Oleh Willy Ediyanto**
SETAHUN yang lalu, seorang kawan datang ke tempat kerja dengan membawa sebuah surat kabar. “Koran baru,” katanya.
Borneonews menyentuh hati semua lapisan masyarakat Kotawaringin (Foto: Borneonews/Rahmad Minarto)
Saat itu bulan Januari 2007. Sekilas, tanpa membaca isinya, penulis pun tertarik. Bagaimana tidak tertarik, penulis yang tinggal di Kumai, beberapa hari sebelumnya mencoba berlangganan surat kabar yang terbit sedikit siang, hanya bertahan sepuluh edisi, dan hari itu ada surat kabar yang bisa dibaca lebih pagi dengan tampilan yang menarik. Penulis mencoba mencarinya di stasiun pengisian BBM, karena katanya dipromosikan di tempat umum semacam itu.
Penulis benar-benar tertarik dengan surat kabar ini ketika promosi mulai masuk ke tempat tinggal penulis. Segera pula diputuskan untuk berlangganan dengan meminta agar nomor promosi dikirimkan setiap hari.
Begitulah awalnya perkenalan penulis dengan surat kabar Borneonews. Surat kabar yang membidik pembaca masyarakat Kalimantan ini, kini berusia tepat satu tahun. Waktu yang begitu pendek, akan tetapi Borneonews dapat dikatakan cukup berhasil mendekatkan diri pada pembacanya.
Sejak terbit pertama setahun yang lalu, Borneonews tampil dengan perwajahan yang berbeda dari surat kabar-surat kabar lain yang lebih dulu beredar yang terbit di Kalimantan. Pembaca diberi kenikmatan mencerna isi surat kabar ini karena tidak direpotkan dengan berita-berita yang bersambung ke halaman lain. Hampir semua berita ditampilkan utuh pada setiap halaman.
Dengan kualitas kertas dan cetakan yang baik, tidak mustahil harian ini akan menguasai dunia persuratkabaran di Kalimantan. Penulis yakin, siapa pun yang membaca surat kabar ini akan segera menyukainya.
Setahun mengikuti perkembangan harian ini, pembaca tentu dapat merasakan, bahwa tidak ada yang berubah dari segi penampilan. Bagus untuk sebuah surat kabar lokal bahkan nasional sekali pun. Tampilannya tidak membosankan dan enak dipandang.
Dari segi isi, surat kabar ini juga menampilkan yang berbeda dari surat kabar lokal yang lain. Pembaca masih bisa menikmati adanya halaman yang memberikan pemikiran-pemikiran para ahli yang ada di halaman opini. Penulis-penulis tingkat nasional dapat diikuti pemikirannya di halaman ini, sampai kemudian beberapa hari menjelang tulisan ini dibuat, pembaca yang serius kehilangan halaman ini.
Halaman yang cukup memberikan wawasan pemikiran dan serius ini berganti menjadi halaman hukum dan kriminal. Halaman yang menurut beberapa surat pembaca diinginkan oleh oleh pembaca setia Borneonews. Tentu keragaman tingkat pendidikan pembaca mempengaruhi kebijakan redaksi agar tetap ada di hati pembacanya. Tentu penulis sangat menyayangkannya. Halaman opini yang tidak banyak diminati, yang biasanya dibaca di akhir hari, pada malam hari, sudah tidak ada lagi. Apa bedanya dengan surat kabar lokal yang lain?
Sah-sah saja pembaca setia Borneonews menginginkan yang seperti itu. Redaksi pun sah saja menghilangkan halaman itu. Tapi akibatnya, membaca surat kabar ini menjadi tidak berbeda dengan membaca surat kabar lainnya yang terbit di Kalimantan. Masyarakat pembaca yang tadinya merasa tenang, mulai diresahkan dengan pemberitaan kriminal. Ini memberi kesan daerah ini tidak aman. Apakah dengan perubahan susunan redaksi yang terjadi beberapa waktu yang lalu mengakibatkan perubahan haluan surat kabar ini, atau ada alasan lain. Atau redaksi sengaja mengikuti selera pembaca. Itu pun sah-sah saja.
Sebagai surat kabar yang baru berumur satu tahun, mencari bentuk itu wajar dilakukan. Bagaimanapun sebuah penerbitan surat kabar selalu berdiri pada dua pijakan yang seringkali tidak sejalan. Kebijakan perusahaan yang bermotif ekonomi dan menjadi tulang punggung terbitnya surat kabar tidak bisa diabaikan. Tentu saja peran pembaca sangat menentukan warna-warni isi surat kabar ini. Redaksi sebagai pelaku yang memberi warna pada isinya tidak bisa mengelak dari keinginan pembaca jika tidak ingin ditinggalkan oleh pembacanya.
Kekuatan tampilan dan isi yang dimunculkan sejak pertama kali surat kabar ini terbit, mulai berubah seiring berjalannya waktu. Mencari konten yang menggambarkan budaya pikir pembaca dengan tingkat intelektual yang berbeda tentu saja sulit. Apalagi seperti banyak dikeluhkan oleh pengelola surat kabar di wilayah ini, sulit mencari penulis lokal. Surat kabar yang lebih dahulu terbit di daerah ini pun menganggap penulis lokal sebagai aset yang kuang berharga di samping sedikitnya penulis lokal.
Bidikan kelas pembaca terasa sekali mencakup masyarakat umum dari berbagai kelas sosial yang berbeda. Yang belum terangkum minatnya barangkali pembaca muda terpelajar dan anak-anak. Pembaca muda, yaitu pelajar dan mahasiswa, tidak mendapatkan porsi. Apalagi halaman untuk anak-anak. Seingat penulis pernah ada halaman untuk anak-anak hanya satu kali dalam satu tahun ini. Sedangkan untuk pelajar dan mahasiswa baru sebagas informasi kegiatan dan dunia pendidikan saja.
Ruang sastra yang biasanya menjadi ciri khas sebuah surat kabar, beberapa minggu sebelum tulisan ini dibuat juga menghilang. Pembaca muda yang tergabung dalam Komunitas Kantong Sastra dan Komunitas Awan Senja seperti yang pernah diberitakan di harian ini tentunya menjadi tidak punya rujukan karya sastra yang bagus. Apalagi mencari buku-buku sastra di wilayah ini tergolong sulit.
Dengan hilangnya ruang sastra, menjadikan edisi minggu terasa hambar. Memang mungkin tidak terlalu banyak yang membaca karya sastra, akan tetapi semakin masyarakat tidak diperkenalkan dengan karya sastra tentunya akan menyebabkan pembaca semakin tidak dapat mengenal karya sastra.
Seperti juga di kota-kota besar pada umumnya – mudah-mudahan kota kecil ini segera menjadi kota besar – kehidupan sastra dan budaya lebih banyak didukung oleh ssurat kabar yang terbit di daerah itu. Kelompok-kelompok penulis banyak muncul di kota-kota yang ada penerbitan surat kabarnya. Lembaga pendidikan dasar, menengah, maupun perguruan tinggi jarang yang mampu menghasilkan sastrawan tanpa bantuan surat kabar. Ibaratnya surat kabar adalah batu asah kepenulisan sastra.
Memanglah kalau kita perhatikan juga surat kabar lain yang terbit di sekitar wilayah ini tidak memiliki sastrawan yang mumpuni walaupun sudah didukung oleh surat kabar yang ada. Mungkin juga harus dilakukan kolaborasi dengan pemerintah daerah untuk memfasilitasi taman budaya seperti yang ada di kota-kota lain. Sepengetahuan penulis di daerah ini belum ada taman budaya dengan pengelolaan dan dukungan dana dari pemerintah daerah setempat.
Lomba atau sayembara yang berhubungan dengan sastra pun tidak terdengar gaungnya. Ada tapi tidak menggema, bukannya tidak ada sama sekali. Institusi yang semestinya menangani masalah ini pun tampaknya diam saja. Mungkin umur satu tahun Borneonews ini bisa menggugah semua pihak untuk menghidupkan dunia sastra di wilayah ini.
