Monday, February 25, 2008

Secawan Penuh Mantra

Sajak Restoe Prawironegoro Ibrahim

dulu aku bagaikan puan dari bangsawan terkemuka
yang tinggal di tengah kota impian, di negri yang sangat menawan
membuat aku terkenang
insan seantero dunia berdatangan sekedar memandang
namun tampangku kini mengenaskan
bagaikan petani sawah di ladang
yang terbengkalaikan,
diacuhkan, dicemooh dan dihinakan
aku sesunggukan tersedu pilu
memanggil putra-putri sulungku
memapah dan memandang tubuhku yang limbung
namun mereka acuh
wajahnya yang kerut seperti ayam kelaparan yang mengais-ngais kakinya
merogoh isi perut bumi
melahap selapar si jago merah
hingga yang tinggal hanya remah-remah belaka
dan putra putri sulungku, selaknat pengkhianat
dengan pola tingkah lakunya, sejahanam anak durhaka
dengan menelanjangiku, serta menggadaikan pada cukong-cukong berduit
tubuhku, dikangkangi, dipaksa untuk menjilat-jilat
aku dirampasi, didera dan diperkosa
layu lunglai, seluruh tubuhku penuh dengan luka
berborok, bernanah dan berkerak
korban dari nafsu birahi anak-anak si durhaka
auratku, dipertontonkan ke seluruh dunia
hingga mencibirkan.
Puih… Cuih… Sungguh tak disangka!
negri yang katanya kaya agama kok, setragis buah Simalakama.
aku tertunduk lemas dalam duka lara
bersama busana kebayaku yang dibawa berlayar ke samudera
perangkat perhiasan dan kondeku yang bertahtakan bunga melati
dijual, dibelikan pada sepatu kencana,
katanya…untuk berlayar ke samudera jaya
setara dengan negara-negara maju di dunia
baik dalam gaya dan irama
ohkh…. dasar anak-anak yang pada buta
bagaikan tulang yang sudah berkerak
yang dikerumuni oleh lalat-lalat hijau
yang terus berdatangan
numpang bertelor
sekalian berak
tiba-tiba masa haid datang
kurogoh tas, tempat pembalut pun raib juga
hingga lelehan aurat menggenangi
dan bau busuk pun mulai menyengat asa dan raga
telor lalat hijau
menyemburkan aroma bunga bangkai
akarnya kuat mencengkeram
menghisap darah penduduk, bak ribuan lintah
maka kepedihan makin tak terhingga
aku meraung-raung, melolong
kuraih selendang, tanda bakti pada Tuan maha
namun telah raib juga dibawa
tirai – kelambu (untuk bermesum pun)
di kuburan sunyi dan tua
dengan para peri yang menyaru rupa
dengan imbalan secawan penuh mantra-mantra
dengan semangkok kembang tujuh rupa yang bercampur belek,
dan di jigong dukun, jadi juru kunci
buat menebar pesona di depan rakyat jelata
peruntuh ajian perampok kursi, yang terlanjur dicor di bokongnya
agar sampai pada kesudahan
istana penuh kemewahan hasil rampasan yang tak ada mengusiknya
benih pria mana ditanam di rahim seorang wanita, entah?
mereka buas seperti ikan piranha, sehaus lintah
apa makanan mereka sebenarnya? Onak, atau kalajengking berbisa
tega mempertontonkan aurat Ibunya sendiri
dan menipu saudara
mulutnya tak pernah berhenti untuk bersungut
dengan mengangkat tumit lalu mengutuki mereka
walaupun bau busuk itu mencekik lehernya
ijinkan aku mengutuk jiwamu
jangan seperti tak merasa layak
seperti tak berdosa saja
bukankah itu perampokan prmesuman
yang mengheboh seluruh nusantara?
dari pengemis cinta
sampai menghina, walau terlahir sangat mulia sekali
bahkan rumah peribadatan pun diteror
entah sampai berapa lama lagi harus berhenti pertikaian itu?
lihat! air laut gelisah akhirnya serentak naik melambung ke dataran
gunung-gunung pun terbatuk-batuk menggelegar kerasnya
dan membinasakan semua penghuninya
aku tak sanggup lagi, aku hanya bisa berdoa
aku rindu mengandung
seindah bintang gemerlapan
untuk menjunjung tinggi arti kesulungan
yang tak pernah kukhianati
walau disogok dengan sekapal upeti
yang serentak maju dalam gaya dan nada
sehingga menjadi satu kesatuan yang lekat
dan pandai menggugah hati Tuhan
agar diri sampai kedalam mimpi
dan paham menangkap isi hati Tuhan
rancangan Tuhan pun sangat indah
melahirkan satu, bahkan seribu anak secantik mutiara
yang menabuh genderang
agar sedu sedanku diganti tawa
agar aibku berganti mulia
aku rindu jadi Puan yang terkemuka
di rumahku.

Jakarta, 20 Oktober 2007


--------
Restoe Prawironegoro Ibrahim, lahir 23 September di Surabaya. Tapi lama berdomisili di metropolitan Jakarta. Sekarang aktif di Komunitas Sastra Jalanan Indonesia dan Komunitas Seniman Jalanan. "Saya lebih suka terobsesi hidup di jalanan, karena di sini saya banyak menemukan sesuatu yang perlu saya tulis dalam ekspresi kebebasan berkarya. Dan, saya lebih suka tidur di jalanan karena atap rumah Tuhan banyak sekali berkahnya," katanya. Kontak e mail: kendurirestoe@yahoo.co.id atau restoe2006@yahoo.com.

Cintaku, Hanya Kupanggil Namamu Lebih dari Sejuta Kali

Sajak Restoe Prawironegoro Ibrahim

sudah teramat lama kusembunyikan
cinta yang berbunga dari rindu jiwa yang kasmaran
kepadamu kekasih terjerat hasrat
yang menyengat sekuat maut
sungguh tak sekejap pun kau dapat kulupakan
kau selalu menggedor jiwaku yang berkobaran
menderu-deru menagih, dilampiaskan
seperti dendam kesumat
namun karena kita sekumpulan
lingkungan orang-orang berbudi dan beriman
kusimpan sajalah perasaan pendaman itu
agar tak ada yang tahu, kuseka wajahku agar datar kepermukaan
tetapi sekalipun aku diam seribu bahasa
hasrat dari tubuhku rusuh
seribu makna
sebab sekalipun kupejam mata ini
senyum dan tawa renyahmu yang penuh gaya selalu nyata
hingga kurendeng kau dalam andai-andai
bertamasya dalam sensasi penuh pesona
kian melambung jiwaku terbang ke mana-mana
bersenda gurau denganmu dan bercengkrama
sungguh, aku rindu berdaulat di atas tubuhmu
agar getar jantung kita mendebur berkejar-kejaran
memangut gumpalan awan-awan
disapukan ke sekujur tubuh kita
supaya deru-deru jiwa kita bersambut-sambutan
menabuh irama yang sepadan
agar bunga-bunga jiwa yang kasmaran bermekaran
semerbak baunya yang membius kita seperti anggur yang memabukkan
malam kian beranjak larut
aku menggigil terbelit, dibelit oleh rindu
seperti disengat seribu semut
ingin rasanya berlari, meloncat dan melayang ke awan-awan
seperti burung Walet yang terbang
seperti kijang di tengah padang ilalang
seperti kuda liar yang jalang
seperti rajawali yang terbang
cintaku, kupanggil namamu lebih dari sejuta kali
datanglah kemari, pasangilah kelikir padaku yang sedang bengal seperti keledai
supaya aku bertekuk merunduk
padamu kekasih, yang perkasa seperti kuda sembrani
sebab aku sangat gelisah dan mustahil aku bisa tidur terlelap
seperti ikan menggelepar megap-megap
darahku membentur jantungku kuat berdegup
sendu mataku bersemburat semerah saga
kepalaku menjadi pening seperti retak
pundakku terhimpit serasa leher dicekik
aku lelah dirundung sengsara
setiap malam bayangmu membuatku merana
perih mataku dibias mentari pagi
kuterjajar di sudut, syukuri diri
aku ada dalam diam diri
menahan untuk tak berlari kepadamu yang ada di depan
sebab kita juga orang-orang beriman dan berakal budi
sebab kau tak sendiri lagi
budi tak curi milik
yang lain ‘tuk dimiliki
walaupun sepuluh tahun aku telah jatuh cinta setengah mati
kubasuh diri
tunduk hingga ke arah tanah
terbata-bata di hadapan sang pemberi budi
yang berada di negri yang putih berpendaran
menggugah hati yang berkenan
berilah aku seorang lagi ya Tuanm,
teman untuk meloncat dan menari dalam harmoni
irama birahi dalam budi
yang tak melukai hatimu Sang Pemberi Budi
yang memberiku kekuatan
menghalau setan
pembangkit birahi
dari jiwa dan nurani
semasih aku ada di bumi

Catatan: Jakarta, 15 Oktober 2007.

