Wednesday, December 12, 2007

Pelatihan Menulis, Adakah Manfaatnya?

Oleh Willy Ediyanto*

DUA edisi harian ini (Borneonews), tepatnya yang terbit 4 dan 5 Desember 2007, cukup menggelitik pikiran. Bagian yang menggelitik pikiran adalah laporan mengenai kegiatan pelatihan penulisan karya tulis ilmiah dan sebuah surat pembaca tentang hal yang sama.

Menggelitik pikiran, karena menulis karya tulis ilmiah bukan hanya harus dilakukan oleh guru yang ingin naik pangkat mulai dari golongan IV/a ke yang lebih tinggi. Menggelitik juga karena menyusun karya tulis ilmiah juga harus disusun oleh pegawai-pegawai yang menduduki jabatan fungsional lainnya selain guru.

Semua orang yang terpelajar tentu pernah mendapatkan materi pelajaran menulis karya tulis sederhana semenjak duduk di SLTP. Yang pernah kuliah di jurusan bahasa malahan mendapatkan sekitar 4 SKS mata kuliah menulis atau writing, atau yang sejenisnya. Sayangnya semua itu tidak membekas di dalam pikiran dan hati para terpelajar. Akibatnya seperti yang dikeluhkan dalam surat pembaca tanggal 5 Desember 2007 itu. Terbukti banyak guru lulusan LPTK jurusan Bahasa yang tidak mampu menulis.

Mahasiswa jurusan bahasa, yang menggeluti kuliah kebahasaan dan kepenulisan pun ternyata tidak banyak yang selama kuliah atau setelah selesai kuliah mampu menulis. Tentunya mereka tidak harus menjadi penulis. Hanya saja menjadi penulis adalah batu asah kemampuan menulis yang paling tepat.

Umumnya kesalahan pembelajaran menulis di sekolah-sekolah dan peguruan tinggi adalah mengajarkan teori-teori menulis, bentuk-bentuk tulisan, dan sebagainya yang tidak mengarah kepada pelatihan keterampilan menulis bagi anak sekolah dan mahasiswa. Untunglah pada kuikulum 2004 dan kurikulum 2006, pelajaran Bahasa Indonesia sudah lebih menekankan kepada pembinaan kemampuan menulis praktis. Harapannya tentu saja kegiatan pembelajaran menulis ini lebih terbina oleh guru-guru yang kompeten dengan pengajaran menulis yang inspiratif.

Mungkin contoh berlatih berenang cukup menarik untuk diandingkan dengan berlatih menulis. Sangat kecil kemungkinan seseorang akan menjadi mahir berenang jika yang melatih adalah orang yang tidak pernah berenang. Apalagi berlatih berenang dengan teori tanpa praktik. Begitu juga dalam berlatih menulis. Tidak mungkin orang bisa menulis jika berlatih kepada orang yang tidak pernah menulis. Dan tidak mungkin orang akan mampu menulis jika tidak terjun langsung menulis.

Ada sebuah buku yang sangat provokatif bagi orang-orang yang ingin belajar menulis. Buku berjudul “Menulis itu Mudah” karya Ersis Warmansyah Abbas, dosen Universitas Lambung Mangkurat ini sangat provokatif. Umumnya oang yang pernah membaca buku ini akan terinspirasi untuk mulai menulis. Buku ini bahkan bisa diunduh dari situsnya www.webersis.com.

Seperti juga yang tertulis dalam buku tersebut, menulis itu mudah. Hanya saja ada satu persyaratan yang sering menjadi penghambat bagi orang yang ingin mulai menulis. Hambatannya adalah jawaban atas pertanyaan, apa yang akan saya tulis? Akan tetapi ini sudah disadari oleh penulisnya. Disarankan agar calon penulis banyak “membaca”. Tidak mungkin orang akan mampu menulis jika dia tidak “membaca”. Seperti halnya tidak mungkin sebuah teko akan dapat mengeluarkan air kalau tidak diisi dengan air terlebih dahulu. Sengaja kata membaca diberi tanda petik, karena membaca tidak berarti harus membaca buku.

Penulis sangat menyangsikan efektivitas pelatihan menulis seperti halnya penulis menyangsikan 4 SKS mata kuliah Menulis di perguruan tinggi dan 4 jam pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah-sekolah kalau yang diajarkan hanya teori-teori menulis. Pemberian contoh tulisan, bahan bacaan, dan praktik langsung akan lebih bermanfaat seperi berlatih berenang langsung di sungai atau kolam renang.

Perpustakaan pribadi perlu ditengok lagi, apakah cukup layak untuk bekal menulis? Perpustakaan daerah Kotawaringin Barat yang lebih sering sepi dari pengunjung, bahkan pernah dilaporkan di harian ini bahwa koleksinya kurang, menurut penulis, itu merupakan gudang bacaan yang cukup layak dikunjungi. Kebiasaan kita yang teramat buruk adalah menganggap buku lama tidak berguna dan bangga dengan koleksi buku yang banyak walaupun tidak dibaca-baca lagi, merupakan hambatan untuk mulai menulis.

Budaya lisan yang begitu mengakar dalam budaya nusantara, belum lagi luntur sampai saat ini. Orang lebih suka bergerombol berbincang-bincang daripada menuliskan isi pikiran dalam buku harian. Sekarang orang-orang di seluruh dunia bahkan sudah mengganti buku harian konvensional dengan blog di internet. Dapat saling membaca dan saling berkomentar di dalam blog-blog itu. Dapat pula dimanfaatkan untuk berlatih menulis. Tidak seperti di media massa yang hasih harus melalui saringan redaktur, menulis di blog tidak ada yang menyensor. Bahkan banyak juga blog yang isinya tidak jelas, acak-acakan, dan asal tulis. Lumayan untuk tempat berlatih.

Menulis di blog itu mudah. Sama mudahnya dengan menulis di buku harian. Tidak seperti membangun website yang aturannya rumit.

Mengikuti pelatihan menulis bagus saja. Bahkan menurut penulis sangat perlu. Dan yang perlu juga ditanyakan sebelum mengikuti kegiatan pelatihan seperti itu, apalagi jika tidak gratis adalah siapa pelatihnya, dan apakah dia juga seorang penulis yang aktif menulis?

Menulis dengan berjuta peraturan justru akan menjadi penghambat kemampuan menulis. Seperti halnya anak-anak TK dan SD kelas awal, pada awalnya mereka mampu menulis dan berpikir secara runtut. Hanya saja seringkali di kelas-kelas yang lebih tinggi justru mereka tidak sanggup mengikuti aturan penulisan yang dijejalkan ke dalam otak mereka oleh guru-gurunya. Mereka hanya mengetahui aturan-aturan dan jenis-jenis tulisan,karena hanya itu yang disampaikan kepada anak-anak.

Suatu saat penulis pernah mencoba mengajak, memprovokasi beberapa guru untuk menulis di koran. Beragam jawaban menggelikan terlontar dari mulut para guru ini. Ada yang mengatakan tidak sampai memikirkan menulis, yang ada dalam pikiran hanya menyangkul di kebun. Ada juga yang balik bertanya, apa yang mau dituliskan. Banyak pula yang mengatakan tidak berbakat menulis.

Perlukah bakat untuk menulis? Tentu saja perlu. Akan tetapi seperti halnya orang bersepeda, dia tidak perlu berbakat dulu untuk bisa bersepeda, yang penting adalah berlatih berulang-ulang. Menulis seperti halnya bersepeda adalah sebuah keterampilan. Kalau orang bersepeda ada yang mahir sampai berlepas tangan akan tetapi ada juga yang mampu bersepeda tapi kaku dan menghawatirkan, kiranya menulis juga demikian.

Masalahnya sekarang adalah, kapan akan memulainya kalau bukan sekarang? Diperlukan keberanian untuk gagal, seperti halnya diperlukan keberanian untuk tejatuh ketika bersepeda. Bahkan yang sudah mahir pun masih mungkin untuk jatuh dari sepeda. Apalagi yang baru mulai menulis. Bukankah begitu?

* Willy Ediyanto, praktisi pendidikan, tinggal di Kumai

Dari Borneonews, Senin, 10 Desember 2007

No comments: