Tuesday, February 19, 2008

Tidur Seranjang

Cerpen Restoe Prawironegoro Ibrahim*

PERTENGKARAN terus saja meledak di rumah. Aku tidak kuat lagi hingga pernah aku mempunyai niat akan menggugurkan janin di kandunganku. Untunglah hati kecilku cepat-cepat memberi kesadaran, aku tidak ingin melunturkan cinta Edi yang begitu baik terhadap diriku.

Meskipun aku harus menanggung resiko namun aku berusaha tetap mempertahankannya. Sementara itu untuk menghindari teror yang dilancarkan oleh kedua orang tuaku, aku sempat nebeg di rumah temanku selama empat hari, bermalam di rumah tante Maryam dua minggu serta di rumah Bu De Zaitun hampir enam minggu.

Di rumah Bu De Zaitun itulah aku kenal dekat dengan Mas Bambang, saudara sepupuku. Umurnya sudah berkepala tiga tapi dia masih tampak muda. Wajahnya tidak terlalu tampan, hanya postur tubuhnya yang kekar dan besar juga menambah kejantanannya sebagai laki-laki. Sebenarnya dia sudah terlalu tua untuk membujang, tapi masa lalunya yang membuat dia terpaksa betah sendiri seumur itu. Frustasi karena putus cinta, menurut alasannya.

Saat itu hujan turun cukup lebat. Lengan-lengannya kukuh, bahu dan dadanya yang gempal padat menekan tubuhku. Langit-langit kamar tiba-tiba tergoncang, percikan air hujan yang menempel di kaca jendela semburat biru oleh sinar lampu halaman. Berleret-leret menurut irama malam. Kudekap punggungnya erat-erat ketika tangannya yang menggelora itu menikam kenikmatan yang kurasakan.

Aku tahu, ini adalah suatu kelancangan. Namun aku juga memahami hingga senyumku mengembang dalam pelukannya. Edi adalah tunanganku, kenapa mesti dirisaukan? Kegadisanku adalah termasuk haknya sebagai laki-laki, sekarang atau nanti hanyalah soal waktu. Toh aku yakin dia milikku, sebentar lagi kami akan menimkah. Dan di kamar rumah kontrakannya itu aku ingin membuktikan keyakinanku.

Namun keyakinan itu tiba-tiba berantakan beberapa saat kemudian. Edi tewas dalam sebuah kecelakaan mobil yang mengerikan! Aku tidak mau melihat jenazahnya yang dikatakan banyak orang sudah sulit dikenali. Bukan karena apa, tapi aku ingin agar dia adalah edi yang selama ini utuh kukenal.

Sepeninggal Edi, aku dinyatakan dokter positif hamil. Kecemasanku memuncak, statusku gadis tapi sudah berbadan dua. Rasa malu menguntitku dari segala gerak penjuru arah. Ketika hal itu diketahui oleh orang tuaku, serta merta mereka memberondong diriku dengan amarah yang menggelegak.

“Saya melakukannya karena saya yakin akan keyakinan itu.” Kataku membela diri. “Siapa akan menyangka kalau nasib akan berbalik seperti ini?”

“Jangan kamu atas-namakan nasib hasil perbuatan tercela itu!” Bentak ayah dengan suara parau. “Segalanya berpulang dari diri kamu sendiri. Nasib bukanlah alas an yang harus dicari-cari sebagai kambing hitam atau tempat pelarian. Ia bicara atas perbuatan yang telah dilakukan!”

***

“Tidak ada yang mau lagi padaku,” katanya sambil membuang pandang keluar. “Aku terlanjur dicap sebagai perjaka tua, baik di kantor maupun di rumah, oleh teman-teman maupun kerabat dekat. Untunglah, aku anak bungsu, laki-laki lagi, sehingga tidak terlalu kurisaukan.”

“Selain Fatimah, apakah tidak ada gadis lain yang menarik perhatian Mas Bambang?” tanyaku sekenanya. Sesaat kemudian Mas Bambang tersentak, kedua alisnya berkerut hampir menyatu.

