Monday, February 25, 2008

Secawan Penuh Mantra

Sajak Restoe Prawironegoro Ibrahim

dulu aku bagaikan puan dari bangsawan terkemuka
yang tinggal di tengah kota impian, di negri yang sangat menawan
membuat aku terkenang
insan seantero dunia berdatangan sekedar memandang
namun tampangku kini mengenaskan
bagaikan petani sawah di ladang
yang terbengkalaikan,
diacuhkan, dicemooh dan dihinakan
aku sesunggukan tersedu pilu
memanggil putra-putri sulungku
memapah dan memandang tubuhku yang limbung
namun mereka acuh
wajahnya yang kerut seperti ayam kelaparan yang mengais-ngais kakinya
merogoh isi perut bumi
melahap selapar si jago merah
hingga yang tinggal hanya remah-remah belaka
dan putra putri sulungku, selaknat pengkhianat
dengan pola tingkah lakunya, sejahanam anak durhaka
dengan menelanjangiku, serta menggadaikan pada cukong-cukong berduit
tubuhku, dikangkangi, dipaksa untuk menjilat-jilat
aku dirampasi, didera dan diperkosa
layu lunglai, seluruh tubuhku penuh dengan luka
berborok, bernanah dan berkerak
korban dari nafsu birahi anak-anak si durhaka
auratku, dipertontonkan ke seluruh dunia
hingga mencibirkan.
Puih… Cuih… Sungguh tak disangka!
negri yang katanya kaya agama kok, setragis buah Simalakama.
aku tertunduk lemas dalam duka lara
bersama busana kebayaku yang dibawa berlayar ke samudera
perangkat perhiasan dan kondeku yang bertahtakan bunga melati
dijual, dibelikan pada sepatu kencana,
katanya…untuk berlayar ke samudera jaya
setara dengan negara-negara maju di dunia
baik dalam gaya dan irama
ohkh…. dasar anak-anak yang pada buta
bagaikan tulang yang sudah berkerak
yang dikerumuni oleh lalat-lalat hijau
yang terus berdatangan
numpang bertelor
sekalian berak
tiba-tiba masa haid datang
kurogoh tas, tempat pembalut pun raib juga
hingga lelehan aurat menggenangi
dan bau busuk pun mulai menyengat asa dan raga
telor lalat hijau
menyemburkan aroma bunga bangkai
akarnya kuat mencengkeram
menghisap darah penduduk, bak ribuan lintah
maka kepedihan makin tak terhingga
aku meraung-raung, melolong
kuraih selendang, tanda bakti pada Tuan maha
namun telah raib juga dibawa
tirai – kelambu (untuk bermesum pun)
di kuburan sunyi dan tua
dengan para peri yang menyaru rupa
dengan imbalan secawan penuh mantra-mantra
dengan semangkok kembang tujuh rupa yang bercampur belek,
dan di jigong dukun, jadi juru kunci
buat menebar pesona di depan rakyat jelata
peruntuh ajian perampok kursi, yang terlanjur dicor di bokongnya
agar sampai pada kesudahan
istana penuh kemewahan hasil rampasan yang tak ada mengusiknya
benih pria mana ditanam di rahim seorang wanita, entah?
mereka buas seperti ikan piranha, sehaus lintah
apa makanan mereka sebenarnya? Onak, atau kalajengking berbisa
tega mempertontonkan aurat Ibunya sendiri
dan menipu saudara
mulutnya tak pernah berhenti untuk bersungut
dengan mengangkat tumit lalu mengutuki mereka
walaupun bau busuk itu mencekik lehernya
ijinkan aku mengutuk jiwamu
jangan seperti tak merasa layak
seperti tak berdosa saja
bukankah itu perampokan prmesuman
yang mengheboh seluruh nusantara?
dari pengemis cinta
sampai menghina, walau terlahir sangat mulia sekali
bahkan rumah peribadatan pun diteror
entah sampai berapa lama lagi harus berhenti pertikaian itu?
lihat! air laut gelisah akhirnya serentak naik melambung ke dataran
gunung-gunung pun terbatuk-batuk menggelegar kerasnya
dan membinasakan semua penghuninya
aku tak sanggup lagi, aku hanya bisa berdoa
aku rindu mengandung
seindah bintang gemerlapan
untuk menjunjung tinggi arti kesulungan
yang tak pernah kukhianati
walau disogok dengan sekapal upeti
yang serentak maju dalam gaya dan nada
sehingga menjadi satu kesatuan yang lekat
dan pandai menggugah hati Tuhan
agar diri sampai kedalam mimpi
dan paham menangkap isi hati Tuhan
rancangan Tuhan pun sangat indah
melahirkan satu, bahkan seribu anak secantik mutiara
yang menabuh genderang
agar sedu sedanku diganti tawa
agar aibku berganti mulia
aku rindu jadi Puan yang terkemuka
di rumahku.

Jakarta, 20 Oktober 2007


--------
Restoe Prawironegoro Ibrahim, lahir 23 September di Surabaya. Tapi lama berdomisili di metropolitan Jakarta. Sekarang aktif di Komunitas Sastra Jalanan Indonesia dan Komunitas Seniman Jalanan. "Saya lebih suka terobsesi hidup di jalanan, karena di sini saya banyak menemukan sesuatu yang perlu saya tulis dalam ekspresi kebebasan berkarya. Dan, saya lebih suka tidur di jalanan karena atap rumah Tuhan banyak sekali berkahnya," katanya. Kontak e mail: kendurirestoe@yahoo.co.id atau restoe2006@yahoo.com.

No comments: