Friday, October 24, 2008

Kunci

Cerpen Erna Rasyid

MALAM semakin larut. Hening. Bisu. Raga mulai terbuai oleh mimpi. Aku rebahkan tubuh ini di penghujung rinduku pada sebuah kisah. Langit-langit kamarku terlihat seperti langit malam hari. Penuh bintang yang berhamburan disegala penjuru sudut kamar. Semuanya berkilauan. Memberikan cahaya untuk mimpi. Jiwaku telah melayang entah kemana. Mungkin bertamu ke rumah Tuhan atau ke surganya. Memberikan kesenangan buatnya sebelum fajar itu kembali menyinari bumi.

Benar. Fajar itu telah datang. Ia menyusup di celah-celah jendela kamar. Menerpa wajah dan ragaku. Aku terjaga olehnya. Ketika aku bangun dari buah tidur malam, ada banyak bunga yang berserakan di kamarku. Di tempat tidur, kursi, meja, lantai, bahkan di kamar mandi. Bunga-bunga itu dari surga. Tuhan selalu memberiku ketika fajar telah tiba. Aku disambutnya dengan aroma bunga. Setiap hari bunga-bunga itu menghiasi kamarku. Wanginya bahkan tercium ke tetangga rumahku. Kadang mereka bertanya, dari mana aku mendapatkan bunga seharum itu. Aku katakan kalau bunga-bunga itu dari surga. Tuhan yang telah mengirimkannya kepadaku. Setiap pagi. Tetapi mereka selalu saja menertawakanku. Katanya aku sudah gila. Tidak mungkin Tuhan mengirimkan bunga untukku. Tetapi itulah kenyataannya. Bunga-bunga itu selalu hadir setiap fajar mengetuk pintu rumahku.

Aku termenung menatap embun pagi. Mengapa ia menghilang jika matahari mulai hadir untuk melaksanakan tugas hariannya di bumi ini. Hanya sejenak menyapa embun itu lalu beranjak pergi. Setiap hari aku selalu saja bertemu wajah ibuku. Aku mulai bosan. Aku ingin bertemu dengan wajah yang lain. Wajah ibu mulai keriput. Tua dan tidak ada semangat lagi untuk hidup. Kadang aku berpikir, mengapa ia lenyap saja di muka bumi ini. Bagiku itu mudah saja. Aku hanya meminta kepada Tuhan jika aku bertemu dengannya setiap malam.. Itu soal mudah bagiku. Tetapi entah waktu itu kapan.

***

"Apakah ibu melihat kunci yang aku simpan di laci mejaku?" tanyaku kepada ibuku suatu pagi.

"Tidak," katanya datar.

"Kunci apa?" lanjutnya.

"Kunci surga."

"ha...ha...ha..... Kamu ini ada-ada aja," sela ibuku sambil tertawa.

"Betul. Itu kunci surga," ujarku lebih serius

"Kunci surga? Dari mana kamu mendapatkannya? Siapa yang memberikannya padamu?"

"Tuhan," jawabku singkat

Aku lalu meninggalkan ibu yang bingung dan melongo memperhatikan punggungku. Yah. Memang benar. Kunci surga. Semalam aku diberikan kunci surga oleh Tuhan. Katanya, aku harus menjaganya baik-baik. Kalau tidak, aku tidak bisa memasuki surganya. Jadi wajar kalau pagi itu aku bingung, gelisah, dan selalu saja marah-marah. Aku kehilangan kunci itu. Pasti Tuhan marah kepadaku. Aku telah mencarinya disemua tempat tetapi tidak ada. Kamarku telah terobrak-abrik mencari kunci itu. Usahaku mencarinya sia-sia.

Lelah raga ini mencarinya. Tidak terasa aku habiskan waktuku seharian mencari kunci itu. Senja akan segera berlalu tetapi belum aku temukan kunci itu. Aku takut malam segera tiba. Apa yang akan aku katakan kepada Tuhan mengenai kunci itu. Keringat menjalari sekujur tubuhku. Rasa dingin mulai menyerangku.


"Bangun. Sudah pagi. Matahari semakin tinggi."

Ternyata aku ketiduran di depan kamarku. Ibuku yang membangunkanku pagi itu. Aku ragu apa masih bisa dikatakan pagi. Matahari telah berada di tengah-tengah. Aku lalu masuk kamar. Tidak ada bunga yang aku temukan. Setangkai pun tidak ada. Bahkan aroma pun tidak ada. Aku buka kamar mandi, ternyata tidak ada bunga. Dugaanku benar, Tuhan marah kepadaku gara-gara aku menghilangkan kunci pemberiannya. Semalam, aku tidak bertemu dengannya. Segera kunci itu kucari. Harus kutemukan. Semalaman aku habiskan waktuku mencari kunci itu. Hasilnya nihil. Aku curiga kepada ibu. Jangan-jangan ia yang mengambil kunci itu.. Melihat ibu sibuk di dapur, aku masuk ke kamarnya. Tidak ada tempat yang aku lewatkan. Mulai dari laci meja, lemari, baju, bahkan di kamar mandi.. Aku habiskan waktuku mencari kunci itu di kamar ibu tetapi hasilnya sama saja. Nihil. Aku berpikir, pasti ada yang mencuri kunci itu.

Malam itu aku ke luar rumah mencari kunci itu. Aku curiga kepada tetangga-tetanggaku. Selama ini mereka selalu menganggapku gila. Mungkin mereka iri kepadaku karena aku diberikan kunci oleh Tuhan. Mereka juga ingin masuk surga jadi kunci itu diambilnya dari rumahku. Rumah demi rumah aku masuki. Tetapi kunci itu tidak aku temukan. Telah berpuluh-puluh rumah aku periksa tetapi hasilnya sia-sia saja. Aku semakin bingung kemana kunci itu. Aku mulai putus asa. Lebih baik aku pulang ke rumah. Apalagi hari sudah pagi.

Betapa kagetnya aku saat berdiri di ambang pintu rumah. Kunci yang aku cari selama ini tergeletak di depan pintu rumahku. Aku tidak bermimpi. Kunci itu benar-benar ada. Di sampingnya terdapat sepucuk surat. Segera aku buka surat itu. Isinya hanya mengucapkan terima kasih atas kuncinya. Tidak ada pengirimnya. Aku jadi penasaran, siapa gerangan yang mengambil kunci ini dan mengembalikannya pagi ini dengan ucapan terima kasih. Bagiku, asalkan kunci itu telah kembali. Tuhan tidak akan marah kepadaku. Aku merindukan bunga-bunga yang Tuhan kirimkan kepadaku setiap fajar. Aku yakin, Tuhan akan mengirimkannya kepadaku lagi.

***

Baru kali ini aku terjaga sepagi ini. Awan seberang timur masih kemerah-merahan. Matahari belum sempurna lahir ke bumi. Perlahan mata kubuka. Langit-langit kamarku terlihat kosong. Ketika aku bangun, tidak ada bunga-bunga yang aku lihat. Aromanya pun tidak ada. Mungkin ibu telah mengambilnya semua, pikirku. Aku teringat kunci. Sebuah kunci yang diberikan Tuhan kepadaku.. Kunci yang sempat hilang dan membuatku putus asa. Laci meja segera kutarik. Tidak ada. Kunci itu tidak ada. Hilang. Mungkin dicuri lagi oleh yang pernah mengambilnya. Aku lalu menanyakannya kepada ibu yang masih melek di tempat tidurnya.

"Ibu, bangun. Apa ibu melihat kunci yang aku simpan di laci mejaku?" tanyaku sambil mengguncang-guncang tubuhnya.

"Kunci apa?" tanyanya agak malas.

"Kunci itu Bu. Aku menyimpannya di laci kemarin. Sekarang tidak ada. Apakah ibu melihatnya?" tanyaku lebih keras dan kesal.

Ibu lalu bangun dan memperbaiki posisinya. Bersandar di tempat tidurnya. Mengingatkanku pada pasien di rumah sakit. Wajahnya masih kusut seperti baju yang belum diseterika. Saat ia mulai berbicara, nafasnya bau sekali. Aku yang mondar-mandir di depan tempat tidurnya jengkel dan entah marah kepada siapa. Rasa takut mulai menyerangku. Tuhan pasti marah kepadaku.

"Ibu tidak tahu kunci itu. Memangnya itu kunci apa. Sampai-sampai kamu pusing seperti ini?" tanyanya lagi.

"Itu kunci sangat penting bu. Itu kunci surga. Beberapa hari yang lalu aku bertemu dengan Tuhan.. Ia memberikan kunci itu kepadaku. Katanya, aku harus menjaganya baik-baik. Lagi pula, pasti ibu yang mengambil semua bunga-bunga yang ada di kamarku. Semua bunga itu juga pemberian Tuhan. Aku takut. Tuhan pasti marah kepadaku."

Aku semakin bingung dan gelisah. Ibu hanya menatapku penuh keheranan. Lama ia menatapku sampai-sampai aku sendiri takut melihat tatapannya. Apalagi dengan wajah yang masih setengah hidup.. Ia lalu beranjak dari tempat pembaringannya. Melangkah ke lemari. Aku mengira kunci itu yang diambilnya. Ternyata sebuah handuk kecil. Warnanya putih. Ibu lalu berjalan kearahku. Sejenak menatapku. Aku semakin takut. Ia lalu menampar wajahku yang sebelah kiri. Aku kaget dan heran. Tangannya lalu menampar pipiku yang sebelah kanan. Aku mengerang kesakitan dikedua pipiku. Di kepalaku bertumpuk ribuan pertanyaan. Ada apa dengan ibuku. Mengapa ia menamparku. Tanpa banyak gerakan, ia lalu memberiku handuk itu dan menyuruhku pergi mandi. Katanya, aku akan dibawanya ke dokter jiwa pagi itu. Ibu lalu pergi meninggalkanku sendiri di kamarnya dengan penuh tanya sambil menatap handuk yang ada di tanganku.

Makassar (Daeng Tata), 18 September 2008

----------

Erna Rasyid, mahasiswi Jurusan Sastra Indonesia 2006 Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Makassar. Telah menghasilkan dua buah antologi cerpen dan sebuah novel. Selain itu telah menghasilkan beberapa naskah drama dan salah satunya telah dipentaskan. Cerpen dan puisinya sering diterbitkan di media kampus.

No comments: