Friday, March 21, 2008

Ayat-Ayat Cinta

Cerpen Restoe Prawironegoro Ibrahim

MARIA merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Digerakkan kedua pundaknya beberapa kali hingga terdengar bunyi gemerutuk tulang kering di antara keduanya. Matanya menatap lurus ke langit-langit kamar. Di situ seolah-olah tergambar kembali ceramah-ceramah yang selalu diikutinya setelah selesai responsi agama. Beberapa kalimat yang kerap kali didapatnya dan sulit untuk melupakannya, selalu terngiang di telinganya.

"Cobalah kalian baca surat Al-Mumtahanan ayat 10: 'Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang itu tiada halal pula bagi mereka.' Jadi jelaslah, untuk kaum wanita adalah haram mendapatkan pendamping hidupnya yang bukan beragama Islam!"

Maria memejamkan mata dan menghela nafas berat. Kini wajah Fahri hadir dengan senyum kedewasaannya.

"Agama kita memang berbeda, Maria. Tapi semua itu tak akan dapat mengalahkan kasih di antara kita," begitu selalu yang dikatakan Fahri setiap saat padanya.

Dalam keadaan seperti ini, perasaan sedih dan marah bercampur menjadi satu. Tapi ia tak tahu siapa yang salah dalam hal ini. Sejak TK ia telah dimasukkan ke sekolah Katolik, hingga SMU tak secuil pun pelajaran agamanya yang ia dapatkan dari sekolahnya. Ia memang belajar mengaji dan sholat hingga lancar, tapi tak tahu apa makna dari semua itu. Tidak ada perasaan memiliki atas agama yang tertulis dalam buku laporannya selama ini.

Dan saat ini, sedang menyelesaikan studi pasca-sarjananya di Perguruan Tinggi di mana ia melanjutkan cita-citanya, semakin tahulah Maria bahwa hukum-hukum Islam begitu luas, bukan hanya rukun Islam dan rukun Iman yang telah dihafalnya di luar kepala. Dosen dan para asisten serta teman-temannya telah membuka matanya lebar-lebar tentang Islam. Aisyah tidak tahu apa yang harus ia katakan pada Fahri , hubungan mereka sudah berjalan hampir tiga tahun. Meskipun Fahri memikirkan studi kuliahnya untuk menyelesaikan pasca-sarjana di Universitas Al-Azhar, tapi hubungan mereka selalu hadir hampir setiap hari, dan di antara berdua sangat saling membutuhkan.

Maria menatap lampu tidur warna biru lima watt yang menerangi kamarnya di lantai paling atas sebuah rumah apartemen. Lampu seperti itu pulalah yang selalu menerangi jiwanya di mana hendak mengirimkan kado buat Fahri lewat tali beserta keranjangnya yang berisi makanan. Sebuah kamar apartemen yang cukup praktis dengan jendela kecil saja. Maria tidak tahu apakah itu salah. Yang pasti ia begitu bahagia mendapatkan seorang Fahri yang sangat dewasa, sopan, penuh pengertian dan kasih sayang.

Dan sekarang sebuah vonis seolah-olah diberikan padanya. Haram! Akh, Maria mengusap air mata yang tiba-tiba membasahi pipinya. Mengapa tidak sejak dahulu ia mengetahui semua itu, sebelum ia mengenal Fahri. Air matanya kian deras mengalir. Maria bimbang. Dalam keadaan seperti itu, perlahan-lahan Maria bangkit dan menyalakan lampu besar di samping lampu biru. Lambat-lambat ia berjalan untuk mengambil air wudhu. Kemudian sholat.

Di balik tudung putih, Maria masih terpekur duduk di atas sajadahnya, Maria enggan beranjak dari atas sajadahnya.

"Ya Allah! Berilah jalan yang terbaik bagiku. Dan ampunilah segala dosaku selama ini," jerit hatinya di antara ayat-ayat yang terucap dari mulutnya. Mulutnya terus berdzikir, dan hatinya semakin tenang kini, ia terus berdzikir... hingga tertidur.

Setelah sholat Maria membaca ayat suci Al-Qur’an. Kemudian membaca bahan kuliahnya untuk hari ini.

***

Maria diam tidak tahu apa yang harus diperbuatnya.

"Kau harus berani menghadapi kenyataan, yang terburuk sekalipun," kata Aisyah. "Atau bila kau merasa tidak kuat, tidak usah sekaligus, perlahan-lahan saja."

"Tapi Mbak bila semakin lama, maka semakin sulit saya melepaskan dia."

Aisyah tersenyum tenang di balik wajah jubahnya yang hitam terturtup, hanya tinggal kedua matanya yang nampak.

"Mbak mengerti, kalau kau memang merasa telah kuat, ambillah keputusan itu. Tapi yang penting tidak usah main kucing-kucingan dengan tidak mau menemui dia. Itu bukan penyelesaian yang baik. Mbak yakin kau wanita non-muslim yang kuat, Maria. Kemukakanlah keputusan itu padanya. Mbak juga berdoa semoga semuanya berjalan dengan baik."

Ya, mengapa aku harus takut bila berada di jalan yang benar, bisik hati Maria.

"Terima kasih, Mbak!"

Aisyah tersenyum sambil meraih pundak Maria.

"Yakinlah, Allah akan memberikan hikmah-Nya untuk setiap apa yang terjadi . Maka tegar dan bersabarlah dalam menghadapi segala sesuatu. Kau masih ada kuliah?"

"Tidak!"

Sayup-sayup dari masjid terdengar suara adzan.

Maria mengambil wudhu untuk sholat dan memohon kekuatan kepada Allah Subhana Wataala.

"Innalillahi wainnahirojiun," bisik Aisyah mendengar kepergian sahabatnya. Ia akan menang di sana bersama Tuhan! Aisyah yakin itu.

Jakarta-Slipi Jaya,
Catatan 28 Februari-13 Maret 2008.

Diilhami dari sebuah film dengan judul cerpen sama, karya novelis muda Habbiburahman El-Shirazy, dengan sutradara Hanung Bramantyo.

Saturday, March 15, 2008

Perayaan Otoritas Tubuh Perempuan

Esai Gendhotwukir

MENGUNGKAP persoalan seksualitas perempuan sangatlah penting karena kesetaraan perempuan dapat diciptakan salah satunya lewat pembebasan represi seksual. Karena adanya represi seksual, perempuan sering kali diasingkan dari tubuh dan seksualitasnya. Banyak fakta dan kejadian selama ini menunjukkan bahwa tubuh perempuan sering diekploitasi, bukannya dieksplorasi.

Tulisan ini dimaksudkan untuk penumbuhan kesadaran bahwa tubuh perempuan itu indah. Perempuan wajib memiliki kesadaran akan hal itu sehingga ia memiliki otoritas atas tubuhnya sendiri. Dengannya perempuan memiliki pilihan-pilihan yang beragam atas arah dan ekspresi tubuhnya. Selain itu bagi kaum adam agar semakin menghormati otoritas tubuh perempuan.

Tubuh perempuan adalah karya seni alami (natural object). Perempuan mengalami otoritas tubuhnya sebagai sesuatu yang estetis. Tubuh perempuan selalu menarik untuk diekplorasi ketimbang tubuh laki-laki. Tubuh perempuan yang estetis sering dilihat dalam wacana multidimensional: anatomi, simbolis, semiotik, model atau otoritas dan fotografi. Keindahan tubuh perempuan memuat cita rasa estetis yang unik. Meski demikian, tubuh perempuan pada kenyataannya lebih sering diekploitasi dan menjadi obyek dominasi budaya patriarkal. Tubuh perempuan dalam relasi perempuan dan laki-laki berada dalam satu hubungan kekuasaan di mana satu pihak berada dalam posisi lebih kuat daripada pihak lain.

Otoritas atas Tubuhnya

Pemilik tubuh perempuan adalah dirinya sendiri. Darinya muncul satu tanggung jawab seorang perempuan terhadap tubuhnya. Kesadaran akan tubuhnya menjadi modal utama bagi perempuan untuk melakukan kontrol diri. Dalam konteks ini perempuan adalah pemilik dan sekaligus penentu bagi tubuhnya. Karena kesadaran akan tubuhnya yang indah dan berharga, perempuan disadarkan untuk membentengi tubuhnya dari segala bentuk kekerasan yang mengarah padanya.

Setidaknya ada tiga organ dari tubuh perempuan yang rawan akan ancaman kekerasan. Ketiganya berkaitan erat dengan seksualitas. Tiga organ tubuh tersebut yaitu payudara, vagina dan rahim. Ornamen seksual yang paling menonjol pada perempuan adalah payudara, sementara vagina dan rahim tersimpan rapat di kedalaman perempuan.

Secara sepintas orang akan mengetahui bahwa manusia itu perempuan dari bentuk dadanya. Meski demikian, secara sepintas pun orang juga akan mudah tertipu karena dewasa ini ada sebagian orang yang suka menampilkan payudara buatan padahal mereka bukan perempuan. Secara estetika, payudara memiliki konstruksi yang sangat indah. Dua butiran terjuntai vertikal dan terposisikan horizontal bersebelahan. Di tengahnya terdapat celah serupa kanal yang kalau ditelusuri akan menuju vagina. Posisi payudara yang berada di luar ini erat berkaitan dengan fungsi payudara sebagai penghasil susu untuk bayi. Posisi di luar ini memudahkan seorang ibu menyusui bayinya. Karena posisi di luar pula ini maka tidak mengherankan kalau payudara sering dijadikan sasaran tindak kekerasan seksual oleh laki-laki.

Vagina merupakan alat kelamin perempuan yang terkategori menjadi kelamin luar dan dalam. Vagina bagaikan sebuah pintu menuju kehĂ­dupan misterius. Di sana ada sebuah pintu yang tersembunyi dan jika dibuka dan masuk maka akan ditemukan sebuah dunia di dalamnya. Bibir besar (labia mayora) menjadi semacam pintu gerbang menuju pintu rumah yaitu bibir kecil (labia minora). Bibir vagina berada di antara dua tungkai paha. Keberadaan vagina bisa menciptakan pengalaman estetis sehingga tidak mengherankan menjadi sasaran kekerasan laki-laki.

Rahim adalah sebuah tempat awal kehidupan manusia yang tersembunyi di dalam perut perempuan. Rahim adalah rumah pertama bagi manusia baru. Rahim adalah agung. Sebagai tempat yang agung maka tetap terjaga kesuciannya. Rahim itu indah karena posisi, fungsi dan terutama karena keberadaannya. Ia indah pada dirinya sendiri.

Tragedi Keruntuhan Estetika Tubuh

Tubuh perempuan itu indah, tetapi sejauh mana perempuan mengenal tubuhnya? Sudahkah perempuan sungguh-sungguh sudah menyadari keindahan tubuhnya? Sudahkan tubuh-tubuh indah perempuan mendapat perlakuan indah dari pemiliknya maupun kaum laki-laki? Fakta-fakta tertentu menunjukkan bahwa perempuan belum banyak mengenali tubuhnya. Banyak perempuan tidak mengerti apa itu menstruasi. Banyak perempuan tidak bisa mencapai orgasme dalam hubungan seksual. Banyak perempuan tidak tahu caranya mengatur kelahiran anak. Banyak perempuan lebih suka melakukan aborsi. Banyak perempuan sering kali mengkondisikan bentuk tubuh dan wajah sesuai dengan fashion yang sedang ngetren.

Di sisi lain muncul juga ketragisan yang mengorbankan keindahan tubuh perempuan seperti angka kematian perempuan karena kanker payudara, poligamai, pengiriman tenaga perempuan sebagai pelacur, pelecehan seksual, pemerkosaan dan kekerasan dalam rumah tangga membuat perempuan merana. Pemerkosaan bahkan dijadikan strategi dalam perang di beberapa negara. Lebih memprihatinkan lagi, tradisi penyunatan pada budaya tertentu yang acap kali dikaitkan dengan paham keyakinan masyarakat tersebut.

Seksualitas perempuan acap kali hanya dilihat sebagai fenomena natural yang universal dan tidak dapat diubah. Padahal seksualitas terkait dengan konstruksi sosial, perasaan seksual manusia untuk menunjukkan kelaminnya. Seksualitas itu selalu dilatarbelakangi kekuatan sejarah sosial masyarakat dan merupakan perpaduan anatomi dan psikologi.

Keindahan tubuh perempuan telah rusak. Setidaknya ada tiga faktor yang menyebabkannya terjadinya represi seksual tersebut: Pertama, kesalahpahaman tentang segala hal yang berkaitan dengan seksualitas yang dianggap tabu dalam kebudayaan. Kedua, keruntuhan keindahan tubuh perempuan dikarenakan kekerasan oleh kaum adam, baik secara personal maupun massal. Dan ketiga, ancaman penyakit kanker payudara dan rahim.

Ekspresi atas Otoritas Estetika Tubuh

Menyimak eksploitasi tubuh atas perempuan oleh berbagai sebab, perempuan harus berani berbicara tentang keinginannya untuk berkuasa atas tubuhnya sendiri. Perempuan harus berani menentukan sikap dan mengambil keputusan dalam hidupnya agar tidak melulu menjadi sasaran korban sistem patriarkal. Perempuan memiliki eksistensinya untuk berkuasa penuh akan jalan hidupnya. Tidak mengherankan, banyak perempuan lantas mengekpresikan kebebasannya dan menentukan pilihan-pilihan ekstrem seperti memilih untuk tidak menikah, melacur atas keputusan pribadi, lesbi dan menolak penyunatan. Pilihan-pilihan ini adalah wujud kesadaran kaum hawa akan otoritas tubuhnya yang indah.

Melacur dalam konteks ini dilatarbelakangi keputusan pribadi yang bebas dan bertanggung jawab. Pelacuran demikian secara implisit sebagai perayaan seksualitas perempuan atas otoritas tubuhnya yang estetis. Hal demikian tentunya berbeda dengan melacur untuk uang sebagaimana disampaikan oleh sosiolog dari Belanda bernama Bonger dan Bruine van Amstel. Melacur untuk uang tentu saja karena latar belakang sosial-ekonomi, sedangkan melacur untuk seksualitas lebih sebagai perayaan seksualitas perempuan atas otoritas tubuhnya yang estetis.

* Gendhotwukir, Penyair dan Jurnalis yang berdomisili di Lereng Gunung Merapi, Jawa Tengah

Monday, March 10, 2008

Lahir(lah) Komunitas Sastra(wan) Jalanan Indonesia

Esai Restoe Prawironegoro Ibrahim*

JUDUL tulisan saya di atas ini sebenarnya merupakan sebuah jawaban dari Eksistensi Sastrawan (di) Jalanan, yang ditulis oleh Mohammad AW, aktivis dari Komunitas Sastra Pinggiran Jember, Harian Surya, 27 Januari 2008, yang mengatakan bahwa sastrawan jalanan merupakan sebuah wacana dan mediator dalam dunia kesusastraan Indonesia dalam menjamurkan perpuisian di tanah air.

Hal ini, telah lahir sebuah komunitas sastra yang penyair-penyairnya nota-bene memang hidup di jalanan lewat perpaduan puisi-puisi sebagai ruang geraknya di atas roda. Apalagi Dewan Kesenian Jakarta, telah memberi kepercayaan kepada penyair-penyair jalanan untuk tampil membuktikan keberadaannya pada tanggal 14 November 2007 dengan peluncuran kumpulan puisi antologinya Kata Di Atas Roda.

Pertanyaan yang ditulis Mohammad AW dalam tulisannya, apakah para penyair jalanan mampu membacakan puisi yang bukan karyanya, dan apakah sastrawan jalanan itu hanya mendeklamasikan (monolog) sehingga audiens tak segan-segan merogoh kantungg pundi-pundinya.

Saya sendiri pelaku sastra media dan jalanan. Jangan kita beranggapan bahwa kalau anak-anak jalanan tidak bisa mengekspresikan apa yang telah diciptakannya sebagai karya sastra. Bahwa karya sastra (puisi) merupakan totalitas cara bercita rasa, pelembagaan serta pemberian makna terhadap hidup ini. Maka, sebagai konsekuensi logisnya, semua karya sastra termasuk puisi perlu dihayati oleh setiap pencipta dalam melihat realita sehari-hari. Ini dibuktikan dengan kehadiran puisi ‘Kata Di Atas Roda’, sebagian karya sebuah pemaknaan hasil karya sastra yang metamorfosa. JJ. Rizal’ pun menyebutkan bahwa kehadiran Kelompok Sastra Jalanan Indonesia (KSJI) ini sebagai “mata biru” yang mempunyai kanonisasi untuk memfosilkan sastra dan apresiasi sastra dalam masyarakat sebagai penemuan baru yang membentuk pandangan-pandangan segar.

Memang, untuk menjadi penyair itu sangat dibutuhkan beberapa alat modal seperti perenungan, pendalaman, pengkhayatan dan segalanya yang bisa tercipta sebuah puisi. Puisi diciptakan oleh penyair, tanpa penyair berarti tidak ada puisi. Begitulah, antara puisi dan penyair tak berjarak pasti. Menyatu, utuh, dan kongkret dalam membentangkan kabel angan, cipta, kreasi, daya abstraksi sebagai gambaran hidup kehidupan nyata maupun bayang-bayang.

Namun begitu, tidak berarti orang yang mencipta puisi lantas disebut penyair. Sebab, untuk memperoleh predikat penyair tidaklah semudah yang diduga dibayangkan orang. Banyak kaidah dan ukiran untuk sampai ke arah predikat itu --- tentunya penyair mapan dan sungguhan. Dan mestilah dilalui dengan penuh keseriusan.

Puisi bisa diciptakan oleh siapa saja. Dari anak gembel, gelandangan, pelacur, pencopet. Apalagi orang yang sedang jatuh cinta atau nelangsa. Coba amati anak-anak jalanan yang mempunyai memori harian, sangat bertumpuk-tumpuk bentuk tulisan yang bisa dikatakan puisi. Apakah ini berarti ‘puisi’ yang ditulis bisa mensahkan bahkan memproklamirkan diri sebagai penyair? Dari sejumlah “kaca mata” jelas. Walaupun tidak tertutup kemungkinan untuk mengatakan, puisi orang yang sudah dibilang penyair ‘lebih jelek’ ketimbang puisi yang jatuh cinta tadi.

Kalau begitu, puisi bagaimanakah yang bisa menjadikan penulisnya disebut penyair? Tentulah puisi yang bermutu dan berkadar baik. Mutu yang macam apa? Kadar baik yang seperti apa? Barangkali pertanyaan yang kemudian mencuat apakah mau dikatakan sebagai penyair terpendam. Artinya, selalu mencoba menilai karya puisi yang dibuat, orisinalitas atau bobotkah karya puisi yang sudah diciptakan itu? Secara subyektif, cuma sang penyair di atas yang punya konsisten dalam menilainya dan menyatakan kebagusan dari ketidaksempurnaan tersebut.

Tapi, bila ingin disebut sebagai penyair sungguhan, tentulah harus menunjukkan kemampuan di hadapan publik (sastra). Harus berani mengirimkan karyanya itu ke media massa --- paling efektif dan efisien. Kemudian, bila karya-karya puisi itu sempat dan selalu jadi bahan perbincangan serta tanggapan entah negatif atau positif dari para penyair dan kritikus mapan juga kondang bisa disimpulkan akan menempati posisi tersendiri di deretan kursi “kepenyairan” di tanah air.

Begitulah, mempublikasikan karya sastra yang merupakan suatu hal yang penting dan harus kalau memang mau disebut penyair. Paling tidak, dalam mempublikasikan biarpun itu orisinal dan berbobot tak lantas predikat penyair terus disandang. Sebab, perlu kesinambungan penilaian. Maklum, banyak penyair setelah disebut “hebat” kemudian tenggelam. Ini terutama banyak melanda sekaligus menghantui para pemula.

Kalau begitu, apa lagi yang dibutuhkan agar kita tetap bertahan dengan predikat yang terlanjur dimiliki sebagai Komunitas Sastrawan Jalanan Indonesia. Memang, sekali mencipta puisi orisinalitas dan bobot, yang dipublikasikan kebetulan oleh Dewan Kesenian Jakarta, tidak akan menutup kemungkinan disebut sebagai penyair pemula. Tapi, bila sampai di situ saja, tak berkarya terus, artinya: Cuma penyair satu kali! Maka, tamatlah riwayat kepenyairan tersebut. Dan, dari ‘Kata Di Atas Roda’, acara Lampion Sastra, 14 November 2007 sebagai “kiblat” kita telah lahir di sini. Masih panjang perjalanan komunitas sastrawan jalanan yang harus ditempuh.

* Restoe Prawironegoro Ibrahim, Ketua Umum Komunitas Sastra Jalanan Indonesia, tinggal di Jakarta.

Saturday, March 8, 2008

Merekam Peristiwa Kehidupan Melalui Puisi

Oleh Willy Ediyanto*

MELIHAT dan mendengar peristiwa banjir yang menggenangi ruas jalan tol menuju Bandara Soekarno-Hatta akhir-akhir ini, reaksi orang berbeda-beda. Ada orang yang merasa iba karena penderitaan warga ibukota yang tak henti-henti. Ada juga orang yang merasa senang karena tempat tinggalnya tidak kebanjiran. Ada juga orang yang merasa senang melihat penderitaan warga Jakarta.

Melihat dan mendengar bencana itu, pikiran orang pun berbeda-beda. Ada yang menanggapinya dengan dingin karena itu adalah peristiwa yang rutin hanya saja kali ini lebih besar. Ada juga yang menganalisis penyebab banjir yang makin meluas itu. Ada yang menuduh alam telah berubah. Ada juga menuduh faktor keteledoran dan keserakahan manusia sebagai penyebab peristiwa itu.

Bagi kebanyakan orang, peristiwa banjir semacam itu hanya sampai pada sebatas sebuah berita. Kering tanpa rasa indah yang menggerakkan perasaan, pikiran, dan daya bayang (imajinasi). Berbeda dengan tanggapan seniman yang menggunakan pikiran dan perasaan sekaligus yang kemudian dituangkan dalam karya seni. Bagi sastrawan, peristiwa banjir, baik peristiwanya itu sendiri, penyebabnya, maupun akibatnya, tidak dianalisis secara ilmiah, akan tetapi juga digerakkan dengan imajinasi dan dengan perasaan.

Nilai-nilai dalam peristiwa seperti itu direnungkannya, kemudian dengan akal dan dayanya, peristiwa yang mengesankan, yang menggelitik pikiran dan perasaannya itu diabadikan dalam bentuk karya seni. Bagi seorang musisi dan pencipta lagu, peristiwa-peristiwa itu akan menjadi sebuah aransemen musik dan lagu. Bagi pelukis, peristiwa-peristiwa itu akan dituangkan dalam bentuk coretan warna-warni yang mempunyai makna.

Sedangkan bagi sastrawan, peritiwa-peristiwa itu dapat dituangkan dalam bentuk karya sastra baik itu puisi, cerita pendek, novel, maupun drama.
Imajinasi dalam karya seni bukanlah khayalan yang kosong. Imajinasi adalah hasil pemikiran dan perenungan yang didasarkan pada peristiwa nyata yang dilihat, dirasakan, atau bahkan dialami oleh si seniman. Jadi, karya seni bukanlah khayalan semata.

Dapat dikatakan bahwa karya seni umumnya atau puisi khususnya adalah sebuah tiruan dari sebuah kenyataan, kejadian, atau peristiwa yang terjadi yang diungkapkan kembali dengan bumbu pengalaman penyair.
Kehidupan yang digambarkan dalam puisi, tidak sama persis dengan kehidupan nyata. Penyair menuliskan puisi dari peristiwa atau kejadian itu, diungkapkan menggunakan pikiran dan perasaannya. Ungkapan pikiran dan perasaannya itu pun dihiasi dengan sikap penyair, latar belakang pendidikannya, budayanya, pandangan hidupnya, kedewasaan psikologisnya, dan sebagainya.

Nyatalah bahwa puisi bukan sekedar pengungkapan pikiran atau perasaan saja. Puisi adalah gabungan pikiran dan perasaan yang tidak saling terpisahkan. Di dalam puisi terdapat pikiran penyair sekaligus ungkapan perasaannya.

Berikut ini contoh puisi yang berkaitan dengan masalah air, banjir, dan kekeringan karya Taufik Ismail yang berjudul "Yang Kami Minta Hanyalah": Yang kami minta hanyalah sebuah bendungan saja / Penawar musim kemarau dan tangkal bahaya banjir / Tentu bapa sudah melihat gambarnya di koran kota / Tatkala semua orang bersedih sekadarnya // Dari kakilangit ke kakilangit air membusa / Dari tahun ke tahun ia datang melanda / Sejak dari tumit, ke paha lalu kepala / Menyeret semua // Bila air surut tinggallah angin menudungi kami / Di atas langit dan di bawah lumpur di kaki / Kelepak podang di pohon randu // Bila tanggul pecah tinggallah runtuhan lagi / Sawah retak berebahan tangkai padi / Nyanyian katak bertalu-talu // Yang kami minta hanyalah sebuah bendungn saja / Tidak tugu atau tempat bermain bola / Air mancur warna-warni // Kirimlah kapur dan semen. Insinyur ahli / Lupakan tersedianya sedekah berjuta-juta / Yang tak sampai pada kami // Bertahun-tahun kita merdeka, bapa / Yang kami minta hanyalah sebuah bendungan saja / Kabulkanlah kiranya.

* Willy Edi, praktisi pendidikan

Wednesday, March 5, 2008

Merawat Jiwa-Jiwa

Sajak Nurel Javissyarqi

Aku tunda kantukku
demi fajar ranum gemerisik langkah-langkah ibu ke pasar
burung-burung berkicau dibelantara kota membopongku
ketika terlelap di butiran awan putri bersenandung angin
pada bibir pantai tarian gelombang biru samudera itu.

Sepasang sayap terbang melebihi ketinggian bukit
harapan setua matahari, dan bayangan mengambil ruh
pengetahuan ayat-ayat dengan sabit tangan pengembala.

Dan kata-kata yang melingkar pada otak, masuk ke dalam
kesadaranmu abad-abad penuh musik berdendang perang
membunuh besar-besaran kebijakan di mata kesempurnaan
yang tak sanggup memanggil, akan terpenggal dengan sia-sia.


------
Nurel Javissyarqi, lahir di Kendal-Kemlagi, Lamongan, 8 Maret 1976. Tulisannya tersebar di media masa. Bukunya: Balada-balada Takdir Terlalu Dini (kumpulan sajak, 2001), Sarang Ruh (kumpulan sajak, 1999), Ujaran-ujaran Hidup Sang Pujangga (2004, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Enda Menzies & Welly Kuswanto, 2004), Segenggam Debu Di Langit (kumpulan esai & puisi, 2004), Sayap-sayap Sembrani (kumpulan prosa & haiku, 2004), Kulya Dalam Relung Filsafat (aforisma, bercermin kalender kearifan Leo Tolstoy, 2004), Cahaya Rasa Ardhana (kumpulan prosa & esai 2005), Batas Pasir Nadi (kumpulan puisi & esai, pengantar AS Sumbawi, 2005), Ada Puisi di Jogja (kumpulan sajak, 2005), Tabula Rasa Kumuda (kumpulan esai & puisi, 2006), Tubuh Jiwa Semangat (kumpulan esai & puisi, 2006), Trilogi Kesadaran (Kajian Budaya Semi, Anatomi Kesadaran & Ras Pemberontak, 2006), Kekuasaan Rindu Sayang (kumpulan esai & sajak, 2007), dan Kitab Para Malaikat (2007).

Memungut Mimpi-Mimpi

Sajak Nurel Javissyarqi

Seringan lagu hujan dari langit
cahaya lampu membuka jendela
yang selalu dinanti ialah kata-kata.

Terbaring bersayap kasih mengapung setia
memberi pancaran hidup gerimiskan doa
sunyi yang mengiris-iris kulit daging malam.

Di mana kepastian berdegup di dada
pemburu membidik gemintang berguguran,
dan ia memunguti mimpi-mimpi perempuan.

Meneguk matahari di fajar hari-hari
ketika angin menyergap persekutuan terangkat,
menjilat langit gemuruh perawan tumpahan awan
menampar pipi belati, itu ombak menikam dinanti.

Dalam Penjara Waktu

Sajak Nurel Javissyarqi

Ia merawat jaman dengan kesetiaan menyendiri,
rangkaian warna-warna cahaya pada batok kepala
menggabung harum sunyi di peluk renungan waktu
hingga datang-pergi matahari menapaki jalan kegilaan
melampaui masa perbincangan zaman selepas seluruh dari kubangan.

Dan waktuku waktumu berdekatan angin nafas mengeja kesadaran,
kepadaku terikat rambutmu yang panjang menggalang angan-angan
lalu kudengarkan alunan lagumu dari tangan angin dipetik dedaunan
ricik-gemerisik menari di altar nurani persembahkan kuncupan mekar.

Bertemu di negri jauh disaat keningmu bercahaya debu-debu
kepada kitab cakrawala membuka kau dan aku bergerak maju.

Membuka Cakrawala Senyummu

Sajak Nurel Javissyarqi

Cahaya-cahaya langit cerlang cemerlang melukis tumpukan awan
dengan ribuan angin serenta menuju keyakinan segera hujan.
Ubun-ubun pengab syaraf menggeliatkan panas
berkeringat menggantungkan kalimat,
bercangkul di ladang-ladang jiwa kembara,
menebah lempung diri dijanjikan cukul nantinya.

Memasuki hutan kembali, belajar kicauan burung
serta embun menetes di dedaun pagi
memanggil kedalaman goa pertapaan, juga jarum rumput ilalang
meninggi di sudut-sudut mata langitan tanpa kata perpisahan.

Kubiarkan langkah membuka gerbang lamunan waktu,
seiring lagu diam kutermangu mengikuti aliran sungai matahari
yang riak ombaknya gemerincing dalam dada isyarat senyumanmu.

Itulah Sayang

Sajak Nurel Javissyarqi

Kepadamu nafas menyatu dalam debur ombak lautan itu,
menggulung batas pasir nadimu yang kian menggemuruh
seakan karang dioyak kalbu rindu cemburu, menelisik ceruk
jauh terbuka, di lelembaran masa-masa dalam irama takdirmu.

Tiada ragu menapaki janji bertemu mencipta kembali kangen,
senyanyian abadi kaki-kaki kembara menyapai deduri kaktus,
yang liar-meliar juga kerikil cadas menghalangi ingatan sejarah.

Ia masih berkesanggupan memekarkan bunga ketulusan,
menanjaki hari-hari penuh kesungguhan batu penyimpan,
dan dibopongnya mimpi-mimpi menuju pelaminan kabut.

Adakah keraguan terkumpul, sedang waktu memberi jawab.
Tidakkah harus percepat, sebab pantai memanggil kembali
pertemuan dikoyak takut sungguh cemburu-rindu bertalu.

Mari menaiki tangga awan menghujati kota bumi kekasih
biar terfahami di lamun rasa tertumpah di segenap waktu
dunia bersapa ketika matanari bersinggah di hadapannya,
mengambili taburan cahaya-cahaya rasa atas kekisah.

Duhai waktu, kecup selendang kasih terlayang di hati sebrang
tuntunlah bagi jalan tertempuh agar jiwa menyatu kehangatan,
air pegunungan membasahi rambutmu tergerai kepada malam
-malam tak berujung.

Terlaksana benar di setingkap doa malam letih atas jemari restu,
menyatu dalam pergumulan lembar kertas dengan tinta hitammu.

Nafasku Atas Nafasmu

Sajak Nurel Javissyarqi

Ketika ribuan embun mencipta pagi,
kau punguti serupa kalimat-kalimat tanpa wujud,
sebening hati menebarkan kata-kata wangi bersayap kasih,
kau menghidupkan nafasmu dalam nafasku kisah panjang.

Membaca kitab mata air sampai muara, mengajak sampan
menuju ujung pengembaraan, lautanmu serupa langitku biru, dan
burung camar bercanda melewati awan-gemawan batas kenangan.

Kesucian menjelma air gemerincing abadi
melafalkan mantra di dedaun jati diterpa angin malam petapa.
Adakah yang datang kepadamu membawa segenggam cahaya?

Hanya ketika sakit berdemaman mendekati firasat mati,
aku menulis sajak dan puisi, makanya tak ada yang berani:

Aku lenyap dalam tarian mata pena mengepakkan masa
menelusuri rongga dada penuh keringat garam masa-masa
menggelinjak-meliuk di selubung jantung,
kumparan angin mengumpulkan ranting menerbangkan daun
di setiap hembusan, menjelma tarian berpeluk rintian berontak.

Menyisir anak-anakan rambutmu saat sangkala menikam senja,
sesulur rimba raya keagungan dewa-dewi sehitam tinta pujangga.

Percakapan Pantai

Sajak Nurel Javissyarqi

Membisikkan suara-suara ke telinga kalem nan tegar
dahi berkerut dijalanan sunyi menyusuri badan sungai
menuruni lembah nurani, melonjaki sakit berseri-serasi,
saat tersandung batu atau reranting patah kemarau lalu,
hendak cita samudra bertemu mata air bernasib serupa.

Kemana mutiara meninggalkan pantai di mata kelana
nyata lilin mencipta pelangi, ada panggilan tak dihirau
walau memecah hening menimpa badan pasir pesisir,
jikalau bekukan kalbu udara bercampur gemintang, dan
malam meleburkan jiwa-raga sejumlah yang dunia ucapkan.

Lelah terhempas ke ceruk terpejam, sunyi nan tenggelam,
kereta kencana ditarik angin taupan menuju negeri gaib
melepaskan beban tubuh berulang memutari awang-awang.

Terlelap kemabukan bagai diayun-ayun kelembutan berulang,
dan sehelai sampur pengikat kenang wengi diusapi kesunyian,
bertanya kesaksian riuh gelombang, membasuh wajah penanti.

Serawut Bayang di Lukisan

Sajak Nurel Javissyarqi

Kupu-kupu ke puncak biru, bila tengah malam
kerlip mata lampu kunang-kunang betebaran,
jikalau lelah terbang sayap cahayanya padam.

Mata penjajah berkedip pandang
bebuahan bergelantung di pinggir jalan menanjak
menawarkan kemanisan kenang tubuh tiduran
melamun melipat awan lembut menggulung,
di pepucuk pinus sedingin beludru pebukitan.

Barisan bangau merapat berat kesedihan ditinggal musim,
kabut memanggil diajak menuruni lembah ngarai mata air
gemerincing melonjaki batu-batu mengaliri petak sawah,
merasuk ke persendian jiwa tangkai bunga lepas disapu ombak
terhanyut ke laut, berlayar mawar terhempas ke pantai-pantai.

Keringat menguap memanggang cawan di pundak,
tetesan tersuling hasrat membumbung ke awan
diikuti pusaran angin ke pegunungan badai,
menitipkan kabut perawan ke pucuk-pucuk.

Hawa malam mengelus segenap kulit jiwa bergetar
bara percakapan api di relung hitam berulang gelap
di sebelah senyuman terkumpul ragu pada seutas tali,
membenamkan bulan ke dada bintang berdegup meriap
hilangnya bukan kuas bulu kuda, tapi seraut bayang di lukisan.

Nyanyian Bengawan

Sajak Nurel Javissyarqi

Rupanya kau terjerat benang halus kasat mata,
menaiki ketinggian ombak ke mana perginya
bersama bayu tujuan musim perasaan dewasa.

Jemari tangan halus bergelayutan ke mega-mega,
hujan menyirami mimpi-mimpi hampir musna,
perbaiki langkahmu keluar menjelajahi rahasia,
takkan muncul kalau tak ke penghujung masa.

Selendang kau terbangkan warnanya tetap sama
mengunyah bencah melintasi kelebatan cahaya;
musim beruba, sulaman benang takkan pudar,
menyimak nyanyian harum semerbak penanda.

Maka sanggul rambutmu agar membuhul tanggul,
tapi sesekali geraikan agar tercium kesucian hujan,
awan menyisiri tetangkai angin mempesonakan
cahaya berhamburan di padang membangunkan.

Kenangan Bertemu Kembali

Sajak Nurel Javissyarqi

Awan-gemawan berbondong menutup cahaya purnama,
serupa bayangmu mengendap mencuri pandang jendela,
berharap hujan melalui hasrat mengalir, hening bertemu
riuh ombak di batang sungai jiwa menuju ke pulau setia.

Ini ganjaran melewati detik keletihan menggerus waktu
selembut aroma kopi di udara melayang jauh ke jurang terpencil
hanya dihuni pagi menyibak sepi melukis ilalang nan dedaunan
diberinya mahkota teratai, menutup diri dengan kelopak baja.

Siang itu terbakar langit, pebukitan berbara kepulkan asap
menyekutui awan digulungan angin tercecer batuan api
terpanggang di ketinggian ruh memanjat cahaya.

Tumpah menjelma debu pemberi suara degupan dada,
memandang senjakala di akhir pelabuhan warangka kata,
pepohonan menari-nari bersamaan angin menanti malam
pulang membelakangi purnama ditunggu kantukmu asmara.

Sehela masa berbicara kepada tiap harapan melangkah,
denting berhenti di pusaran mata angin nan terbang terhempas
ke tebing-tebing cakrawala manusia, laksana bayangan dimaknai.

Kenangan, bergentayangan di renung panjang, relung hati insan
menyendiri kekecewaan bersenyum binasa di ujung perpisahan,
jalan sungsang dikuliti hakikat ruh-tulang-turangga menderap.