Monday, February 25, 2008

Cintaku, Hanya Kupanggil Namamu Lebih dari Sejuta Kali

Sajak Restoe Prawironegoro Ibrahim

sudah teramat lama kusembunyikan
cinta yang berbunga dari rindu jiwa yang kasmaran
kepadamu kekasih terjerat hasrat
yang menyengat sekuat maut
sungguh tak sekejap pun kau dapat kulupakan
kau selalu menggedor jiwaku yang berkobaran
menderu-deru menagih, dilampiaskan
seperti dendam kesumat
namun karena kita sekumpulan
lingkungan orang-orang berbudi dan beriman
kusimpan sajalah perasaan pendaman itu
agar tak ada yang tahu, kuseka wajahku agar datar kepermukaan
tetapi sekalipun aku diam seribu bahasa
hasrat dari tubuhku rusuh
seribu makna
sebab sekalipun kupejam mata ini
senyum dan tawa renyahmu yang penuh gaya selalu nyata
hingga kurendeng kau dalam andai-andai
bertamasya dalam sensasi penuh pesona
kian melambung jiwaku terbang ke mana-mana
bersenda gurau denganmu dan bercengkrama
sungguh, aku rindu berdaulat di atas tubuhmu
agar getar jantung kita mendebur berkejar-kejaran
memangut gumpalan awan-awan
disapukan ke sekujur tubuh kita
supaya deru-deru jiwa kita bersambut-sambutan
menabuh irama yang sepadan
agar bunga-bunga jiwa yang kasmaran bermekaran
semerbak baunya yang membius kita seperti anggur yang memabukkan
malam kian beranjak larut
aku menggigil terbelit, dibelit oleh rindu
seperti disengat seribu semut
ingin rasanya berlari, meloncat dan melayang ke awan-awan
seperti burung Walet yang terbang
seperti kijang di tengah padang ilalang
seperti kuda liar yang jalang
seperti rajawali yang terbang
cintaku, kupanggil namamu lebih dari sejuta kali
datanglah kemari, pasangilah kelikir padaku yang sedang bengal seperti keledai
supaya aku bertekuk merunduk
padamu kekasih, yang perkasa seperti kuda sembrani
sebab aku sangat gelisah dan mustahil aku bisa tidur terlelap
seperti ikan menggelepar megap-megap
darahku membentur jantungku kuat berdegup
sendu mataku bersemburat semerah saga
kepalaku menjadi pening seperti retak
pundakku terhimpit serasa leher dicekik
aku lelah dirundung sengsara
setiap malam bayangmu membuatku merana
perih mataku dibias mentari pagi
kuterjajar di sudut, syukuri diri
aku ada dalam diam diri
menahan untuk tak berlari kepadamu yang ada di depan
sebab kita juga orang-orang beriman dan berakal budi
sebab kau tak sendiri lagi
budi tak curi milik
yang lain ‘tuk dimiliki
walaupun sepuluh tahun aku telah jatuh cinta setengah mati
kubasuh diri
tunduk hingga ke arah tanah
terbata-bata di hadapan sang pemberi budi
yang berada di negri yang putih berpendaran
menggugah hati yang berkenan
berilah aku seorang lagi ya Tuanm,
teman untuk meloncat dan menari dalam harmoni
irama birahi dalam budi
yang tak melukai hatimu Sang Pemberi Budi
yang memberiku kekuatan
menghalau setan
pembangkit birahi
dari jiwa dan nurani
semasih aku ada di bumi

Catatan: Jakarta, 15 Oktober 2007.

No comments: