Wednesday, October 29, 2008

Menggugah Sastra Indonesia Melalui Remaja

KENDATI karya sastra dewasa ini disebut-sebut sedang dalam posisi terpuruk, Pusat Bahasa masih gigih menggugah minat kaum muda untuk mendalaminya, antara lain dengan menyelenggarakan lomba penulisan cerita pendek untuk pelajar SMP dan SMA.

"Tahun 2008 adalah tahun bahasa dan dalam peringatan 60 tahun Bahasa Indonesia, kami juga mengingatkan kembali bahasa sastra adalah bagian dari Bahasa Indonesia. Jadi, peringatannya adalah bahasa dan sastra," ujar Kepala Pusat Bahasa Dr Dendy Sugono.

Penilaian terhadap cerpen karya peserta dari seluruh Indonesia sudah dilakukan dan hasilnya akan diumumkan pada puncak peringatan Tahun Bahasa yaitu pada 28 Oktober 2008 bertepatan dengan pembukaan Kongres IX Bahasa Indonesia di Jakarta.

Dari naskah-naskah cerpen yang masuk, terlihat minat remaja terhadap karya sastra cukup tinggi. Tema yang masuk juga sangat beragam, khususnya menyangkut kehidupan keseharian para penulisnya, tutur Emma Sitahang Nababan dari Pusat Bahasa yang menjadi salah seorang panitia lomba menulis cerpen.

Selain tema yang beragam, pemakaian bahasa juga bervariasi termasuk memakai bahasa "gaul." Tetapi agak disayangkan, naskah dari daerah atau kota-kota kecil masih sedikit yang masuk dan beberapa naskah dari seluruh peserta diketahui ada yang menyontek karya-karya penulis terkemuka bahkan termasuk karya Hamsad Rangkoeti, salah seorang juri.

Naskah para peserta lomba cerpen itu dijaring melalui kota-kota yang memiliki Balai Bahasa yang seluruhnya berjumlah 22 dan dari Jakarta, masing-masing diwakili oleh sepuluh naskah terbaik yang terjaring dalam seleksi di tingkat balai.

Keprihatinan mengenai tingkat pelajaran sastra yang sangat kecil di tiap sekolah juga diungkapkan penyair Taufiq Ismail yang pernah menyelenggarakan program khusus untuk memberikan pelajaran sastra keliling sekolah.

Pusat Bahasa pun menyelenggarakan kegiatan serupa dengan menghadirkan Putu Wijaya ke daerah-daerah.

"Anak-anak sebenarnya haus akan bacaan, tetapi seringkali orang dewasa di sekitarnya tidak menyadari hal itu," kata Julius Felicianus, Direktur Penerbit Galang Press.

Ketika Galang Press memelopori pengiriman parsel lebaran berisi paket buku untuk seluruh anggota keluarga, ada penerima parsel yang menyampaikan catatan bahwa ia merasa tersindir karena anaknya berujar: "Ayah, kalau memberi hadiah yang seperti ini, buku-buku ini aku suka," sementara si ayah mengaku selama ini tidak pernah menghadiahi anaknya dengan buku, kata Julius.

Munculnya sejumlah penulis berusia muda, terutama anak-anak yang terinspirasi "manga" Jepang dan kisah Harry Potter, tidak dapat dipungkiri merupakan persemaian yang subur untuk menumbuhkan penulis-penulis muda Indonesia.

"Anak-anak biasanya akan mulai dengan bacaan yang ringan, komik, lalu meningkat menjadi yang lebih berat. Tetapi lembaga pendidikan dan orang tua perlu menyediakan dukungan untuk memotivasi mereka," kata Julius.

Meskipun karya-karya penulis muda masih dangkal, Sastrawan F Rahardi menilai positif munculnya bibit-bibit muda itu karena kondisi ini dapat ditingkatkan melalui peran serta berbagai pihak mulai dari lingkungan di rumah, sekolah, penerbit hingga toko buku.

Menurutnya, kurikulum di sekolah tertinggal jauh dibanding gejala yang ada di masyarakat. Sekolah dan guru mempunyai "kekuasaan" untuk memberikan pelajaran dengan mengembangkan kreativitas.

Rahardi mengambil contoh sistem pendidikan yang dilakukan oleh lembaga Pendidikan Alternatif Qaryah Thayyibah di Salatiga yang mengedepankan kreativitas, sehingga menguatkan bukti bahwa keterbatasan modal (uang) bukan menjadi penghalang bagi kreativitas.

Ruang-ruang untuk memancing kreativitas bidang sastra baik itu puisi dan prosa semakin sempit, paling tersedia pada beberapa koran dan majalah yang masih peduli dan menyediakan rubrik khusus.

Tak mengherankan jika kemudian penulis-penulis muda berkiblat ke karya sastra dunia seperti Ataka Awwalur Rizqi yang melahirkan Misteri Pedang Skinheld karena terinspirasi cerita Lord Of The Ring dan Harry Potter, kendati ia juga melahap karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Demikian pula penulis Fathia yang terilhami kisah Naruto (Jepang).

Indonesia pernah memiliki karya-karya sastra Melayu atau karya sastra asli, tetapi jika tidak dicetak ulang, para pembaca muda akan kesulitan mendapatkannya karena toko buku tidak menyediakan buku-buku lama, kata Rahardi.

Sementara Julius mempertegas bahwa perpustakaan sekolah pun sekarang kebanyakan berbelanja buku panduan praktis, bukan karya sastra seperti masa-masa 1950-an hingga 1980-an.

"Guru atau petugas perpustakaan berbelanja buku dengan melihat selera pribadi, bukan kepentingan umum dan menjangkau ke depan," katanya menegaskan. (Maria D. Andriana/Ant)

Sumber: Borneonews, Senin, 27 Oktober 2008

1 comment: