Tuesday, January 29, 2008

Berkenalan dengan Penciptaan Puisi

Esai Willy Ediyanto

BANYAK di antara kita, yang setelah sekian tahun belajar di sekolah formal, menjadi rabun sastra – meminjam istilah Taufik Ismail. Ini tampak dari kenyataan, bahwa anak-anak yang belum tercemari oleh ilmu sastra dari sekolah formal, misalnya anak-anak sekolah dasar, banyak yang mampu menulis sastra, baik puisi maupun cerita pendek. Mereka begitu bebas dan gembiranya menuangkan isi pikiran tanpa beban. Lihat saja karya-karya mereka di majalah anak-anak atau surat kabar yang mempunyai halaman khusus untuk anak-anak.

Seiring berjalannya waktu, pendidikan yang dienyam oleh para pelajar, ilmu yang mereka miliki pun menjadi semakin banyak. Alhasil, siswa bukannya menjadi semakin lancar dan cinta sastra. Anak usia SMP dan yang lebih tinggi banyak yang justru menjadi rabun. Menjadi semakin jauh dengan yang namanya sastra baik itu cerpen maupun puisi.

Kalau kita membaca buku-buku pelajaran dan buku-buku tentang sastra yang ditulis oleh para ahli sastra dan para sastrawan, kening kita akan semakin berkerut. Pengertian puisi, misalnya, sangat banyak dan beragam. Celakanya, pengertian ini seringkali menjadi beban bagi para siswa. Pengertian ini menjadi belenggu bagi para pelajar untuk berkembang. Pengertian sastra yang dikemukakan oleh para ahli sastra dan sastrawan seolah kitab suci untuk menjadi syeh sastra yang harus dipatuhi.

Semestinya peminat sastra menyadari terlebih dahulu, bahwa pengertian-pengertian yang mereka terima, yang mereka baca itu adalah hasil oleh pikir para sastrawan dan ahli sastra. Bukan untuk peminat penulisan sastra. Yang lebih penting adalah bagaimana kita menuangkan isi pikiran dan perasaan kita ke dalam bentuk larik-larik puisi atau narasi.

Menguasai pengertian tentang sastra bukanlah tidak penting. Tetap saja itu penting untuk pengembangan wawasan. Namun, sekali lagi, yang lebih penting lagi adalah bagaimana kita berkarya.
Dalam kepenulisan sastra, puisi dan cerita pendek, bahkan novel, pada saat ini yang sedang menjadi tren adalah munculnya penulis muda dan artis yang menulis puisi, cerpen, atau novel. Tanpa harus menyebutkannya, pembaca tentu tahu siapa saja artis dan penulis muda yang karyanya bermunculan. Bahkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menuliskan lirik lagu – puisi yang tidak mau disebut puisi – kecuali karya Ebiet G. Ade. Bahkan mereka berdua lebih unggul dari sekedar penyair. Keunggulan mereka adalah, di samping menulis puisi, mereka juga menjadikannya lagu. Kita semua tahu, bahwa lagu lebih populer ketimbang puisi.

Ketika menulis karya sastra, ada baiknya jika kita berpedoman pada “puisi adalah menurut penulisnya”. Dengan pengertian ini dan tetap tidak lepas dari pengertian sastra sebagai sebuah karya tulis, puisi adalah karya sastra dalam bentuk tulisan. Apapun tulisan yang kita hasilkan dengan mengikuti aturan benrupa contoh yang pernah dibaca, tentu itu adalah sebuah puisi.

Memang kita tidak bisa melabrak batasan yang ada yang secara fisik tampak bahwa puisi itu berbait-bait dan berlarik-larik. Untuk dapat dimuat di surat kabar atau majalah, puisi yang ditulis harus menyesuaikan dengan ruang yang tersedia. Sehingga kita tidak bisa membabi buta menulis puisi panjang di surat kabar yang yang ruang untuk puisi hanya sedikit saja. Menulis karya sastra di media massa, berarti menulis karya sastra dengan memperhatikan selera pembaca. Berbeda dengan menulis sastra dalam bentuk buku atau majalah khusus sastra.

Seperti juga menulis yang karya tulis yang lain, yang sering ditanyakan lebih dahulu adalah “apa yang akan ditulis”? Ini wajar saja bagi yang mau melangkah ke kepenulisan. Apakah semua hal dapat ditulis? Tentu saja dapat. Setiap orang mempunyai masa pertumbuhan psikologis yang berbeda. Penulis sastra dapat menulis sesuai dengan masa psikologis itu. Sesuai dengan keluasan dan kedalaman wawasannya. Pada saatnya, usia psikologis itu akan tertinggal oleh kedewasaan psikologis. Pada saat ini, karya yang dihasilkan sudah melesat jauh para perenungan, bukan lagi pemaparan apa yang dilihat dan dirasakan saja.
Menulis karya sastra berdasarkan pengalaman tentu mudah. Penulis sastra tidak perlu memikirkan kritik dari pembaca. Mengritik karya sastra adalah tugas pembaca dan kritikus sastra, sedangkan tugas penulis sastra adalah berkarya. Jadi, sekali lagi, yang penting bagi penulis, adalah berkarya.

Sering muncul juga pertanyaan, bahkan ini menjadi polemik, apakah kita perlu membaca karya sastra hasil karya sastrawan lain? Tentu ya, jawabannya. Bagaimana kita tahu bahwa karya kita baik atau tidak baik jika tidak ada pembandingnya. Untuk penulis pemula, tentu sangat memerlukan acuan untuk menghasilkan karya yang terbaik. Meniru gaya juga sah saja asal bukan menjadi plagiator.

Kita semua tentu masih ingat, ada pepatah yang mengibaratkan kehidupan manusia itu seperti roda yang berputar, kadang di atas, kadang di bawah. Ya, kehidupan adalah siklus. Ini artinya, pengalaman hidup yang sama akan terulang pada waktu, tempat, dan pelaku yang berbeda. Cerita rakyat tentang lelaki yang mengawini bidadari ada di mana-mana dengan gaya yang berbeda. Cerita tentang seorang laki-laki yang mengawini ibunya ada di mana-mana.

Tidaklah mengherankan kalau mantan presiden RI, Soekarno pernah berucap jasmerah - jangan sekali-kali meninggalkan sejarah - karena sejarah akan selalu terulang. Siklus berlaku di mana pun. Begitu juga dalam kehidupan dan sastra. Gaya yang berbedalah yang menjadi ciri khas setiap karya. Kedalaman efek psikologis dalam karya lebih bermakna daripada sekadar jalan cerita. Kejutan klimaks dan ending lebih berperan untuk menguatkan cerita.

Selanjutnya, ladang untuk menanam benih sastra itu, apakah sudah dipupuk dan dirawat? Maksudnya medianya yang sudah tersedia, koran, majalah, buku, atau media lain sudah ada yang memanfaatkannya. Apakah dijaga oleh kita? Apakah kita mengisinya? Apakah kita menghidupkannya dengan membelinya, lalu menglipingnya? Apakah kita sudah mendiskusikan isinya?

Itulah lahan, pupuk, dan perawatan terhadap karya sastra. Di sini sudah ada lahannya. Sekarang waktunya kita menanam, memupuk, dan merawatnya hingga suatu saat kita akan memanennya. Peran guru bahasa sangat penting dalam hal ini. Tertantangkah kita?

* Willy Ediyanto, Penulis dan Praktisi Pendidikan.

Dimuat di Borneonews, Minggu, 27 Januari 2008

Saturday, January 26, 2008

Pada Akhirnya, Karya yang Bicara

Esai Alex R. Nainggolan *

IA, seorang kawan datang pada suatu petang. Namanya, Andriansyah—seorang penulis prosa. Tak ada yang berbeda pada dirinya. Masih tetap rajin menulis cerita pendek, sesekali esai dan tinjauan buku. Meski jarang kutemui karyanya di halaman budaya surat kabar. Beberapa kali menjuarai lomba penulisan kreatif. Sudah lama memang saya tak jumpa. Maklum jarak kami cukup jauh, sebelumnya. Dulu memang kami sempat menekuni, ah terlalu tinggi bahasa ini! Barangkali mencoba belajar sastra di Lampung. Ceritanya banyak, melompat kemana-mana. Jelas ia kecewa pada perkembangan sastra terkini.

Melulu, katanya, dipenuhi dengan beragam gunjingan. Kotraproduktif. Tidak sehat. Bukan bersaing dengan karya. Polemik. Dipenuhi dengan intrik. Padahal, ia seperti jiwa senimannya kepingin bebas saja. Tak perlu mencari “musuh” sekaligus pula didukung. Sastra sekarang, katanya, merupa ragam dunia politik. Memang kita bisa mahfum, jika isi kepala seseorang satu dengan lainnya berbeda. Tapi yang terjadi saat ini ialah kritikus yang muncul asal saja.

Pelbagai perdebatan tentang sastra memang wajar. Maka wajar pula jika pengarang yang tua (tanpa perlu menyebutkan nama) mengelus dada tentang warna tulisan (sastra) saat ini—dengan dominasi seksualitas. Padahal perdebatan itu sudah berlangsung lama, hampir tiga tahun belakangan. Perdebatan itu lebih bercermin pada moralitas versus kebebasan ekspresi. Di beberapa media, beberapa minggu belakangan hanya soal itu-itu saja yang diangkat. Toh, pada akhirnya karya itu sendiri yang berbicara.

Bagi saya sendiri, perdebatan itu ibarat dua buah rel. sampai kapanpun dua buah rel itu tak akan bertemu (sepakat). Bukankah pendapat itu berbeda-beda pula? Tapi jangan dulu pesimis, dengan begitu kita dapat menemukan stasiun (sastra) yang dibawa oleh sebuah kereta. Kereta akan tetap berjalan dan menuju stasiun. Pada titik itulah, sastra justru akan memperoleh katarsis-nya, dengan sendirinya. Sastra akan melulu dipenuhi koreksi, bukan untuk mengalahkan sekaligus memenangkan pendapat-pendapat. Justru dengan demikian dunia sastra akan berubah. Bukankah yang abadi perubahan itu sendiri juga?
Parahnya, kita terkadang abai, bila karya sastra sepenuhnya memerlukan tafsir. Dan tafsir pun dapat beragam. Ibarat sekeping logam, dari sisi sebelah mana melihatnya. Kerja berat sastra(wan) adalah penafsiran. Sebuah karya asing, katakanlah apabila ditafsirkan dapat beragam. Proses menerjemahkan itu sendiri merupakan kerja penafsiran.

Maka, saya bilang kepada kawan saya yang datang pada petang itu, adalah wajar pula jika kita tak butuh kritikus. Untuk sekadar menguping, saya kira boleh juga. Tetapi mengambil perkataan dari si kritikus secara total, saya kira perlu dikesampingkan. Dan tidak aneh pula, jika penyair sebesar W.S. Rendra di sebuah koran Yogyakarta (Kedaulatan Rakyat), berujar, tak perlu ambil “pusing” dengan perdebatan tersebut. Apa yang dikatakan rekan seangkatannya tidak menjadi titik mutlak. Toh, generasi 66 dan sekarang jauh berbeda.

Kondisi sosial/ dinamika masyarakat yang ada saat ini berbeda. Justru di situlah sastra hadir, memberikan sekadar teguran—barangkali cukup. Meskipun “teguran” tersebut terasa implisit, dengan mengungkapkan parahnya realitas terkini, kehidupan pribadi yang berada di dalam kamar. Meskipun saya tidak membela karya sastra seksual, sebab masih ada tema-tema lain yang bisa digarap, yang lebih segar.
Bukankah karya sastra pada akhirnya adalah menyucikan? Dengan berfungsi sebagai “pencerahan” bagi para pembacanya? Apa yang ditakutkan salah seorang penyair 66 itu juga cukup beralasan. Mengapa kita tak bergandeng tangan, untuk lebih menghidupkan dunia sastra dengan segala tema penggarapan?

Untuk itu teringat pula saya pada ucapan Sapardi Djoko Damono, pada Simposium Nasional (Perdebatan Sastra Kontekstual, hal. 151), jika ternyata, “Fungsi sastra berubah dari zaman ke zaman, berbeda-beda di pelbagai tempat macam masyarakat. Di suatu zaman dan masyarakat tertentu, sastra mungkin dipergunakan sebagai alat penyebaran ideology; di zaman masyarakat lain ia mungkin sekali dianggap sebagai tempat pelarian yang aman dari kenyataan sehari-hari yang tak tertahankan: mungkin saja sastra dianggap mampu memberikan pengalaman hidup dan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur bagi pembacanya (…) Tidak saja pembaca boleh dikatakan bebas menentukan kegunaan sastra bagi dirinya sendiri, tetapi pengarang dan penerbit juga menentukan maksud buku yang ditulis dan diterbitkannya.” Tetapi sastrawan kita nampaknya malas, katakanlah untuk sekadar merengkuh seluruhnya. Untuk menghadapi seluruh karya dengan gairah yang sama. Pun pada porsi kritik, kita lebih suka mencibir pada orangnya saja, bukan pada karya. Nyatanya justru, seperti juga yang kawan saya perbuat, kita menciptakan “pusat-pusat” baru dalam sastra yang sesuai dengan kepentingan. Sungguh, jauh panggang di atas api. Kegiatan untuk membiarkan sastra tumbuh sebagai pusat cipta, lebih terkesan pada gerakan yang setengah hati. Gerakan yang dipenuhi dengan kepura-puraan panjang. Padahal kita tahu, sastra selalu saja tumbuh, mekar, dan berkembang. Padahal kita mengerti dan paham, karya sastra semestinya menuju pada pintu yang satu: katarsis.

Ah, kawan, mengapa kita begitu sibuk memilah diri. Membatasi diri sendiri, untuk tidak membiarkan saja sastra itu tetap tumbuh. Mengapa kita selalu berpura-pura untuk masuk ke dalam karya sastra, padahal masih banyak hal-hal lain yang sebenarnya tak tersentuh? Apakah kita terlampau kerdil untuk membiarkan seluruh karya bermain-main di dalam diri kita. Kawan, apakah kau lupa, bagaimana politik dapat selalu masuk ke dalam dunia kita? Politik yang justru membuat beberapa dari kita menyingkir. Politik yang justru menayangkan kenyataan pahit, bahwa dunia sastra tidak lagi berkisah moral baik atau buruk saja. Di mana seluruh kepentingan campur-aduk di sana. Politik pula yang mengakibatkan kita terpecah-belah. Kita ingat bagaimana sastrawan eksil, yang meninggalkan tanah kelahirannya, semacam Agam Wispi, Sobron Aidit, Sitor Situmorang, Utuy Tatang Sontani, dsb. Politik yang licik pula, yang menyebabkan karya sastra dibakar, dimusnahkan, dan terkubur tanpa sempat muncul di permukaan. Politik yang telah menahan
Pramudya Ananta Toer, K. Usman, dsb.

Ah, kawan, mengapa kau begitu bersikeras untuk mengotakkan itu semua? Padahal karya sastra, sebagaimana Chairil Anwar bilang, cuma untuk mengatasi kesementaraan segala saja. Padahal dalam sajaknya Goenawan Mohammad bilang, kelak retak dan kita membikinnya abadi. Kawan, tidakkah kita bisa bersikap wajar, untuk sekadar mengarifi lagi tapal batas kita. Untuk tetap menggali seluruh kekayaan diri kita sendiri, dengan terus belajar dari khazanah yang telah purba ataupun terkini. Kita bisa saja terpikat atau kepincut pada legenda-legenda tradisi kita semacam kisah-kisah yang terus diceritakan orang-orang tua zaman dahulu. Hikayat Ken Arok, Anglingdarma, Anjasmara, atau barangkali kita berkaca pada karya-karya asing, bagaimana Albert Camus memikat dalam novelnya yang terakhir La Chute, Edgar Alan Poe, Saferis, dsb. Mengapa kita tak mengambil semuanya, katakanlah untuk menambah kekayaan kita dalam berkarya, atau untuk menyikapi kehidupan?

Ah, kawan! Sungguh, pada akhirnya kita kembali pada pembaca. Pembaca juga yang menemukan ragam tafsir yang tentunya berbeda antara satu dengan lain. Tidakkah kita lebih baik berkarya saja? Sudah habis! Pada akhirnya memang karya yang berbicara.

***

Kembali pada kawan saya, lalu, ia berkisah tentang temannya yang kepingin jadi sastrawan, kata dia temannya ingin sekali menulis novel. Novel yang langsung menggebrak dunia sastra tanah air, bila perlu dunia. Jika perlu lagi bisa mendapatkan nobel. Temannya kawan saya itu bilang, jika memerlukan bantuannya untuk mengedit. Ah, editor! Alangkah sengkarut-mautnya pekerjaan itu. Perlu lihai dengan kata, mampu menyelami isi cerita secara utuh. Salah sedikit saja karya orang lain bisa berantakan dibuatnya.

Tapi saya bilang tidak sekejam itu peran editor, justru terkadang bisa membuat karya lebih gemilang dari aslinya. Temannya kawan saya yang minta diedit novelnya tak kunjung memberi kabar. Padahal dia merasa sudah siap untuk membaca novelnya. Suatu ketika mereka berjumpa, jawaban temannya kawan saya cuma singkat, “Setan itu virus komputer! Habis file tulisanku dibuatnya. Terpaksa harus menulis ulang. Kau tunggu sajalah!” ia hanya melengos.

Saya bilang padanya, “Ah, belagu betul orang itu! Sama seperti sifat sastrawan lainnya. Mau menulis karya yang besar tetapi tak kunjung jadi. Cuma sekadar jadi omongan di bibir saja. Lips service.”

***

Barangkali memang susah menemukan kisah yang betul-betul besar. Besar di sini mampu bertahan di segala zaman. Perlu usah yang sungguh-sungguh. Sebuah kisah yang dapat meninggalkan sketsa di benak pembaca adalah cerita yang besar itu. Kisah itu dapat memberikan penyadaran penuh bagi penikmatnya. Kerja keras itu tak mudah, mengatur watak tokoh yang keras kepala teramat sulit untuk diterka. Alur, logika, bahkan kekuatan dialog mesti dibangun. Belum lagi pemilihan kata-kata.

Kisah memang hanya sebuah fragmen dari kehidupan. Hanya sekilas, tak pernah lengkap. Bahkan novel setebal apapun, tidak pernah dapat secara detail menggambarkan kehidupan yang utuh. Kisah dituliskan hanya sebagai upaya—bagi manusia untuk bertahan dalam kehidupan itu sendiri. Kisah-kisah mengharukan—lebih banyak mengambil tempat. Bukan karena adanya unsur penggalian terhadap derita yang dialami manusia.

Ah, padahal saya merindukan ada sebuah bentuk tulisan teks yang benar-benar mencitrakan keunggulan. Setidaknya terlepas dari pengaruh para pendahulunya. Dan memang sastra selalu tak lepas dari suasana keterpengaruhan orang lain, kewibawaan teks orang yang dianggap menjadi guru. Adakah pijakan leluhur lain yang memang bisa diandalkan, sebagaimana Nirwan Dewanto bilang, berkaca pada karya-karya luar? Ataukah kita yang lupa: jika sebenarnya masih ada khasanah lain yang belum kita kuak. Sebagaimana peribahasa, “semut di ujung lautan kelihatan, sedangkan gajah di pelupuk mata tak terlihat.” Apakah kita melupakan warisan legenda para leluhur di daerah masing-masing. Nyatanya kita masih punya syair Raja Ali, Serat Centhini, dan Hamzah Fansuri. Atau barangkali kita takut untuk berlena lama-lama dalam nostalgia yang terasa semu itu. Terlibat dalam pikiran di mana terlampau sibuk mengenang masa silam. Sebuah nostalgia yang mendadak gila. Tetapi apa yang lebih indah dari ingatan? Bukankah dengan mengingat orang merasa dirinya menjadi lebih baik dibandingkan dengan kemarin? Ya, memang saya merindukan sebuah prosa yang tanpa ujung, di mana saya menapaki semua bebatuan diksi, gaungan kata, yang memaksa saya terengah, namun mendapatkan juga sebuah pintu untuk dimasuki.

Apakah saya berkhayal tentang sebuah karya yang menggelegar pecah dari Indonesia? Barangkali tidak. Sebab apalah artinya sastra? Toh hanya sebatang pohon beringin yang kecil, meski terasa lebat daunnya, namun hanya memilih menjadi tepian saja. Menyempit dan begitu khusus. Terjerat di dunianya sendiri. Berputar dalam lingkaran yang itu-itu saja. Beruntung pula, jika akhir-akhir ini beberapa buku sastra dapat terjual laris manis tanjung kimpul. Best seller. Sayang pula hanya beberapa, sedang yang lain? Cuma terpajang diam di rak-rak buku. Sampai berdebu. Tidak dicetak ulang.

Terkadang saya berpikir, terhadap kenyataan getir semacam ini. Di mana orang sibuk bicara tentang hal-hal lain, adakah mereka menyentuh karya sastra semacam prosa? Jangankan prosa, puisi yang pendek mungkin hanya sebatas ingatan kecil, sebuah lampion yang teramat kecil yang terus bersinar, namun hanya sendirian. Terlebih lagi, dunia sastra, dengan segala macam karyanya. Perlukah kita bersibuk diri dengan meminta adanya pencerahan di dalam sebuah karya?

Padahal saya menunggu sebuah kemilau cerita yang tak kunjung menghilang dalam ingatan. Mengukir sebuah pemahaman baru, yang justru menampilkan tidak sekadar beberapa tokoh, di mana ada pergulatan antara konflik dan antiklimaks berkelindan jadi satu. Prosa yang hadir saat ini, mungkin masih butuh proses yang lebih jauh. Di mana perlu ada rangkaian imajinasi baru yang lebih ‘gila’ lagi. Satu-satunya yang masih tersisa adalah budaya bertutur kita yang masih kuat. Padahal efek dari percakapan, tuturan, ucapan—sifatnya hanya temporer semata. Yang akan mudah lenyap bersama dengan angin.

Ya, tentu, beberapa kawan pernah bilang, dunia sastra kita masih berada dalam tahap pencarian yang panjang. Masih begitu muda, bung, usianya. Sehingga beberapa kemiripan hadir dan tumpang-tindih. Mengingat tampilnya beberapa raja-raja baru kapitalisme, yang menginginkan bagaimana selera pasar harus tampil di muka. Namun mengapa kita tak berupaya membebaskan diri, katakanlah, untuk sekadar mempercayai, jika masih banyak kekayaan lain yang belum digali. Apakah sastra begitu merindukan omong kosong semacam ini? Saya rasa tidak, sebab kita mengetahui justru cerita yang sederhana tetap mampu memukau. Dan terkadang serpihannya begitu dekat dengan diri kita sendiri.

Padahal dia dan juga saya merindukan prosa yang benar-benar menggetarkan. Oh, berada di mana engkau sebuah kisah?

* Alex R. Nainggolan, Penyair, menetap di Jakarta

Dimuat di Borneonews, Minggu, 20 Januari 2008

Dekonstuksi ’Rasisme’ Sastra Buruh

Esai Gendhotwukir*

SASTRA adalah sastra. Karya sastra adalah karya sastra. Karya sastra tidak boleh dilacurkan pada determinasi-determinasi profesi. Jika demikian adanya, maka yang muncul adalah tendensi ‘rasisme’ karya sastra yang ditempatkan pada profesi-profesi pencipta karya sastra.

Fenomena determinasi karya sastra pada tataran profesi akhir-akhir ini mulai tampak. Tendensi ini berkaitan erat dengan maraknya kehadiran penulis-penulis muda dari kalangan kaum buruh migran. Kenyataan demikian melahirkan satu terminologi baru yang biasa disebut dengan sastra buruh. Sastra buruh diartikan sebagai karya-karya sastra yang dilahirkan oleh kaum buruh.

Tidak jelas kapan secara kronologis istilah sastra buruh ini muncul. Satu hal yang pasti, istilah ini telah menjerumuskan karya sastra pada pelacuran yang jelas-jelas melahirkan wacana serius ke gelombang ‘rasisme’ sastra. Bagi penulis jelas, karya sastra adalah karya sastra dan pemecahbelahan karya sastra secara arogan dengan menempelkan profesi pada karya yang diciptakannya adalah tindakan yang berbau “rasis”. “Rasisme” dalam konteks ini penulis artikan secara baru. “Rasisme” dalam koridor tulisan ini berarti sikap meremehkan dan memandang rendah hasil karya kelompok tertentu (kaum buruh) tanpa dasar-dasar pembelaan estetika dan jalan pikiran yang rasional.

Kecenderungan ‘rasisme’ ini tampak nyata dari reaksi-reaksi segelintir orang yang selalu mempertanyakan kualitas sastra yang dilahirkan oleh penulis-penulis dari kalangan buruh. Segelintir orang ini beranggapan karya sastra yang dilahirkan oleh kaum buruh tidak nyastra. Satu hal yang dilupakan segelintir orang yang sinis ini yaitu justifikasi mereka yang secara terselubung dilatarbelakangi anggapan mereka karya yang nyastra lahir dari tangan orang-orang dengan latar belakang status pendidikan. Pikiran mereka ini terlalu picik karena tidak mau secara serius mendalami karya sastra kaum buruh. Padahal kalau penulis amati, beberapa karya sastra dari kalangan buruh nyastra dan mencapai puncak estetikanya.

Penulis tidak bermaksud memberikan apologi (pembelaan) atas karya-karya sastra dari kalangan buruh. Penulis hanya ingin menelaah pemahaman estetika pada umumnya. Dengan pemaparan ini, penulis menaruh harapan besar agar pembaca bisa menilai sendiri karya-karya sastra yang marak beredar dari kalangan buruh dari aspek estetikanya.

Materi pembentuk karya

Pada suatu karya perlu dibedakan antara materi (matter) dan material (materials). Materi dari suatu karya adalah materinya bahan-bahan pembentuk suatu karya. Materi adalah sumber asli yang menjiwai setiap pengalaman estetis. Materi ada di dalam, bukan hadir di luar. Material (materi kasar) hanya mendukung materi asli. Material harus terintegrasi dalam keseluruhan karya bagi penikmat yang menikmatinya agar penikmat mencapai pengalaman estetis.

Materi menjiwai cita rasa seni sebuah karya. Meski demikian, rasa perasaan seni tak boleh terikat oleh materinya. Rasa itu bebas dari punya realitasnya sendiri. Keindahan sebagai unsur rasa dalam karya sastra tidak boleh hanya disimpulkan dari tampilan. Keindahan seorang gadis tidak boleh hanya disempitkan pada postur tubuhnya (tampilan luaran). Keindahan adalah totalitas kehadiran gadis tersebut. Pengandaian demikian mau mengatakan bahwa pengalaman estetik yang lantas bisa menimbulkan pengalaman katarsis pada penikmat tidak hanya didasarkan pada penikmatan tampilan luaran.

Mudji Sutrisno dalam bukunya Estetika (Kanisius: 1993) memaparkan dengan tajam bangunan sebuah karya. Menurutnya, setiap karya punya bangunan yang sedemikian rupa sehingga secara umum dapat diterima secara ekuivok. Bangunan karya tersebut adalah struktur harmoni dan struktur ritme.

Fungsi struktur harmoni (kesesuaian) menegaskan dan menggolongkan unsur-unsur bahasa estetisnya sehingga sebuah karya memiliki keunikannya. Pemakaian kata-kata estetik dalam karya sastra memiliki peranan penting dalam membentuk totalitas keindahan yang lantas bisa dinikmati oleh penikmat. Kehadiran kata-kata estetik yang harmonis menawarkan bangunan keindahan bagi penikmat.

Fungsi struktur ritme menentukan unsur yang diarahkan pada suatu gerak. Gerakan ini memberikan wujud yang menjadikan gerakan itu hidup. Ritme yang baik tercapai manakala terjadi titik-titik temu pelembutan, pengaturan kata-kata tanpa menyingkapkan secara terus terang dan tanpa mereduksinya dalam pengulangan-pengulangan yang monoton. Ekspresi yang paling kuno dari struktur ritme misalnya selang-seling baris dalam stanza dan puisi. Integrasi struktur harmoni dan ritme memberikan sumbangan khusus pada obyek suatu karya.

Elaborasi keindahan

Sumber pokok pengalaman estetis adalah pengamatan pancaindera yang diolah dalam rasa, lalu dicoba-ekspresikan dalam berbagai bentuk pengucapan. Manusia dengan segala indera dan kemampuan-kemampuan lainnya terbawa masuk dalam pengamatan itu. Kontemplasi akan karya secara mendalam akan melahirkan pengalaman estetis.

Karya sastra itu berharga dan bisa menghadirkan keindahan karena karya itu sendiri bernilai. Nilai keindahan terletak pada karya itu sendiri, teristimewa karena ada tanda khusus yang bermakna di balik karya itu. Adalah Edward Bullough yang menggagas pengalaman estetis dengan konsepsinya mengenai distansi atau “jarak“. Distansi dicapai dengan memisahkan karya dan daya pesonanya dari selera penikmat dengan cara menaruhnya di luar lingkaran tujuan dan keperluan praktis semata-mata. Distansi memungkinkan kontemplasi terhadap karya dalam keheningan. Distansi tidak bermaksud membuat pengalaman estetis menjadi impersonal, tetapi sebaliknya mau memberikan suasana yang membuat pengalaman estetis semakin menjadi pribadi, dirasakan sepenuhnya dalam kekhasan cirinya.

Suatu datum umum menyatakan sebuah karya biasanya diharapkan mempunyai nilai estetis atau menjadi bagus. Meski demikian, penulis lebih melihat munculnya karya sebaliknya jangan pertama-tama dikaitkan dengan pengalaman estetis yang mau diabadikan atau disampaikan kepada orang lain, melainkan perlu dikaitkan dengan usaha penyempurnaan karya sedemikian rupa sehingga orang lain betul-betul dapat menyukai dan menikmati karya tersebut.

Catatan kritis

Maraknya kehadiran karya sastra berupa novel, cerpen, prosa dan puisi dari kalangan buruh perlu mendapat perhatian khusus karena adanya fakta yang tak terbantahkan bahwa karya-karya mereka telah ikut menyemarakkan sastra nusantara.

Bagi penulis, polemik genre sastra buruh perlu dilihat sebagai tantangan baru dalam kerangka kemajuan proses kreatif, proses terus-menerus penyempurnaan karya-karya dari kalangan buruh. Penulis lantas teringat debat panjang di PDS HB Jassin Jakarta tahun 2006 yang lalu pada kesempatan bedah buku dari kalangan buruh migran. Pada dasarnya sebagian besar peserta menolak definisi-definisi sastra yang dikaitkan dengan profesi. Betapa runyamnya sastra kalau sudah ada tendensi pemisahan berdasarkan profesi atau golongan: ada sastra buruh, sastra becak, sastra pengusaha, sastra wartawan, dll.

Pada beberapa kesempatan bedah buku atau diskusi, wacana genre sastra buruh hanya muncul dari segelintir orang yang kalau penulis amati, mereka ini hanya asal ngomong dan tidak mau secara serius mendalami dan meneliti secara mendalam nilai-nilai estetis karya-karya buruh. Pada dasarnya penulis memang menolak pengembleman sastra berdasarkan profesi dan atau golongan. Alasannya seperti pada awal tulisan ini, sastra adalah sastra, karya sastra adalah karya sastra dan karya sastra tidak boleh dilacurkan pada determinasi-determinasi profesi. n

Dimuat di Borneonews, Minggu, 30 Desember 2007

Tuesday, January 15, 2008

Kubang

Sajak Asarpin

lenguh kerbau
londang babi hutan
ditinggal pulang
mudik di amben pasar

Undurundur

Sajak Asarpin

undurundur
berjalan mundur
di lebuh rumahku
orang-orang berlari
menginjak rumah debu
-terjungkal tak sadar diri
--tulahan!

-jkt 2003, 2007

Monday, January 14, 2008

Ombak Suak

Sajak Asarpin

ombak membantun
sesat pusat

Berdekapdekapan

“Abu, abu
kelambu tutung, nak!”

--jerit bapa pada anaknya

“aku di sini, bapa
selamatkan aku
bapak!”
Semoga Tuhan tak bosan
mendengar jeritan umatNya

Trompet

Sajak Asarpin

Jangan tiup sangkakalaMu
karena trompet tahun baru
sudah bikin pekak telinga kami

-jan 2008

Yajul Majul

Sajak Asarpin

kami yajal juga majul
beri zulkarnain alat
bila umat mau selamat

Almanak

Sajak Asarpin

dua almanak
menyatu dalam tarikhMu

-des 2007