Oleh Tri Lestari Sustiyana*
AKHIR-AKHIR ini, banyak kalangan berpendapat sastra di Lampung sedang tumbuh pesat. Pertumbuhannya ditandai munculnya penulis-penulis remaja, terlebih beberapa media, baik penerbit buku yang menerbitkan karya sastra remaja maupun media cetak menyediakan ruang secara khusus untuk sosialisasi atas karya-karya sastra remaja. Tapi jika ditilik lebih jauh, remaja dalam hal ini adalah kalangan pelajar, masih belum memperlihatkan prestasi dalam bersastra yang dapat ditandai sebagai sesuatu yang menggembirakan.
Belum Menjadi Tradisi
Penulisan sastra di kalangan pelajar belum menjadi tradisi. Jangan berharap lebih akan kreativitas bersastra dari pelajar. Kenyataan yang akan kita temui adalah jauh panggang dari api. Hal ini mengingat kurikulum di sekolah masih menempatkan sastra sebatas pengenalan, belum meramu substansi pembelajaran ataupun proses kreatif sastra! Padahal sastra, sebagai salah satu entitas kebudayaan, akan makin bermakna jika didukung media pendidikan dan sosialisasi yang memadai. Hal terpenting adalah dunia sekolah, selain media dalam bentuk apa pun untuk sosialisasinya.
Namun, seperti yang dilansir dalam sebuah media bahwa, besarnya pertumbuhan minat siswa terhadap dunia sastra di Lampung dinilai masih terhambat minimnya dukungan penyelenggara sekolah. Di sisi lain, masih terdapat banyaknya guru yang tidak mampu mentransfer ilmu kesusastraan kepada para siswa (Lampung Post, 23 September 2006).
Menengarai persoalan di atas, ada dua kutub yang berseberangan dan menjadi persoalan mengapa penulisan sastra belum menjadi tradisi bagi pelajar. Pertama, sistem pendidikan kita yang rentan dan cenderung berubah-ubah, seperti yang berlangsung selama ini, jika terdapat pergantian kepemimpinan, entah itu menteri pendidikan atau pejabat setingkatnya, maka akan berganti kebijakan dalam periodenya. Hal ini pula yang kemudian menempatkan sastra sebatas pelajaran pelengkap. Sebagai bagian dari mata pelajaran bahasa Indonesia, sastra memang disepelekan, antara lain karena perhatian guru lebih tercurah pada pengajaran bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Kedua, tidak terdapatnya daya dukung dari tenaga pendidik/guru yang mumpuni baik dalam penguasaan materi sastra, kesusastraan maupun metode pembelajarannya. Tampaknya untuk adanya tenaga pendidik tidak harus menunggu fakultas keguruan ilmu pendidikan (FKIP) di perguruan tinggi menjadi lumbung penyair atau sastrawan dulu, akan tetapi untuk menyiasatinya dalam proses pembelajaran di sekolah-sekolah dapat bekerja sama dengan sastrawan-sastrawan andal pada tingkat lokal maupun nasional.
Kekeliruan dan Upaya Pendekatan
Kerja sama antarlini dalam pembelajaran sastra di sekolah menjadi selaras dengan pernyataan Thomas Aquinas, "pulchrum dicitur id apprensio" (keindahan bila ditangkap menyenangkan). Ini artinya keindahan akan menjadi sebuah kemustahilan tanpa media pendidikan yang mengakar. Bagaimana mungkin "keindahan" akan (memiliki dan) mengakar tanpa pendidikan yang utuh.
Bagaimana mungkin sajak Chairil Anwar akan dapat ditelaah dan diapresiasi secara baik jika tidak dimulai dari penjabaran di kelas-kelas, sehingga tidak hanya sebatas pembelajaran sastra pada hapalan judul-judul sajak atau hapalan nama-nama sastrawan di tanah air. Bagaimana mungkin kita akan mengetahui Sutardji Calzoum Bachri dengan mantra-mantranya, Danarto dengan keindahan cerpen surealisnya yang fantastis dan teatrikal, Seno Gumira Ajidarma yang "liar" romantik, dan lain-lain.
"Kekeliruan" dalam pendekatan dan strategi pengajaranlah penyebab persoalan di atas. Dan hal ini telah berlangsung sejak awal, ketika di taman kanak-kanak, sastra masih dianggap sederajat dengan bentuk kesenian lain seperti menggambar atau menyanyi. Sastra masih diperlakukan sebagai alat mengekspresikan diri dan disampaikan dalam bentuk bercerita, berpidato atau melisankan puisi.
Sastra dalam bentuknya yang dasar dianggap "permainan", suatu anggapan yang berdasarkan pendekatan yang benar. Namun keadaan yang sudah benar ini berubah sama sekali ketika anak menjadi murid di sekolah menengah. Di sini sastra tidak lagi diperlakukan sebagai bagian dari "permainan", tetapi diajarkan dengan pendekatan lain, yakni benar-benar diperlakukan sebagai ilmu.
Sementara literatur dan buku-buku sastra untuk sekolah menengah penuh istilah, konsep, daftar karya sastra, riwayat hidup sastrawan, dan lain-lain. Tetapi hampir tidak ada karya sastra itu sendiri. Semua itu adalah serangkaian nama dan istilah yang harus dihafal sebagai syarat agar bisa lulus ujian, yang tak jarang parameter ini sebagai satu-satunya tujuan pengajaran sastra.
Beberapa kemungkinan mengapa hal-hal di atas terus terjadi karena guru yang berpandangan hanya sastrawan yang bisa membimbing murid mengarang cerita atau mencipta puisi. Akibatnya, kegiatan mengarang tidak ditawarkan kepada anak, padahal mungkin anak menyukainya bila diperlakukan dengan pendekatan "permainan", seperti halnya menggambar atau menyanyi yang ternyata tetap ditawarkan guru sekalipun mereka bukan pelukis atau penyanyi.
* Tri Lestari Sustiyana, pengajar sebuah SMP di Lampung
Dari Lampung Post, Sabtu, 7 Oktober 2006
Tuesday, December 4, 2007
Pelajar dan Penulisan Sastra
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment