Esai Restoe Prawironegoro Ibrahim*
JUDUL tulisan saya di atas ini sebenarnya merupakan sebuah jawaban dari Eksistensi Sastrawan (di) Jalanan, yang ditulis oleh Mohammad AW, aktivis dari Komunitas Sastra Pinggiran Jember, Harian Surya, 27 Januari 2008, yang mengatakan bahwa sastrawan jalanan merupakan sebuah wacana dan mediator dalam dunia kesusastraan Indonesia dalam menjamurkan perpuisian di tanah air.
Hal ini, telah lahir sebuah komunitas sastra yang penyair-penyairnya nota-bene memang hidup di jalanan lewat perpaduan puisi-puisi sebagai ruang geraknya di atas roda. Apalagi Dewan Kesenian Jakarta, telah memberi kepercayaan kepada penyair-penyair jalanan untuk tampil membuktikan keberadaannya pada tanggal 14 November 2007 dengan peluncuran kumpulan puisi antologinya Kata Di Atas Roda.
Pertanyaan yang ditulis Mohammad AW dalam tulisannya, apakah para penyair jalanan mampu membacakan puisi yang bukan karyanya, dan apakah sastrawan jalanan itu hanya mendeklamasikan (monolog) sehingga audiens tak segan-segan merogoh kantungg pundi-pundinya.
Saya sendiri pelaku sastra media dan jalanan. Jangan kita beranggapan bahwa kalau anak-anak jalanan tidak bisa mengekspresikan apa yang telah diciptakannya sebagai karya sastra. Bahwa karya sastra (puisi) merupakan totalitas cara bercita rasa, pelembagaan serta pemberian makna terhadap hidup ini. Maka, sebagai konsekuensi logisnya, semua karya sastra termasuk puisi perlu dihayati oleh setiap pencipta dalam melihat realita sehari-hari. Ini dibuktikan dengan kehadiran puisi ‘Kata Di Atas Roda’, sebagian karya sebuah pemaknaan hasil karya sastra yang metamorfosa. JJ. Rizal’ pun menyebutkan bahwa kehadiran Kelompok Sastra Jalanan Indonesia (KSJI) ini sebagai “mata biru” yang mempunyai kanonisasi untuk memfosilkan sastra dan apresiasi sastra dalam masyarakat sebagai penemuan baru yang membentuk pandangan-pandangan segar.
Memang, untuk menjadi penyair itu sangat dibutuhkan beberapa alat modal seperti perenungan, pendalaman, pengkhayatan dan segalanya yang bisa tercipta sebuah puisi. Puisi diciptakan oleh penyair, tanpa penyair berarti tidak ada puisi. Begitulah, antara puisi dan penyair tak berjarak pasti. Menyatu, utuh, dan kongkret dalam membentangkan kabel angan, cipta, kreasi, daya abstraksi sebagai gambaran hidup kehidupan nyata maupun bayang-bayang.
Namun begitu, tidak berarti orang yang mencipta puisi lantas disebut penyair. Sebab, untuk memperoleh predikat penyair tidaklah semudah yang diduga dibayangkan orang. Banyak kaidah dan ukiran untuk sampai ke arah predikat itu --- tentunya penyair mapan dan sungguhan. Dan mestilah dilalui dengan penuh keseriusan.
Puisi bisa diciptakan oleh siapa saja. Dari anak gembel, gelandangan, pelacur, pencopet. Apalagi orang yang sedang jatuh cinta atau nelangsa. Coba amati anak-anak jalanan yang mempunyai memori harian, sangat bertumpuk-tumpuk bentuk tulisan yang bisa dikatakan puisi. Apakah ini berarti ‘puisi’ yang ditulis bisa mensahkan bahkan memproklamirkan diri sebagai penyair? Dari sejumlah “kaca mata” jelas. Walaupun tidak tertutup kemungkinan untuk mengatakan, puisi orang yang sudah dibilang penyair ‘lebih jelek’ ketimbang puisi yang jatuh cinta tadi.
Kalau begitu, puisi bagaimanakah yang bisa menjadikan penulisnya disebut penyair? Tentulah puisi yang bermutu dan berkadar baik. Mutu yang macam apa? Kadar baik yang seperti apa? Barangkali pertanyaan yang kemudian mencuat apakah mau dikatakan sebagai penyair terpendam. Artinya, selalu mencoba menilai karya puisi yang dibuat, orisinalitas atau bobotkah karya puisi yang sudah diciptakan itu? Secara subyektif, cuma sang penyair di atas yang punya konsisten dalam menilainya dan menyatakan kebagusan dari ketidaksempurnaan tersebut.
Tapi, bila ingin disebut sebagai penyair sungguhan, tentulah harus menunjukkan kemampuan di hadapan publik (sastra). Harus berani mengirimkan karyanya itu ke media massa --- paling efektif dan efisien. Kemudian, bila karya-karya puisi itu sempat dan selalu jadi bahan perbincangan serta tanggapan entah negatif atau positif dari para penyair dan kritikus mapan juga kondang bisa disimpulkan akan menempati posisi tersendiri di deretan kursi “kepenyairan” di tanah air.
Begitulah, mempublikasikan karya sastra yang merupakan suatu hal yang penting dan harus kalau memang mau disebut penyair. Paling tidak, dalam mempublikasikan biarpun itu orisinal dan berbobot tak lantas predikat penyair terus disandang. Sebab, perlu kesinambungan penilaian. Maklum, banyak penyair setelah disebut “hebat” kemudian tenggelam. Ini terutama banyak melanda sekaligus menghantui para pemula.
Kalau begitu, apa lagi yang dibutuhkan agar kita tetap bertahan dengan predikat yang terlanjur dimiliki sebagai Komunitas Sastrawan Jalanan Indonesia. Memang, sekali mencipta puisi orisinalitas dan bobot, yang dipublikasikan kebetulan oleh Dewan Kesenian Jakarta, tidak akan menutup kemungkinan disebut sebagai penyair pemula. Tapi, bila sampai di situ saja, tak berkarya terus, artinya: Cuma penyair satu kali! Maka, tamatlah riwayat kepenyairan tersebut. Dan, dari ‘Kata Di Atas Roda’, acara Lampion Sastra, 14 November 2007 sebagai “kiblat” kita telah lahir di sini. Masih panjang perjalanan komunitas sastrawan jalanan yang harus ditempuh.
* Restoe Prawironegoro Ibrahim, Ketua Umum Komunitas Sastra Jalanan Indonesia, tinggal di Jakarta.
Monday, March 10, 2008
Lahir(lah) Komunitas Sastra(wan) Jalanan Indonesia
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment