Monday, September 1, 2008

Perlukah Kita (Menjadi) Seorang Sastrawan?

Esai Deddy Setiawan

SAYA cukup tergelitik dengan diskusi tertulis dalam tiga minggu terakhir ini. Bermula dari pertanyaan Udo Z Karzi tentang keberadaan sastrawan (dari) Kalimantan Tengah yang disambut Kepala Balai Bahasa Kalteng Puji Santosa dengan sejumlah catatan tentang jejak kehadiran sastrawan di bumi Tambun Bungai.

Diskusi ini rupanya berlanjut dengan tulisan ketiga dari Willy Ediyanto yang masih menyodorkan kegelisahan soal kelahiran seorang sastrawan Kalteng sepanjang 40 tahun terakhir dengan nada mempertanyakan, jika tidak disebut gugatan sebagai seorang pendidik. Dan mumpung diskusi ini masih hangat, izinkan saya untuk ikut terlibat. Permisi!

Saya mencoba mengambil benang merah dari ketiga tulisan sebelumnya. Semuanya lahir dari sebuah kegelisahan yang sama akan sosok sastrawan di bumi Kalimantan Tengah. Ketiganya – sepertinya – mengerucut pada konsep sastra tulisan. Sebuah pandangan yang tidak bisa disebut keliru karena memang media teks memang telah dan masih menjadi sarana efektif mengomunikasikan gagasan karena kemampuan merekam yang lebih lama dan jangkauan yang lebih luas dibanding media lain sejak Guttenberg menemukan mesin cetak. Bahkan ketika menulis di blog atau mengelola sebuah website sastra menjadi ikon sastra era digital, tetap saja tidak bergeser dari fungsi teks sebagai penyampai pesan.

Hanya saja sepertinya kita melupakan keberadaan sastra tutur (sastra lisan) yang justru menjadi kekayaan terbesar kesusastraan kita, terutama di Kalimantan. Sehingga, kalau ingin bertanya adakah sastrawan Kalteng hari ini – menurut saya – tentu ada. Kecuali kalau kita bermaksud membedakan antara sastra lisan dengan sastra tulisan. Tapi pembahasan soal sastra lisan dan tulisan tersebut terlalu akademis bagi saya yang awam. Ada yang jauh lebih berkompeten untuk menjelaskan kepada pembaca – terutama kepada saya – mengenai sastra lisan dan tulisan tadi. Dan ada baiknya kita persempit wilayah diskusi hanya seputar sastra tulisan saja saat ini. Setuju?

Sebelumnya terima kasih untuk Pak Puji yang menempatkan saya dalam kategori sastrawan Kalteng. Tapi sungguh, sekalipun sempat menghadiri Pertemuan Sasterawan Nusantara XI di Brunei Darussalam tahun 2001 silam, dan puisi atau cerpen saya sempat beberapa kali dimuat satu buku dengan nama-nama seperti Helvy Tiana Rosa, Isbedy Setiawan ZS, Asma Nadia, Joni Ariadinata, Hamid Jabbar atau Ikranegara yang tidak asing lagi di jagat sastra tanah air saya masih ”risih” dengan sebutan sastrawan.

Jujur saya lebih senang dengan istilah penulis atau pekerja teks saja. Ada tanggung jawab yang terlalu besar untuk menyandang gelar sebagai manusia yang ber su – sastra. Apalagi disebut sastrawan Kalteng. Ada rasa malu karena memang belum memberikan yang terbaik untuk daerah sendiri. Saya memang dilahirkan di Sukamara dan sejak 2003 yang lalu pulang ke kampung halaman setelah selama 25 tahun menetap dan menjadi warga Kalimantan Barat. Di sanalah sebagian besar karya saya selama ini lahir. Sementara di sini ... hmm ..., doakan saja ya ...!

Menjadi penulis itu sebuah “kutukan”. Itu yang saya pahami selama ini. Seperti kutukan yang melekat pada Peter Parker ketika seekor laba-laba yang terkena radiasi radio aktif menyengat dirinya, sehingga melahirkan kekuatan super. Yang memaksanya menyembunyikan identitasnya dalam topeng Spiderman dan tak kunjung berani melamar Mary Jane Watson disebabkan tingginya resiko yang harus ditanggung orang-orang yang dicintainya karena menyadari dalam kekuatan yang besar ada tanggung jawab yang besar pula ... with the great power, comes great responsibility!

Karena itu meski sejak kecil kita bisa menulis, cuma sedikit yang bercita-cita menjadi seorang penulis dan terus mengembangkan kemampuan menulis. Maka, lengkap sudah kesepian dunia menulis karena selain bersifat individual – tidak ada proses kreatif yang berlangsung massal – peminatnya memang tidak bisa disebut banyak. Karena itu, Bang Willy, jangan heran kalau selama 40 tahun terakhir menurut pantauan Pian tidak ada sastrawan (penulis yang tercatat di dokumentasi sastra) yang lahir di Kalteng.

Kendati kehamilan alaminya tidak bisa dipaksakan, saya percaya dengan rumus 10 : 40 : 50. Faktor bakat itu hanya 10% saja pada kelahiran seorang penulis, 40 persennya adalah lingkungan, selebihnya kerja keras yang ditopang kemauan. Jadi jika kita memang merindukan lahirnya sastrawan dari bumi Kalimantan Tengah, mari kita ciptakan lingkungan subur untuk mempersiapkan kelahiran ini.

Karena itu saya mendukung resolusi Pak Puji untuk menghidupkan ruang sastra di media massa lokal sebagai tempat belajar dan mematangkan diri bagi para penulis. Kekhawatiran Bang Willy kalau tidak ada yang mengisi halaman yang tersedia tersebut mengingat produktifitas penulis untuk hamil dan melahirkan karya masih terbatas sebenarnya dapat saya fahami. Akan tetapi ruang sastra di media massa lokal, dengan asupan tetap cerpen-cerpen dari 'luar' seperti yang selama ini terjadi mungkin dapat menjadi solusi agar tidak terjadi kekosongan. Asal jangan menutup keran untuk penulis daerah, keberadaan cerpen ”impor” ini cukup sebagai pembanding yang baik. Untuk memperkaya wawasan baik juga rasanya sesekali memuat cerpen atau puisi terjemahan para penulis dunia.

Media massa (baca; koran) tentu saja hanya salah satu dari ruang yang saya maksud. Di era digital seperti sekarang ini ketika internet menjangkau semua pelosok – kalau program telkomnet masuk desa dapat berjalan dengan baik – dunia maya cukup menjanjikan sebagai sarana belajar yang baik. Begitu juga blog penulis. Tanpa ingin terjebak dikotomi sastra cyber maupun sastra koran bertahun-tahun lamanya saya (dengan nama pena Ibnu HS) dan teman-teman bertukar cerpen mapun puisi di milis penyair dan saling mengkritisi.

Kawasan yang dulu dianggap sebagai keranjang sampah sastra koran ini ternyata menawarkan banyak kemungkin lain. Tidak sedikit cerpen atau puisi saya yang lahir dan mengisi ruang maya kemudian bermetamorfose menjadi teks cetak. Wajah Dalam Cermin, satu-satunya cerpen saya yang pernah dikirim ke media massa dan dimuat di Republika, juga lahir di sana. Ah, maaf kalau paragraf ini ditutup serentetan kalimat berbau narsis ...

Kemudian tentu saja langkah Bang Willy meningkatkan apresiasi sastra di kalangan siswa dan mengasah 4 keterampilan dasar berbahasa (membaca, menyimak, menulis, dan berbicara) juga penting. Sayangnya, apresiasi di kalangan para guru juga harus diakui sangat minim. Kebanyakan yang diajarkan di bangku sekolah – tidak semua – berputar pada teori seperti S-P-O-K, homonim, homofon, atau homo-homo lain dan bukan pada 4 keterampilan dasar tadi. Padahal kurikulum yang diterapkan sekarang mengacu kepada 4 keterampilan dasar tadi. Akibatnya bukan hanya rendahnya apresiasi sastra di kalangan siswa, sekitar 60% siswa yang tidak lulus Ujian Nasional ternyata karena nilai Bahasa Indonesia yang tidak memenuli standar nilai kelulusan. Kalau soal ini, Pak Puji yang lebih fasih daripada saya ... Perpustakaan memang masih menjadi kendala. Tapi diam pun tidak menyelesaikan masalah. Secara individu maupun bersama kita bisa merintis rumah baca di lingkungan sekitar kita masing-masing.

Terakhir – eh, saya rasa bukan – kalau kita ingin karya penulis daerah ini dibaca oleh uluh itah, kendala terbesar yang harus didobrak adalah tidak adanya penerbit daerah dan jaringan toko buku yang sampai ke pelosok. Tanpa hal ini, keinginan tadi – yang nyaris menjadi obsesi – niscaya hanya akan bermua pada sebuah mimpi. Sampai di sini, perbincangan sudah harus melibatkan banyak pihak yang memiliki stamina lebih maksimal untuk membahas dan mewujudkannya.

Selanjutnya yang terpenting bagi para penulis adalah terus menerus hamil dan melahirkan karya-karya terbaik dan tetap saling berkomunikasi. Mau dicatat sebagai sastrawan atau bukan, menurut saya sama sekali bukan permasalahan. Banyak penulis bermutu yang nama dan karyanya luput masuk catatan sebagai Angkatan 2000 sastra Indonesia, atau kitab sastra Horison.

Apa kemudian itu menjadi permasalahan bagi mereka? Tidak. Permasalahan kita adalah kalau kita berhenti berkarya dan sibuk mengejar identitas semata. Mengejar kulit, meninggalkan isi. Ah, saya malu kepada orang tua kita yang sampai hari ini tetap setia menembangkan karungut dan berbagai corak sastra lisan lainnya sambil tetap mengajarkannya kepada kita tanpa peduli dengan gelar sebagai sastrawan. Padahal, merekalah sastrawan Kalimantan Tengah yang sesungguhnya ..

* Deddy Setiawan, Pecinta buku dan penulis, lahir dan tinggal di Sukamara

Sumber: Borneonews, Senin, 1 September 2008

No comments: