, seperti posisinya sebagai seorang anak, mamak dan anggota masyarakat. Dan apakah semua laki-laki Minangkabau seperti itu?
Tentu tidak, karena Hamka menulis novel ini berdasarkan pengamatan yang dilakukan di lingkungannya. Dengan adanya novel ini, Hamka ingin memberikan kemungkinan, bahwa masih ada masyarakat Minangkabau yang berpikiran demikian. Namun, Hamka juga memunculkan kemungkinan lain bahwa tidak saatnya lagi jika hari ini masih ada masyarakat yang menyandang pemikiran tersebut. Ada dunia kemungkinan yang bisa dipelajari pembaca, yang bisa dijadikannya sebagai media untuk mengenal kebudayaan dan masyarakat yang diceritakan oleh pengarang.
Bertolak dari contoh tersebut, kita dapat melihat bahwa karya tak lahir dari khayalan atau dari kekosongan semata, seperti yang diungkapkan A. Teeuw, seorang ahli sastra. Ia mengatakan setiap karya sastra lahir karena adanya peristiwa yang menjadi sebab dalam kehidupan masyarakat itu sendiri. Seorang pengarang mengambil satu sisi kehidupan yang dianggapnya patut diperbincangkan, lalu dengan pemikiran dan kreatifitasnya, ide-ide tersebut disejajarkan dengan kejadian di dunia keseharian yang biasa dihadapi oleh masyarakat. Dalam hal ini, seorang pengarang bertugas memberikan kemungkinan, apa yang terbaik untuk dilakukan dan apa yang harus dihindari. Tampak bahwa sastra berakar dari lingkungan sosial, di mana masyarakatnya saling berhubungan dan membentuk interaksi di dalamnya.
Sastra Masih Berdiri di Belakang
Problemnya, pemahaman seperti ini belum dirasakan seutuhnya oleh masyarakat. Hanya masyarakat pembaca yang menaruh perhatiannya kepada bacaan sastra saja yang mampu menembus pemikiran demikian. Sehingga, jurang antara karya sastra dan masyarakat semakin melebar. Oleh karena itu, perlu adanya sebuah usaha untuk mendekatkan kembali masyarakat dengan sastra.
Belajar dari pengalaman saya dalam mengenal dunia sastra, bahwa salah satu sarana paling efektif untuk menyebarkan pengetahuan sastra secara serentak kepada masyarakat adalah melalui pengajaran sastra di sekolah. Di dalam kurikulum harus dimasukkan materi sastra, di samping pelajar mempelajari bahasa Indonesia itu sendiri. Mereka akan diajarkan mengenal dunia masyarakat melalui karya-karya sastra yang ada. Mereka juga akan mengenal bagaimana dunia kepengarangan seorang penulis, dan belajar bagaimana nantinya mereka akan menghadapi masyarakat melalui bacaan-bacaan yang ada.
Dan salah satu keuntungan dari adanya pendekatan sastra dengan pelajar adalah mereka dibiasakan untuk membaca, membaca dan membaca. Harapan untuk membuka cakrawala mereka pun berwujud nyata. Seorang pelajar tak hanya ditimpa pengetahuan ilmiah, tetapi juga dibuat peka terhadap sosial lingkungan yang ada di sekitar mereka.
Dan lihat saja, ketika hari ini, media massa cetak dan elektronik memuat halaman sastra dan budaya. Mulai tampak adanya partisipasi pelajar untuk ikut serta di dalamnya, baik untuk menulis puisi atau cerita pendek. Hal ini tak lepas dari usaha sastra untuk mengajak pelajar memperhatikan lingkungan sekitar, dan dengan kreatifitas yang ada menciptakan dunia kemungkinan atau dunia rekaan sesuai dengan sudut pandang yang mereka miliki. Artinya, ada kerinduan dari pelajar untuk menikmati sastra secara bimbingan. Bahwa di dalam kurikulum sekolah, sastra juga penting bagi perkembangan psikologi dan sosial mereka.
Keinginan untuk mewujudkan harapan ini juga tak lepas dari kehadiran karya sastra yang hari ini membanjir, menuntut kesediaan pembaca untuk mengapresiasikan dan menilai bagaimana hasil kerja dari pengarang. Hal ini juga tak lepas dari harapan untuk meminimalisir jurang antara karya sastra dengan masyarakat pembaca. Sudahnya saatnya sastra berdiri di depan, meluruskan opini masyarakat terhadap perkembangan sastra itu sendiri.
Sumber: Padang Ekspres, Minggu, 19 Oktober 2008
Posted by Kantong Sastra at 11:37 PM 0 comments
Labels: wacana
Nasib Sastra di Bangku Sekolah
Esai Fatkhul Anas
BEBERAPA waktu lalu, Maman S. Mahayana, pengamat sastra dari Universitas Indonesia, memberikan pernyataan bahwa sastra makin terpinggirkan dari bangku sekolah (Kompas, 13-10). Pernyataan Maman ini jika diukur dari realita yang ada memang benar adanya. Sastra saat ini mengalami marginalisasi dari dunia pendidikan. Geliat untuk mempelajarinya hanya sekadar "sambilan". Bukan atas dasar suka, melainkan tuntutan mata pelajaran. Jika sang guru tidak memberi pelajaran sastra tentu si murid tidak menanyakannya. Dia acuh saja. Seolah sastra tak penting.
Nasib sastra di bangku sekolah memang sedang mengenaskan. Ibaratnya sastra hanyalah pelajaran pelengkap. Sekadar tahu, bukan untuk didalami, apalagi dijadikan hobi.
Pelajaran sastra yang biasanya digabung dengan bahasa Indonesia masih kalah pamor dengan pelajaran lain, terutama ilmu-ilmu eksak. Ilmu eksak dianggap paling bergengsi, dan siapa yang menguasainya dianggap "orang pintar". Hanya ilmu eksak dan ilmu-ilmu sosial humaniora saja yang dianggap mampu mencerdaskan. Sedangkan sastra dianggap tak mencerdaskan dan tidak bermanfaat.
Imbas Kebijakan
Persepsi terhadap sastra yang demikian "buruk" sesungguhnya tidak terlepas dari kebijakan pendidikan yang diterapkan selama ini. Sebab, kebijakan pendidikan yang baik akan menentukan maju dan tidaknya pendidikan. Termasuk juga sastra.
Kebijakan pendidikan, menurut Mark Olsen, merupakan kunci keunggulan bahkan eksistensi bagi negara-negara dalam persaingan global. Sehingga, kebijakan pendidikan perlu mendapatkan prioritas utama dalam era globalisasi. Karena kebijakan pendidikan yang mampu menentukan maju dan tidaknya anak didik, diperlukan kebijakan pendidikan yang tepat.
Terkait dengan sastra, mengapa semakin lama semakin termarginalisasi? Hal ini tak lepas dari kurang tepatnya kebijakan pendidikan yang diterapkan selama ini. Sejak Orde Baru, pendidikan diarahkan untuk menumbuhkan perekonomian. Saat awal orde baru, perekonomian kita begitu buruk dengan tingkat inflasi yang demikian tinggi.
Dalam buku Kebijakan Pendidikan karya H.A.R. Tilaar dan Riant Nugroho dijelaskan setelah mengalami krisis kehidupan dalam era orde lama, masuklah bangsa Indonesia ke dalam era orde baru yang dimulai dengan upaya meningkatkan kehidupan ekonomi masyarakat. Perlahan-lahan kehidupan masyarakat mulai membaik, infrastruktur dibangun, dan pendidikan diabdikan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Kebijakan era Orde Baru memang sangat efektif mengentaskan perekonomian. Namun, di salah satu sisi berakibat negatif. Terutama bagi pertumbuhan sastra. Selama Orde Baru pendidikan di-setting untuk mengentaskan perekonomian. Otomatis mata pelajaran yang menjadi unggulan saat itu adalah mata pelajaran yang berhubungan dengan perekonomian. Termasuk ilmu eksak. Dalam pekembangannya, ilmu eksak lebih diutamakan karena untuk menunjang teknologi dan industri.
Hal ini berakibat buruk bagi pelajaran yang lain karena semakin marginalnya mata pelajaran yang tidak ada hubungannya dengan teknologi dan industri seperti sastra. Pelajaran sastra tidak lagi menemukan tempat. Sastra dianggap tidak penting dan tidak mampu menyumbangkan kontribusi apa-apa. Sastra dipelajari hanyalah untuk mendukung pengembangan bahasa Indonesia agar tetap lestari. Akhirnya, sastra tidak menjadi pelajaran favorit, tetapi sebagai sampingan. Yang favorit mata pelajaran yang dianggap bergengsi, seperti ilmu-ilmu eksak.
Spirit Sastra
Memang sangat disayangkan ketika sastra semakin termarginalisasi dari bangku sekolah. Padahal, kalau boleh dibilang, sastra adalah ruh kehidupan.
Dengan bersastra kita mampu menghayati hidup. Menemukan jati diri dan mampu menentukan apa-apa yang baik dan buruk serta pantas untuk kita lakukan. Sastra juga mampu membangkitkan semangat jiwa-jiwa yang lelah. Bukankah Chairil Anwar dengan puisi-puisinya mampu membangkitkan para pemuda untuk berjuang melawan para penjajah? Para mahasiswa ketika berdemonstrasi juga melantunkan bait-bait puisi untuk membakar semangat.
Itulah sastra yang berfungsi sebagai ruh dalam kehidupan. Ruh dijadikan berpasangan dengan jasad. Jasad adalah fisik yang kering. Tanpa perasaan dan jiwa. Jika dikaitkan dengan ilmu, ilmu-ilmu eksak maupun ilmu-ilmu lain hanya mengandalkan daya pikir diumpamakan seperti jasad. Kering dan tanpa perasaan. Sastralah yang digunakan sebagai pasangan agar jasad itu hidup. Sastra yang mampu dijadikan penyeimbang (balance) bagi ilmu-ilmu eksak maupun ilmu yang hanya mengandalkan daya pikir, agar tidak kering dan mempunyai perasaan.
Ilmu yang hanya mengandalkan otak tanpa disertai perasaan akan berakibat buruk bagi pemiliknya. Ia cenderung menjadi manusia kaku, tak punya rasa salah, dan tak berperasaan. Dalam bertindak hanya menggunakan otaknya. Ia egois dan tidak memperhatikan perasaan orang lain.
Lihat saja orang-orang yang mahir ilmu-ilmu eksak di Indonesia. Saat meraih kedudukan dan pangkat, mereka malah melakukan korupsi. Mereka tidak peduli apakah hal iu salah atau benar, merugikan orang lain atau tidak, karena mereka tidak mempunyai perasaan. Mereka hanya mengandalkan otak dalam bertindak, sedangkan hatinya tumpul.
Pengalaman semacam ini sesungguhnya mampu dijadikan pelajaran bagi bangsa ini. Bahwa pemberian ilmu yang hanya mengadalkan daya otak saja tidak cukup. Perlu adanya olah jiwa. Olah jiwa tersebut bisa diraih dengan sastra. Sebab, sastra seperti puisi, cerpen, novel timbul dari perenungan jiwa. Ia adalah ungkapan perasaan yang dituangkan dalam kata-kata.
Dengan bersastra, diharapkan jiwa yang kering akan basah kembali. Perasaan yang tumpul akan peka kembali. Sehingga hidup akan senantiasa terarah, teratur, dan tidak semaunya sendiri. Ini artinya, sastra sedapat mungkin harus menjadi prioritas di bangku sekolah. Jangan hanya sekadar sambilan. Pelajaran sastra harus dibuat semenarik mungkin. Hindari memasukkan sastra-sastra absurd yang tidak dimengerti oleh anak didik karena mereka tidak akan suka. Ajak anak didik untuk berapresiasi. Dengan begitu, sastra akan mendapat tempat dan tidak lagi termarginalkan. n
* Fatkhul Anas, penikmat sastra, peneliti pada Fakultas Tarbiyah UN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 18 Oktober 2008
Posted by Kantong Sastra at 11:34 PM 0 comments
Labels: wacana