Tuesday, December 4, 2007

Sastra Mendorong Perkembangan Bahasa Siswa di Sekolah

Oleh Suwarjo*

KEHADIRAN anak di sekolah secara kultural maupun linguistik (bahasa) memberikan fenomena berbeda dalam berbagi proses dan aktivitasnya di kelas. Ketidakmampuan pendidik mengakui dan menghargai keanekaragaman dan perbedaan secara historis maupun kultural dapat memberikan kontribusi bagi performansi yang buruk pada siswa di sekolah. Benner (1992) menemukan kelas anak-anak masa awal bisa diusahakan semaksimal mungkin demi kesinambungan perkembangan keterampilan komunikasi, kognisi, dan sosial. Lingkungan dan lingkaran pembelajaran hendaknya menyediakan bermacam-macam materi konkret untuk kepentingan manipulasi, konstruksi, dan keterlibatan aktif. Di samping itu, kelas hendaknya menyediakan bahasa dalam konteks alami dan kelas yang kaya bahasa. Jika relevan, bahasa akan mudah dipelajari dan menjadi bagian suatu peristiwa nyata, sehingga pembelajar memiliki kemampuan memanfaatkannya.

Peristiwa-peristiwa nyata dapat diberikan dalam berbagai bentuk (dramatisasi, diskusi, dialog pajanan tugas atau bentuk proyek lainnya). Suatu lingkaran yang kondusif bagi pembelajaran hendaknya menyertakan aktivitas-aktivitas arahan guru agar memperoleh perkembangan Kemampuan Bahasa Kognitif/Akademik (KBK/A) siswa yang terukur, yaitu kemampuan mereka memanfaatkan bahasa untuk berpikir dan bernalar--bukan hanya untuk komunikasi antarpersonal.

Untuk membuat KBK/A lebih mudah diakses anak-anak dengan latar belakang pengalaman yang berbeda-beda adalah melalui pendayagunaan sastra anak sebagai medianya.

Manfaat Sastra bagi Anak

Pemilihan sastra (cerita) bermutu dalam pembelajaran sangat bermanfaat bagi anak dalam melihatkan dirinya terhadap pajanan dunia (world expose) yang global. Pada sisi lain, siswa dapat mereplikasikan pengalaman hidup orang lain yang sebenarnya dan seolah mengalami sendiri di dalam kelas. Sastra pada hakikatnya adalah alat mengajarkan kehidupan. Buku sastra (cerita) berfungsi sebagai cermin dan jendela pada masyarakat global. Faltis mengikhtisarkan kelebihan buku cerita bagi para siswa; (1) buku cerita menjadi sumber yang baik untuk pengembangan bahasa, kosakata, dan konsep. Sebab, kata-kata cenderung disajikan dalam konteks-konteks yang didukung gambar atau bermacam-macam jenis petunjuk ekstra linguistik; (2) buku cerita memberikan suatu konteks bagi interaksi verbal, terutama rangkaian penting permintaan-respon-evaluasi; dan (3) buku cerita mengajarkan anak-anak sikap dan perilaku yang berlaku dalam masyarakat.

Dalam praktik pendidikan di sekolah, sastra bermutu penting artinya dalam program kemahiran berbahasa yang efektif. Memanfaatkan cerita-cerita yang ditulis dengan baik akan menangkap imajinasi, sekaligus menjadi suatu model bagaimana sebuah alur berkembang dan mengalir. Cerita akan memperkaya kosakata dengan kata-kata yang hidup, warna-warni, dan dipilih dengan cermat. Mendengarkan, bercerita, menulis, dan menggambar cerita membantu perkembangan bahasa (development language) para pembelajar bahasa.

Dalam penceritaan kembali (retelling) cerita yang sudah mereka dengar dan dibacakan, pengetahuan bawah sadar mereka mengarahkan produksi bahasa mereka. Kemampuan berbahasa mereka akan terasah, kosakata bertambah, dan meningkatkan pemahaman konsep-konsep yang disajikan. Untuk menyuport beberapa proses perkembangan bahasa, siswa diharapkan mampu mengomunikasikan cerita tersebut dengan orangtua mereka, orang lain, atau teman sebaya melalui bahasanya sendiri. Dalam konteks ini, perkembangan bahasa anak otomatis tertandai. Dengan bercerita dan atau menulis, siswa mengaktualkan tataran komunikasi dan kognisi individu yang dia miliki. Efek positif lain yang diperoleh melalui sastra, antara lain terdorongnya motivasi, berkembangnya kognisi, berkembangnya interpersonal (personality), dan berkembanganya aspek sosial. Oleh sebab itu, peran guru dalam aktivitasnya perlu memadukan bahasa dan isi dengan prinsip-prinsip maupun prosedur-prosedur yang melatarbelakanginya sesuai dengan konteks yang ada.

Implementasi di Kelas Sebuah Tawaran

Pemahaman di atas menyadarkan kita (pendidik, pustakawan, khususnya guru) untuk sekuat tenaga mengaktualkan sastra sebagai materi pelajaran yang wajib diberikan di kelas. Model implementasi yang perlu dibuat guru adalah pembuatan (perancangan) jadwal dalam kegiatan berapresiasi sastra dalam setiap minggunya, misalnya; mengumpulkan jurnal sastra yang dibuat tiap minggu maupun diberikan informasi berkenaan dengan penulis, karya sastra, atau keduanya. Berdasarkan taksonomi Bloom (Bloom, 1956), suatu kerangka pengajuan pertanyaan digunakan untuk mengembangkan unit membaca lima hari dan menulis. Taksonomi Bloom mengklasifikan perilaku menjadi enam kategori, dari yang sederhana (mengetahui) sampai yang lebih kompleks (mengevaluasi). Pertanyaan-pertanyaan dibuat untuk menghubungkan setiap tingkat pembelajaran. Kerangka pengajuan pertanyaan untuk kumpulan sastra menunjukkan korelasi dan maksud pertanyaan tiap harinya dalam seminggu.

Untuk memotivasi dan membangkitkan minat siswa pada fokus tersebut untuk kumpulan sastra, digunakan bersama-sama dengan pertanyaan pembuka di mana siswa harus merumuskan suatu jawaban. Misalnya pada Senin dan Selasa, seluruh teks dibaca. Komentar dan tampilan realita maupun materi-materi lain mungkin disertakan bersama teks ketika sedang dibaca. Pada Rabu dan Kamis, salah satu bagian dibaca di mana siswa menciptakan suatu awal atau akhir yang baru, menulis ulang dari perspektif lain, atau memproduksinya dalam bentuk puisi. Pada Jumat, siswa diberi keleluasaan ekspresi seluas-luasnya sejak awal karena perlu kiranya mendorong ekspresi diri daripada menekankan pada sifat benar dan layaknya tanggapan. Aktivitas tersebut dapat dilakukan secara individual, berpasangan ataupun berkelompok. Kita perlu menyadari kegiatan bersastra dapat meningkatkan hubungan sosial atau mengembangkan individu selama beraktivitas sosial.

Melalui latihan-latihan yang terjadwal seperti yang tertuang dalam gagasan di atas, penulis berharap kesadaran bersastra, khususnya dalam pengembangan bahasa tercapai. Saran untuk guru, jangan ada kata bosan menyadarkan siswa dan menyadarkan dirinya sendiri untuk bersastra dan bersastra dalam berbagai cara. Para ahli sastra mengungkapkan, "Melalui sastra martabat suatu bangsa dapat terangkat dan dengan membaca sastra tercipta pula keluhuran budi dan kehalusan rohani."

* Suwarjo, pengamat sastra

No comments: