Thursday, September 4, 2008

Menunggu HP Berderit

Cerpen Sandi Firly

SEPERTI malam-malam yang lain, ia selalu tekun di depan komputernya menyelesaikan pekerjaan kantor yang memang harus dikerjakan malam-malam karena ia memang pekerja malam.

Come away with me in the night
Come away with me
And I will write you a song


Lagu Come Away With Me Norah Jones mengalun lembut yang distelnya dari komputer. Ia selalu ditemani lagu-lagu setiap bekerja. Ia penyuka jenis musik apa saja, kecuali dangdut. Meski ia tahu musik dangdut sedang menjadi trend, dan televisi berlomba-lomba menampilkan para penyanyi, persisnya sih para penggoyang dangdut ke dalam layar kaca untuk mengebor pemirsa.

Jam baru saja menunjukkan pukul sepuluh malam, namun ia sudah terkantuk-kantuk. Memang, jam tidurnya tak beraturan. Siang terkadang tak tidur sedetik pun, sementara ia baru tidur dini hari pukul empat pagi setelah pekerjaannya selesai dan ditambah dengan membaca buku atau kadang-kadang menulis puisi atau surat cinta, atau juga catatan harian di dalam komputer. Ia suka menulis surat cinta, meski ia sadar tak siapapun yang ditujunya. Mungkin ini ada hubungan dengan sifat pengkhayalnya yang suka merembes kemana-mana.

Yang sering membuatnya gelisah adalah telepon genggam. Ya, benda canggih mungil itu selalu bikin dia gemes. Seperti malam-malam yang lain, telepon genggam itu tergeletak rapi di sisi kiri keyboard-nya. Hampir setiap sepuluh menit ia melirik ke telepon genggamnya itu sambil berharap ada SMS masuk atau telepon tak terjawab. Padahal ia tahu, SMS atau telepon masuk bisa diketahui dari deritnya yang cukup nyaring. Tapi itulah, tetap saja setiap sepuluh menit matanya melirik ke layar telepon genggam berwarna hitam itu sambil mengharapkan ada SMS atau telepon yang tak terjawab. Dan pekerjaannya jadi sering molor. Belum lagi ditambah dengan tidur-tidur ayam di bangku kerjanya.

Semakin larut malam, ia selalu saja semakin gugup. Bukan karena pekerjaan yang semakin menuntut, tapi karena semakin mengharapkan telepon genggamnya berderit menerima SMS atau telepon entah dari siapa. Ia berharap ada wanita entah dari mana yang tersesat mengirimkan SMS ke telepon genggamnya. Atau seorang wanita yang salah sambung mencari suami atau pacar.

Di saat istirahat, ia kadang membuka daftar nama-nama di dalam file telepon genggamnya. Setiap pada nama perempuan, ia berhenti sebentar sambil memikirkan perempuan itu.

Ada banyak nama perempuan di dalam telepon genggamnya, sebagian besar didapatnya dari kenalan di chatting sehabis kerja dan itu biasanya di atas pukul 02.00. Kadang, habis chatting ia juga nelepon wanita itu. Ada yang di Singapura, Medan, Bandung, Jakarta, atau di Banjarmasin sendiri. Tapi untuk di Banjarmasin ia sangat jarang. Ia lebih menyukai kenalan dengan wanita yang jauh, kalau perlu di luar negeri. Bahasa Inggrisnya juga lumayan jago. Ia ngobrol ngalor ngidul, kebanyakan ia bercerita tentang dirinya sendiri. Tentang pekerjaannya, tentang temannya, tentang keluarganya, tentang perempuan-perempuan yang pernah dekat dengannya, atau cuma tentang kesepian malam-malamnya.

Ia memang cukup pandai ngobrol. Lawan bicaranya selalu dibikin betah dengan bicara dan candanya. Terlebih lagi bila ia bicara tentang bagaimana wanita yang harus menjadi calon istrinya. Dan biasanya, wanita memang suka bila membicarakan sesamanya, dan mungkin karena itu pula setiap wanita yang diteleponnya betah saja mendengar ocehannya.

I can't help myself
I've got to see you again


Saat lagu Norah Jones, I've Got to See You Again di side B itu mengalun, jam sudah pukul dua belas malam. Pekerjaannya masih belum selesai. Ia juga semakin gelisah memandang setiap sepuluh menit telepon genggamnya yang tak juga berderit. Seorang perempuan yang diharapkannya SMS atau menelepon, tak jua terkabul. Telepon mungil itu masih tergeletak rapi di sisi keyboard komputernya, seperti batu.

Malam-malam yang lewat, di saat ia sangat mengharapkan ada SMS atau telepon dari wanita yang diharapkannya, atau wanita mana saja dari belahan dunia ini, ternyata yang SMS adalah teman kantornya sendiri yang menanyakan tentang pekerjaan. Padahal di hati ia sudah bersorak gembira ketika telepon genggamnya berderit. Dan saking kesalnya, SMS-SMS yang tak diharapkan itu sengaja tak dibalasnya.

Ia lebih sering membayangkan SMS itu dari wanita yang mengajaknya kenalan, atau malah kencan.

Eh, sedang ngapain? Aku lagi kesepian nih, datang dong ke Motel B, kamar 243.

Ia tersenyum sendiri merangkai isi SMS itu yang diharapkannya masuk ke dalam telepon genggamnya. Dan setiap membayangkan itu, ia pun melirik lagi ke telepon genggamnya yang masih saja membatu. Kadang ia elus-elus telepon genggamnya, atau malah didekap, dan sedetik itu ia kembali berharap ada SMS masuk atau telepon sehingga dia bisa merasakan getaran telepon genggamnya itu. Namun, khayalan-khayalan itu seringkali gagal. Dan telepon genggamnya kembali tergeletak diam seperti biasa di samping kiri keyboard-nya.

Memang, pacarnya ada kala menelepon. Tapi itu dianggapnya berbeda bila SMS atau suara di seberang sana adalah dari kerongkongan perempuan yang tak dikenalnya. Atau dikenalnya tapi ia belum pernah bertemu secara tatap mata. Ia memang sering terobsesi juga dengan suara-suara perempuan di dalam telepon. Menurutnya, suara perempuan itu lebih indah didengar dengan tanpa harus bertatapan langsung dengan si pemilik suara. Sebab itu pula mengapa ia gemar menelepon teman-teman perempuannya yang kenal lewat chatting semalam.

Ia tahu, teleponnya jarang juga dihubungi oleh rekan kerjanya. Kendati begitu, kemana-mana telepon genggam itu selalu dibawa-bawa, sekalipun ke dalam WC. Saat di WC ini khayalannya semakin liar lagi. Keseringan ia sambil menelepon wanita, atau setidaknya berharap ada telepon dari wanita entah siapa saja.

***

Sudah hampir pukul dua dini hari. Kegelisahannya terus memuncak. Tampak berbeda dengan malam-malam sebelumnya, kali ini ia terlihat semakin suntuk meski pekerjaan sudah rampung. Ia putar kencang-kencang lagu Metallica terbaru, St. Anger, lewat tape sambil menggebuk-gebuk mejanya sendiri dengan mata yang tetap tak pernah lepas dari telepon genggamnya yang masih saja terbujur kaku. Ia terus berharap ada perempuan entah dari mana saja yang tiba-tiba mengirimkan SMS atau telepon salah sambung. Ia ingin menggodanya dan bahkan kalau perlu mengajaknya kencan. Ketika telepon genggamnya hanya diam membatu, ia semakin kesal dan marah. Gebukan tangannya semakin keras sampai lagu berakhir.

Ia tampak menyandar lelah di kursinya. Matanya masih terpaku pada telepon genggamnya yang kali ini menampilkan wujud aslinya sebagai benda mati. Tergeletak kaku tanpa berderit sekali pun jua. Sebentar dia rapikan mejanya yang tampak berantakan. Ia bersiap-siap pulang, atau mungkin di jalan nanti bisa saja dia akan berbelok ke bar. Dengan malas diraupnya telepon genggamnya sambil bangkit dari kursi menuju keluar.

Sebelum menutup pintu ruang kerja, ia terpaku sejenak. Lantas menimang-nimang telepon genggamnya, tampak ada kebimbangan. Sejenak seulas senyum tersungging di bibir tebalnya, dan sedetik kemudian dicemplungkannya telepon genggamnya ke dalam akuarium yang tergelak di samping pintu. Senyumnya kini semakin mekar. Sambil bersiul, ia melenggang keluar.

Bipp… Bipp….Bipp…..

***

Banjarmasin, Oktober 2003

No comments: