Friday, October 24, 2008

Panggil Aku Diana

Cerpen Erna Rasyid

APA yang mesti aku lakukan ketika telinga ini mendengar batuk-batuk ayah yang tak kunjung sembuh. Melihatnya terbaring lemah di kasur yang mulai kusut, membuatku teringat almarhum ibu. Adikku yang masih berumur 11 tahun tertidur dengan pulasnya. Ia tidak mendengar sedikitpun suara batuk-batuk ayah yang mengiris hatiku. Segera kuseka keringat di dahi ayah. Ia tergolek lemas di tempat pembaringannya. Segera kuselimuti ia karena badannya terasa dingin. Setelah ia tertidur, aku baru beranjak ke kamarku. Walaupun aku tahu ayah hanya pura-pura memejamkan matanya agar aku tidak khawatir terhadapnya. Hanya kegelapan dan kesunyian yang menemaniku malam ini. Melihat ayah seperti itu setiap hari membuat hatiku tersayat-sayat. Entahlah penyakitnya tak kunjung sembuh. Aku sudah membawanya ke puskesmas terdekat tetapi katanya ayah harus dirujuk ke rumah sakit agar mendapat perawatan yang lebih intensif. Tidak mungkin aku membawanya ke rumah sakit. Aku tidak punya uang. Pekerjaanku sehari-hari hanyalah buruh cuci.

Aku hanyalah gadis berumur 17 tahun. Adikku yang masih duduk di bangku sekolah dasar belum bisa bekerja. Sejak ayah sakit-sakitan, aku tidak terlalu memperhatikan lagi sekolahku. Aku mencari pekerjaan untuk biaya pengobatan ayah. Mulai dari penjual kue keliling desa, buruh cuci, terkadang aku juga membantu ibu Diana menjual barang dagangannya di pasar jika ia membutuhkan tenaga tambahan. Gajinya lumayan. Ia sudah tahu keadaan keluargaku. Tidak heran kalau ia sering memberiku uang tambahan. Katanya karena aku ulet bekerja padahal aku tahu ia hanya kasihan padaku. Ibu Diana sangat disegani di desaku. Dia sangat dihormati oleh masyarakat. Kebaikan dan keramahannya sangat dipuji-puji oleh masyarakat. Ia termasuk golongan orang yang kaya di desa. Tokonya banyak tersebar di pelosok pedesaan. Dialah yang sering membantuku jika aku mendapat kesulitan dalam hal keuangan.

Pagi itu, ketika aku keliling kampung berjualan kue, aku bertemu dengan seorang wanita. Umurnya kira-kira 40-an tahun. Sepertinya ia orang baru disini. Ia sempat membeli kue yang aku dagangkan. Keesokannyapun seperti itu. Dia sering-sering membeli kue yang aku jual. Katanya kue buatanku enak. Telah dua bulan aku keliling kampung ini berjualan kue, baru kali ini ada orang yang memuji kue hasil buatanku. Terkadang ia memesan dalam jumlah banyak. Ia juga menanyakan namaku, dimana aku tinggal, dimana orangtuaku, bagaimana dengan sekolahku. Ia sangat perhatian padaku. Selain itu, dia sangat ramah dan baik padaku. Kebaikannya mengingatkanku kepada ibu Diana. Pernah juga aku membawa serta adikku untuk membantuku berjualan, sekaligus memperkenalkannya pada wanita itu. Akan tetapi sepertinya ia tidak menyukai adikku. Ia tidak terlalu peduli kepada adikku. Ia hanya menganggapnya seperti orang asing. Aku baru ingat, nama wanita itu adalah ibu Rahma.

Keadaan ayah semakin memburuk. Batuk yang ia derita semakin parah. Ia mulai mengeluarkan darah. Kata ayah badannya semakin lemas. Ia menyuruhku menjauh darinya jika batuknya kambuh lagi. Hanya sapu tangan usang yang selalu menemani jika ia batuk. Ingin kuseka sisa-sisa darah dan ludah yang menempel di bibir ayah tetapi ia melarangku. Katanya ia dapat melakukannya sendiri. Aku mendengar desahan nafas ayah yang tak tentu. Tubuhnya semakin kurus, hanya kulit membalut tulang. Perutnya kembang kempis seperti balon yang ditiup oleh anak berusia 5 tahun. Matanya yang sayu, mengingatkanku pada awan yang mendung. Aku ingat, ada lingkaran hitam di sekeliling matanya. Aku tidak tahan lagi melihat keadaan ayah seperti ini. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku ingin ayah sembuh dari penyakit TBC yang ia derita selama 8 bulan ini. Aku merasa anak yang tidak bertanggung jawab, hanya melihat keadaan ayah seperti ini setiap hari. Ayah tidak bisa lagi memanggil namaku. Ia tidak bisa lagi berucap dengan jelasnya. Jika dia menginginkan sesuatu, segera telingaku kudekatkan dengan mulutnya. Sedekat mungkin agar aku bisa mendengar apa yang diinginkan oleh ayah.

Malam itu, ia ingin makan bubur ayam kesukaannya. Di kamar aku hanya merenung menatap sejumlah uang dihadapanku. Uang tinggal seberapa. Kemarin telah aku habiskan sebagian untuk membeli obat. Setengahnya aku bayar utang di warung sebelah rumah. Sisanya ada dihadapnku. Jika aku menuruti keinginan ayah, esok aku tidak makan dengan adikku. Aku malu meminjam uang kepada ibu Diana karena sudah sering aku meminjam uang darinya. Tak terasa, kedua pipiku basah merenungi uang yang ada dihadapanku. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Telah tiga kali adikku menanyakan bubur ayam yang aku beli karena ayah tak sabar ingin memakannya. Tetapi aku masih duduk merenungi uang itu, tidak bergerak sekalipun. Aku jadi bingung harus melakukan apa. Segera kuberlari menembus dinginnya malam. Entahlah kaki ini melangkah kearah mana kuturuti saja. Tiba-tiba aku berhenti di depan rumah yang sangat besar bagiku. Ada keraguan mengetuk pintunya. Apakah pintu itu sudi diketuk oleh tangan-tangan orang miskin seperti aku? Wajah ayah terlintas dibenakku mendorongku mengetuk pintu itu. Dari balik pintu, aku melihat seorang wanita yang memakai baju daster dengan rambut agak awut-awutan. Ya. Itu adalah ibu Rahma. Dia kaget melihatku datang ke rumahnya tengah malam begini. Ibu Rahma tak sempat mengenaliku awalnya. Malam itu aku lupa memakai sandal, rambutku kubiarkan terurai, dengan baju yang sangat lusuh. Aku tidak sadar kalau mataku sembab. Aku baru menyadarinya ketika pulang ke rumah membawa semangkuk bubur ayam kepada ayah. Rasa bahagia menyelimutiku malam itu ketika melihat ayah memakan makanan kesukaannya walau hati ini tertusuk belati yang telah karatan.

***

Adikku meronta-ronta ingin ikut bersamaku. Tangisnya semakin menjadi-jadi. Aku melarangnya. Kalau ia pergi tidak akan ada lagi yang menjaga ayah. Ibu Rahma pernah menawariku pekerjaan di kota. Katanya ia mempunyai kenalan yang bisa memberiku pekerjaan. Awalnya aku ragu karena harus meninggalkan ayah yang sakit. Tetapi karena aku ingin ayah sembuh, malam itu aku menerima tawaran ibu Rahma. Hari ini aku berangkat bersamanya.. Ayah tidak setuju akan keputusanku. Katanya aku tidak boleh sembarang mempercayai orang. Apalagi ayah dalam keadaan sakit dan aku masih mempunyai adik. Tetapi aku bersikeras ingin pergi. Aku ingin mendapatkan uang banyak agar ayah bisa sembuh. Sedangkan ayah tak bisa berkata-kata lagi.

Sudah tiga bulan aku bekerja di tempat ini. Aku bekerja sebagai pembantu di rumah ini. Nama pemilikya adalah nyonya Dewi. Dia adalah teman lama ibu Rahma. Gaji pertamaku telah kukirimkan kepada ayah di kampung. Tak disangka begitu besar jumlahnya. Aku sangat senang, terbayang olehku ayah sangat gembira menerima gaji pertamaku itu. Ibu Rahma yang membawanya kepada ayah beserta sepucuk surat dariku. Uang yang aku kirim selama dua bulan ini digunakan adikku untuk pengobatan ayah dan kebutuhan sehari-hari. Aku dengar kabar kalau keadaan ayahku semakin baik.

***

Malam itu nyonya Dewi membawaku kesuatu tempat setelah aku dibawanya dari salon. Aku menuruti saja apa maunya karena ia majikanku. Aku melihat diriku dicermin dengan pakaian yang dibelikan oleh nyonya Dewi untukku dua hari yang lalu. Pokoknya semua yang aku kenakan malam itu adalah pemberian nyonya dewi. Mulai dari sepatu, tas, assesoris, bahkan ia membawaku ke salon. Katanya aku harus tampil cantik malam ini.. Tibalah kami disuatu tempat. Aku tidak tahu tempat itu apa. Yang kulihat hanyalah sekumpulan orang-orang yang sedang menikmati music. Suara musiknya pun sangat keras seakan memecahkan telingaku. Lampu-lampu yang warna-warni membuat kepalaku pusing melihatnya. Suasananya agak gelap tidak seterang lampu di rumahku di kampung. Banyak lelaki yang menggodaku, ada juga yang memegang-megang tanganku. Aku jadi risih dan ingin pulang. Tetapi majikanku melarangku pulang sebelum bertemu dengan temannya. Disekitar aku melihat banyak wanita yang sedang asyik bersama dengan pria, entahlah apa yang mereka lakukan. Bau minuman yang sangat tidak mengenakkan membuatku pusing. Ketika majikanku meninggalkanku sendirian, tiga orang wanita mendekatiku.

“Heh..orang baru yah..?kata wanita yang memakai gaun merah. Ia memandangku dari bawah hingga atas. Seakan mencari sesuatu dariku. Minuman yang ada digelasnya sewarna dengan gaunnya.

“Pasti orang baru?” kata wanita dua yang sempat mengelilingiku seakan aku ini barang antik.

“Berapa?” kata wanita tiga.

“Pasti jutaan?” lanjut wanita dua.

Aku semakin bingung dan takut. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Mereka bertiga langsung saja menanyaiku ini dan itu. Seperti seorang polisi yang menginterogasi tersangkanya. Aku menolah ke kiri dan ke kanan mencari Ibu Dewi tetapi usahaku gagal. Aku berlari meninggalkan ke tiga wanita itu. Tidak tahu tujuan kemana. Aku hanya ingin menghindari wanita-wanita itu. Saat belari, aku menabrak seorang pria. Kira-kira umurnya 40-an tahun. Pakaian lelaki itu sangat rapi. Memakai jas warna hitam dengan sepatunya yang mengkilat. Wajahnya yang mulai keriput, warna kulitnya coklat. Ia lalu membantuku berdiri dan memberikan senyuman kepadaku. Ia lalu memperkenalkan diri kepadaku. Orangnya sangat ramah. Kami lalu berbincang-bincang seperti sahabat lama yang baru kali ini bertemu. Namanya Pak Ridwan. Tetapi ia lebih senang dipanggil dengan Ridwan, katanya supaya ia kelihatan lebih muda. Telah berjam-jam aku menunggu nyonya Dewi tetapi ia tak kunjung datang. Pak Ridwan mulai melihat keresahan di wajahku. Ia lalu menawarkan diri mengantarku pulang. Aku iyakan saja. Tetapi sebelumnya ia mengajakku ke suatu tempat.

***

Rasanya aku ingin mengakhiri hidupku saja pagi itu. Bumi seakan-akan tidak mengakuiku lagi sebagai manusia. Terbayang olehku ayah dan adikku. Aku ingin mengakhiri hidup ini segera. Tubuh ini sangat kotor. Walaupun aku telah membersihkan tubuh ini dengan air selautan. Aku teringat ayah, entahlah ayah yang selalu ada di benakku. Aku baru tahu, nyonya Dewi yang tak lain adalah majikanku telah menjualku ke seorang rekannya. Aku juga baru tahu bahwa aku berada di tempat yang tak seharusnya aku berada. Aku telah melanggar amanat ayah. Apa yang mesti aku katakan pada ayah jika tubuh ini telah kotor. Ternyata minuman yang diberikan oleh Pak Ridwan semalam telah membuatku tak sadarkan diri. Dan sekarang aku mendapati diriku tidak memakai benang sehelai pun. Air mata ku tidak akan menyelesaikan masalah. Pagi itu Pak Ridwan meninggalkanku dengan melempariku sejumlah uang. Katanya pelayananku sangat memuaskan baginya. Lain kali ia akan berkunjung dan menemuiku lagi. Aku hanya meratapi nasibku walaupun aku meronta, menangis dengan kencangnya tidak akan ada yang menolongku. Aku terselingkup menatap lantai yang ada bayangan ayah dan adikku. Aku ingin pulang. Aku rindu mereka.

Aku telah terperanjat di tempat ini. Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Apalagi mencoba untuk kabur. Aku menjalani hari-hariku di tempat ini seperti yang lain. Melayani nafsu bejat para langganan. Terkadang aku mendapat perlakuan kasar, bahkan tidak pernah dibayar oleh mereka. Hasilnya aku kirimkan kepada ayah. Aku tahu ayah tidak tahu menahu yang aku kerjakan di kota ini. Aku tidak ingin dia tahu. Kabar terakhir kudengar, ayah semakin membaik. Kini ia mulai kerja lagi. Membajak sawah orang lain, hasilnya untuk kebutuhan hidupnya dan adikku di kampung. Uang yang aku kirim selama ini dari hasil pekerjaan kotorku, mereka gunakan untuk memperbaiki rumah yang mulai reyot termakan usia.

Setiap malam, dengan tubuh yang gemulai, pakaian yang kukenakan harus menarik perhatian pelangganku. Diantara wanita se profesiku, akulah yang termuda. Tak heran jika banyak pengunjung beralih kepadaku. Aku baru sadar ternyata aku cantik juga jika berdandan. Bekerja di tempat itu (club malam atau tempat-tempat hiburan) membuatku banyak berkenalan dengan orang-orang penting. Mulai dari polisi bahkan pejabat sekalipun. Mungkin mereka telah bosan dengan istrinya di rumah atau sekedar menghilangkan strees mereka.

Aku telah mengenal dunia hiburan sejak aku berkenalan dengan nyonya Dewi, mantan majikanku dulu. Dia yang membuatku terjerumus di tempat seperti ini. Bahkan aku tidak pernah lagi mendengar kabar ibu Rahma. Ternyata ia telah menipuku. Aku dengar dari kawanku di tempat ini, ia adalah seorang germo. Ia ke kampungku mencari tenaga baru. Awalnya kita akan terbius oleh keramahannya, menjanjikan kita pekerjaan di kota dengan gaji yang sangat besar. Apalagi waktu itu aku terdesak oleh kebutuhan ekonomi. Ibu Rahma tidak melewatkan kesempatan itu, ia tahu kondisi ayahku. Ia selalu merayuku agar ikut dengannya bekerja. Ia lalu menyerahkanku kepada nyonya Dewi. Hingga aku sampai disini. Melayani nafsu setan para lelaki hidung belang.. Aku juga baru tahu ternyata Pak Ridwan itu adalah seorang pejabat di pemerintahan. Aku juga baru tahu kalau ibu Rahma tidak menyukai adikku karena dia seorang laki-laki.

Sekarang aku berada di tempat ini. Walaupun aku tahu apa yang aku lakukan adalah salah. Aku tidak berani menampakkan wajahku di depan ayah dan adikku. Apalagi warga kampung. Terakhir aku dengar, Wati teman se profesiku telah meninggal. Seminggu yang lalu ia pulang ke kampung halamannya menjenguk orangtuanya. Ia bertemu dengan pejabat dan polisi yang pernah membelinya. Pejabat dan polisi itu takut ketahuan kelakuannya, maka disebarlah isu bahwa Wati adalah seorang pelacur. Kerjanya di kota hanyalah melayani nafsu seks para lelaki hidung belang. Otomatis masyarakat emosi dan tidak mau ada seorang warga yang mengotori kampungnya. Mereka lalu menangkap Wati dan beramai-ramai membakarnya hidup-hidup di depan semua warga kampung..

Aku takut mengalami kejadian seperti itu. Untuk menutupi masa laluku, aku mengganti namaku. Sekarang aku menyandang nama Diana. Nama itu adalah nama seorang ibu yang sangat baik padaku di kampung. Ia sangat disegani oleh masyarakat. Aku memakai namanya agar aku disegani oleh orang. Orang-orang disini memanggilku Diana. Aku malu menyandang nama yang diberikan oleh ayah. Dulu ayah memberiku nama Fatimah. Agar kelak aku mejadi wanita seperti anak Nabi itu. Tetapi apa yang diharapkan ayah malah sebaliknya yang terjadi. Fatimah adalah masa laluku. Sekarang orang-orang memanggilku Diana.

Aku mempunyai seorang teman bernama Aminah. Di tempat ini ia telah mengganti namanya menjadi Dewi. Ia telah menjalani profesinya sebagai PSK (Pekerja Seks Komersial) selama dua tahun. Awalnya ia sering ke tempat-tempat hiburan bersama dengan kekasihnya. Sekedar ingin mendapatkan hiburan. Suatu malam kekasihnya memaksanya melakukan hubungan seks. Ia tidak kuasa menolak karena dipaksa dan takut mengecewakan kekasihnya itu. Selang beberapa bulan ia hamil. Resah dan rasa takut selalu menghantuinya. Wajah kedua orangtuanya selalu terbayang. Sang kekasih malah menganjurkan ia menggugurkan kandungannya. Baginya tidak ada jalan lain selain menuruti saran kekasihnya itu.

Ia merasa tidak berharga lagi dan tidak berhak lagi hidup di dunia ini. Tubuhnya telah kotor. Karena merasa telah kotor, ia mengikuti saran seorang temannya untuk bekerja saja menjadi PSK. Dewi mengiyakan saja. Sejak saat itu hingga sekarang profesi itu dijalani. Kadang pula ia bekerja sebagai penari telanjang disebuah club malam di kota ini. Tidak ada yang tahu mengenai pekerjaannya. Sedangkan kekasihnya telah pergi meninggalkannya tanpa sebab. Status mahasiswi yang pernah disandangnya sering ia rindukan.

***

Raga lelah menyelimutiku pagi ini. Aku baringkan saja tubuh ini di sofa. Rasanya sangat nyaman. Segelas air putih ku teguk mengairi tenggorokan ini. Saat mimpi hendak memasuki ruang tidurku, suara lelaki tua mengagetkanku. Kakiku terasa berat melangkah menuju pintu rumah. Pakaian yang aku kenakan semalam masih melekat erat di tubuhku. Aku segera membuka pintu. Seorang lelaki tua denga motor bututnya berdiri di samping pagar rumahku. Pagi ini ia melemparkan senyuman untukku seakan mengucapkan selamat pagi kepadaku. Aku pun tersenyum. Kaki ini lalu melangkah menuju lelaki tua itu. Ada beberapa pucuk surat berada di tangannnya. Ia lalu memberiku sepucuk surat lalu pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Bisu. Hening. Senyuman itu kini menghilang.

Surat itu lalu aku buka. Ternyata dari seorang ayah yang merindukan anaknya. Menginginkan anaknya pulang ke rumahnya. Raut wajah kertas itu begitu pilu. Surat itu lalu aku lipat dan menyimpannya di laci mejaku. Kadang aku melipat surat itu menjadi sebuah perahu. Sebuah perahu yang akan aku bawa ke pantai. Entah kapan waktu itu tiba. Kelak akan membawa kabar untuk ayah bahwa anaknya disini juga merindukannya. Surat itu tidak sendiri. Telah banyak temannya yang telah menunggunya beberapa waktu yang telah silam. Tak satu pun surat-surat itu aku balas. Di seberang sana, seorang ayah mengharapkan anak merindukannya dan pulang berkumpul dengannya. Aku duduk menatap sekumpulan surat itu. Aku ragu tidak bisa membalasnya dengan tinta air mata.

***

Hembusan angin mammiri menyentuh ragaku tetapi tidak menyapaku. Entahlah, ia tidak mau lagi memberiku kabar mengenai ayah dan adikku. Mungkin ia enggan melihat wajah ini. Seperti malam-malam sebelumnya. Dengan genitnya aku berjalan menarik perhatian para lelaki hidung belang. Dengan rok mini dan baju yang sangat ketat, kacamata berwarna putih yang aku kenakan. Aku biarkan angin mempermainkan ujung rambutku. Sekali-kali senyum kecut kulemparkan kearah sekumpulan pria. Inilah yang aku lakukan setiap malam. Sedangkan ayah dan adikku tidak tahu menahu apa yang aku kerjakan sampai sekarang.

Setiap malam kota Makassar menyaksikan kehidupan yang aku jalani. Entah sampai kapan akan berakhir. Masihkah ayah merindukanku di sana sampai sekarang atau ia telah melupakan aku, anaknya yang hina dan kotor ini. Waktu selalu berkisah kepadaku ketika senja akan segera berlalu. Ada banyak wajah dan wajah yang aku temui. Di pantai ini aku sering berkisah kepada riak ombak dan hembusan angin. Entah telah berapa banyak perahu kertas yang aku buat untuk ayah. Waktu selalu bertanya kepadaku, kapan aku mengirimkannya kepada ayah dan adikku. Aku ragu menatap cakrawala. Aku takut menatap surya dipagi hari. Tetapi aku lebih takut menatap dunia ini.

Akankah embun akan selalu menyapaku dipagi hari. Menemaniku menanti gemerlapnya malam. Menanti senja segera berlalu, mengetuk pintu langit untuk menghadirkan malam bagiku. Kadang aku berharap tidak akan ada malam. Aku selalu ingin bertemu dengan malaikat bersayap membawakan sekotak maut untukku di pagi hari. Biarkan ia mendengdangkan nyanyian mautnya kepadaku setiap hari.

***

Aku bermimpi bertemu dengan seorang gadis. Entahlah, aku lupa menanyakan namanya. Rambutnya panjang, ia biarkan terurai dipermainkan oleh angin malam. Berdiri seorang diri di tepi kerinduan menanti maut menjemput di pelupuk mata. Senja telah berlalu dihadapannya tanpa ia sadari. Mutiara mata tak henti mengaliri hatinya yang dipenuhi kabut gamang. Ketika aku bertanya, “Siapakah engkau?" Ia lalu berbalik menatapku lalu berkata, "Aku adalah masa lalumu."

Makassar, 17 November 2007


* Naskah cerpen ini pernah dipentaskan oleh mahasiswa sastra Indonesia 2006, Fakultas Bahasa dan Sastra, Universitas Negeri Makassar pada bulan Mei 2008 di Gd. Saopanrita UNM


-------

Erna Rasyid, mahasiswi Jurusan Sastra Indonesia 2006 Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Makassar. Telah menghasilkan dua buah antologi cerpen dan sebuah novel. Selain itu telah menghasilkan beberapa naskah drama dan salah satunya telah dipentaskan. Cerpen dan puisinya sering diterbitkan di media kampus.

1 comment:

metafora said...

semangat yah..berkarya...!!!