“Dulu memang begitu, waktu tahun-tahun pertama perpisahan itu. Fatimah adalah satu-satunya, tidak ada yang lain. Cukup lama perasaanku dihanyutkan oleh anggapan melankolis seperti itu, hingga tak kusadari waktu telah menyeret usiaku menapak tahun demi tahun. Dan setelah aku menyadarinya, ternyata …Aku sudah terlambat. Aku sudah merasa terlalu tua untuk memulainya dari awal …” jawab Mas Bambang, sendu. Sepintas wajahnya menegang menahan kepedihan dan keharuan.

“Maaf Mas, bukan maksudku, dunia ini tak sempit yang Mas kira. Mas Bambang tidak pula terlambat bila mau memulai. Keterlambatan hanyalah penundaan. Waktu sekarang adalah awal dari saat yang akan dating.”

Tiba-tiba hening menyergap ruangan. Kami sama-sama tercenung menatap ujung kaki masing-masing. Aku tidak tahu berapa lama suasana seperti itu berlangsung, ketika kuangkat muka aku jadi tersentak sendiri. Pandangan mata Mas Bambang menerkam kegugupanku. Aku blingsatan dibuatnya, namun laki-laki itu tetap memelototiku seakan-akan sedang mencari dan berusaha meraba-raba sesuatu yang tak jelas kutangkap maknanya. Mendadak rasa mual dari perutku kembali menyodok-nyodok tenggorokan dan kepala. Untuk yang kesekian kalinya aku ingin muntah-muntah. Aku buru-buru berlari ke kamar mandi.

Kudukku dipijit-pijit Mas Bambang ketika aku mengeluarkan seluruh isi perut. Dengan kasih seorang kakak dibimbingnya aku memasuki kamar. Bu De tergopoh-gopoh membantu, dan seperti biasa dia lalu berkata banyak-banyak kepadaku.

“Bu De ambilkan minyak kayu putih yah?! Hati-hati kalau duduk. Ya begitu Bang, angkat kakinya. Luruskan kaki dan kamu ambil selimut ibu di kamar. Ayo cepat Bang! Jangan menangis, semua wanita merasakan hal seperti ini, Bang…..! Sekalian minyak kayu putihnya. Di lemari. Seharusnya kamu bahagia, nduk ….”

“Seharusnya , Bu De ….” sergahku cepat-cepat. “Kalau saja janin ini ada bapaknya. Itulah yang membuat saya sedih, batin saya rasanya tak karuan. Perasaan saya campur aduk antara rasa sedih, takut, bahagia serta malu.”

Seperti biasanya, Bu De ikut-ikutan menangis bila aku sudah memulainya terlebih dulu. Dipeluknya tubuhku hingga guncangan pundaknya terasa menusuk keharuanku. Aku merasakan betapa sayangnya Bu De ku ini, melebihi kasih sayang yang diberikan orang tuaku sendiri. Dia bukan saja telaten merawat tubuhku, tapi batinku pun sedikit demi sedikit ditatanya dengan kearifan seorang ibu tua yang agung.

“Posisimu memang serba sulit,” kata Bu De Zaitun sambil mengusap air mata di pipinya. “Tapi kamu juga harus ingat, menggugurkan kandungan adalah suatu perbuatan dosa besar. Lagi pula, perbuatan itu bisa merusak kesehatanmu. Untuk itulah, sebagai jalan tengahnya kamu harus menerima kenyataan. Syukur kalau ada kemungkinan-kermungkinan lain yang dapat menolongmu.”

“Kemungkinan lain? Kemungkinan apa, Bu De?”

Bu De Zaitun seperti ragu-ragu mau melannjutkan kalimatnya. Ada kekhawatiran nampak jelas dari seluruh ekspresi wajahnya. Ia menghela napas panjang, lalu;

“Misalnya saja ada seorang laki-laki yang mau mengambilmu sebagai istri.”

“Itu tidak mungkin, Bu De.” Sergahku cepat-cepat. “Tidak mungkin ada seorang laki-laki yang mau hal seperti itu. Diriku sudah ternoda. Kalau pun ada, dapat dipastikan seorang duda dengan dua atau tiga anak. Lagi pula, saya merasa berat melakukannya. Saya masih mencintai mas Edi.”

“Tapi itu lebih baik, Lisa. Dari pada kamu harus melahirkan tanpa seorang suami. Seumpama kamu mempertahankan Edi, posisimu akan lebih sulit karena kamu belum resmi menikah. Setidak-tidaknya kamu harus bersuami sampai anakmu lahir.”

Di tengah isak tangisku, Mas Bambang masuk. Dengan perhatian yang besar, diselimuti tubuhku. Sementara Bu De Zaitun mengolesi keningku dengan minyak kayu putih. Setelah Bu De Zaitun dan Mas Bambang keluar, kesedihan berhayut menohokku. Dadaku terasa suwung, sepi dan sakit. Aku sadari sepenuhnya, betapa rumitnya hidup ini. Aku tidak mengerti lakon apa yang sedang aku perankan ini. Aku berharap semoga hidup dapat berhenti untuk sementara agar aku memiliki kesempatan untuk melupakannya. Ternyata aku tak berdaya, kehidupan telah menggelindingkan nasibku begitu saja.

Dalam kesendirian seperti itu kurasakan juga betapa kotornya diriku, betapa dalamnya aku terperosok dalam jurang kesesatan dan kesalahan, sampai-sampai aku harus memilih satu di antara dua alternatif yang sama-sama menyakitkan. Kawin dengan seseorang yang tidak kucintai atau melahirkan anak tanpa seorang suami. Tanpa kusadari air mataku meleleh, sementara jari-jari tanganku meremas dan mengelus perut. Oh Gusti.

Beberapa minggu kemudian ibu datang. Bukanlah sesuatu yang mengejutkan bagiku, hanya saja ibu kali ini membawa kabar yang membuatku benar-benar kaget. Dalam waktu dekat aku akan segera dikawinkan dengan Mas Bambang! Menurut ibu, hal itu sudah dimusyawarahkan dengan Bu De Zaitun, dan semua pihak yang bersangkutan telah pula menyetujui. Mati-matian aku mendebatnya, tapi apakah dayaku, dengan dalih untuk menyelamatkan nama baik keluarga serta harga diriku sendiri aku menyerah kalah. Ah, haruskah dalam semusim kuterima dua cinta?

Aku secara resmi dinikahi Mas Bambang dengan perut sudah kelihatan membukit. Aku rasakan betapa perkawinan itu dipaksakan dan serba tergesa-gesa. Pesta perkawinanku tidak semeriah yang diharapkan teman-teman sekantor. Bahkan banyak di antara mereka yang merasa kecewa terhadap penampilanku di hari yang dianggapnya bahagia dan bersejarah itu.

Aku jadi malu dan nelongso ketika bunyi gamelan Jawa bertalu-talu mengiringiku duduk berdampingan dengan Mas Bambang di kursi pelaminan. Tetes demi tetes air mataku jatuh sehingga make-up di wajahku luntur jadi coreng-moreng. Maka tamu-tamu pun saling berbisik. Meskipun aku tidak mendengar apa yang mereka bisikkan namun aku dapat memastikan bahwa pergunjingan itu berkisar tentang aib yang telah kuperbuat.

Memang, menurut adat Jawa bila seorang pengantin wanita make-up-nya sampai luntur ketika duduk di kursi pelaminan, dapat dipastikan bahwa si pengantin itu sudah tidak perawan lagi. Dan kepercayaan adat itu telah mereka buktikan terhadap diriku. Oh!

Aku tidak menduga sebelumnya jika Mas Bambang ternyata sangat cinta dan mengasihiku. Ia memang suamiku, tapi selama anak dalam rahimku belum lahir ia tidak akan menyentuhku, ia tidak pernah tidur bersama. Ia sengaja tidur di kamar lain, tidak pernah memeluk atau menciumku. Padahal ia sangat mencintaiku, meladeni segala keinginanku dengan tulus dan hati-hati. Bahkan, ketika aku mengidam ia selalu melakukan dan menyediakan semua permintaanku yang kadang-kadang cukup aneh dan sulit. Dia melakukannya dengan perhatian yang penuh.

Kurang lebih sepuluh bulan, anakku lahir. Laki-laki. Tanpa meminta persetujuan Mas Bambang, bocah itu kuberi nama Dimas Edi Purwanto. Sengaja aku memilih nama seperti itu karena besarnya rasa cintaku terhadap Edi. Mas Bambang tetap saja berdiam diri.

Di saat anakku sudah menginjak umur tiga tahun, aku belum juga berhasil mencintai suamiku. Bahkan aku sempat mendorong-dorong tubuh suamiku atau menyepak kakinya ketika dia pertama kali tidur sepanjang malam di kamarku. Sejauh itu dia hanya diam.

Berkali-kali aku mencoba mendekati bidang dadanya yang berambut tebal itu, mendekati wajahnya yang berkumis atau meraba bulu-bulu halus di lengannya. Aku selalu gagal melakukannya, bahkan rasa jijik kadang-kadang menyodok ulu hatiku. Sepertinya aku telah gagal dalam cinta dan kehangatan sebagai makhluk manusia. Ingatanku tentang Edi selalu mematikan rasaku. Sungguh, sudah hampir setahun tidur seranjang dengan suamiku, tapi belum pernah kami saling membagi kehangatan!

Kesabaran manusia memang ada batasnya. Begitu juga Mas Bambang. Tadi malam dia benar-benar marah. Kami bertengkar hebat. Akhirnya mas Bambang mengalah. Dia meninggalkan rumah malam itu juga. Sebelum pergi, laki-laki itu masih sempat berkata-kata, seolah-olah mengungkapkan isi hatinya selama ini.

“Secara sah aku adalah suamimu, Lis. Lalu apakah salahnya bila aku meminta hakku sebagai suami? Aku bukanlah patung mati, Lis. Aku laki-laki. Aku mengerti jika kamu kawin denganku karena terpaksa, aku juga tahu kalau baying-bayang Edi masih menghantuimu. Tapi sadarlah, hidup tidak cukup hanya untuk direnungi bukan? Masa lalu adalah kenangan, dan aku mengawinimu bukan karena ingin menolongmu, tapi aku benar-benar berangkat dari rasa cinta. Ayolah Lisa, kita mulai hidup yang baru. Kamu tega jika benih-benih suamimu terhambur-hambur di guling dan sprei sepanjang malam?”

Aku tidak tahu, entah setan macam apa yang menempel di hatiku malam itu hingga kata-kata Mas Bambang tidak sedikit pun yang kugubris. Bahkan aku mampu membiarkan dia pergi begitu saja.

Di malam yang hening seperti ini, aku benar-benar menyesal. Ah, betapa telah kusia-siakan kehangatan yang sebenarnya dapat kami ciptakan.

Mas Bambang belum juga pulang akhirnya. Kegelisahanku semakin memuncak, rasa cemburu tiba-tiba saja meledak dalam benakku. Ah, sampai hatikah suamiku berbuat serong dengan wanita lain di malam Minggu nan dingin seperti ini? Mengapa tidak, jika wanita yang dia tinggalkan di rumah selalu mengebirinya? Batinku mulai ragu. Oh, Tuhan, ampunilah aku. Sampaikan permohonanku, aku ingin memeluknya, menciumnya serta meraba bulu-bulu dadanya.

Jakarta, 31 Mei 2007

---------------

* Restoe Prawironegoro Ibrahim, lahir di Surabaya, 23 September. Karya-karyanya berupa cerpen, sajak, essai dan artikel ilmiah lainnya banyak dimuat di beberapa media massa. Sekarang sedang mempersiapkan kumpulan untuk segera dibukukan.

No comments: