Cerpen Ernawati Rasyid
SEMUANYA terjaga malam ini. Malam-malam kemarin. Purnama begitu kelam menemani para perempuan dan laki-laki di pembaringan. Tidak ada sepasang mata yang terkatup. Semuanya menganga dengan degupannya masing-masing. Menanti hari ke tujuh purnama. Menunggu purnama terakhir untuk menurunkan bayi-bayi dari langit. Air mata tak sabar menanti meleleh disemua pipi perempuan malam-malam purnama. Seperti hujan yang turun tak bergerimis.
Tiga purnama telah berlalu. Perempuan-perempuan menyiapkan segala perlengkapan bayi. Toko-toko pun dipenuhi hanya para perempuan. Setiap hari selama tiga purnama, hanya perlengkapan bayi yang merebak di hati para perempuan. Tawa air mata menyeringai di sudut mata perempuan-perempuan itu saat berbelanja. Bahkan ada yang berteriak histeris saat berbelanja. Terlalu bahagia. Terlalu banyak bahagia sehingga tak ada kata yang terangkai dari mulut mereka. Hanya ada derai tawa dan air mata setiap harinya.
Empat purnama telah berlalu. Para perempuan menghias rumah mereka dengan hiasan-hiasan yang terindah. Semuanya bercahaya di setiap sudutnya. Seperti hamparan bintang di langit. Mereka pun hanya bisa tertawa dan menangis. Ketika malam hadir, tak ada kelopak mata yang mengatup. Semuanya terjaga. Tak sabar menanti purnama ke tujuh hadir. Dengan bayi-bayi yang diturunkan dari langit. Mendengar bahwa purnama ke tujuh bayi-bayi akan diturunkan dari langit, para perempuan sangat bergembira. Terlebih bagi yang mereka tidak mempunyai anak. Airmata mereka tumpah ruah begitu saja mendengar hal ini. Bahkan ada yang sujud di puncak gunung untuk berterima kasih kepada Tuhan. Bukan hanya itu, ada pula seorang perempuan yang pingsan selama dua hari. Semuanya tidak sabar menanti purnama ke tujuh.
Lima purnama telah berlalu. para perempuan berkumpul bersama tetangga-tetangga mereka. Kini, sepatah kata pun keluar. Semuanya asyik membicarakan bayi-bayi yang akan turun dari langit. Bahkan mereka telah mempersiapkan nama yang akan mereka berikan kepada bayi-bayi itu. Mereka terlalu bergembira sehingga bajunya basah karena air mata.
“Apa kau sudah siap menghadapi purnama ke tujuh besok?” tanya seorang suami kepada istrinya.
“Aku sudah siap! Berhari-hari aku mempersiapkan semuanya.” Jawab si istri.
“Apa kau gembira?”
“Yah! Aku sangat gembira. Bagaimana denganmu?”
“Ya. Sama sepertimu..”
“Semua perempuan juga bergembira. Bahkan telah berhari-hari mempersiapkan segalanya. Aku pikir, kau sudah tahu itu.”
“Iya, aku melihatnya. Jangankan mereka, cukup istriku saja yang aku lihat.”
“Aku deg-degan!”
“Apa ada yang kau khawatirkan?”
“Entahlah. Aku merasa deg-degan saja”.
“Semuanya akan baik-baik saja. Tuhan kan tidak pernah salah. Tunggulah besok, bayi-bayi itu akan diturunkan dari langit.”
“Kau ingin bayi perempuan atau laki-laki?”
“Menurutmu?”
“Kau akan menjadi ayah. Jadi aku minta pendapatmu?”
“Aku suka bayi laki-laki. Juga perempuan”.
“Hahaha… Apa kau mau aku mengambil dua-duanya? Itu menyalahi aturan. Tuhan hanya memperbolehkan mempunyai satu anak. Jadi bayi yang mana harus aku ambil?’
“Bayi perempuan atau laki-laki sama saja.”
“Maksudmu?”
“Iya, perempuan atau laki-laki sama saja. Hanya raganya yang berbeda. Jiwanya tetap sama. Lagipula hati juga tidak mungkin berjenis kelamin.’
Purnama ke tujuh yang dinanti oleh para perempuan telah tiba. Semuanya berpakaian yang sangat indah. Berhias hingga berjam-jam lamanya di depan cermin untuk menanti hadirnya bayi-bayi dari langit itu. Semuanya pun menuju ke tanah lapang di tengah-tengah tempat tinggal mereka. Bahkan ada yang bersama suaminya masing- masing. Senyum lebar menghiasi wajah para perempuan. Lalu mereka pun berkumpul di tanah lapang. Menunggu bayi-bayi itu.
Lama menanti tak ada juga tanda-tanda. Namun, semuanya masih tersenyum. Berselang beberapa jam tidak ada juga pertanda bayi-bayi itu akan turun. Raut wajah menajdi resah dan gelisah. Rasa takut pun mulai menghinggapi mereka. Jangan-jangan tidak ada bayi malam ini. Lalu, langit pun menjadi agak redup. Purnama terlihat hanya bayang-bayang saja. Suara gemuruh begitu menggelegar hingga menggetarkan hati. Gerimis pun mulai berjatuhan dari langit. Membasahi sekujur peluh tubuh mereka. Membasuh segala yang ada di dalam jiwa dan raga. Gerimis pun semakin menderas. Hujan pun turun mengguyur mereka di tanah lapang itu. Saat itu pula satu per satu bayi diturunkan dari langit. Para perempuan bergembira menyambut bayi-bayi itu. Para perempuan berlarian meraih bayi itu. Bahkan ada yang berjingkrak-jingkrak untuk meraihnya. Sebagian telah mendapatkan bayi itu. Ada yang tertawa hingga airmatanya menderas. Bahkan ada juga yang memeluk bayi itu tidak mau melepaskannya. Namun, dua orang perempuan terlihat beradu mulut. Bukan hanya itu, fisik mereka pun bergulat di tengah hujan di tanah lapang itu.. Tetapi, tidak ada yang memperhatikannya. Semuanya sibuk dengan bayi-bayi itu.
“Bayi ini milikku!” kata perempuan pertama
“Bukan! Dia milikku!” kata perempuan kedua
“Aku pertama yang mendapatkannya! Kau carilah yang lain saja!”
“Bukan! Aku yang pertama mendapatkannya!”
“Berikan bayi itu!’
Keduanya bertengkar memperebutkan bayi itu di tengah hujan. Tidak ada yang peduli dengan pertengkaran mereka. Tidak ada lagi bayi yang turun. Itu bayi terakhir, dan masih ada dua perempuan yang belum mendapatkannya. Tidak ada yang mau mengalah.
“Berikan bayi itu padaku!” kata perempuan pertama lagi.
“Aku yang pertama mendapatkannya!” kata perempuan kedua
“Kau tahu, aku begitu mengharapkannya. Sudah berhari-hari aku menunggunya. Telah aku persiapkan semuanya untuk menyambutnya.”
“Sudah berpuluh tahun aku menantinya. Bukan hanya kau, aku juga telah mempersiapkan semuanya. Kau tahu, betapa aku sangat menginginkan bayi ini. Berikan saja kepadaku!”
“Tidak! Aku tidak mau. Aku juga menginginkan bayi itu!”
“Diam!”. Bayi itu pun bersuara.
Bayi itu berbicara. Kedua perempuan itu hanya bisa mengangakan mulutnya. Entah apa yang akan keluar dari mulutnya melihat bayi itu. Kedua mata bayi itu pun melirik kedua perempuan itu secara bergantian. Entah berapa lama. Kedua prempuan itu menanti apa yang akan dikatakan bayi itu.
“Diamlah kalian berdua!” kata bayi itu lagi
“Tidak bisa! Kau harus memilih diantara kami yang akan menjadi ibumu,” kata perempuan pertama
“Iya! Kau harus memilih salah satu di antara kami untuk menjadi ibumu.” Kata perempuan kedua.
“Aku tidak memilih salah satu diantara kalian. Tetapi aku memilih kehidupan!”
Makassar, 14 November 2009
Friday, May 21, 2010
Perempuan Bayi
Posted by Kantong Sastra at 9:30 PM 0 comments
Labels: karya (cerpen)
Saturday, May 15, 2010
Ayat-Ayat Cinta*
Cerpen Restoe Prawironegoro Ibrahim
MARIA merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Digerakkan kedua pundaknya beberapa kali hingga terdengar bunyi gemerutuk tulang kering di antara keduanya. Matanya menatap lurus ke langit-langit kamar. Di situ seolah-olah tergambar kembali ceramah-ceramah yang selalu diikutinya setelah selesai responsi agama. Beberapa kalimat yang kerap kali didapatnya dan sulit untuk melupakannya, selalu terngiang di telinganya.
“Cobalah kalian baca surat Al-Mumtahanan ayat 10; ……… Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang itu tiada halal pula bagi mereka…… Jadi jelaslah, untuk kaum wanita adalah haram mendapatkan pendamping hidupnya yang bukan beragama Islam…….!”
Maria memejamkan mata dan menghela nafas berat. Kini wajah Fahri hadir dengan senyum kedewasaannya.
“Agama kita memang berbeda, Maria, tapi semua itu tak akan dapat mengalahkan kasih di antara kita………,” begitu selalu yang dikatakan Fahri setiap saat padanya.
Dalam keadaan seperti ini, perasaan sedih dan marah bercampur menjadi satu. Tapi ia tak tahu siapa yang salah dalam hal ini. Sejak TK ia telah dimasukkan ke sekolah Katolik, hingga SMU tak secuil pun pelajaran agamanya yang ia dapatkan dari sekolahnya. Ia memang belajar mengaji dan sholat hingga lancar, tapi tak tahu apa makna dari semua itu. Tidak ada perasaan memiliki atas agama yang tertulis dalam buku laporannya selama ini.
Dan saat ini, sedang menyelesaikan studi pasca-sarjananya di Perguruan Tinggi di mana ia melanjutkan cita-citanya, semakin tahulah Maria bahwa hukum-hukum Islam begitu luas, bukan hanya rukun Islam dan rukun Iman yang telah dihafalnya di luar kepala. Dosen dan para asisten serta teman-temannya telah membuka matanya lebar-lebar tentang Islam. Aisyah tidak tahu apa yang harus ia katakan pada Fahri , hubungan mereka sudah berjalan hampir tiga tahun. Meskipun Fahri memikirkan studi kuliahnya untuk menyelesaikan pasca-sarjana di Universitas Al-Azhar, tapi hubungan mereka selalu hadir hampir setiap hari, dan di antara berdua sangat saling membutuhkan.
Maria menatap lampu tidur warna biru lima watt yang menerangi kamarnya di lantai paling atas sebuah rumah apartemen. Lampu seperti itu pulalah yang selalu menerangi jiwanya di mana hendak mengirimkan kado buat Fahri lewat tali beserta keranjangnya yang berisi makanan. Sebuah kamar apartemen yang cukup praktis dengan jendela kecil saja. Maria tidak tahu apakah itu salah. Yang pasti ia begitu bahagia mendapatkan seorang Fahri yang sangat dewasa, sopan, penuh pengertian dan kasih sayang.
Dan sekarang sebuah vonis seolah-olah diberikan padanya. Haram! Akh……. Maria mengusap air mata yang tiba-tiba membasahi pipinya. Mengapa tidak sejak dahulu ia mengetahui semua itu, sebelum ia mengenal Fahri. Air matanya kian deras mengalir. Maria bimbang. Dalam keadaan seperti itu, perlahan-lahan Maria bangkit dan menyalakan lampu besar di samping lampu biru. Lambat-lambat ia berjalan untuk mengambil air wudhu. Kemudian sholat.
Di balik tudung putih, Maria masih terpekur duduk di atas sajadahnya, Maria enggan beranjak dari atas sajadahnya.
“Ya Allah! Berilah jalan yang terbaik bagiku. Dan ampunilah segala dosaku selama ini,” jerit hatinya di antara ayat-ayat yang terucap dari mulutnya. Mulutnya terus berdzikir, dan hatinya semakin tenang kini, ia terus berdzikir…….. hingga tertidur.
Setelah sholat Maria membaca ayat suci Al-Qur’an. Kemudian membaca bahan kuliahnya untuk hari ini.
****
Maria diam tidak tahu apa yang harus diperbuatnya.
“Kau harus berani menghadapi kenyataan, yang terburuk sekalipun….,” kata Aisyah. “Atau bila kau merasa tidak kuat, tidak usah sekaligus, perlahan-lahan saja………”
“Tapi Mbak bila semakin lama, maka semakin sulit saya melepaskan dia.”
Aisyah tersenyum tenang di balik wajah jubahnya yang hitam terturtup, hanya tinggal kedua matanya yang nampak.
“Mbak mengerti, kalau kau memang merasa telah kuat, ambillah keputusan itu. Tapi yang penting tidak usah main kucing-kucingan dengan tidak mau menemui dia. Itu bukan penyelesaian yang baik. Mbak yakin kau wanita non-muslim yang kuat, Maria. Kemukakanlah keputusan itu padanya. Mbak juga berdoa semoga semuanya berjalan dengan baik.”
Ya, mengapa aku harus takut bila berada di jalan yang benar, bisik hati Maria.
“Terima kasih, Mbak!”
Aisyah tersenyum sambil meraih pundak Maria.
“Yakinlah, Allah akan memberikan hikmah-Nya untuk setiap apa yang terjadi . Maka tegar dan bersabarlah dalam menghadapi segala sesuatu. Kau masih ada kuliah?”
“Tidak!”
Sayup-sayup dari masjid terdengar suara adzan.
Maria mengambil wudhu untuk sholat dan memohon kekuatan kepada Allah Subhana Wataala.
“Innalillahi-wainnahirojion……….” bisik Aisyah mendengar kepergian sahabatnya. Ia akan menang di sana bersama Tuhan! Aisyah yakin itu. ***
Jakarta-Slipi Jaya, catatan; 28 Februari – 13 Maret 2008.
* Diilhami dari sebuah film dengan judul yang sama, karya novelis muda Habbiburahman El-Shirazy, dengan sutradara Hanung Bramantyo.
Posted by Kantong Sastra at 10:28 PM 0 comments
Labels: karya (cerpen)
Saturday, May 1, 2010
Tangis Kabut Asap
Sajak R. Cahyadi
Musibah atau bencana kah ini?
Karena alam atau manusia
Akal kita sudah bisa menjawab
Perbuatan manusia
Siapa kah yang bertanggungjawab?
Rakyat yang sibuk menulis dan berdagang
Atau pengais rezeki dari hutan dan lahan
Tentu saja kau tertawa karena tahu jawabannya
Kami hidup di sini menghirup asap tebal
Makin hari, makin pekat
Entah, apakah akan ada membuat penyakit bagi kami
Tapi rasanya pernafasan kami terusik
Siapa yang harusnya menangis?
Kita, mereka pembakar hutan atau alam
Terduduk ku memikirkan semuanya
Tak tahu apa yang kuperbuat
Hanya hatiku merasa miris dengan semua ini.
Palangka Raya, Minggu 6 September 2009
Posted by Kantong Sastra at 9:36 PM 1 comments
Labels: karya (puisi)
Sunday, February 7, 2010
Mr.Junkis dan Miss Jayus
Cerpen Seta Hartoko
Seandainyan gue bisa menaklukkan cewek-cewek di dunia, gue akan mendapatkan julukan Mr. Playboy in the word. Namun semua impiam itu musnah karena ada satu cewek yang sangat sok comel, sok playgirl, sok perfectlah dan segala-galanya, dia adalah Olizia. Uh, gue sebel bangat Coz cuma dia doank yang bikin gue down, geram Lisword.
Pagi yang bernyanyi riang dengan embun seakan-akan telah menjatuhkan seluruh jiwa ini dan itulah yang membuat gue dapat bertahan demi menempuh perjalanan menuju impian yang ingin gue raih. Gue bersumpah jika gue gak bisa menaklukkan cinta dan kekayaan, jangan panggil gue Mr. Jankis.
Bokap dan nyokap yang selalu busy dengan jobnya membuat gue semakin semangat tuk bisa menjadi penguasa di kampus, tapi gue akhirnya terbangun dari mimpi Coz mimpi gue tadi hanya khayalan yang tak mungkin gue raih. Come on, men. Jangan pernah pesimis tuk hadapi hidup yang semakin menyiksa, loe harus banget bangkit dari khayalan menuju kenyataan yang ada di depan mata loe, ucap Charles sohib sejati Lisword.
Thanks banget ya atas perhatian loe kalo gak ada loe, gue maybe down my life. Let’s go friend to Campus Coz kita ini udah terlambat ‘ntar kita discors ma dosen itu. Waduh gimana nih Charles, gue……!!! Udah deh jangan sedih dunk Lisword, kita masih punya waktu 1 jam lagi, cepatan gih…
Setelah 1 jam berlalu, Lisword dengan Charles pergi ke kampus. Charles… motor gue gi habis bensinya, gimana donk!!! Ya udah, loe ikut aja bareng gue pake mobil coz loe kan sohib sejati gue. Kata Charles.
Akhirnya mereka berdua tiba di kampus, sesampai di kampus koq sepi banget sih, what’s wrong!!! Charles. Emangnya ini hari apa, Lisword??? Bokis banget sih, loe… Inikan hari minggu ya jelas donk ga ada orang ke kampus, cape deh!!! Ucap Lisword. Oh gue lupa banget, sorry ya friend. Gpp lageee dari pada di sini lebih baik kita nimbrung bareng teman-teman band, ujar Lisword. Oce… deh gue banget, let’s go Lisword. Down worry Charles.
Setelah Charles dengan Lisword udah sampai ditempat rental, Lisword bertemu dengan Anggi tuk ngeband bareng, namun ada yang aneh di dalam studio rental, gak lain ada Tika, Cidante, Oliver, dan Olizia. Tak lama setelah itu Lisword marah banget ma Anggi. Anggi, napa loe ngajak Olizia ke tempat ini, diakan musuh gue!!! Ucap Lisword. Tenang dulu, Lisword gue jelasin dulu, maksud gue pengen bubar ma band loe coz gue bete banget ga gokil aja cara loe ngeband, ketus Anggi.
It’s okey…!!! Kalau loe maw bubar dengan band gue, nyesel banget gue temenenan ma loe mendingan gue cabut dari sini gue muak…… ma loe, loe catet di pikiran loe bahwa gue gak bakalan connect lageee ma loe, anggap aja kita gak pernah kenal, see you……, Lisword geram.
Satu bulan kemudian, Lisword memfokuskan kehidupannya dengan breakdance yang diselenggarakan oleh institut of asia for the best dance di los anggeles, usa dewa fortuna pun menjemput lisword yang berhasil menjadi juara faforit club dan juara 1 breakdance alamia rasanya kini di depan mata lisword terpancar cahaya yang penuh keajaiban.
Seluruh teman-teman di Los Angeles pun terpukau akan kelincahan dan kehebatan si Lisword sehingga Lisword diberi penghargaan Mr. Free Style for Breakdance. Presi dan Los Angeles pun memberikan beasiswa kuliah selama 2 tahun di Univercity ternama, Los Angeles.
Setelah kesuksesan diraih oleh Lisword, namun berbeda pula kehidupan Charles, walaupun semua impiannya bisa diraih kini Charles pesimis coz ia tak dapat bertemu lagi ma sohib sejatinya, Lisword. Tak lama kemudian Charles membuka laptopnya tuk menambah IPTEK ternyata ia melihat foto Lisword di sebuah situs yang mengatakan Lisword adalah seorang breakdance yang sangat lincah dan hebat sehingga diberi julukan Mr. Free Style.
Air mata Charles pun menetes karena terharu melihat prestasi Lisword yang semakin meningkat dan berbeda sangat Lisword masih menjadi sohibnya, ia sangat pesimis karena tak mampu tuk menaklukkan khayalan menjadi seorang yang penuh semangat dalam kenyataan hidup.
Empat bulan berlalu begitu cepat, Lisword mencoba tuk mengikuti audisi Free Style for Super Bike Club dan dalam kurun waktu 2 minggu, Lisword bisa menguasai dengan kelincahan yang dimiliki akan tetapi Lisword mempunyai firasat yang buruk mengenai dirinya. Dua hari selanjutnya perlombaan Free Style diselenggarakan di New York, USA. Lisword bersama seluruh anggotanya pergi dari Los Angeles ke New York yang menempuh waktu 5 jam. Di dalam perjalanannya, Lisword berpapasan dengan musuh bebuyutan yang bernama Olizia yang dijuluki sebagai Miss Jayus.
Entah dari mana datangnya angin, Olizia menegur Lisword dengan gaya yang begitu sopan namun Lisword tak menggubrisnya coz Lisword udah sakit banget oleh Olizia. Setelah beberapa menit berlalu, tak disangka-sangka Lisword ditegur oleh seseorang. Hai Lisword, pa kabarnya neh, koq somse sekarang ma guw!!! Lalu saat Lisword melihat orang yang menegurnya, “Sorry banget ya friend gue sampe lupa coz sohib sejati gue, Charles. Gpp lagee, maklum aja sekarang loe kan jadi orang tekenal, ah biasa aja lagee…, ucap Lisword.
Lho koq loe ada disini, why? Gini gue jelasin ma loe berdua, gue juga ikutan lomba Free Style tapi bukan gue yang tampil melainkan adik gue sendiri yang bernama Andreas. Gue hanya sebagai manager dan temen curhat adikku doank, jawab Olizia.
Berarti kita semua jadi sangat terberat coz gue juga ikut lomba Free Style di New York tapi gue hanya mekanik doank sekaligus menjadi manager team, kata Charles it’s ok’s, walaupun kita semua menjadi sangat terberat tapi kita ini masih menjadi sahabat, kan??? Ucap Lisword. Ya donk walaupun kita dulu, gue jadi musuh loe tapi itu semuanya udah gue lupain yang penting kita punya impian tuk meraihnya, bener ga??? Ujar Olizia.
Don’t worry, bro!!! loe ga usah cemas coz kalo loe suka ma dia to the point, ntar gue comblangi deh, ucap Charler, sumpe loe, bener ne loe mau ngecomblangi gue, tanya Lisword. Emanknya gue boonk apa ma loe, beneran sumpe loe kan sohib sejati gue, jawab Charles.
Satu bulan telah berlalu, koq sampai sekarang sohib gue itu ga pernah keliatan lagi apa yang sebenarnya terjadi??? Sembari ucap Lisword. BTW, oh my god bego banget sih gue coba aja gue call ma temen-temennya maybe aja ada yang tau. So gue ragu pada hati ini, ada apa ya??? Jangan-jangan Charles ga anggap gue jadi sohib sejatinya lagi, wah bisa ribet neh “Awas kalau ketemu gue tonjok loe.
Akhir penantian Lisword itu t’lah berubah tetapi penantian panjang tersebut mulai merasuki pikirannya. Hai bro, “what up to you??? Bro, loe tu jangan mudah terpengaruh oleh seseorang siapa tau dia tu hanya ingin memanfaatkan be doank. So ikuti aja deh kata hati loe sendiri, Btw kenalin gue Jason dari tetangga rumah loe. Thank’z banget ya, friend loe udah nyadari diri gue n kalo boleh gue nanya nich ma loe, koq bisa ya loe ngucapin kata-kata bikasana and jangan-jangan loe udah pernah ngalami seperti gue??? Kata Lisword.
Gini ceritanya, 2 tahun yang lalu gue ma sepupu gue namanya Chirtian holiday bareng ke Bali so sesampai di Bali gue ma dia check in di sebuah hotel by the way malamnya sesudah dinner gue ga nyangka banget sepupu gue tu selingkuh dengan pacar gue si Patricia and hati gue saat itu hancur di telah bumi so emosi gue meledak akhirnya gue pukul sepupu gue dengan babak belur, ya gitu deh dak lama setelah kejadian semalem, Christian slalu cuek banget and bawaannya jutek melulu ketika ketemu atau berbicara ma gue. Esok harinya, gue akhiri sebuah kisah ini dengan memutuskan tali persaudaraan antara gue ama Chirtian tuk selama-lamanya.
Ya udalah yang berlalu biarlah tenggelam bersama waktu and kita hadapi semua problema hidup ini dengan selalu postive thinking and selalu berbuat baik ma semua orang, kata Lisword.
Come on friend, lebih baik kita happy aja and gimana jika nanti malam loe ke rumah sahabat sejati gue??? Mau gak!!! Kalo loe mau ntar gue jemputi deh, sumpah deh!!! Ucap Jason. Ntar malem ya!!! Padahal nanti malem gue pengen ke rumah temen curhat gue namanya Patrick sorry banget ya friend, gimana jika Saturday night aja coz gue bete banget ditinggalin sendirian dirumah so loe deal ga ma gue??? Pinta Lisword.
Ya deh entar gue tanyain ma sohib gue tapi gue gak janji loh jika sohib gue ga pengen pergi, ketus Jason. See you friend gue cabut dulu ya coz gue buru-buru banget!!! Ya udah next time ya, friend!!! Kata Jason. 2 jam telah berlalu Lisword datang ke rumah sohib-sohibnya Charles and apa yang terjadi eh ga tahunya mereka semuanya ketahuan ngedrugs and di rumah sohibnya Charles ada Olizia juga yang gi kissing ma Charles, gue ga bisa ngebiarin semua ini terjadi but lebih baik gue ngubungi polici office tuk segera ditangkap semuanya, ucap Lisword. Allow komandan polisi, gue Lisword mau minta bantuan karena di rumah sohib gue ada drugs party, pak??? It’s okey kita segera kesana and ditunggu ya konfirmasi berikutnya, good afternoon!!!
Ten minutes ago, seluruh polisi udah datang and langsung mereka semuanya ditangkap. Dua jam kemudian, Charles akhirnya mengaku bahwa ini ide semuanya dari Olizia and Charles menyesal telah melakukan semua ini.
Semua ini telah terjadi and akhirnya gue tau bahwa si Charles adalah Mr. Junkis yang selalu membawa pengaruh negatif bagi sohibnya and Olizia pun adalah Miss Jayus yang katanya dia dulu selalu down banget ketika ditanyai tentang Life Style, gitu Pak Komandan cerita dari gue, kata Lisword.
Baiklah kalian semua akan dipenjara selama 30 tahun and jika semuanya terbukti bahwa kalian berdua ketahuan sebagai Mr. Junkis and Miss Jayus. Thank you ya adik Lisword atas bantuannya and silakan adik pulang.
Akhirnya semua masalah ini telah selesai and gue tinggal datang ke rumah sohib gue, Jason so gue ngasih kabar gembira buat dia moga aja dia tahu semuanya. Excuse me ada Jasonnya, tante??? Adik ini siapa ya!!! Gini tante, gue Lisword temennya Jason. Oh Lisword, si Jasonnya udah balik lagi ke Prancis and katanya 4 tahun lagi dia akan pulang.
Waduh tante lama banget so Lisword pulang aja ya tante and boleh tau ga tante berapa nomor teleponnya Jason atau alamat emailnya!!! Wah tante sih lupa and yang tante ingat sih hanya secarik kertas ini……
Lisword, maafi gue ya karena gara-gara gue loe jadi sedih and takkan pernah persahabatan kita walaupun kita jauh tetapi tetap satu jiwa.
Posted by Kantong Sastra at 9:43 PM 0 comments
Thursday, January 21, 2010
Pada-Mu Tuhan
Sajak Ibrahim Barsilai Jami
Pada-Mu, Tuhan
ku tambatkan segala doa yang berlinang
seraya memohon ampun pada semua seteru
yang memporandakan setiap serpihan hati yang lugu
:tinggalkan puing-puing
Pada-Mu, Tuhan
kureguk nista yang menganga atas juta-juta nasib jelata
yang menyayat di emperan raya, jagat bergulir semerbak rasa
:tinggalkan buih-buih
Pada-Mu, Tuhan
Kutersungkur dalam ranah biru memburai luruh
sekujur tubuh tercampakkan bagai biadab seluruh penjuru
dalam perang, tangis, cacat, dan ketololan yang menggilas rapuh
:tinggalkan keping-keping
Pada-Mu, Tuhan
Kuterjerembab, blingsatan pada sundal dan syahwat
separuh negeri, mengaduh, mengiris
selaksa lara mencengkram pada peti
kami yatim di negeri sendiri
:tinggalkan naluri perih
Pada-Mu, Tuhan
Kupohonkan segala ikhlas dan maaf
pada tuan-tuan kami yang berlagak bersih
menjilat habis uang-uang negeri
:badan kami kurus kering
Sokaraja, 04 September 2008
---------
Ibrahim Barsilai Jami, lahir pada tanggal 14 Mei 1979 di sebuah dusun kecil di pulau Rote-Nusa Tenggara Timur. Aktif menulis sejak usia SMP, menjadi pengisi tetap rubrik mading sekolah. Di bangku SMA pernah mengikuti beberapa lomba cipta dan baca puisi. Juara 2 lomba cipta puisi antar SMA se-propinsi Nusa Tenggara Timur tahun 1998 dalam rangka hari Lingkungan Hidup.