Friday, February 22, 2008

Ajari Anak Menulis dan Membaca Sejak Dini

Esai Sheri Raraswati*

MENGAJAR anak membaca dan menulis, apalagi membuat anak gemar membaca pada dasarnya bukanlah hal yang mudah dilakukan setiap orang tua dan pendidik. Hal ini bisa saja terjadi karena faktor usia di mana pada usia pra sekolah anak cenderung tidak menyukai hal-hal yang bersifat konkret.

Tidak heran banyak kita menjumpai orang tua yang kebingungan menghadapi anak-anaknya dalam belajar atau sekadar mendampinginya pada saat belajar. Akhirnya, orang tua hanya bisa menyerahkan semua ini kepada orang lain yang dianggap memiliki kompetensi dalam mendukung proses belajar anak.

Namun, kita tidak bisa membiarkan semua ini berlalu begitu saja ada hal-hal yang harus kita lakukan untuk menstimulus kemampuan anak sejak dini. Untuk mencapai ini semua tentulah peran orang tua dan pendidik sangat diperlukan.

Pada dasarnya tidak ada patokan kapan seorang anak dikatakan siap untuk menerima pengajaran. Mulai sejak lahir anak-anak telah memiliki tugas perkembangan di mana tugas-tugas perkembangan tersebut harus dapat mereka lakukan termasuk fase perkembangan manusia yang dimulai dari sejak lahir.

Semiawan dalam bukunya mengatakan anak pra sekolah berada pada fase progresif. Anak cenderung keras kepala asyik dengan dunia fantasinya dan masa ini juga ditandai dengan sifat egosentris.

Senada dengan ini teori perkembangan intelektual Piaget menjelaskan anak pada usia ini berada pada fase praoperasional di mana anak belum dapat melakukan konseptualisasi hal yang abstrak dan membutuhkan situasi fisik yang konkret. Oleh sebab itu, orang tua harus dapat menghadapi anak dengan bijaksana.

Dalam kehidupan masyarakat sering pro dan kontra terdengar terutama menyikapi sikap para pendidik dalam mengajarkan membaca dan menulis bagi anak prasekolah. Alasannya karena anak usia prasekolah dianggap belum siap menerima pengajaran. Hal ini tidaklah sejalan dengan pendapat para ahli, di antaranya Glen Dolman menganjurkan kepada para pendidik untuk mengajarkan anak membaca dan menulis sejak dini bisa dilakukan hal ini sangat baik untuk mendukung kemampuan berpikir anak.

Jika perkembangan berbicara berkembang secara alami tidak demikian dengan kemampuan membaca dan menulis. Maka berikanlah pendekatan kepada anak hal yang bersifat menyenangkan dan harus disadari bahwa belajar membaca dan menulis adalah suatu proses yang timbul karena dukungan lingkungan.

Orang tua dan pendidik dituntut perannya untuk dapat menciptakan lingkungan yang mendukung kesiapan anak. Hal yang tidak dapat terlepas dalam proses belajar membaca dan menulis adalah bagaimana caranya kita menciptakan suasana belajar membaca dan menulis yang disampaikan dalam bentuk yang konkret. Juga terdapat unsur kesenangan dan bermain sehingga pada akhirnya belajar membaca dan menulis bukanlah hal yang menakutkan dan menyeramkan, tapi merupakan hal yang menyenangkan bagi mereka. n

* Sheri Raraswati, Guru TK Tunas Melati Bandar Lampung

Dari Lampung Post, Jumat, 22 Februari 2008

Tuesday, February 19, 2008

Tidur Seranjang

Cerpen Restoe Prawironegoro Ibrahim*

PERTENGKARAN terus saja meledak di rumah. Aku tidak kuat lagi hingga pernah aku mempunyai niat akan menggugurkan janin di kandunganku. Untunglah hati kecilku cepat-cepat memberi kesadaran, aku tidak ingin melunturkan cinta Edi yang begitu baik terhadap diriku.

Meskipun aku harus menanggung resiko namun aku berusaha tetap mempertahankannya. Sementara itu untuk menghindari teror yang dilancarkan oleh kedua orang tuaku, aku sempat nebeg di rumah temanku selama empat hari, bermalam di rumah tante Maryam dua minggu serta di rumah Bu De Zaitun hampir enam minggu.

Di rumah Bu De Zaitun itulah aku kenal dekat dengan Mas Bambang, saudara sepupuku. Umurnya sudah berkepala tiga tapi dia masih tampak muda. Wajahnya tidak terlalu tampan, hanya postur tubuhnya yang kekar dan besar juga menambah kejantanannya sebagai laki-laki. Sebenarnya dia sudah terlalu tua untuk membujang, tapi masa lalunya yang membuat dia terpaksa betah sendiri seumur itu. Frustasi karena putus cinta, menurut alasannya.

Saat itu hujan turun cukup lebat. Lengan-lengannya kukuh, bahu dan dadanya yang gempal padat menekan tubuhku. Langit-langit kamar tiba-tiba tergoncang, percikan air hujan yang menempel di kaca jendela semburat biru oleh sinar lampu halaman. Berleret-leret menurut irama malam. Kudekap punggungnya erat-erat ketika tangannya yang menggelora itu menikam kenikmatan yang kurasakan.

Aku tahu, ini adalah suatu kelancangan. Namun aku juga memahami hingga senyumku mengembang dalam pelukannya. Edi adalah tunanganku, kenapa mesti dirisaukan? Kegadisanku adalah termasuk haknya sebagai laki-laki, sekarang atau nanti hanyalah soal waktu. Toh aku yakin dia milikku, sebentar lagi kami akan menimkah. Dan di kamar rumah kontrakannya itu aku ingin membuktikan keyakinanku.

Namun keyakinan itu tiba-tiba berantakan beberapa saat kemudian. Edi tewas dalam sebuah kecelakaan mobil yang mengerikan! Aku tidak mau melihat jenazahnya yang dikatakan banyak orang sudah sulit dikenali. Bukan karena apa, tapi aku ingin agar dia adalah edi yang selama ini utuh kukenal.

Sepeninggal Edi, aku dinyatakan dokter positif hamil. Kecemasanku memuncak, statusku gadis tapi sudah berbadan dua. Rasa malu menguntitku dari segala gerak penjuru arah. Ketika hal itu diketahui oleh orang tuaku, serta merta mereka memberondong diriku dengan amarah yang menggelegak.

“Saya melakukannya karena saya yakin akan keyakinan itu.” Kataku membela diri. “Siapa akan menyangka kalau nasib akan berbalik seperti ini?”

“Jangan kamu atas-namakan nasib hasil perbuatan tercela itu!” Bentak ayah dengan suara parau. “Segalanya berpulang dari diri kamu sendiri. Nasib bukanlah alas an yang harus dicari-cari sebagai kambing hitam atau tempat pelarian. Ia bicara atas perbuatan yang telah dilakukan!”

***

“Tidak ada yang mau lagi padaku,” katanya sambil membuang pandang keluar. “Aku terlanjur dicap sebagai perjaka tua, baik di kantor maupun di rumah, oleh teman-teman maupun kerabat dekat. Untunglah, aku anak bungsu, laki-laki lagi, sehingga tidak terlalu kurisaukan.”

“Selain Fatimah, apakah tidak ada gadis lain yang menarik perhatian Mas Bambang?” tanyaku sekenanya. Sesaat kemudian Mas Bambang tersentak, kedua alisnya berkerut hampir menyatu.

“Dulu memang begitu, waktu tahun-tahun pertama perpisahan itu. Fatimah adalah satu-satunya, tidak ada yang lain. Cukup lama perasaanku dihanyutkan oleh anggapan melankolis seperti itu, hingga tak kusadari waktu telah menyeret usiaku menapak tahun demi tahun. Dan setelah aku menyadarinya, ternyata …Aku sudah terlambat. Aku sudah merasa terlalu tua untuk memulainya dari awal …” jawab Mas Bambang, sendu. Sepintas wajahnya menegang menahan kepedihan dan keharuan.

“Maaf Mas, bukan maksudku, dunia ini tak sempit yang Mas kira. Mas Bambang tidak pula terlambat bila mau memulai. Keterlambatan hanyalah penundaan. Waktu sekarang adalah awal dari saat yang akan dating.”

Tiba-tiba hening menyergap ruangan. Kami sama-sama tercenung menatap ujung kaki masing-masing. Aku tidak tahu berapa lama suasana seperti itu berlangsung, ketika kuangkat muka aku jadi tersentak sendiri. Pandangan mata Mas Bambang menerkam kegugupanku. Aku blingsatan dibuatnya, namun laki-laki itu tetap memelototiku seakan-akan sedang mencari dan berusaha meraba-raba sesuatu yang tak jelas kutangkap maknanya. Mendadak rasa mual dari perutku kembali menyodok-nyodok tenggorokan dan kepala. Untuk yang kesekian kalinya aku ingin muntah-muntah. Aku buru-buru berlari ke kamar mandi.

Kudukku dipijit-pijit Mas Bambang ketika aku mengeluarkan seluruh isi perut. Dengan kasih seorang kakak dibimbingnya aku memasuki kamar. Bu De tergopoh-gopoh membantu, dan seperti biasa dia lalu berkata banyak-banyak kepadaku.

“Bu De ambilkan minyak kayu putih yah?! Hati-hati kalau duduk. Ya begitu Bang, angkat kakinya. Luruskan kaki dan kamu ambil selimut ibu di kamar. Ayo cepat Bang! Jangan menangis, semua wanita merasakan hal seperti ini, Bang…..! Sekalian minyak kayu putihnya. Di lemari. Seharusnya kamu bahagia, nduk ….”

“Seharusnya , Bu De ….” sergahku cepat-cepat. “Kalau saja janin ini ada bapaknya. Itulah yang membuat saya sedih, batin saya rasanya tak karuan. Perasaan saya campur aduk antara rasa sedih, takut, bahagia serta malu.”

Seperti biasanya, Bu De ikut-ikutan menangis bila aku sudah memulainya terlebih dulu. Dipeluknya tubuhku hingga guncangan pundaknya terasa menusuk keharuanku. Aku merasakan betapa sayangnya Bu De ku ini, melebihi kasih sayang yang diberikan orang tuaku sendiri. Dia bukan saja telaten merawat tubuhku, tapi batinku pun sedikit demi sedikit ditatanya dengan kearifan seorang ibu tua yang agung.

“Posisimu memang serba sulit,” kata Bu De Zaitun sambil mengusap air mata di pipinya. “Tapi kamu juga harus ingat, menggugurkan kandungan adalah suatu perbuatan dosa besar. Lagi pula, perbuatan itu bisa merusak kesehatanmu. Untuk itulah, sebagai jalan tengahnya kamu harus menerima kenyataan. Syukur kalau ada kemungkinan-kermungkinan lain yang dapat menolongmu.”

“Kemungkinan lain? Kemungkinan apa, Bu De?”

Bu De Zaitun seperti ragu-ragu mau melannjutkan kalimatnya. Ada kekhawatiran nampak jelas dari seluruh ekspresi wajahnya. Ia menghela napas panjang, lalu;

“Misalnya saja ada seorang laki-laki yang mau mengambilmu sebagai istri.”

“Itu tidak mungkin, Bu De.” Sergahku cepat-cepat. “Tidak mungkin ada seorang laki-laki yang mau hal seperti itu. Diriku sudah ternoda. Kalau pun ada, dapat dipastikan seorang duda dengan dua atau tiga anak. Lagi pula, saya merasa berat melakukannya. Saya masih mencintai mas Edi.”

“Tapi itu lebih baik, Lisa. Dari pada kamu harus melahirkan tanpa seorang suami. Seumpama kamu mempertahankan Edi, posisimu akan lebih sulit karena kamu belum resmi menikah. Setidak-tidaknya kamu harus bersuami sampai anakmu lahir.”

Di tengah isak tangisku, Mas Bambang masuk. Dengan perhatian yang besar, diselimuti tubuhku. Sementara Bu De Zaitun mengolesi keningku dengan minyak kayu putih. Setelah Bu De Zaitun dan Mas Bambang keluar, kesedihan berhayut menohokku. Dadaku terasa suwung, sepi dan sakit. Aku sadari sepenuhnya, betapa rumitnya hidup ini. Aku tidak mengerti lakon apa yang sedang aku perankan ini. Aku berharap semoga hidup dapat berhenti untuk sementara agar aku memiliki kesempatan untuk melupakannya. Ternyata aku tak berdaya, kehidupan telah menggelindingkan nasibku begitu saja.

Dalam kesendirian seperti itu kurasakan juga betapa kotornya diriku, betapa dalamnya aku terperosok dalam jurang kesesatan dan kesalahan, sampai-sampai aku harus memilih satu di antara dua alternatif yang sama-sama menyakitkan. Kawin dengan seseorang yang tidak kucintai atau melahirkan anak tanpa seorang suami. Tanpa kusadari air mataku meleleh, sementara jari-jari tanganku meremas dan mengelus perut. Oh Gusti.

Beberapa minggu kemudian ibu datang. Bukanlah sesuatu yang mengejutkan bagiku, hanya saja ibu kali ini membawa kabar yang membuatku benar-benar kaget. Dalam waktu dekat aku akan segera dikawinkan dengan Mas Bambang! Menurut ibu, hal itu sudah dimusyawarahkan dengan Bu De Zaitun, dan semua pihak yang bersangkutan telah pula menyetujui. Mati-matian aku mendebatnya, tapi apakah dayaku, dengan dalih untuk menyelamatkan nama baik keluarga serta harga diriku sendiri aku menyerah kalah. Ah, haruskah dalam semusim kuterima dua cinta?

Aku secara resmi dinikahi Mas Bambang dengan perut sudah kelihatan membukit. Aku rasakan betapa perkawinan itu dipaksakan dan serba tergesa-gesa. Pesta perkawinanku tidak semeriah yang diharapkan teman-teman sekantor. Bahkan banyak di antara mereka yang merasa kecewa terhadap penampilanku di hari yang dianggapnya bahagia dan bersejarah itu.

Aku jadi malu dan nelongso ketika bunyi gamelan Jawa bertalu-talu mengiringiku duduk berdampingan dengan Mas Bambang di kursi pelaminan. Tetes demi tetes air mataku jatuh sehingga make-up di wajahku luntur jadi coreng-moreng. Maka tamu-tamu pun saling berbisik. Meskipun aku tidak mendengar apa yang mereka bisikkan namun aku dapat memastikan bahwa pergunjingan itu berkisar tentang aib yang telah kuperbuat.

Memang, menurut adat Jawa bila seorang pengantin wanita make-up-nya sampai luntur ketika duduk di kursi pelaminan, dapat dipastikan bahwa si pengantin itu sudah tidak perawan lagi. Dan kepercayaan adat itu telah mereka buktikan terhadap diriku. Oh!

Aku tidak menduga sebelumnya jika Mas Bambang ternyata sangat cinta dan mengasihiku. Ia memang suamiku, tapi selama anak dalam rahimku belum lahir ia tidak akan menyentuhku, ia tidak pernah tidur bersama. Ia sengaja tidur di kamar lain, tidak pernah memeluk atau menciumku. Padahal ia sangat mencintaiku, meladeni segala keinginanku dengan tulus dan hati-hati. Bahkan, ketika aku mengidam ia selalu melakukan dan menyediakan semua permintaanku yang kadang-kadang cukup aneh dan sulit. Dia melakukannya dengan perhatian yang penuh.

Kurang lebih sepuluh bulan, anakku lahir. Laki-laki. Tanpa meminta persetujuan Mas Bambang, bocah itu kuberi nama Dimas Edi Purwanto. Sengaja aku memilih nama seperti itu karena besarnya rasa cintaku terhadap Edi. Mas Bambang tetap saja berdiam diri.

Di saat anakku sudah menginjak umur tiga tahun, aku belum juga berhasil mencintai suamiku. Bahkan aku sempat mendorong-dorong tubuh suamiku atau menyepak kakinya ketika dia pertama kali tidur sepanjang malam di kamarku. Sejauh itu dia hanya diam.

Berkali-kali aku mencoba mendekati bidang dadanya yang berambut tebal itu, mendekati wajahnya yang berkumis atau meraba bulu-bulu halus di lengannya. Aku selalu gagal melakukannya, bahkan rasa jijik kadang-kadang menyodok ulu hatiku. Sepertinya aku telah gagal dalam cinta dan kehangatan sebagai makhluk manusia. Ingatanku tentang Edi selalu mematikan rasaku. Sungguh, sudah hampir setahun tidur seranjang dengan suamiku, tapi belum pernah kami saling membagi kehangatan!

Kesabaran manusia memang ada batasnya. Begitu juga Mas Bambang. Tadi malam dia benar-benar marah. Kami bertengkar hebat. Akhirnya mas Bambang mengalah. Dia meninggalkan rumah malam itu juga. Sebelum pergi, laki-laki itu masih sempat berkata-kata, seolah-olah mengungkapkan isi hatinya selama ini.

“Secara sah aku adalah suamimu, Lis. Lalu apakah salahnya bila aku meminta hakku sebagai suami? Aku bukanlah patung mati, Lis. Aku laki-laki. Aku mengerti jika kamu kawin denganku karena terpaksa, aku juga tahu kalau baying-bayang Edi masih menghantuimu. Tapi sadarlah, hidup tidak cukup hanya untuk direnungi bukan? Masa lalu adalah kenangan, dan aku mengawinimu bukan karena ingin menolongmu, tapi aku benar-benar berangkat dari rasa cinta. Ayolah Lisa, kita mulai hidup yang baru. Kamu tega jika benih-benih suamimu terhambur-hambur di guling dan sprei sepanjang malam?”

Aku tidak tahu, entah setan macam apa yang menempel di hatiku malam itu hingga kata-kata Mas Bambang tidak sedikit pun yang kugubris. Bahkan aku mampu membiarkan dia pergi begitu saja.

Di malam yang hening seperti ini, aku benar-benar menyesal. Ah, betapa telah kusia-siakan kehangatan yang sebenarnya dapat kami ciptakan.

Mas Bambang belum juga pulang akhirnya. Kegelisahanku semakin memuncak, rasa cemburu tiba-tiba saja meledak dalam benakku. Ah, sampai hatikah suamiku berbuat serong dengan wanita lain di malam Minggu nan dingin seperti ini? Mengapa tidak, jika wanita yang dia tinggalkan di rumah selalu mengebirinya? Batinku mulai ragu. Oh, Tuhan, ampunilah aku. Sampaikan permohonanku, aku ingin memeluknya, menciumnya serta meraba bulu-bulu dadanya.

Jakarta, 31 Mei 2007

---------------

* Restoe Prawironegoro Ibrahim, lahir di Surabaya, 23 September. Karya-karyanya berupa cerpen, sajak, essai dan artikel ilmiah lainnya banyak dimuat di beberapa media massa. Sekarang sedang mempersiapkan kumpulan untuk segera dibukukan.

Wednesday, February 13, 2008

Payudan 7

Sajak Andre Beni Sarja

di dadamu,
padi yang subur
kenapa mesti babak belur?


-----
Andre Beni Sarja, lahir dan tinggal di Madura. Saat ini aktif di Paguyuban Komunitas JOJOBA. Puisi-puisinya dimuat di harian Surabaya Post. Buku puisinya, Bangkit (Sanggar Kapas, 1998).

Payudan 6

Sajak Andre Beni Sarja

janji
menyeri
di jemari

bunyi-bunyi
sunyi senyap sepi
kutangkapi

lidah pagi
membacakan selarik puisi,
tepian mati yang diingkari

kesetiaan
menjamurkan nisan-nisan
berhiasan. bertaburan

Payudan 5

Sajak Andre Beni Sarja

jalan-jalan berliku
berkelok-kelok diapit kecuraman
senantiasa mengancam
pinggirkan aku jadi semak belukar,
penunggu kelakar yang hadir
membakar

Payudan 4

Sajak Andre Beni Sarja

manik matamu
masih sudi mengerjap
meski tinggal seberkas lentik
mengerlip

hangatkan aku
saat cuaca kelabu,
tak memihak

hembusan angin
tak ke jantungku juga!

Payudan 3

Sajak Andre Beni Sarja

langit mendung,
adonan putih kehitaman

harapan redup. telungkup
mengais puing hidup yang kutub

Payudan 2

Sajak Andre Beni Sarja

sekilas ramah
menyambut:

"silahkan kuenya..."
"diminum kopinya..."

setelah
berkali-kali
kecewa membokong
menjarumi kerinduan

Payudan 1

Sajak Andre Beni Sarja

dingin tubuhmu
sapuan gerimis gigilkan aku

puncak bukit
goa pertapaan mulutnya
kian sempit

Sunday, February 10, 2008

Hujan Seharian

Sajak Alex R. Nainggolan

engkau terkunci di rumah
dalam hujan seharian
tak ada yang memberi kabar
selain resah dan murung
angin dingin yang lebur
terbata mengeja peristiwa

engkau terjebak di sana
seharian, menampung kenangan
melipat kesendirian
pengap dan penuh mimpi semalam

hanya genangan air
yang meluncur dengan getir
sedihmu yang tak kunjung terobati

Jakarta, 2007

Dalam Puisi

Sajak Alex R. Nainggolan

telah kucumbu engkau dalam puisi
berulangkali
meski aku melulu tenggelam sepi
tapi tetap aku masuk padamu
merapatkan peluk
tak pernah bisa untuk selalu jauh
berpisah pada peta dirimu

Jakarta, 2007

Momento

Sajak Alex R. Nainggolan


semestinya kita kembali menikmati sore di kota ini
membiarkan matahari menelusup
sekadar mengusap sedih yang lama tumbuh di dada
dan sorepun lepas
menjadi senja emas
anak-anak berlarian
menunggu gelap berkecambah
magrib yang muram

semestinya tak perlu kutanyakan padamu,
mengapa siang itu hujan turun deras
dan sorepun lembab
kenangan berlepasan
tatapan matamu yang bulat
tak pernah lenyap

Jakarta, 2007

Masa Kecilmu

- bagi rina

Sajak Alex R. Nainggolan


terasa tahun menahan di badan
tapi masa kecil selalu merupa pijar, ucapmu
seperti di kitab dongeng. berlari di ilalang panjang
sabana yang penuh dengan kicau burung
lalu kau tertenung
menelusuri bekas-bekas kenangan
tapi tak ada yang pernah dewasa di sana
cuma kanak-kanak yang berlarian
di sisi benakmu
membuka seperti album foto
menguning pada kertasnya

ah, padahal aku kangen menggambar rumah
di masalalu
mengukur panjang jalan
mengobati ilusi takut yang kecut
ketika sadar sepenuhnya
jika engkau telah menjadi ibu

Palembang, 2007

Jalan Kota

Sajak Alex R. Nainggolan

hanya macet yang berliku
di jembatan ampera
kita menata peta
tingkah laku orang-orang
sibuk mencari masalalu

di atas musi
menanam sepi
dalam hati
sendiri

Palembang, 2007

Thursday, February 7, 2008

Rancage untuk Karya Sastra Berbahasa Ibu

RANCAGE terus memperluas jangkauan karya sastra berbahasa ibu. Mulai tahun ini, Yayasan Rancage memberikan penghargaan kepada karya sastra berbahasa Lampung. Dengan demikian, Rancage kini menjangkau karya sastra dalam empat bahasa ibu, yakni Sunda, Jawa, Bali, dan Lampung.

Buku kumpulan sajak Mak Dawah Mak Dibingi (Tak Siang tak Malam) menjadi karya sastra berbahasa Lampung yang mendapat penghargaan Rancage pertama kalinya. Zulkarnain Zubairi-lah penyair yang menyusun kumpulan sajak yang diterbitkan BE Press, Tanjungkarang Barat, Lampung, itu lewat nama pena Udo Z Karzi.

Sajak-sajak Udo ini lebih banyak berbicara problem-problem kehidupan masa kini yang dihadapi masyarakat bawah. Dalam sajaknya juga terekam isu-isu lingkungan, pengangguran, korupsi, juga ketuhanan. Dalam sambutannya, Ketua Dewan Pembina Yayasan Rancage, Ajip Rosidi, berharap penghargaan tersebut bisa mendorong sastrawan lain untuk menulis karya sastra dalam bahasa lampung.

Para penerima penghargaan Rancage 2008, telah diumumkan bersamaan dengan peringatan 70 tahun Ajip Rosidi. Selain Udo, sastrawan lain yang juga menerima penghargaan ini adalah Godi Suwarna untuk karyanya Sandekala. Karya Godi ini mengungguli 32 karya berbahasa Sunda yang terbit sepanjang 2007.

Sandekala merupakan roman yang dituturkan dengan kata ganti orang pertama uing (saya) dalam bahasa dialek Ciamis. Roman ini dikisahkan dengan latar belakang krisis multidimensi yang kemudian melahirkan reformasi.

Dengan penghargaan tersebut, Godi tercatat tiga kali menerima anugerah Rancage. Hadiah ini pertama kali diterimanya pada tahun 1993 untuk kumpulan puisinya yang berjudul Blues Kere Lauk. Penghargaan serupa juga diterimanya pada tahun 1996 lewat karyanya berjudul Serat Sarwasatwa yang merupakan kumpulan cerita pendek.

Sedangkan untuk karya sastra berbahasa Jawa, penghargaan Rancage 2008 diraih oleh Bledheg Segara Kidul. Kumpulan sajak karya penyair Turiyo Ragilputra ini mencerminkan sikap dan perhatian penyair terhadap budaya, bangsa, dan rekan-rekannya. Bledheg Segara Kidul ini menyisihkan 24 karya berbahasa Jawa yang terbit sepanjang tahun 2007.

Penganugerahan hadiah sastra Rancage untuk karya sastra berbahasa Bali diserahkan kepada I Nyoman Manda untuk karya romannya Depang Tiang Bajang Kayang-kayang. Roman ini berisi kisah pertautan hati antara gadis Bali dan pria Australia yang terhenti akibat peristiwa bom Bali.

Menurut Ajip, panitia menilai lima judul buku berbahasa Bali yang terbit sepanjang 2007. ''Ini lebih sedikit dari tahun-tahun sebelumnya yang biasanya ada belasan judul,'' tutur Ajip.

Selain Manda, pria Bali yang juga mendapatkan hadiah Rancage tahun ini adalah I Made Suatjana. Dia adalah penemu program penulisan aksara Bali yang disebut Bali Simbar. Program ini bisa diaplikasikan dalam komputer lewat program Microsoft Word.

Untuk semua penerima penghargaan Rancage, panitia memberikan piagam dan uang masing-masing senilai Rp 5 juta. Panitia menjadwalkan penyerahan piagam dan hadiah tersebut pada Mei 2008 mendatang.

Bersamaan dengan diumumkannya penerima penghargaan Rancage, panitia juga menentukan penerima Hadiah Samsudi 2008. Hadiah ini didedikasikan untuk penulis buku bacaan anak-anak berbahasa sunda. Untuk tahun ini penerima hadiah Samsudi adalah Ai Koraliati untuk karyanya Catetan Poean Rere. Ai berhak mendapatkan piagam dan uang senilai Rp 2,5 juta. (irf)

Sumber: Republika, Minggu, 3 Februari 2008