Perguruan tinggi yang biasanya menjadi gudang penulis muda, tampaknya belum muncul di wilyah ini. Halaman Mimbar yang bisa jadi wadah mencuatkan gagasan yang lebih kompleks daripada surat pembaca, tidak banyak dimanfaatkan.
Indah sekali iklan Media Indonesia (grup Borneonews) yang berbunyi: “Saya menulis, Media Indonesia memuatnya”. Kapan akan ada penyataan berbunyi: “Saya menulis, Borneonews memuatnya”.
Seperti pada beberapa tulisan yang pernah dimuat di harian ini, sekolah jarang sekali menghasilkan penulis karena memang sekolah tidak mendidik penulis. Akan tetapi sekolah bisa memperkenalkan dunia kepenulisan kepada siswanya.
Mengelola sebuah surat kabar memang tidak semudah orang berjualan. Tidak mudah membaca selera pasar dalam dunia persuratkabaran. Apalagi dengan tantangan luasnya wilayah dan sulitnya transportasi. Ini tentu menjadi tantangan yang cukup berat. Akan tetapi, penulis yakin, tantangan itu tidak akan mengendurkan semangat. Apalagi terbitnya surat kabar ini digagas oleh putra daerah yang berhasil bekerja sama dengan pengusaha nasional yang berkecimpung dalam bidang media massa yang mumpuni.
Harapan kita semua, sebagai pembaca setia harian ini, tentunya Borneonews bisa bertahan terus dan semakin maju melalui badai waktu. Borneonews juga akan dapat menjadi inspirasi bagi pembaca setianya.
Selamat ulang tahun.
* Dimuat di Borneonews Edisi Khusus, Kamis, 27 Desember 2007 dengan judul "Berhasil Mendekatkan pada Pembaca"
** Willy Ediyanto, Praktisi pendidikan, tinggal di Kumai, Kotawaringin Barat
Thursday, December 27, 2007
Borneonews: Membidik Minat Masyarakat Kalimantan*
Posted by Kantong Sastra at 5:29 PM 0 comments
Labels: wacana
Monday, December 24, 2007
Mengejar Pluto
Cerpen Putri Kusnaedi
MELEPAS keletihan. Hilangkan, gairah tercemar oleh kelukaan, peri. Bersama bintang mencipta kesunyian. Di pulau kapuk menghentikan kegiatan, mati sementara; lelap.
Pluto menyervis handphonenya. Kali ini bukan tuts-tuts yang sulit ditekan, juga bukan akibat terjatuh dari tempat ketinggian. Tukang servis mengurut dada mem-flashback tingkah pluto yang tak kurang dari 6 kali telah datang ke tempatnya hanya sekedar mengurus telepon genggam yang itu-itu saja.
“Berhati-hatilah, jaga hpmu baik-baik!” pesannya usai mengganti casing remuk dengan warna hijau biru ungu light; tampak lebih baru.
“Aku akan menjaganya, jangan khawatir, thanks kang!” tak bosan-bosan kang rigel menerima jawaban serupa dari sebelum-sebelumnya.
Detak jarum pada arloji pluto tak memberikan waktu lagi untuk leha-leha, ia mengejar sampai sekolah untuk rapat persiapan class meeting. Tiba di tanah sekolah, pluto diburu nafas, ia terhenti di satu ruang bertuliskan “OSIS PUNYA” di tepi atas pintu.
Melongo, nampak api di wajahnya, dan tak ada satupun manusia lain berinjak di sana.
“Hey.. what?! Apa-apaan ini? Padahal, janji mereka... WAJIB DATENG! Aku kan ketuanya! Kenapa mereka gak taat aturan gini! Mending aku, telat, tapi dateng! Huh! Dasar PAYAH!” ia berbicara keras, mengomel.
“Oh,ya?” berbarengan dengan puluhan anggota osis, Jupi Terta muncul, tepat pluto ada di muka mereka.
Pluto, kaku membalikkan kepala. Komat-kamitnya tadi serta merta terlupakan, berhembus menghadap yang ada di depannya sekarang.
“Ups, sorry, tadi aku bangun kesiangan, harus beres-beres rumah dulu, eh… nunggu angkotnya lama.” Marsha menirukan gaya telat pluto. Aura guilty merias muka pluto.
“Oke..oke.. kita sudah melewatkan waktu banyak, lebih baik kita masuk sekarang, right?” kebijakan itu suara Bumi. Ia berusaha menengahi emosi teman-temannya. Yang lain sepakat satu suara dengan bumi. Kemudian seluruh mata memburu sesosok yang terbungkam salah tingkah.
“Hah? A… apa?” ia semakin bersalah.
“Ini ruangan dikunci, Non!” si cantik venus menyadarkan kealpaan pluto satu lagi.
“Oh! Aduh! Iya..iya… aduuuh!”
Selebihnya, rapat berjalan standard. Dengan ketegangan gontok-gontokan, persaingan mulut, dan oposisi tertentu.
Pluto termenung di depan dewi malam, ia terpana dengan kecantikannya di angkasa. Teras redup, pluto sengaja berdiri lama, untuk kemudian mempraktekkan olahraga sederhana yang ia kutip dari sebuah buku.
Kaki tegak sejajar bahu, dua tangan merentang ke depan, dan ayunkan 200 kali.
Ada pula, duduk bersila, tapak tangan terbalik di atas paha, terpejam. Pluto khidmat mengejar ketenangan.
Di atas meja terdengar bunyi-bunyian. Satu matanya meliriik. Ia akhiri sementara konsentrasinya untuk melihat sms siapa yang telah masuk.
“Mata pisau itu terlajur menggenggam segumpal darah, berlutut keharibaan, hamba bagai zarah terbias, bebaskan hamba ya Tuhan, dari degup detak malam yang meniti embun”
Class Meeting Senin depan telah matang, selaku ketuplak pluto cukup baik mengkoordinir kerja panitia. Siang sepulang sekolah, pluto berniat hunting data untuk persiapan ujian sebulan nanti. Seperti biasa, sembari loading, ia mampir ke Yahoo!Mail,
“Nggak ada yang special..” yahoo!mail itu ia segera sign out. Lalu, pluto asyik memilih nickname untuk chatting.
[Jengkol_Tempe] Hay Pluto Aurora…
[PlutoAurora] Hai juga
[Jengkol_Tempe] Pulang sekolah ya, Neng?
[PlutoAurora] Tau dari mana aku masih sekolah?
[Jengkol_Tempe] Kalo aku bilang, aku peramal, kamu pasti gak percaya!
[PlutoAurora] Maybe,
[PlutoAurora] Tapi, kalo kamu peramal, harusnya tau donk aku sekolah di mana..
[Jengkol_Tempe] Well, tadi cuma basa-basi,
[Jengkol_Tempe] Kamu… sekolah di SMA Fajar Utama, cewek, sekitar 17-an, pinter, cuek, suka makan mie, kadang-kadang ceroboh, telatan kalo ada janji, imut dikit, punya cawak pipi dan bulu mata lentik, hal yang paling kamu benci adalah kehilangan data yang dengan kerja keras kamu dapetin.
[PlutoAurora] Waw! Lengkap banget! Kamu siapa sih?
[Jengkol_Tempe] Tebak donk, ah!
[PlutoAurora] Seseorang yang kukenalkah?
[Jengkol_Tempe] Boleh juga
[PlutoAurora] Sekolah di Fajar Utama ya?
[Jengkol_Tempe] Boleh juga
[PlutoAurora] F or M?
[Jengkol_Tempe] Menurutmu?
[PlutoAurora] Cowok?
[Jengkol_Tempe] Boleh juga
[PlutoAurora] Aku tau!
[Jengkol_Tempe] Oh, ya..
[PlutoAurora] Certainly, kamu pasti…
[Jengkol_Tempe] Bye..bye..
Pluto melengos, padahal ia bisa menebak, siswa Fajar utama yang sukanya bilang boleh juga dan oh, ya.. cuma Jupi Terta. Tapi, kok nick name-nya Jengkol_Tempe? Pluto me-log out join room chattingnya. Tak ada yang menarik, ia malas meladeni orang-orang sinting yang asal, seperti;
[Shamermon] do u have boyfriend?
[Friendship_blabla] u look sexy?
[PlutoAurora] Jijaayyy!
Pluto segera mengclose, saat chatt berisi obrolan ngawur.
Lalu, konsentrasi dengan data-datanya.
Glep!
“Waw… ha..hah?” pluto shock, lampu warnet padam, serempak komputer-komputer gelap seketika. Pluto terpaku, bingung bergerak. Ia cabut flashdisk yang sejak awal telah tertancap di USB.
Pengunjung lain beruntun keluar; ada yang pulang, ada yang masih menunggu, kalau-kalau tak lama PLN nyala. Sedang pluto, tak berani keluar, data yang tak sedikit itu entahlah bagaimana nasibnya, masih ada sepercik harapan di benaknya, semoga “Pak PLN” berbaik hati menghidupkan lagi listrik. Ia kembali membayangkan ratusan data yang telah ia copy, yang telah berhasil membuat pluto mengganjal perut dengan angin, pegal-pegal di daerah pinggang, bahu, tangan dan melemahkan otot-otot lainnya.
Tak sadar, ia telah melewatkan Shalat Ashar tepat waktu.
“What?!” hidung, mata, mulut pluto megap-megap, saat melihat jam 4.20 sebagai bukti terlambatnya ia, walaupun sebenarnya masih ada waktu.
Pluto angkat kaki, secepat kilat mengambil langkah seribu ke tempat ibadah yang tak lain masjid.
“Dorr!” gerhana menyambar novel dari tangan pluto.
“Wah, nona cantik ini suka baca novel juga?” ia berputar-putar mengikuti langkah pluto yang tak menggubrisnya.
“Kamu suka novel apa? Sinchan? Doraemon? Atau, sponge bob?” kali ini, pluto berhenti, memperhatikan gelak tawa gerhana.
“Sinchan, doraemon, sponge bob, itu bukan novel! Kamu ini emang dari oroknya idiot, apa IQ kamu tiarap sih?” petir pluto direfleks remasan-remasan novel oleh gerhana.
Tapi pluto belum peduli.
“Sini!” ia ambil paksa novel dari cengkraman gerhana yang lebih mirip patung bernyawa.
“Hey, Nona cantik!” panggilnya seperti sadar dari hipnotis pluto.
“Tunggu pembalasanku!” ucapnya, menirukan gaya pendekar kampungan.
“Siapa takut!” tukas pluto.
Lebih 1 jam pluto menunggu tanpa kepastian, ia bahkan datang lebih pagi dan baru kali ini ia tidak telat datang rapat, karna jatah sarapan masih utuh di tudung saji.
“Ke mana mereka ya?” keluhnya sambil mencoret-coret kertas untuk menghilangkan jenuh.
Sejam berlalu lagi,
“Kok gak ada yang dateng sih? Mana hpku ketinggalan...” ia berdiri, melongok, duduk lagi, diam.
“Potong bebek angsa masak di kuali,
Nona minta dangsa, dangsa empat kali,
Dorong ke kiri, dorong ke kanan,
La la la la la la la la la…”
Karena bosan, ia mendendang lagu kesukaannya waktu SD dulu.
Plok..plok..plok..
“Suaramu... bagus, kenapa gak jadi penyanyi aja?” suara yang tak asing di telinga pluto.
“Siapa itu?” tapi ia pastikan dulu namanya.
“Hai! Sudah lama menungguku?” lagi-lagi gerhana muncul di saat bad mood pluto tinggi. Pluto tak menolehnya.
“Nona cantik, sendirian di sini, apa gak takut?” mata pluto tiba-tiba saja kemasukan debu.
Namun tak sedikit pun kata-kata gerhana dijawab.
“Mau aku temenin?”
“Well..well.. kalo gak mau ditemenin, biar setan-setan aja yang nemenin kamu, gimana? Hahaha… Da! Hahaha…” tawanya sama sekali tidak lucu bagi pluto.
Pluto putuskan, menunggu barang 20 menit lagi.
Kurang 10 menit dia kan pergi, pluto menemukan Oksi sedang bersepeda di lapangan basket.
“Ngapain di situ, pluto?” sapa oksi. Didapatinya senyum pluto. Pluto mendekat.
“Kak oksi lihat anggota osis gak di sekitar sini? Aku lagi nunggu mereka, mau rapat terakhir.” Pluto mengutarakan alasan ia duduk-duduk di bangku taman sekolah
Betapa menyedihkannya reaksi raut muka pluto menerima kabar dari oksi.
Oksi bercerita tentang venus, adiknya yang mengeluhkan tingkah plin-plan pluto.
“Kemarin bilang, rapat terakhir hari minggu! Eh, malah dibatalin! Padahal, kan senin besok udah class meeting, alasannya gak logis lagi! Masa karna dia kecapean, laju gak jadi rapat! Mana ditelpon gak diangkat! Dia mau menghindar dari tanggung jawab, atau apa?” begitu keluh venus pada oksi.
Pluto hampir pingsan mendengar uraian dari oksi, ia pergi setelah sebelumnya berucap salam dan terimakasih.
Minggu terakhir ini, selalu datang pesan tak bernama di hp pluto. Kadang berisi puisi, pantun, atau ucapan-ucapan selamat; selamat pagi, selamat malam, selamat siang menjelang sore; ada-ada saja! Kadang pula, “udah shalat belum?”
Pluto tak terganggu dengan angsuran pesan-pesan itu, hanya saja, menjadi penasaran siapa di balik itu semua.
Terik kini berganti mendung, langit berawan abu-abu tua; tanda akan mengguyur bumi dengan deraian air.
Angkot yang di dalamnya terduduk pluto, terus melaju dalam terpaan hujan. Dan berhenti tepat di depan kediaman pluto. Jadilah pluto berbasah-basahan masuk ke gerbang rumah, tapi, tepat di tengah jalan raya, melintas pelan kucing. Samar pluto melihatnya, tergerak ingin memungut binatang basah kuyup itu. Nyawa binatang lucu itu akan pluto perjuangkan.
Kometa, nama menarik untuk kucing betina yang kemarin sore pluto gamit.
Tentu saja pagi ini pluto pergi tak ingin telat.
Ramalan cuaca siang ini hujan petir terjadi lagi. Untung, seluruh acara selesai sebelum hujan.
“Lain kali, kalo kamu mau ngubah jadwal rapat, realistis donk!” venus melabrak pluto di tengah jalan menuju halte.
“Venus, aku nggak…” pluto terhenti bicara saat tidak sengaja melihat gerhana tersenyum sinis penuh kepuasan di halte.
“Tunggu bentar!” ucap pluto cepat-cepat, ingin menantang lagi gerhana.
“Ger, kamu kenapa sih? Apa ada yang korslet dengan otak kamu ya? Apa maksud kamu ngasih tau anak osis minggu batal rapat?!” sumbar pluto.
“Eit, asal nuduh!” ia berkelit.
“Kalo bukan kamu, siapa lagi?” pluto tetap ngotot.
“Setidaknya, dendamku sudah terbalas!” katanya sadis.
“Heh! Apa sih tujuan kamu sebenernya?” tanya pluto menguak kekesalan.
“Tak ada!” ujarnya santai.
Pluto malas mengejar alasan konkrit gerhana, mual pluto melihat muka orang itu.
Bertepatan datang angkot jurusan pluto.
Tak tanggung-tanggung, venus ditinggalnya begitu saja.
“Ditabrak?” kometa berlarian mengejar kucing tetangga sebelah, dan mati oleh mobil kodok tanpa berdosa. Ayah pluto ikut sedih menceritakan alur kejadiannya pada pluto.
Walau pluto terseu-sedu, ia cepat menepis tangis, refreshing berselancar di internet. Lagi-lagi, [Jengkol_Tempe] menyapanya.
[Jengkol_Tempe] Selamet ye…
[Jengkol_Tempe] Acaramu sukses!
[PlutoAurora] Eh, kamu…
[PlutoAurora] Apakabar?
[Jengkol_Tempe] Kabar, baik.
[Jengkol_Tempe] Basi banget nanya kabar
[PlutoAurora] Yee..
[Jengkol_Tempe] Oh, ya..
[Jengkol_Tempe] Udah bisa nebak aku belum?
[PlutoAurora] Maybe
[Jengkol_Tempe] Kamu kenapa sih, suka banget bilang maybe?
[PlutoAurora] Lah kamu sendiri, kenapa suka bilang boleh juga atau oh, ya..
[Jengkol_Tempe] Mengalihkan nih!
[Jengkol_Tempe] Boleh juga gaya lo!
[PlutoAurora] BTW, bisa ngomong lo..lo.. juga toh?
[Jengkol_Tempe] Hee
[PlutoAurora] Jupi…
[PlutoAurora] Sedih deh, tadi kucingku mati!
[Jengkol_Tempe] Masa’ kucing mati, kamu sedih??
[PlutoAurora] Emang salah?
[Jengkol_Tempe] Berarti kamu cengeng donk!
[PlutoAurora] BTW, bentar lagi ujian semester, udah ada persiapan apa?
[Jengkol_Tempe] BTW terus! Gak ada kata laen ya?
[PlutoAurora] Hm, jayuz juga..
[Jengkol_Tempe] Siapa? Apa?
[PlutoAurora] Salting nih..
[Jengkol_Tempe] Persiapannya ya belajar, makan teratur, banyak tidur, gitu-gitu aja.
[PlutoAurora] Gantian kamu deh yang mengalihkan pembicaraan..
[Jengkol_Tempe] Kamu, apa aja persiapannya?
[PlutoAurora] Selain belajar, aku sih coba hunting informasi dari internet. Tapi, tau gak sih..
[Jengkol_Tempe] Apa?
[PlutoAurora] Masih inget pertama kita chatting?
[PlutoAurora] Nah, hari itu data-dataku hilang karna mati lampu.
[Jengkol_Tempe] Malangnya nasibmu…
[Jengkol_Tempe] Sudahlah kucing mati, data hilang pula.
[PlutoAurora] He’eh!
[Jengkol_Tempe] Udah ya, aku ada janji sama bumi, mau jenguk gerhana.
[PlutoAurora] GERHANA??
[Jengkol_Tempe] Kenapa?
[PlutoAurora] Aku kenal dia. Orang paling menyebalkan di dunia!
[Jengkol_Tempe] Oh, ya..
[Jengkol_Tempe] Perasaan, dia bukan orang bermasalah deh..
[PlutoAurora] Gak bermasalah gimana? Dia sering ganggu aku! Bahkan, waktu rapat terakhir untuk class meeting waktu itu, dia yang batalin! Sengaja banget bikin aku sebbel!
[Jengkol_Tempe] Hey.. hey.. tunggu dulu.
[Jengkol_Tempe] Rapat yang hari minggu itu?
[PlutoAurora] Iya!
[Jengkol_Tempe] Oh, itu..
[PlutoAurora] Aku nunggu sampe 2 jam lebih tau!
[Jengkol_Tempe] Dia sengaja lagi..
[Jengkol_Tempe] Biar kamu bisa menghargai waktu dan gak membiarkan orang-orang selalu menghabiskan waktu cuma untuk nunggu kamu.
[
PlutoAurora] Apa?
[Jengkol_Tempe] Tapi kamu gak usah kesel, lagian, acara kita sukses kan? Dia juga kok yang bilang ke kita-kita supaya berangkat lebih awal untuk persiapan akhir, gitu!
[PlutoAurora] Hah?
[Jengkol_Tempe] Iya, jadi harusnya kamu berterimakasih sama dia..
[Jengkol_Tempe] Udah ah, aku cabut ya! Bye!
“Yang bener Bang? Terinfeksi virus?” file-file yang telah tersave di flahdisk pluto terancam hilang, musnah, lenyap.
Virus menyebar dan sudah kronis. Padahal, seluruh data belum dicopy di dokumen komputernya. Tiba-tiba, sms tak bernama datang lagi.
“Hargailah tiap detikmu. Karna, hari adalah perhitungan tiap detik. Dan, tiap detik tidak boleh kehilangan perhitungannya.”
Air mata kembali mewarnai suasana malam pluto.
Untuk sekian lamanya, sms itu tak bernama, namun dalam hitungan detik, hp pluto berbunyi lagi;
“Boleh aku jadi tmanmu, Nona cantik?”
Pluto hening, berusaha meyakinkan dirinya, tidak akan mengecewakan siapa pun yang mengejarnya.
Bergen, 29 Juni 2007
Posted by Kantong Sastra at 12:43 AM 0 comments
Labels: karya (cerpen)
Friday, December 21, 2007
Tips Menulis Cerpen
Bagaimana menulis cerpen? Bagaimana memulainya? Berbagai pertanyaan pun muncul dari mereka yang hendak memulai menulis cerpen. Berikut adalah sekelumit tentang penulisan cerpen.
Struktur
Para penulis pemula seringkali disarankan untuk menggunakan pengandaian berikut ini ketika mulai menyusun cerpen mereka:
1. Taruh seseorang di atas pohon.
2. Lempari dia dengan batu.
3. Buat dia turun.
Kelihatannya aneh, tapi coba Anda pikirkan baik-baik, karena saran ini bisa diterapkan oleh penulis mana saja. Nah, ikuti langkah- langkah perencanaan seperti yang disarankan di bawah kalau Anda ingin menulis cerpen-cerpen yang hebat.
Perencanaan Cerpen
Taruh seseorang di atas pohon: munculkan sebuah keadaan yang harus dihadapi tokoh utama cerita.
Lempari dia dengan batu: Dari keadaan sebelumnya, kembangkan suatu masalah yang harus diselesaikan si tokoh utama tadi. Contoh: Kesalahpahaman, kesalahan identitas, kesempatan yang hilang, dan sebagainya.
Buat dia turun: Tunjukkan bagaimana tokoh Anda akhirnya mengatasi masalah itu. Pada beberapa cerita, hal terakhir ini seringkali juga sekaligus digunakan sebagai tempat memunculkan pesan yang ingin disampaikan penulis. Contoh: Kekuatan cinta, kebaikan mengalahkan kejahatan, kejujuran adalah kebijakan terbaik, persatuan membawa kekuatan, dsb.
Ketika Anda selesai menulis, selalu (dan selalu) periksa kembali pekerjaan Anda dan perhatikan ejaan, tanda baca dan tata bahasa. Jangan menyia-nyiakan kerja keras Anda dengan menampilkan kesan tidak profesional pada pembaca Anda.
Praktekkan perencanaan sederhana ini pada tulisan Anda selanjutnya.
Tema
Setiap tulisan harus memiliki pesan atau arti yang tersirat di dalamnya. Sebuah tema adalah seperti sebuah tali yang menghubungkan awal dan akhir cerita dimana Anda menggantungkan alur, karakter, setting cerita dan lainnya. Ketika Anda menulis, yakinlah bahwa setiap kata berhubungan dengan tema ini.
Ketika menulis cerpen, bisa jadi kita akan terlalu menaruh perhatian pada satu bagian saja seperti menciptakan penokohan, penggambaran hal-hal yang ada, dialog atau apapun juga, untuk itu, kita harus ingat bahwa kata-kata yang berlebihan dapat mengaburkan inti cerita itu sendiri.
Cerita yang bagus adalah cerita yang mengikuti sebuah garis batas. Tentukan apa inti cerita Anda dan walaupun tema itu sangat menggoda untuk diperlebar, Anda tetap harus berfokus pada inti yang telah Anda buat jika tidak ingin tulisan Anda berakhir seperti pembukaan sebuah novel atau sebuah kumpulan ide-ide yang campur aduk tanpa satu kejelasan.
Tempo Waktu
Cerita dalam sebuah cerpen yang efektif biasanya menampilkan sebuah tempo waktu yang pendek. Hal ini bisa berupa satu kejadian dalam kehidupan karakter utama Anda atau berupa cerita tentang kejadian yang berlangsung dalam sehari atau bahkan satu jam. Dan dengan waktu yang singkat itu, usahakan agar kejadian yang Anda ceritakan dapat memunculkan tema Anda.
Setting
Karena Anda hanya memiliki jumlah kata-kata yang terbatas untuk menyampaikan pesan Anda, maka Anda harus dapat memilih setting cerita dengan hati-hati. Disini berarti bahwa setting atau tempat kejadian juga harus berperan untuk turut mendukung jalannya cerita. Hal itu tidak berarti Anda harus selalu memilih setting yang tipikal dan mudah ditebak. Sebagai contoh, beberapa setting yang paling menakutkan bagi sebuah cerita seram bukanlah kuburan atau rumah tua, tapi tempat-tempat biasa yang sering dijumpa pembaca dalam kehidupan sehari-hari mereka. Buatlah agar pembaca juga seolah-olah merasakan suasana cerita lewat setting yang telah dipilih tadi.
Penokohan
Untuk menjaga efektivitas cerita, sebuah cerpen cukup memiliki sekitar tiga tokoh utama saja, karena terlalu banyak tokoh malah bisa mengaburkan jalan cerita Anda. Jangan terlalu terbawa untuk memaparkan sedetail-detailnya latar belakang tiap tokoh tersebut. Tentukan tokoh mana yang paling penting dalam mendukung cerita dan fokuskan diri padanya. Jika Anda memang jatuh cinta pada tokoh-tokoh Anda, pakailah mereka sebagai dasar dalam novel Anda kelak.
Dialog
Jangan menganggap enteng kekuatan dialog dalam mendukung penokohan karakter Anda, sebaliknya dialog harus mampu turut bercerita dan mengembangkan cerita Anda. Jangan hanya menjadikan dialog hanya sebagai pelengkap untuk menghidupkan tokoh Anda. Tiap kata yang ditaruh dalam mulut tokoh-tokoh Anda juga harus berfungsi dalam memunculkan tema cerita. Jika ternyata dialog tersebut tidak mampu mendukung tema, ambil langkah tegas dengan menghapusnya.
Alur
Buat paragraf pembuka yang menarik yang cukup membuat pembaca penasaran untuk mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya. Pastikan bahwa alur Anda lengkap, artinya harus ada pembukaan, pertengahan cerita dan penutup. Akan tetapi, Anda juga tidak perlu terlalu berlama-lama dalam membangun cerita, sehingga klimaks atau penyelesaian cerita hanya muncul dalam satu kalimat, dan membuat pembaca merasa terganggu dan bingung dalam artian negatif, bukannya terpesona. Jangan pula membuat "twist ending" (penutup yang tak terduga) yang dapat terbaca terlalu dini, usahakan supaya pembaca tetap menebak-nebak sampai saat-saat terakhir. Jika Anda membuat cerita yang bergerak cepat, misalnya cerita tentang kriminalitas, jagalah supaya paragraf dan kalimat-kalimat Anda tetap singkat. Ini adalah trik untuk mengatur kecepatan dan memperkental nuansa yang ingin Anda sajikan pada pembaca.
Baca ulang
Pembaca dapat dengan mudah terpengaruh oleh format yang tidak rapi, penggunanaan tanda baca dan tata bahasa yang salah. Jangan biarkan semua itu mengganggu cerita Anda, selalu periksa dan periksa kembali.
Bahan diterjemahkan dan diringkas dari: http://www.write101.com/shortstory.htm
Posted by Kantong Sastra at 12:05 AM 4 comments
Labels: kiat/tips kepenulisan
Thursday, December 13, 2007
Satu Detik
Sajak Rahmat Sazaly Munthe
Menguras dinginnya malam
dengan selimut rindu ini
Kusanggap bertahan hingga pagi menjelang
Tapi jangan paksa aku
Menikmati hangatnya mentari
dengan dinginnya hatimu
Sungguh satu detik kutak mampu
Posted by Kantong Sastra at 5:22 PM 0 comments
Labels: karya (puisi)
Rindu 2
Sajak Rahmat Sazaly Munthe
Kerinduan ini
hanya aku yang merasakan
Aku berbohong
Semua penghuni bumi surga ini
Rindu
Merindukan
Sosok itu lagi
Sekarang!
Posted by Kantong Sastra at 5:22 PM 0 comments
Labels: karya (puisi)
Damai
Sajak Rahmat Sazaly Munthe
Pernahkag kau melihat
rintik di bawah sinar lampu jalan
di perempatan itu?
Desah mereka yang turun beramai-ramai
Cobalah perhatikan
Dengarkan
Jika kau temukan suatu rasa
kau boleh tanyakan kepadaku
apa arti rasa itu
Ya
Ku juga merasakannya
Posted by Kantong Sastra at 5:21 PM 0 comments
Labels: karya (puisi)
Terbata
Sajak Rahmat Sazaly Munthe
Hiruk-pikuk pagi tak bersahabat
Siang dengan teriknya
Malam durjana yang naif
Kumulai terbata di sini
Untuk terbiasa
Posted by Kantong Sastra at 5:20 PM 0 comments
Labels: karya (puisi)
Kacau
Sajak Rahmat Sazaly Munthe
Lihatlah
Semut tak lagi mengumpulkan gula
Kacau
Henduslah,
Bunga tak semerbak dulu
Kacau
Kini air pun selalu keluar dari lintasan
dan meluapp setinggi-tingginya
Kacau
Angin juga sering berkumpul
berhembus
sekuatnya
seenaknya
Kacau
Lumpur juga ikut-ikutan buat bencana
Entah keluar dari mana
Panas dan tak habis-habisnya
Kacau
Terlalu berdosakah negeri ini?
atau manusianya yang telah tak berbudi?
Kacau
Kacau
Kacau
Posted by Kantong Sastra at 5:19 PM 0 comments
Labels: karya (puisi)
Wednesday, December 12, 2007
Pelatihan Menulis, Adakah Manfaatnya?
Oleh Willy Ediyanto*
DUA edisi harian ini (Borneonews), tepatnya yang terbit 4 dan 5 Desember 2007, cukup menggelitik pikiran. Bagian yang menggelitik pikiran adalah laporan mengenai kegiatan pelatihan penulisan karya tulis ilmiah dan sebuah surat pembaca tentang hal yang sama.
Menggelitik pikiran, karena menulis karya tulis ilmiah bukan hanya harus dilakukan oleh guru yang ingin naik pangkat mulai dari golongan IV/a ke yang lebih tinggi. Menggelitik juga karena menyusun karya tulis ilmiah juga harus disusun oleh pegawai-pegawai yang menduduki jabatan fungsional lainnya selain guru.
Semua orang yang terpelajar tentu pernah mendapatkan materi pelajaran menulis karya tulis sederhana semenjak duduk di SLTP. Yang pernah kuliah di jurusan bahasa malahan mendapatkan sekitar 4 SKS mata kuliah menulis atau writing, atau yang sejenisnya. Sayangnya semua itu tidak membekas di dalam pikiran dan hati para terpelajar. Akibatnya seperti yang dikeluhkan dalam surat pembaca tanggal 5 Desember 2007 itu. Terbukti banyak guru lulusan LPTK jurusan Bahasa yang tidak mampu menulis.
Mahasiswa jurusan bahasa, yang menggeluti kuliah kebahasaan dan kepenulisan pun ternyata tidak banyak yang selama kuliah atau setelah selesai kuliah mampu menulis. Tentunya mereka tidak harus menjadi penulis. Hanya saja menjadi penulis adalah batu asah kemampuan menulis yang paling tepat.
Umumnya kesalahan pembelajaran menulis di sekolah-sekolah dan peguruan tinggi adalah mengajarkan teori-teori menulis, bentuk-bentuk tulisan, dan sebagainya yang tidak mengarah kepada pelatihan keterampilan menulis bagi anak sekolah dan mahasiswa. Untunglah pada kuikulum 2004 dan kurikulum 2006, pelajaran Bahasa Indonesia sudah lebih menekankan kepada pembinaan kemampuan menulis praktis. Harapannya tentu saja kegiatan pembelajaran menulis ini lebih terbina oleh guru-guru yang kompeten dengan pengajaran menulis yang inspiratif.
Mungkin contoh berlatih berenang cukup menarik untuk diandingkan dengan berlatih menulis. Sangat kecil kemungkinan seseorang akan menjadi mahir berenang jika yang melatih adalah orang yang tidak pernah berenang. Apalagi berlatih berenang dengan teori tanpa praktik. Begitu juga dalam berlatih menulis. Tidak mungkin orang bisa menulis jika berlatih kepada orang yang tidak pernah menulis. Dan tidak mungkin orang akan mampu menulis jika tidak terjun langsung menulis.
Ada sebuah buku yang sangat provokatif bagi orang-orang yang ingin belajar menulis. Buku berjudul “Menulis itu Mudah” karya Ersis Warmansyah Abbas, dosen Universitas Lambung Mangkurat ini sangat provokatif. Umumnya oang yang pernah membaca buku ini akan terinspirasi untuk mulai menulis. Buku ini bahkan bisa diunduh dari situsnya www.webersis.com.
Seperti juga yang tertulis dalam buku tersebut, menulis itu mudah. Hanya saja ada satu persyaratan yang sering menjadi penghambat bagi orang yang ingin mulai menulis. Hambatannya adalah jawaban atas pertanyaan, apa yang akan saya tulis? Akan tetapi ini sudah disadari oleh penulisnya. Disarankan agar calon penulis banyak “membaca”. Tidak mungkin orang akan mampu menulis jika dia tidak “membaca”. Seperti halnya tidak mungkin sebuah teko akan dapat mengeluarkan air kalau tidak diisi dengan air terlebih dahulu. Sengaja kata membaca diberi tanda petik, karena membaca tidak berarti harus membaca buku.
Penulis sangat menyangsikan efektivitas pelatihan menulis seperti halnya penulis menyangsikan 4 SKS mata kuliah Menulis di perguruan tinggi dan 4 jam pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah-sekolah kalau yang diajarkan hanya teori-teori menulis. Pemberian contoh tulisan, bahan bacaan, dan praktik langsung akan lebih bermanfaat seperi berlatih berenang langsung di sungai atau kolam renang.
Perpustakaan pribadi perlu ditengok lagi, apakah cukup layak untuk bekal menulis? Perpustakaan daerah Kotawaringin Barat yang lebih sering sepi dari pengunjung, bahkan pernah dilaporkan di harian ini bahwa koleksinya kurang, menurut penulis, itu merupakan gudang bacaan yang cukup layak dikunjungi. Kebiasaan kita yang teramat buruk adalah menganggap buku lama tidak berguna dan bangga dengan koleksi buku yang banyak walaupun tidak dibaca-baca lagi, merupakan hambatan untuk mulai menulis.
Budaya lisan yang begitu mengakar dalam budaya nusantara, belum lagi luntur sampai saat ini. Orang lebih suka bergerombol berbincang-bincang daripada menuliskan isi pikiran dalam buku harian. Sekarang orang-orang di seluruh dunia bahkan sudah mengganti buku harian konvensional dengan blog di internet. Dapat saling membaca dan saling berkomentar di dalam blog-blog itu. Dapat pula dimanfaatkan untuk berlatih menulis. Tidak seperti di media massa yang hasih harus melalui saringan redaktur, menulis di blog tidak ada yang menyensor. Bahkan banyak juga blog yang isinya tidak jelas, acak-acakan, dan asal tulis. Lumayan untuk tempat berlatih.
Menulis di blog itu mudah. Sama mudahnya dengan menulis di buku harian. Tidak seperti membangun website yang aturannya rumit.
Mengikuti pelatihan menulis bagus saja. Bahkan menurut penulis sangat perlu. Dan yang perlu juga ditanyakan sebelum mengikuti kegiatan pelatihan seperti itu, apalagi jika tidak gratis adalah siapa pelatihnya, dan apakah dia juga seorang penulis yang aktif menulis?
Menulis dengan berjuta peraturan justru akan menjadi penghambat kemampuan menulis. Seperti halnya anak-anak TK dan SD kelas awal, pada awalnya mereka mampu menulis dan berpikir secara runtut. Hanya saja seringkali di kelas-kelas yang lebih tinggi justru mereka tidak sanggup mengikuti aturan penulisan yang dijejalkan ke dalam otak mereka oleh guru-gurunya. Mereka hanya mengetahui aturan-aturan dan jenis-jenis tulisan,karena hanya itu yang disampaikan kepada anak-anak.
Suatu saat penulis pernah mencoba mengajak, memprovokasi beberapa guru untuk menulis di koran. Beragam jawaban menggelikan terlontar dari mulut para guru ini. Ada yang mengatakan tidak sampai memikirkan menulis, yang ada dalam pikiran hanya menyangkul di kebun. Ada juga yang balik bertanya, apa yang mau dituliskan. Banyak pula yang mengatakan tidak berbakat menulis.
Perlukah bakat untuk menulis? Tentu saja perlu. Akan tetapi seperti halnya orang bersepeda, dia tidak perlu berbakat dulu untuk bisa bersepeda, yang penting adalah berlatih berulang-ulang. Menulis seperti halnya bersepeda adalah sebuah keterampilan. Kalau orang bersepeda ada yang mahir sampai berlepas tangan akan tetapi ada juga yang mampu bersepeda tapi kaku dan menghawatirkan, kiranya menulis juga demikian.
Masalahnya sekarang adalah, kapan akan memulainya kalau bukan sekarang? Diperlukan keberanian untuk gagal, seperti halnya diperlukan keberanian untuk tejatuh ketika bersepeda. Bahkan yang sudah mahir pun masih mungkin untuk jatuh dari sepeda. Apalagi yang baru mulai menulis. Bukankah begitu?
* Willy Ediyanto, praktisi pendidikan, tinggal di Kumai
Dari Borneonews, Senin, 10 Desember 2007
Posted by Kantong Sastra at 6:15 PM 0 comments
Labels: kiat/tips kepenulisan
Friday, December 7, 2007
???
Sajak Tira Puspitasari
hanya pekat membingkai gelap
Menikmati nyanyian parau burung malam
dingin itu menjadi beku
Perenunganku menyentuh titik terdalam
Ketika ribuan watt tak mampu berikan biasnya, malam membuat manusia menghargai terang
Ketika serasa jengah, penjara membuatku merindukan kebebasan
Tiada bias terang kulihat di belakangku
Tapi tetap kuharap lamat cahaya di depan mampu menuntunku
Rasa tak ingin kutegakkan kepala dari sujudku
Airmata mengisi bejana di sepertiga malam terakhirku
Basah sajadah, Mataku sembab
Dini hari ku hampir berlalu, dan aku masih belum mengantuk
(Sedih itu pasti
Luka itu lalu
Sakit itu abadi
Tapi aku akan sembuh
Karna aku seorang petangguh)
Posted by Kantong Sastra at 4:48 PM 0 comments
Labels: karya (puisi)
Tuhan, Aku Bimbang
Sajak Tira Puspitasari
Tuhan,
Aku di persimpangan
ini ujian atau pilihan?
Tuhan,
Mana petunjuk yang Kau berikan
Aku ingin temukan
Dalam pasti dan kemantapan
Tuhanku, rengkuh aku
aku bimbang, aku limbung
aku tak mampu sendiri
Memikul sakit begitu nyeri
Tuhan,
Engkau saja yang pilihkan
Aku tak mau punya pilihan
Karna aku tak ingin memilih
Karna aku takkan mampu memilih
Tuhan,
Tutuplah persimpangan ini
Agar hanya ada satu jalan
arah yang harus kupilih
Posted by Kantong Sastra at 4:47 PM 0 comments
Labels: karya (puisi)
Luka itu
Sajak Tira Puspitasari
Luka itu, menganga bagai kawah
Perihnya buatku liar
Sarafku tercerabut, nafasku tersumbat, jasadku terhunjam ke bumi
Luka itu, bentangkan tabir, rentangkan jarak
Bebaskanmu, bebaskanku
Buatku abadi
Tak tersentuh lagi
Maafkanku
Luka itu, jauhkanmu jauhkanku
Tinggalkanmu
Buatmu piatu
Posted by Kantong Sastra at 4:45 PM 0 comments
Labels: karya (puisi)
Lelah
Sajak Tira Puspitasari
rintihku menjadi daur
atas nama mimpi yang kalahkan ego
kutelan tiap tetes tangis mengkristal
indah tapi pedih
auramu mengikatku, aku lemah, aku lengah
nyanyian dari lidah tajam bibir sumbingmu taklukanku
redam rontaku di tiap permainan cantikmu
kutelan tiap tetes tangis mengkristal
indah tapi pedih
kuhambur maaf untuk tiap hati yang kausinggahi
ulur harapku untuk menyentuh mimpi itu
tapi menggapaimu ternyata bagai imaji
dan betapa lincah kau berlari kejar utopi
perjalanan panjang itu buatku sangat lelah
dan kusudahi di titik nadir energiku menjagamu
Posted by Kantong Sastra at 4:17 PM 0 comments
Labels: karya (puisi)
Rapuh
Sajak Tira Puspitasari
Tersungkur, gelap, kaku
Ku terawang singgasanaMu
Jauh nian jarakMu
Tak mampu ku melangkah menujuMu
Rapuh jiwaku
Raga terhempas, terdampar sesat
Tulangku mengapur, kaku berkarat
Darahku terhenti sesaat
Rapuh jasadku...
Tersayatku, rindui teduhMu
Terpurukku, harap ulurMu
Namun rapat terpampat pintuMu
ampunMu terlarang untukku
Rabbku... aku rapuh
Tiada waktukah untukku
Di batas inikah pengembaraanku
Pengembaraan penuh kebejatan
Kini ku bersujud mohon kebijakan
Posted by Kantong Sastra at 4:08 PM 0 comments
Labels: karya (puisi)
Tuesday, December 4, 2007
Pelajar dan Penulisan Sastra
Oleh Tri Lestari Sustiyana*
AKHIR-AKHIR ini, banyak kalangan berpendapat sastra di Lampung sedang tumbuh pesat. Pertumbuhannya ditandai munculnya penulis-penulis remaja, terlebih beberapa media, baik penerbit buku yang menerbitkan karya sastra remaja maupun media cetak menyediakan ruang secara khusus untuk sosialisasi atas karya-karya sastra remaja. Tapi jika ditilik lebih jauh, remaja dalam hal ini adalah kalangan pelajar, masih belum memperlihatkan prestasi dalam bersastra yang dapat ditandai sebagai sesuatu yang menggembirakan.
Belum Menjadi Tradisi
Penulisan sastra di kalangan pelajar belum menjadi tradisi. Jangan berharap lebih akan kreativitas bersastra dari pelajar. Kenyataan yang akan kita temui adalah jauh panggang dari api. Hal ini mengingat kurikulum di sekolah masih menempatkan sastra sebatas pengenalan, belum meramu substansi pembelajaran ataupun proses kreatif sastra! Padahal sastra, sebagai salah satu entitas kebudayaan, akan makin bermakna jika didukung media pendidikan dan sosialisasi yang memadai. Hal terpenting adalah dunia sekolah, selain media dalam bentuk apa pun untuk sosialisasinya.
Namun, seperti yang dilansir dalam sebuah media bahwa, besarnya pertumbuhan minat siswa terhadap dunia sastra di Lampung dinilai masih terhambat minimnya dukungan penyelenggara sekolah. Di sisi lain, masih terdapat banyaknya guru yang tidak mampu mentransfer ilmu kesusastraan kepada para siswa (Lampung Post, 23 September 2006).
Menengarai persoalan di atas, ada dua kutub yang berseberangan dan menjadi persoalan mengapa penulisan sastra belum menjadi tradisi bagi pelajar. Pertama, sistem pendidikan kita yang rentan dan cenderung berubah-ubah, seperti yang berlangsung selama ini, jika terdapat pergantian kepemimpinan, entah itu menteri pendidikan atau pejabat setingkatnya, maka akan berganti kebijakan dalam periodenya. Hal ini pula yang kemudian menempatkan sastra sebatas pelajaran pelengkap. Sebagai bagian dari mata pelajaran bahasa Indonesia, sastra memang disepelekan, antara lain karena perhatian guru lebih tercurah pada pengajaran bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Kedua, tidak terdapatnya daya dukung dari tenaga pendidik/guru yang mumpuni baik dalam penguasaan materi sastra, kesusastraan maupun metode pembelajarannya. Tampaknya untuk adanya tenaga pendidik tidak harus menunggu fakultas keguruan ilmu pendidikan (FKIP) di perguruan tinggi menjadi lumbung penyair atau sastrawan dulu, akan tetapi untuk menyiasatinya dalam proses pembelajaran di sekolah-sekolah dapat bekerja sama dengan sastrawan-sastrawan andal pada tingkat lokal maupun nasional.
Kekeliruan dan Upaya Pendekatan
Kerja sama antarlini dalam pembelajaran sastra di sekolah menjadi selaras dengan pernyataan Thomas Aquinas, "pulchrum dicitur id apprensio" (keindahan bila ditangkap menyenangkan). Ini artinya keindahan akan menjadi sebuah kemustahilan tanpa media pendidikan yang mengakar. Bagaimana mungkin "keindahan" akan (memiliki dan) mengakar tanpa pendidikan yang utuh.
Bagaimana mungkin sajak Chairil Anwar akan dapat ditelaah dan diapresiasi secara baik jika tidak dimulai dari penjabaran di kelas-kelas, sehingga tidak hanya sebatas pembelajaran sastra pada hapalan judul-judul sajak atau hapalan nama-nama sastrawan di tanah air. Bagaimana mungkin kita akan mengetahui Sutardji Calzoum Bachri dengan mantra-mantranya, Danarto dengan keindahan cerpen surealisnya yang fantastis dan teatrikal, Seno Gumira Ajidarma yang "liar" romantik, dan lain-lain.
"Kekeliruan" dalam pendekatan dan strategi pengajaranlah penyebab persoalan di atas. Dan hal ini telah berlangsung sejak awal, ketika di taman kanak-kanak, sastra masih dianggap sederajat dengan bentuk kesenian lain seperti menggambar atau menyanyi. Sastra masih diperlakukan sebagai alat mengekspresikan diri dan disampaikan dalam bentuk bercerita, berpidato atau melisankan puisi.
Sastra dalam bentuknya yang dasar dianggap "permainan", suatu anggapan yang berdasarkan pendekatan yang benar. Namun keadaan yang sudah benar ini berubah sama sekali ketika anak menjadi murid di sekolah menengah. Di sini sastra tidak lagi diperlakukan sebagai bagian dari "permainan", tetapi diajarkan dengan pendekatan lain, yakni benar-benar diperlakukan sebagai ilmu.
Sementara literatur dan buku-buku sastra untuk sekolah menengah penuh istilah, konsep, daftar karya sastra, riwayat hidup sastrawan, dan lain-lain. Tetapi hampir tidak ada karya sastra itu sendiri. Semua itu adalah serangkaian nama dan istilah yang harus dihafal sebagai syarat agar bisa lulus ujian, yang tak jarang parameter ini sebagai satu-satunya tujuan pengajaran sastra.
Beberapa kemungkinan mengapa hal-hal di atas terus terjadi karena guru yang berpandangan hanya sastrawan yang bisa membimbing murid mengarang cerita atau mencipta puisi. Akibatnya, kegiatan mengarang tidak ditawarkan kepada anak, padahal mungkin anak menyukainya bila diperlakukan dengan pendekatan "permainan", seperti halnya menggambar atau menyanyi yang ternyata tetap ditawarkan guru sekalipun mereka bukan pelukis atau penyanyi.
* Tri Lestari Sustiyana, pengajar sebuah SMP di Lampung
Dari Lampung Post, Sabtu, 7 Oktober 2006
Posted by Kantong Sastra at 7:47 PM 0 comments
Labels: wacana
Sastra Mendorong Perkembangan Bahasa Siswa di Sekolah
Oleh Suwarjo*
KEHADIRAN anak di sekolah secara kultural maupun linguistik (bahasa) memberikan fenomena berbeda dalam berbagi proses dan aktivitasnya di kelas. Ketidakmampuan pendidik mengakui dan menghargai keanekaragaman dan perbedaan secara historis maupun kultural dapat memberikan kontribusi bagi performansi yang buruk pada siswa di sekolah. Benner (1992) menemukan kelas anak-anak masa awal bisa diusahakan semaksimal mungkin demi kesinambungan perkembangan keterampilan komunikasi, kognisi, dan sosial. Lingkungan dan lingkaran pembelajaran hendaknya menyediakan bermacam-macam materi konkret untuk kepentingan manipulasi, konstruksi, dan keterlibatan aktif. Di samping itu, kelas hendaknya menyediakan bahasa dalam konteks alami dan kelas yang kaya bahasa. Jika relevan, bahasa akan mudah dipelajari dan menjadi bagian suatu peristiwa nyata, sehingga pembelajar memiliki kemampuan memanfaatkannya.
Peristiwa-peristiwa nyata dapat diberikan dalam berbagai bentuk (dramatisasi, diskusi, dialog pajanan tugas atau bentuk proyek lainnya). Suatu lingkaran yang kondusif bagi pembelajaran hendaknya menyertakan aktivitas-aktivitas arahan guru agar memperoleh perkembangan Kemampuan Bahasa Kognitif/Akademik (KBK/A) siswa yang terukur, yaitu kemampuan mereka memanfaatkan bahasa untuk berpikir dan bernalar--bukan hanya untuk komunikasi antarpersonal.
Untuk membuat KBK/A lebih mudah diakses anak-anak dengan latar belakang pengalaman yang berbeda-beda adalah melalui pendayagunaan sastra anak sebagai medianya.
Manfaat Sastra bagi Anak
Pemilihan sastra (cerita) bermutu dalam pembelajaran sangat bermanfaat bagi anak dalam melihatkan dirinya terhadap pajanan dunia (world expose) yang global. Pada sisi lain, siswa dapat mereplikasikan pengalaman hidup orang lain yang sebenarnya dan seolah mengalami sendiri di dalam kelas. Sastra pada hakikatnya adalah alat mengajarkan kehidupan. Buku sastra (cerita) berfungsi sebagai cermin dan jendela pada masyarakat global. Faltis mengikhtisarkan kelebihan buku cerita bagi para siswa; (1) buku cerita menjadi sumber yang baik untuk pengembangan bahasa, kosakata, dan konsep. Sebab, kata-kata cenderung disajikan dalam konteks-konteks yang didukung gambar atau bermacam-macam jenis petunjuk ekstra linguistik; (2) buku cerita memberikan suatu konteks bagi interaksi verbal, terutama rangkaian penting permintaan-respon-evaluasi; dan (3) buku cerita mengajarkan anak-anak sikap dan perilaku yang berlaku dalam masyarakat.
Dalam praktik pendidikan di sekolah, sastra bermutu penting artinya dalam program kemahiran berbahasa yang efektif. Memanfaatkan cerita-cerita yang ditulis dengan baik akan menangkap imajinasi, sekaligus menjadi suatu model bagaimana sebuah alur berkembang dan mengalir. Cerita akan memperkaya kosakata dengan kata-kata yang hidup, warna-warni, dan dipilih dengan cermat. Mendengarkan, bercerita, menulis, dan menggambar cerita membantu perkembangan bahasa (development language) para pembelajar bahasa.
Dalam penceritaan kembali (retelling) cerita yang sudah mereka dengar dan dibacakan, pengetahuan bawah sadar mereka mengarahkan produksi bahasa mereka. Kemampuan berbahasa mereka akan terasah, kosakata bertambah, dan meningkatkan pemahaman konsep-konsep yang disajikan. Untuk menyuport beberapa proses perkembangan bahasa, siswa diharapkan mampu mengomunikasikan cerita tersebut dengan orangtua mereka, orang lain, atau teman sebaya melalui bahasanya sendiri. Dalam konteks ini, perkembangan bahasa anak otomatis tertandai. Dengan bercerita dan atau menulis, siswa mengaktualkan tataran komunikasi dan kognisi individu yang dia miliki. Efek positif lain yang diperoleh melalui sastra, antara lain terdorongnya motivasi, berkembangnya kognisi, berkembangnya interpersonal (personality), dan berkembanganya aspek sosial. Oleh sebab itu, peran guru dalam aktivitasnya perlu memadukan bahasa dan isi dengan prinsip-prinsip maupun prosedur-prosedur yang melatarbelakanginya sesuai dengan konteks yang ada.
Implementasi di Kelas Sebuah Tawaran
Pemahaman di atas menyadarkan kita (pendidik, pustakawan, khususnya guru) untuk sekuat tenaga mengaktualkan sastra sebagai materi pelajaran yang wajib diberikan di kelas. Model implementasi yang perlu dibuat guru adalah pembuatan (perancangan) jadwal dalam kegiatan berapresiasi sastra dalam setiap minggunya, misalnya; mengumpulkan jurnal sastra yang dibuat tiap minggu maupun diberikan informasi berkenaan dengan penulis, karya sastra, atau keduanya. Berdasarkan taksonomi Bloom (Bloom, 1956), suatu kerangka pengajuan pertanyaan digunakan untuk mengembangkan unit membaca lima hari dan menulis. Taksonomi Bloom mengklasifikan perilaku menjadi enam kategori, dari yang sederhana (mengetahui) sampai yang lebih kompleks (mengevaluasi). Pertanyaan-pertanyaan dibuat untuk menghubungkan setiap tingkat pembelajaran. Kerangka pengajuan pertanyaan untuk kumpulan sastra menunjukkan korelasi dan maksud pertanyaan tiap harinya dalam seminggu.
Untuk memotivasi dan membangkitkan minat siswa pada fokus tersebut untuk kumpulan sastra, digunakan bersama-sama dengan pertanyaan pembuka di mana siswa harus merumuskan suatu jawaban. Misalnya pada Senin dan Selasa, seluruh teks dibaca. Komentar dan tampilan realita maupun materi-materi lain mungkin disertakan bersama teks ketika sedang dibaca. Pada Rabu dan Kamis, salah satu bagian dibaca di mana siswa menciptakan suatu awal atau akhir yang baru, menulis ulang dari perspektif lain, atau memproduksinya dalam bentuk puisi. Pada Jumat, siswa diberi keleluasaan ekspresi seluas-luasnya sejak awal karena perlu kiranya mendorong ekspresi diri daripada menekankan pada sifat benar dan layaknya tanggapan. Aktivitas tersebut dapat dilakukan secara individual, berpasangan ataupun berkelompok. Kita perlu menyadari kegiatan bersastra dapat meningkatkan hubungan sosial atau mengembangkan individu selama beraktivitas sosial.
Melalui latihan-latihan yang terjadwal seperti yang tertuang dalam gagasan di atas, penulis berharap kesadaran bersastra, khususnya dalam pengembangan bahasa tercapai. Saran untuk guru, jangan ada kata bosan menyadarkan siswa dan menyadarkan dirinya sendiri untuk bersastra dan bersastra dalam berbagai cara. Para ahli sastra mengungkapkan, "Melalui sastra martabat suatu bangsa dapat terangkat dan dengan membaca sastra tercipta pula keluhuran budi dan kehalusan rohani."
* Suwarjo, pengamat sastra
Posted by Kantong Sastra at 7:28 PM 0 comments
Labels: wacana