Cerpen Erna Rasyid
PEKERJAAN sebagai pelukis di kota kecil ini telah lama kugeluti. Aku menyukainya. Setiap bayi yang lahir di kota kecil ini aku tahu. Saat bayi itu berumur lima tahun, akan aku torehkan wajah itu di atas kanvas yang beraneka warna. Saat berumur 17 tahun pun demikian halnya. Wajah mereka dalam lukisan terpampang disetiap sudut kota. Penuh dengan bingkai berwarna warni.
Lima tahun yang lalu, ada dua bayi yang lahir. Seorang laki-laki dan perempuan. Hari ini aku harus melukis wajah mereka. Yang laki-laki telah selesai aku lukis wajahnya. Sungguh tampan wajah anak ini. Kulitnya halus. Putih seperti pualam. Wajahnya bulat. Yang lebih menarik adalah sorotan matanya yang begitu tajam. Aku yakin, jika anak ini telah tumbuh dewasa ia bisa memikat hati banyak perempuan dengan tatapannya.
Hanya membutuhkan waktu setengah jam untuk menyelesaikan tugas ini. Sudah biasa aku melihat paras setiap anak seperti ini. Setelah anak laki-laki tersebut, tibalah giliran si anak perempuan. Ia datang ke tempatku bersama dengan seorang nenek . Baju kebaya si nenek mulai lusuh. Begitupun dengan sarung kotak-kotak yang ia kenakan. Nenek itu lalu tersenyum kepadaku. Mengingatkanku kepada ibuku.
Anak perempuan itu lalu duduk di kursi. Tepatnya dihadapanku. Sesaat aku memperhatikannya. Wajahnya biasa-biasa saja tetapi ada pancaran lain dari wajah itu. Aku merasakan ada sesuatu yang beda. Seumur hidup pekerjaan ini aku lakukan baru kali ini mendapati seorang anak yang berbeda. Sulit aku menebak sesuatu yang beda itu. Anak itu selalu saja tersenyum kepadaku. Seperti senyuman nenek yang mengantarnya. Tanpa membuang waktu, aku mulai melukis wajah itu di atas kanvas kesayanganku. Coretan demi coretan aku oleskan di atas kertas putih itu. Aku heran mengapa keringat dingin menyerangku. Tangan ini terasa bergetar. Pensil yang aku gunakan selalu saja terjatuh di lantai. Aku gugup. Siapa gerangan anak perempuan yang aku lukis ini. Begitu misteriusnya ia sampai-sampai tanganku gemetaran. Senyuman yang ia pasang di bibir tipisnya mulai menakutkanku. Telah satu jam aku habiskan waktu tetapi sketsa lukisan itu belum selesai. Aku mulai khawatir dengan diriku. Mengapa aku sulit melukis anak ini. Mungkin karena aku gugup jadi tidak bisa konsentrasi. Pikirku menghibur.
Tidak terasa senja akan segera berlalu. Dari seberang barat awan mulai kemerah-merahan. Sedang matahari hanya sepotong kisah. Malam akan segera hadir. Nenek dan anak perempuan itu mungkin cucunya, baru saja pulang. Bukan hendak mengusirnya. Aku menyuruhnya untuk datang lagi besok pagi ke rumahku. Hari ini lukisan anak perempuan itu belum selesai. Seharian aku tidak bisa melukisnya. Entah mengapa. Padahal ia masih seperti anak-anak kebanyakan. Mungkin aku yang tidak fit sehingga tidak bisa konsentrasi melukis. Besok pagi akan aku lukis lagi anak perempuan itu. Saat ia pamit kepadaku, senyuman itu masih menakutkan bagiku. Semoga saja ia tidak memasang senyumannya lagi esok. Harapku.
Aku rebahkan tubuh lelah ini di tempat tidur. Sejenak menerawang kisah-kisah pagi tadi. Kertas yang ada di genggamanku hanya bisa kutatap. Tidak ada coretannya sedikit pun. Masih kosong. Aku ragu kertas ini masih kosong esok pagi. Aku tidak habis pikir. Mengapa aku tidak bisa melukis anak perempuan tadi. Tidak ada yang istimewa darinya. Ia masih seperti anak-anak yang lain di luar sana. Aku semakin penasaran dengan anak perempuan itu. Hari ini ada banyak kejadian aneh menimpaku.
Esok pun tiba. Aku bangun pagi-pagi sekali mempersiapkan segalanya. Hari ini anak perempuan itu harus aku lukis. Kursi yang ia duduki kemarin telah aku bersihkan. Peralatan lukisku pun telah aku persiapkan dari tadi. Aku tidak ingin ada yang ketinggalan. Setelah bertahun-tahun menggeluti pekerjaan ini, baru kali ini ada kejadian seperti ini. Aku bisa malu jika hal ini diketahui oleh orang banyak.
Setelah agak lama menunggu, anak itu pun datang. Ia masih saja didampingi oleh nenek yang kemarin. Segera aku mempersilahkan mereka duduk. Tanpa basa basi, aku pun menyuruh si anak duduk di kursi yang tadi aku bersihkan. Jantungku langsung berdegup kencang saat ia menatapku dengan senyumannya yang kemarin. Segera mata ini aku sibukkan dengan peralatan lukisku. Tanpa membuang banyak waktu, aku segera memulai melukisnya. Tangan ini gemetar memegang pensil yang semalam tadi telah aku persiapkan. Keringat di dahiku lalu aku usap dengan sapu tangan yang ada di sampingku. Saat aku menoleh, tatapanku bertemu pada satu titik dengan mata nenek itu. Aku berikan saja senyuman yang aku miliki. Ia pun membalas senyumanku.
Satu jam telah berlalu. Kertas itu masih kosong. Dua jam telah berlalu. Kertas itu masih juga kosong. Hingga senja menyapa kertas itu masih kosong juga. Anak dan nenek itu pun aku suruh pulang. Minggu depan lukisannya baru jadi. Nenek itu lalu mengucapkan terima kasih dan memberiku upah. Mereka lalu berlalu. Sedang aku hanya bisa menatap kepergian mereka dengan perasaan cemas.
Seminggu telah berlalu. Nenek itu belum muncul ke rumah mengambil lukisan anak perempuan itu. Sebulan telah berlalu. Nenk itu belum muncul juga. Tanpa terasa setahun telah berlalu. Nenek itu tidak pernah datang ke rumah mengambil lukisan anak perempuan itu. Walaupun begitu, Aku masih saja menunggu hingga nenek itu datang mengambilnya.
***
Hujan pagi ini turun dengan derasnya. Suara Guntur selalu saja membuatku takut. Sepertinya aku harus menunggu hujan reda untuk keluar. Hari ini ada sebuah lukisan yang harus aku antarkan kesebuah rumah. Pemilikinya tidak bisa datang ke rumah mengambilnya karena sibuk. Tidak ada salahnya juga aku yang mengantarnya. Apalagi upah telah aku terima dua hari yang lalu.
Tepat pukul 12 siang hujan pun reda. Segera lukisan itu aku bawa keluar. Lukisan ini harus sampai ke sebuah rumah hari ini juga. Jalanan sangat becek membuat celanaku agak kotor. Tetapi itu tidak menajdi soal yang penting lukisan ini sampai ke alamat yang ditujuh.
Di tengah jalan aku melihat seorang nenek ingin menyeberang. Ia kelihatannya agak kesulitan. Tongkat yang ia gunakan tidak bisa lagi menyanggah tubuhnya yang renta. Aku berlari menuju kearahnya. Segera nenek itu aku papah dan membantunya menyeberang. Sejenak aku perhatikan wajahnya. Sepertinya aku pernah melihat nenek ini. Pakaian kebaya yang ia kenakan pun aku pernah melihatnya. Begitupun dengan sarung yang ia pakai. Saat nenek itu berbalik menatapku, jantungku berdegup kencang tak karuan. Aku hampir saja terjatuh ke belakang karena kaget. Aku ingat. Nenek ini yang pernah datang ke rumah bersama dengan seorang anak perempuan. Aku lalu teringat lukisan anak perempuan itu. Aku semakin kaget saat nenek itu tersenyum kepadaku. Senyuman setahun yang lalu.
Kami lalu mencari tempat duduk. Aku lalu bertanya kepada nenek itu, mengapa ia tidak pernah datang ke rumahku mengambil lukisan itu. Padahal aku selalu saja menunggu. Ia malah memperlihatkan wajah yang sedih. Ada butiran-butiran kaca dalam kelopak matanya. Ia mulai terisak. Ia lalu bercerita kepadaku. Anak perempuan yang ia bawa ke rumahku setahun yang lalu adalah cucunya. Ia tidak mempunyai orang tua. Lebih tepatnya kedua orang tuanya tidak mau megakuinyas ebagai anak. Ia lahir ke dunia ini sebelum ayah dan ibunya menikah. Tida ada anak-anak tetangga yang mau bermain dengannya. Para tetangga pun tidak suka kepadanya. Katanya, anak perempuan itu anak haram. Walaupun demikian, anak perempuan itu tetap dianggapnya cucu oleh nenek ini.
Setengah tahun yang lalu, sebuah kecelakaan menimpa anak perempuan itu. Saat hendak menyeberang jalan, sebuah mobil melaju dengan kencangnya. Ia tidak melihat mobil itu. Saat itu juga, kecelakaan itu merenggut nyawanya. Yang lebih membuatku kecewa, kedua orangtuanya tidak datang pada saat pemakamannya.
***
Kini aku berdiri disebuah nisan berwarna cokelat tua. Ada sebatang bunga kamboja yang tumbuh di samping makam itu. Bunganya mulai bermekaran. Mungkin merasakan kehadiranku. Hanya sebuah lukisan yang bisa aku persembahkan untuk anak perempuan ini. Lukisan setahun yang lalu. Yah. Sebuah lukisan tanpa wajah. Wajah yang tidak bisa membuatku melukisnya di atas kertas putih. Wajah yang ternyata selama ini tidak dianggap oleh orang-orang yang ada disekitarnya. Sekarang wajah itu terbaring di bawah sebuah nisan yang bertuliskan sebuah nama. Maya. Sebuah ketidakpastian.
Pinrang, 26 September 2008
Wednesday, November 26, 2008
Lukisan Tak Berwajah
Posted by Kantong Sastra at 2:30 PM
Labels: karya (cerpen)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
Post a Comment