Tahun 2003, menjadi salah satu finalis lomba menulis mahasiswa se-Jawa Barat di Bandung yang di selenggarakan oleh Metro TV dan Harian Media Indonesia. Ketua Senat Mahasiswa (SEMA) Sekolah Tinggi Teologi Diakonos Banyumas periode 2006/2007.
Tahun 2007, menjadi salah satu semifinalis Lomba Cipta Bintang Televisi yang diselenggarakan oleh YAFA ENTERTAINMENT Jakarta kategori Presenter TV. Salah satu Nominator Lomba Cipta Puisi Se-Jawa Tengah yang diselenggarakan oleh Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Semarang. Puisinya dibukukan dalam Antologi Puisi Bersama "Anak-Anak Peti" tahun 2008. Saat ini bergiat di Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Semarang dan Komunitas Sastra Bunga Pustaka Purwokerto . Karyanya pernah dimuat di beberapa media massa. Saat ini tinggal di Jalan Sidodadi I / 141 Sokaraja Tengah, Kec. Sokaraja, Kabupaten Banyumas-Jawa Tengah.
Posted by Kantong Sastra at 10:02 PM 0 comments
Labels: karya (puisi)
Garang
Sajak Ibrahim Barsilai Jami
Hentikan segala lesuh yang mengapit jumbai dan untaian citra
para pendakwa
pada meja berlapiskan kain hijau
dan palu-palu diketukkan
pertanda : kiamat!
Kebenaran pada pikirmu
meracuni akal yang galau
lalu kaku kibuli semua seteru yang mengaduh
uh, setiap langkah yang menghadang
lalu diburu sepanjang nafas yang tercabik
pohonkan iba pada dendang tuanku yang garang
menampik semua gemuruh dan ragu pada kebenaran semu
Waktu membatu
mencumbui akal-akal benalu
yang mengakari diri sembari menatap lusuh
separuh tawa yang terkekang karena kepayahan
ini bukan negeri kangguru
ini tanah pusaka
tempat kami mengais sampah
dan harga
dan nyawa
dan doa
dan nama
dan noda
dan tangis
dan sendu
dan parau
dan remuk
Yang terbuang
pada tanah, tempat doa-doa tertambatkan
pada sujud tempat kami mengiris pilu
Kau garang!
Benci kami pada diri
bukan pada naluri
kami mengabdi
dalam girang kau sembulkan garang
kemarangi keikhlasan sejagat duri
Pertiwi, pada segala raga dan rupamu kini.......
Sokaraja, 03 September 2008
Posted by Kantong Sastra at 10:00 PM 0 comments
Labels: karya (puisi)
Kau Bilang Kemerdekaan
Sajak Ibrahim Barsilai Jami
Kau bilang
Kita sudah merdeka 63 tahun
Tanpa dosa kau hembuskan beludak
pada perut, nyali, dan harga diri
mereka yang memelas sepanjang negeri
Kau bilang ini kemeredekaan, Bung?
Lihat disetiap derap malam
teriakan bising para bocah menghibah-hibah :
“Kirimlah pada kami ulat-ulat sagu, ikan asin, tempe busuk dan roti kadaluwarsa yang hilang seiring malam!”
“Kirimkan pada kami empedu yang kau racuni dalam tawarnya laut yang kau nodai dengan zat kimia!”
“Kirimkan pada kami, sedikit nyali untuk bisa berdemonstrasi, setiap kali kami dibohongi!”
“Kirimkan pada kami kekuatan dan air mata yang hilang dalam kornea-kornea yang lesung karena busung lapar!”
“Kirimkan pada kami, ya penguasa alam!”
seteguk cinta
setetes keabadian 'tuk melipur luka-luka
yang mengiris bagai sembilu setiap kerongkongan yang mandul!”
“Kau bilang ini kemerdekaan, Bung?
Sokaraja, 01 September 2008
Posted by Kantong Sastra at 9:59 PM 0 comments
Labels: karya (puisi)